T1 232010190 Full text

LATAR BELAKANG PENELITIAN
Dalam rangka penyederhanaan dan memberikan kemudahan dalam
perhitungan kewajiban perpajakan, maka Pemerintah mengeluarkan kebijakan
terbaru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang mulai
diberlakukan sejak 1 Juli 2013. Peraturan tersebut mengenai Pajak Penghasilan
untuk Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha dengan omset
tertentu, yaitu dengan omset dalam satu tahun kurang dari Rp 4,8 miliar. Dengan
adanya peraturan baru tersebut diharapkan bisa memaksimalkan penerimaan
pajak, meningkatkan kesadaran dan peduli akan membayar pajak selain itu juga
masyarakat dapat dengan mudah ikut serta berkontribusi dalam penyelenggaraan
negara. Segmentasi dari PP 46 ini menjadi sangat besar, yaitu mencakup seluruh
pengusaha kecil dan menengah. Tarif dari PP 46 adalah 1% dari omset yang
dibayarkan setiap bulan, dan pajak yang dikenakan termasuk ke dalam jenis pajak
final. Menurut Mustadir (2013) “Sederhana dan mudah! Itulah nafas utama dari
PP 46 Tahun 2013”.
Meski tidak secara eksplisit dinyatakan dalam PP 46 Tahun 2013, sulit
dipungkiri bahwa yang menjadi target perpajakan dalam ketentuan baru ini adalah
pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Hal ini terlihat dari batasan peredaran
usaha Rp 4,8 miliar dalam PP tersebut yang masih dalam lingkup pengertian
UMKM menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil
dan Menengah, yakni usaha yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha

dengan peredaran maksimal Rp 50 miliar dalam setahun (Tambunan, 2013).
Perhitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan Bentuk Usaha Tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu

1

menggunakan pembukuan dan pencatatan. Pengusaha kecil seperti UMKM
seringkali memiliki pencatatan akuntansi yang sederhana. Praktek akuntansi
keuangan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) masih rendah dan
memiliki banyak kelemahan (Suhairi, 2004, dalam Putra, 2012). Biasanya
pembukuan UMKM dilakukan dengan cara-cara sederhana dan tidak detail
(Krisdiartiwi, 2008, dalam Putra, 2012). Sebagian besar UMKM menggunakan
sistem manual untuk mencatat transaksi bisnis dan membuat laporan. Mereka
berpendapat bahwa bisnis mereka hanya membutuhkan pencatatan dan pelaporan
yang sederhana. Sistem yang manual lebih sederhana daripada sistem
komputerisasi yang membutuhkan keahlian khusus dan biayanya yang lebih
mahal (Kurniawati dkk, 2013).
Dengan melihat pencatatan yang masih sederhana tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa pendekatan yang paling mendekati dalam penghitungan
besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi pelaku UMKM khususnya dalam hal ini

yaitu usaha mikro adalah dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto. Menurut Supramono (2009 : 47) bahwa wajib pajak yang menggunakan
norma penghitungan harus memenuhi syarat yang ditetapkan, yaitu peredaran
bruto dalam satu tahun kurang dari Rp 4,8 miliar. Dengan demikian jelas bahwa
pelaku Usaha Mikro memenuhi syarat untuk menggunakan norma penghitungan.
Perhitungan pajak dengan norma penghitungan dilihat merupakan yang paling
tepat dan sederhana bagi pelaku Usaha Mikro karena untuk menentukan
penghasilan kena pajak tidak perlu menghitung penghasilan bruto dikurangkan
dengan biaya yang dikeluarkan dalam usaha, tetapi hanya dengan mengalikan
peredaran bruto selama satu tahun dengan angka presentase norma penghitungan

2

penghasilan

neto.

Angka

presentase


norma

penghitungan

berbeda-beda

berdasarkan jenis usaha dari wajib pajak. Sehingga untuk setiap jenis usaha
jumlah besaran kewajiban perpajakannya bisa berbeda-beda. Norma penghasilan
neto dan PP 46 keduanya menggunakan omset sebagai dasar pengenaan pajak.
Akan tetapi untuk norma penghasilan harus dikalikan dengan presentase norma
dan dikurangkan dengan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Masalah dalam
penelitian ini adalah dengan adanya peraturan perhitungan pajak yang keduanya
berdasarkan omset tersebut berpotensi menimbulkan perbedaan, sehingga peneliti
ingin melakukan penelitian untuk mengetahui kesetaraan perhitungan kewajiban
perpajakan antara norma penghitungan pajak penghasilan neto yang mendekati
dengan karakteristik kesederhanaan pencatatan pelaku Usaha Mikro dan PP 46
Tahun 2013. Persoalan penelitian yang hendak diteliti adalah apakah PP 46 Tahun
2013 memberatkan dalam besaran pajak terutang bagi pelaku Usaha Mikro jika
dibandingkan dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto?

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kesetaraan dan
kesesuaian penerapan PP 46 Tahun 2013 dengan tujuannya untuk memberikan
kemudahan dan penyederhanaan dalam perhitungan kewajiban perpajakan.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada Pemerintah mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
tentang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari
usaha dengan omset tertentu apakah sudah tepat dan sesuai diterapkan bagi Usaha
Mikro. Selain itu dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi dan menambah wawasan bagi mahasiswa serta masyarakat mengenai
PP 46 Tahun 2013.

3

KERANGKA TEORITIS
Pajak
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan

digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Pudyatmoko (2005), mengingat bahwa pajak merupakan
pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap wajib pajak yang tidak
ada kontraprestasi secara langsung, maka suatu pungutan pajak harus memenuhi
asas-asas sebagai berikut :
1. Asas legal, dimana berdasar asas ini setiap pungutan pajak harus didasarkan
pada Undang-Undang. Oleh karena itu setiap peraturan perpajakan, baik yang
terdapat dalam Peraturan Pemerintah maupun peraturan yang lebih rendah
tingkatannya, harus ada referensinya dalam Undang-Undang.
2. Asas kepastian hukum, dimana ketentuan-ketentuan perpajakan tidak boleh
menimbulkan keragu-raguan, kebingungan, harus jelas dan mempunyai satu
pengertian sehingga tidak bersifat ambigu.
3. Asas efisien, dimana pajak yang dipungut dari masyarakat kemudian
digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan administrasi pemerintahan dan
pembangunan. Oleh karena itu suatu jenis pungutan pajak harus efisien,

4

jangan sampai biaya-biaya pungutannya justru lebih besar apabila
dibandingkan dengan hasil penerimaan dari pajak itu sendiri.

4. Asas non-distorsi, yakni bahwa pajak harus tidak menimbulkan adanya
distorsi di dalam masyarakat, terutama distorsi ekonomi. Pengenaan pajak
seharusnya tidak menimbulkan kelesuan ekonomi, mis-alokasi sumber-sumber
daya, dan inflasi.
5. Asas adil, hal tersebut terutama berarti bahwa alokasi beban pajak pada
berbagai golongan masyarakat harus mencerminkan keadilan. Mengenai hal
ini ada dua kriteria yang lazim digunakan untuk melihat apakah alokasi beban
pajak telah mencerminkan aspek keadilan, yaitu kemampuan membayar dari
wajib pajak (ability to pay), dan prinsip benefit (benefit principle).
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ/2000
disebutkan bahwa wajib pajak yang dapat menghitung penghasilan neto
menggunakan norma penghitungan adalah :
Wajib pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud yang tidak memilih
untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau
pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto. Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan penghasilan neto
sebagaimana dimaksud wajib memberitahukan mengenai penggunaan norma
penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak
awal tahun pajak bersangkutan. Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung

dengan cara mengalikan angka presentase norma penghitungan penghasilan neto

5

dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dalam 1 (satu) tahun. Dalam menghitung besarnya pajak penghasilan yang
terutang oleh wajib pajak orang pribadi, sebelum dilakukan penerapan tarif umum
terlebih dahulu dihitung penghasilan kena pajak dengan mengurangkan
penghasilan tidak kena pajak dari penghasilan neto sebagaimana dimaksud.
Berdasarkan dari penjelasan diatas, maka untuk mencari besarnya pajak
penghasilan terutang dapat dirumuskan sebagai berikut :
Angka presentase norma x omset/tahun = penghasilan neto
(Penghasilan Tidak Kena Pajak)
PKP (Penghasilan Kena Pajak)
PKP x tarif progresif pasal 17 = Pajak yang terutang
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
Bahwa untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi
dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu, perlu memberikan perlakuan
tersendiri ketentuan mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak
Penghasilan yang terutang. Seperti yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah

(PP) 46 tahun 2013 atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai pajak penghasilan
yang bersifat final.

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu

sebagaimana dimaksud adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai
berikut :
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk
usaha tetap; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi

6

Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.
Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud adalah
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau
jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana atau prasarana yang dapat

dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan menggunakan
sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan
bagi tempat usaha atau berjualan.
Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud adalah :
Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau Wajib Pajak
badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial
memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
Besarnya tarif pajak penghasilan yang bersifat final adalah 1% (satu
persen). Pengenaan pajak penghasilan didasarkan pada peredaran bruto usaha
dalam 1 (satu) tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang
bersangkutan. Berdasarkan pengertian diatas, maka untuk menghitung dengan
menggunakan PP 46 Tahun 2013 dapat dirumuskan sebagai berikut :
Pajak terutang = 1% x omset per bulan

Dari pengertian penghitungan pajak dengan norma penghasilan dan PP 46
Tahun 2013 diatas maka dapat terlihat jelas perbedaannya. PP 46 menggunakan
perhitungan dengan omset, padahal sebenarnya profit margin dari masing-masing
jenis usaha pada Usaha Mikro itu berbeda. Jika dilihat dari asas pemungutan pajak


7

yaitu asas keadilan, apakah memang ada keadilan jika menggunakan perhitungan
pajak dari PP 46 yang didasarkan pada omset.

Usaha Mikro
Usaha Mikro sebagaimana dimaksud Undang-Undang Republik Indonesia
No. 20 Bab I Pasal 1 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan
yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut :
i. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
ii. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus
juta rupiah).
Badan Pusat Statistik (BPS) menyusun kategori berdasarkan jumlah tenaga
kerja. Menurut BPS, usaha mikro adalah entitas bisnis yang memiliki 1-4 tenaga
kerja.

METODE PENELITIAN

Usaha mikro adalah usaha yang sederhana dengan omset yang didapat
dalam satu tahun paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Dengan adanya PP 46 diduga usaha mikro adalah usaha yang terkena dampak
paling besar dibandingkan usaha kecil dan menengah dengan melihat omset yang
sedikit tersebut maka kemungkinan penghasilan yang didapat juga sedikit.
Sehingga apabila perhitungan pajak hanya berdasarkan omset saja maka pajak
yang terutang akan memberatkan bagi usaha mikro. Dengan alasan tersebut yang

8

menjadi obyek penelitian dalam penelitian ini adalah usaha mikro yang ada di
kota Salatiga.

Jenis data yang digunakan adalah data primer. Data primer

merupakan data yang didapat dari sumber pertama, dari individu seperti hasil
wawancara atau hasil pengisian kuesioner yang biasa dilakukan peneliti. Data
tersebut diperoleh langsung dari pemilik Usaha Mikro. Teknik analisis data yang
digunakan yaitu teknik analisis deskriptif kuantitatif.
Untuk menjawab persoalan penelitian, peneliti mengambil responden dari
usaha mikro dengan jenis usaha dan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang
berbeda karena perbedaan presentase norma dari jenis usaha diduga bisa menjadi
faktor penyebab ketidaksetaraan perhitungan pajak. Usaha mikro yang diambil
adalah usaha mikro dari usaha perdagangan dan jasa. Oleh karena kewajiban
perpajakan timbul dari penghasilan diatas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
maka responden diambil dari usaha mikro yang mempunyai omset di atas Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Responden dalam penelitian ini diambil
secara acak. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan responden yang diambil
dalam penelitian ini :
Tabel 1
Responden Dalam Penelitian
Jenis Usaha

Jumlah

K/0

K/1

K/2

K/3

Perdagangan

8

-

3

4

1

Jasa

6

-

1

3

2

Sumber : hasil penelitian

PEMBAHASAN
Perhitungan pajak dengan menggunakan norma penghasilan dan PP 46
keduanya menggunakan omset sebagai dasar pengenaan pajak. Akan tetapi norma
penghasilan menggunakan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) sebagai

9

pengurang penghasilan kena pajak, sedangkan PP 46 tidak dan hanya mengalikan
omset dengan satu tarif yaitu 1% (satu persen). Untuk rincian perhitungan pajak
dengan norma penghasilan dan PP 46 dapat dilihat di lampiran 2. Adapun analisis
perhitungan pajak norma penghasilan neto dengan PP 46 Tahun 2013 adalah
sebagai berikut :
Tabel 2
Perhitungan Pajak Untuk K/1
Jenis Usaha
Perdagangan

Jasa

Omset
Rp 216.000.000,00
Rp 288.000.000,00
Rp 225.000.000,00
Rp 298.800.000,00

Tabel 2 menunjukkan

Perhitungan Pajak
Norma
PP 46
Penghasilan
Rp 743.000,00
Rp 2.160.000,00
Rp 743.000,00
Rp 2.880.000,00
Rp 833.000,00
Rp 2.250.000,00
Rp 3.745.000,00 Rp 2.988.000,00

perbandingan perhitungan pajak dengan norma

penghasilan dan PP 46 untuk usaha perdagangan dan jasa. Perhitungan pajak
usaha perdagangan dengan PTKP K/1 menunjukkan bahwa pajak yang dihitung
dengan PP 46 kewajiban perpajakannya lebih besar daripada perhitungan dengan
norma penghasilan. Hal ini membuktikan bahwa ada ketidaksetaraan dalam
perhitungan pajak norma penghasilan dan PP 46 untuk usaha perdagangan dengan
PTKP K/1. Akan tetapi berbeda dengan usaha jasa dengan PTKP K/1 perhitungan
pajaknya lebih besar menggunakan norma penghasilan daripada dengan PP 46.
Hal ini disebabkan untuk usaha perdagangan presentase normanya berkisar antara
15% sampai dengan 25% (lihat lampiran 2). Sedangkan untuk usaha jasa
presentase normanya 28% sampai dengan 29% sehingga walaupun ada PTKP
sebagai pengurang penghasilan kena pajak akan tetapi pajaknya tetap lebih besar
menggunakan norma penghasilan.

10

Tabel 3
Perhitungan Pajak untuk K/2

Perdagangan

Rp 297.000.000,00
Rp 234.000.000,00
Rp 162.000.000,00
Rp 252.000.000,00

Perhitungan Pajak
Norma
PP 46
Penghasilan
Rp 709.000,00
Rp 2.970.000,00
Rp 822.000,00
Rp 2.340.000,00
Rp 507.000,00
Rp 1.620.000,00
Rp 1.002.000,00 Rp 2.520.000,00

Jasa

Rp 150.000.000,00
Rp 297.000.000,00
Rp 293.000.000,00

Rp 582.000,00
Rp 3.364.000,00
Rp 3.190.000,00

Jenis Usaha

Omset

Tabel 3 menunjukkan

Rp 1.500.000,00
Rp 2.970.000,00
Rp 2.930.000,00

perbandingan perhitungan pajak dengan norma

penghasilan dan PP 46 untuk usaha perdagangan dan jasa. Perhitungan pajak
untuk usaha perdagangan dengan PTKP K/2 menunjukkan bahwa pajak yang
dihitung dengan PP 46 kewajiban perpajakannya lebih besar daripada dengan
norma penghasilan. Perhitungan pajak usaha jasa K/2 dengan omset Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) pajaknya lebih besar dengan PP
46 daripada dengan norma penghasilan. Berbeda untuk usaha jasa K/2 dengan
omset Rp 293.000.000,00 (dua ratus sembilan puluh tiga juta rupiah) dan omset
Rp 297.000.000,00 (dua ratus Sembilan puluh tujuh juta rupiah) yang perhitungan
pajaknya lebih besar menggunakan norma penghasilan daripada dengan PP 46.
Jadi semakin besar omset dari usaha jasa maka perhitungan pajak dengan norma
penghasilan akan semakin besar.

11

Tabel 4
Perhitungan Pajak untuk K/3

Perdagangan

Rp 153.000.000,00
Rp 180.000.000,00

Perhitungan Pajak
Norma
PP 46
Penghasilan
Rp 293.000,00
Rp 1.530.000,00
Rp 180.000,00
Rp 1.800.000,00

Jasa

Rp 148.000.000,00
Rp 126.000.000,00

Rp 452.000,00
Rp 144.000,00

Jenis Usaha

Omset

Tabel 4 menunjukkan

Rp 1.480.000,00
Rp 1.260.000,00

perbandingan perhitungan pajak dengan norma

penghasilan dan PP 46 untuk usaha perdagangan dan jasa. Perhitungan pajak
usaha perdagangan PTKP K/3 menunjukkan bahwa pajak yang dihitung dengan
PP 46 lebih tinggi daripada perhitungan dengan norma penghasilan. Begitupula
perhitungan pajak usaha jasa PTKP K/3 menunjukkan pajak lebih besar dihitung
dengan PP 46 daripada dengan norma penghasilan. Sedangkan perhitungan pajak
usaha jasa dengan PTKP K/1 dan K/2 perhitungan pajak dengan norma
penghasilan lebih besar daripada menggunakan PP 46. Hal ini dikarenakan usaha
jasa K/3 omsetnya dibawah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah),
sehingga hanya dikenakan satu kali tarif progresif yaitu 5% (lima persen).
Untuk usaha jasa PTKP tidak terlalu mempengaruhi kesetaraan
perhitungan norma penghasilan dan PP 46. Yang menyebabkan PP 46 dan norma
penghasilan berbeda adalah berdasarkan besaran omset. Semakin besar omset
usaha jasa maka semakin besar kewajiban perpajakannya. Jadi usaha jasa dengan
omset yang besar lebih diuntungkan dengan adanya perhitungan pajak dengan PP
46 jika dibandingkan dengan norma penghasilan.
PP 46 sesuai dengan asas legal dan kepastian hukum, hal ini ditunjukkan
dengan penjelasan yang terdapat dalam PP 46 dengan jelas mengatur mengenai

12

penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajaknya. Dengan adanya batasan di
bawah Rp 4,8 miliar maka segmentasi dari pajak tersebut akan menjadi semakin
banyak, sehingga pendapatan pajak juga akan semakin besar. Dengan demikian
maka PP 46 memenuhi asas efisien tetapi tidak memenuhi asas non-distorsi dan
asas adil. Hal ini terbukti dengan adanya ketidaksetaraan dalam perhitungan pajak
norma penghasilan dan PP 46. Menurut Prasetiyo (2009), besar kecilnya pajak
yang harus dibayarkan selalu menjadi beban bagi wajib pajak dan dapat
mengurangi penghasilan wajib pajak sehingga besar kecilnya beban pajak yang
harus dibayarkan bergantung pada penghasilan wajib pajak. PP 46 memberatkan
untuk usaha perdagangan sehingga hal itu akan menimbulkan adanya distorsi
ekonomi. Tidak semua jenis usaha diuntungkan dengan adanya PP 46, hal ini
tidak sesuai dengan asas keadilan pajak. PP 46 memang memberi kemudahan
dalam perhitungan pajak karena hanya menggunakan satu tarif untuk semua jenis
usaha, akan tetapi dari sisi keadilan pajak tidak terpenuhi.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. PP 46 jika dibandingkan dengan norma penghasilan neto memberatkan untuk
usaha perdagangan, karena usaha perdagangan memiliki presentase norma
15% sampai dengan 20%. Sehingga apabila dibandingkan dengan PP 46 akan
terjadi ketidaksetaraan yang memberatkan wajib pajak.
2. PTKP tidak menentukan tingkat kesetaraan perhitungan pajak norma
panghasilan dan PP 46.

Usaha jasa dengan omset besar menguntungkan

13

menggunakan PP 46 karena pajaknya lebih kecil daripada dengan norma
penghasilan.
3. Tujuan dari PP 46 yaitu untuk penyederhanaan dan kemudahan perhitungan
pajak memang tercapai, namun asas pemungutan pajak yaitu asas non-distorsi
dan asas keadilan pajak tidak terpenuhi..
Saran
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah
bahwa ada ketidaksetaraan perhitungan pajak norma penghasilan dan PP 46. Salah
satu alternatif yang bisa digunakan agar PP 46 tidak memberatkan wajib pajak
yaitu dengan memberikan pilihan kepada wajib pajak mengenai cara perhitungan
pajaknya. Misalnya wajib pajak boleh memilih menghitung dengan norma
penghasilan atau PP 46. Jika menggunakan norma penghasilan maka wajib pajak
tersebut harus melaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak 3 bulan sejak awal
tahun yang bersangkutan, wajib pajak juga harus melakukan pencatatan agar bisa
diketahui berapa omset yang diterima dalam satu tahun. Selain itu wajib pajak
harus mengetahui berapa presentase norma untuk jenis usahanya. Akan tetapi
apabila wajib pajak tidak ingin kesulitan dalam menghitung pajak maka bisa
menggunakan PP 46 dengan satu tarif yaitu 1% (satu persen) dengan kewajiban
pajak yang lebih besar daripada dengan norma penghasilan tetapi mudah dalam
perhitungannya. Jadi masing-masing penggunaan aturan dalam perhitungan pajak
memiliki konsekuensinya masing-masing tergantung bagaimana pilihan wajib
pajak. Dengan cara tersebut diharapkan bisa memaksimalkan pendapatan negara
dari sektor pajak tanpa memberatkan wajib pajak karena wajib pajak memilih
sendiri cara perhitungan dengan konsekuensinya.

14

Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian terletak pada data dan informasi yang didapatkan.
Data omset yang diperoleh bisa saja tidak akurat karena responden hanya
memberikan informasi mengenai perkiraan omset dalam satu bulan. Selain itu
dalam penelitian ini tidak melakukan wawancara secara mendalam kepada
responden mengenai pendapat responden terkait PP 46, sehingga tidak bisa
mengetahui bagaimana pendapat responden sebagai wajib pajak terhadap PP 46
sebagai kebijakan baru tersebut.

15

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat,

I.P.

2004.

Akuntansi

Untuk

Usaha

Kecil

Menengah

http://imanph.wordpress.com pada tanggal 21 Oktober 2008.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ/2000
Krisdiartiwi, M. 2008. Pembukuan Sederhana untuk UKM. Yogyakarta : Media
Pressindo.
Kurniawati, E.P and Putri, E.P. 2008. Accounting for Small and Medium
Enterprises (SMEs). http://icussri.files.wordpress.com/.
Kurniawati, E.P, Kurniawan, E.Y and Mira, K. 2013. Accounting Information for
Business Decision Making and Performance Asessment in Small and
Medium Enterprises (SMEs). http://repository.library.uksw.edu/.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
Prasetiyo, S. 2009. Pengaruh Faktor Tax Payer Terhadap Persepsi Kesadaran
Pembayaran Pajak Penghasilan (Studi Kasus pada Wajib Pajak Orang
Pribadi yang Terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Salatiga).
Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen
Satya Wacana (tidak dipublikasikan).
Pudyatmoko, S. 2005. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta : Penerbit ANDI.
Putra, H.A and Kurniawati, E.P. 2012. Penyusunan Laporan Keuangan Untuk
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Berbasis Standar Akuntansi Keuangan
Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). Proceeding Call for Paper.
Tambunan, R. 2013. Ketentuan Terbaru Pajak Penghasilan Atas UMKM :
Sederhana Tapi Tidak Adil. www.ortax.org pada 4 Juli 2013.

16

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro
Kecil dan Menengah.
Supramono, Damayanti, T.W. 2009. Perpajakan Indonesia Mekanisme dan
Perhitungan. Yogyakarta : Penerbit ANDI.
Zain, M. 2005. Manajemen Perpajakan, Edisi 2 : Salemba Empat.

17

LAMPIRAN I
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 107/PMK.011/2013
TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERlMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 46
TAHUN 2013 tentang Pajak PenghasiIan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 32631
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Tahun 2009 tentang penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 161, Tarobahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dan Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5424);
MEMUTUSKAN:

18

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN,
PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASlLAN
DARI USAHA YANG DlTERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKl
PEREDARAN BRUTO TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1.

Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 TAHUN 2008.

2.

Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Pasal 2

(1)

Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

(2)

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
b.

(3)

Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
meliputi:
a.
b.

c.
d.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.

(4)

Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk
usaha tetap; dan
menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun
Pajak.

tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, dan penari;
olahragawan;
penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
pengarang, peneliti, dan penerjemah;
agen iklan;
pengawas atau pengelola proyek;
perantara;
petugas penjaja barang dagangan;
agen asuransi; dan
distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan
langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa
yang dalam usahanya:
a.
b.

menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang baik yang
menetap maupun tidak menetap; dan
menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

19

(5)

Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a.
b.

Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah).
Pasal 3

(1)

Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan
pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum
Tahun Pajak yang bersangkutan.

(2)

Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan
peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk
peredaran bruto dari:
a.
b.
c.
d.

(3)

jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3);
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak
yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12
(dua belas) bulan, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak
bersangkutan yang disetahunkan.

(4)

Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum Peraturan Menteri
ini berlaku pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalamt Pasal 2 ayat (1)
didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai
dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.

(5)

Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, pengenaan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah
peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang
disetahunkan.
Pasal 4

(1)

Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah 1%(satu persen).

(2)

Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap
bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.

(3)

Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 5

(1)

Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah
Rp4.800.000,000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak,

20

Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Perighasilan yang telah ditentukan berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak
yang bersangkutan.
(2)

Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 6

(1)

Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain.

(2)

Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas.

(3)

Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak
berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
Pasal 7

(1)

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan sampai dengan jangka waktu
1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial.

(1)

Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati
Tahun Pajak yang bersangkutan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 8

(1)

Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) yang menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi
kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

(2)

Ketentuan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.
b.

c.

kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut
sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka
waktu sebagaimana dimakaud pada huruf a;
kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak dapat dikompensasikan
pada Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 9

(1)

Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak
diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

21

(2)

Dalam hal Wajib Pajak selain menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) juga
menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
umum Undang-Undang Pajak Penghasilan, atas penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum tersebut wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

(3)

Besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) pada Tahun Pajak pertama Wajib Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diatur ketentuan sebagai
berikut:
a.

b.

bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf b dan huruf
c Undang-Undang Pajak Penghasilan, besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan
besarnya angsuran pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur mengenai besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak tersebut.
bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a,
penghitungan besarnya angsuran pajak diberlakukan seperti Wajib Pajak baru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

(4)

Untuk Wajib Pajak orang pribadi, jumlah penghasilan neto yang disetahunkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dikurangi terlebih dahulu dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak.

(5)

Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak
Penghasilan dan pajak yang telah dipotong dan/atau dipungut pihak lain boleh dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali
untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
Pasal 10

(1)

Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan
Surat Setoran Pajak, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan
Negara, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(2)

Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama
20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

(3)

Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi
Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.
Pasal 11

Wajib Pajak yang atas seluruh atau sebagian penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), kewajiban penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
TAHUN 2009, dan peraturan pelaksanaannya beserta perubahannya.
Pasal 12

22

(1)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan
dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri.

(2)

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap, Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5), serta penghasilan dari
jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
dan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, dikenai Pajak penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 13

Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sesuai contoh sebagaimana
tercantum dalam Iampiran Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. bentuk Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat
Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 10 ayat (1);
b. bentuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11; dan
c. Tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak,
Pasal 15
(1) Kerugian pada bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dapat dilakukan kompensasi
dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final pada Tahun
Pajak berikutnya.
(2) Wajib Pajak yang melakukan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib melampirkan laporan rugi laba bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2013.
Pasal 16
(1) Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), diberlakukan sama dengan mulai berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 46 TAHUN 2013.
(2) Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014.
Pasal 17
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

23

INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus
2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 984

24

LAMPIRAN II
Perhitungan Pajak Norma Penghasilan dan PP 46 Tahun 2013
1. Jenis usaha

: perdagangan susu segar

Status

: K/1 (Rp 28.350.000,00)

Omset

: Rp 216.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 20% (dua puluh persen)

Norma Penghasilan Neto
PP 46/2013
20% x 216.000.000 = 43.200.000
Pajak terutang :
PTKP = (28.350.000) = 1% x 216.000.000
Penghasilan Kena Pajak = 14.850.000
= 2.160.000
Pajak Terutang :
= 5 % x 14.850.000
= 743.000
2. Jenis usaha

: perdagangan ikan hias

Status

: K/1 (Rp 28.350.000,00)

Omset

: Rp 288.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 15% (lima belas persen)

Norma Penghasilan Neto
PP 46/2013
15% x 288.000.000 = 43.200.000
Pajak terutang :
PTKP = (28.350.000) = 1% x 288.000.000
Penghasilan Kena Pajak = 14.850.000
= 2.880.000
Pajak Terutang :
= 5 % x 14.850.000
= 743.000
3. Jenis usaha

: perdagangan makanan

Status

: K/1 (Rp 28.350.000,00)

Omset

: Rp .225.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 20% (dua puluh persen)

Norma Penghasilan Neto
PP 46/2013
20% x 225.000.000 = 45.000.000 Pajak terutang :
PTKP = (28.350.000) = 1% x 225.000.000
Penghasilan Kena Pajak = 16.650.000
= 2.250.000
Pajak Terutang :
= 5 % x 16.650.000
= 833.000

25

4. Jenis usaha

: perdagangan ikan hias

Status

: K/2 (Rp 30.375.000,00)

Omset

: Rp 297.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 15% (lima belas persen)

Norma Penghasilan Neto
PP 46/2013
15% x 297.000.000 = 44.550.000 Pajak terutang :
PTKP = (30.375.000) = 1% x 297.000.000
Penghasilan Kena Pajak = 14.175.000
= 2.970.000
Pajak Terutang :
= 5 % x 14.175.000
= 709.000
5. Jenis usaha

: perdagangan susu segar

Status

: K/2 (Rp 30.375.000,00)

Omset

: Rp 234.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 20% (dua puluh persen)

Norma Penghasilan Neto
PP 46/2013
20% x 234.000.000 = 46.800.000
Pajak terutang :
PTKP = (30.375.000) = 1% x 234.000.000
Penghasilan Kena Pajak = 16.425.000
= 2.340.000
Pajak Terutang :
= 5 % x 16.425.000
= 822.000
6. Jenis usaha

: perdagangan makanan ringan

Status

: K/2 (Rp 30.375.000,00)

Omset

: Rp 162.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 25% (dua puluh lima persen)

Norma Penghasilan Neto
PP 46/2013
25% x 162.000.000 = 40.500.000 Pajak terutang :
PTKP = (30.375.000) = 1% x 162.000.000
Penghasilan Kena Pajak = 10.125.000
= 1.620.000
Pajak Terutang :
= 5 % x 10.125.000
= 507.000

26

7. Jenis usaha

: perdagangan makanan

Status

: K/2 (Rp 30.375.000,00)

Omset

: Rp 252.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 20% (dua puluh persen)

Norma Penghasilan Neto
PP 46/2013
20% x 252.000.000 = 50.400.000 Pajak terutang :
PTKP = (30.375.000) = 1% x 252.000.000
Penghasilan Kena Pajak = 20.025.000
= 2.520.000
Pajak Terutang :
= 5 % x 20.025.000
= 1.002.000
8. Jenis usaha

: perdagangan makanan

Status

: K/3 (Rp 32.400.000,00)

Omset

: Rp 180.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 20% (dua puluh persen)

Norma Penghasilan Neto
PP 46/2013
20% x 180.000.000 = 36.000.000 Pajak terutang :
PTKP = (32.400.000) = 1% x 180.000.000
Penghasilan Kena Pajak = 3.600.000
= 1.800.000
Pajak Terutang :
= 5 % x 3.600.000
= 180.000
9. Jenis usaha

: jasa pelayanan fotocopy

Status

: K/1 (Rp 28.350.000,00)

Omset

: Rp 298.800.000,00/tahun

Tarif norma

: 29% (dua puluh sembilan persen)

Norma Penghasilan Neto
29 % x 298.800.000 = 86.652.000
PTKP = (28.350.000)
Penghasilan Kena Pajak = 58.302.000
Pajak Terutang :
= (5 % x 50.000.000) +
(15% x 8.302.000)
= 2.500.000 + 1.245.000
= 3.745.000

27

PP 46/2013
Pajak terutang :
= 1% x 298.800.000
= 2.988.000

10. Jenis usaha

: jasa menjahit

Status

: K/2 (Rp 30.375.000,00)

Omset

: Rp 150.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 28% (dua puluh delapan persen)

Norma Penghasilan Neto
28% x 150.000.000 = 42.000.000
PTKP = (30.375.000)
Penghasilan Kena Pajak = 11.625.000

PP 46/2013
Pajak terutang :
= 1% x 150.000.000
= 1.500.000

Pajak Terutang :
= 5 % x11.625.000
= 582.000
11. Jenis usaha

: jasa fotocopy

Status

: K/2 (Rp 30.375.000,00)

Omset

: Rp 297.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 29% (dua puluh sembilan persen)

Norma Penghasilan Neto
29% x 297.000.000 = 86.130.000
PTKP = (30.375.000)
Penghasilan Kena Pajak = 55.755.000

PP 46/2013
Pajak terutang :
= 1% x 297.000.000
= 2.970.000

Pajak Terutang :
= (5 % x 50.000.000) +
(15% x 5.755.000)
= 2.500.000 + 864.000
= 3.364.000
12. Jenis usaha

: jasa fotocopy

Status

: K/2 (Rp 30.375.000,00)

Omset

: Rp 293.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 29% (tiga puluh satu persen)

Norma Penghasilan Neto
29% x 293.000.000 = 84.970.000
PTKP = (30.375.000)
Penghasilan Kena Pajak = 54.595.000
Pajak Terutang :
= (5 % x 50.000.000) +
(15% x 4.595.000)
= 2.500.000 + 690.000
= 3.190.000

28

PP 46/2013
Pajak terutang :
= 1% x 293.000.000
= 2.930.000

13. Jenis usaha

: jasa menjahit

Status

: K/3 (Rp 32.400.000,00)

Omset

: Rp 148.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 28% (dua puluh delapan persen)

Norma Penghasilan Neto
28% x 148.000.000 = 41.440.000
PTKP = (32.400.000)
Penghasilan Kena Pajak = 9.040.000

PP 46/2013
Pajak terutang :
= 1% x 148.000.000
= 1.480.000

Pajak Terutang :
= 5% x 9.040.000
= 452.000
14. Jenis usaha

: jasa menjahit

Status

: K/3 (Rp 32.400.000,00)

Omset

: Rp 126.000.000,00/tahun

Tarif norma

: 28 % (dua puluh delapan persen)

Norma Penghasilan Neto
28% x 126.000.000 = 35.280.000
PTKP = (32.400.000)
Penghasilan Kena Pajak = 2.880.000
Pajak Terutang :
= 5 % x 2.880.000
= 144.000

29

PP 46/2013
Pajak terutang :
= 1% x 126.000.000
= 1.260.000

LAMPIRAN III
Kuesioner Penelitian
Kuesioner Penelitian

Bapak/Ibu yang saya hormati, mohon kiranya Bapak/Ibu berkenan untuk
mengisi kuesioner di bawah ini. Kuesioner ini disebarkan dalam rangka untuk
menyelesaikan penelitian yang berjudul “Analisis Kesetaraan Perhitungan Pajak
Norma Penghasilan dengan PP 46 Tahun 2013 pada UMKM di Kota Salatiga”.
Atas kerjasama dari Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih.

Petunjuk pengisian :
Berilah tanda (√) pada kolom jawaban yang menurut anda sesuai dengan jawaban
anda.
1. Nama Pemilik

: …………………………………………………

2. Alamat

: …………………………………………………

3. Jenis Usaha

: □ perdagangan

□ jasa

4. Status Perkawinan

: □ kawin

□ belum kawin

5. Jumlah Tanggungan/anak

: …………………………………………………

6. Penjualan dalam satu tahun

: …………………………………………………

30