T1 802007094 Full text

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU
MENYONTEK SISWA SMK T&I KRISTEN SALATIGA

OLEH
NOFHAJELTA WAIRATA
802007094

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat religiusitas
dengan perilaku menyontek pada siswa SMK T&I Kristen Salatiga. Metode sampling

yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan menggunakan
36 siswa-siswi dari kelas X sebagai responden. Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan dua (2) buah skala yaitu skala perilaku menyontek dan skala tingkat
religiusitas. Hubungan antara perilaku menyontek dan tingkat religiusitas diuji dengan
menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment. Hasil koefisien korelasi antara
kedua variabel yaitu

= -.332 dan p = 0.048. Maka dapat disimpulkan terdapat

hubungan negatif antara kedua variabel, yaitu semakin tinggi tingkat religiusitas maka
semakin rendah perilaku menyontek siswa SMK T&I Kristen Salatiga, begitupun
sebaliknya, semakin rendah tingkat religiusitas maka semakin tinggi perilaku
menyontek siswa SMK T&I Kristen Salatiga.

Kata kunci: Perilaku Menyontek, Tingkat Religiusitas

i

ABSTRACT


This study aims to determine the relationship between the level of religiosity
with the cheating behavior of vocational students on T&I Christian Vocational High
School Salatiga. The sampling method used in this research is purposive sampling with

36 students of X class as respondents. Data collected by using two (2) different scaling
methods, which are cheating behavior scale and religiosity scale. The correlation study
between the cheating behavior and religiosity level are tested using Pearson Product
Moment correlation test. The correlation coefficient between the two variables is rxy = -

.332 and p = 0.048. It can be concluded that there is a negative relationship between
two variables since the higher the religiosity level of vocational students, the lower the
cheating behavior number of T&I Christian Vocational High School Salatiga, and vice
versa, the lower the level of religiosity, the higher the cheating behavior number of T&I
Christian Vocational High School Salatiga.

Key words: Cheating behavior, Religiosity level

ii

1


PENDAHULUAN
Fenomena yang terjadi di negara Indonesia cenderung dituduhkan pada dunia
pendidikan yang disorot sebagai sektor yang belum berhasil mengemban misi
mencerdaskan kehidupan bangsa. Perilaku masyarakat yang menyimpang menjadi bukti
bahwa pendidikan belum mampu menjadi solusi pengembanan misi itu. Hal ini tentu
berkaitan erat dengan bagaimana proses belajar yang dialami oleh setiap individu dalam
setiap jenjang pendidikan yang dilalui. Tujuan pendidikan nasional bukan sekedar
membentuk peserta didik yang pintar dengan memperoleh nilai tinggi di setiap mata
pelajaran. Namun, seperti dalam Undang-Undang RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 bahwa, “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” .
Namun, realita yang terjadi yaitu sering terjadi kecurangan dan ketidakjujuran
dalam pendidikan. Kurangnya pembahasan mengenai masalah ini dikarenakan orang
menganggap kasus ini merupakan hal yang remeh dan wajar, serta tidak berbahaya
karena tidak mengandung unsur kekerasan (violence). Aktivitas ketidakjujuran dalam

pendidikan sebenarnya merupakan masalah serius. Ketidakjujuran dalam pendidikan
bertentangan dengan tujuan dari pendidikan nasional.
Kasus ketidakjujuran dalam pendidikan sering muncul menyertai aktivitas
belajar mengajar tetapi jarang menjadi pembahasan dalam wacana pendidikan
Indonesia. Dalam sebuah studi menyebutkan bahwa lebih dari 50 persen dan terkadang

2

hingga 80 persen para siswa dilaporkan pernah menyontek (Kompas, Senin, 18 Agustus
2008).
Menyontek (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) yaitu mengutip (tulisan dsb)
sebagaimana aslinya; menjiplak. Menurut Sujana dan Wulan (1994), menyontek
merupakan tindak kecurangan dalam tes melalui pemanfaatan informasi yang berasal
dari luar secara tidak sah. Selain itu, Ehrlich, dkk (dalam Anderman dan Murdock,
2011) mendefinisikan menyontek sebagai ketidakjujuran atau tidak fair dalam rangka
memenangkan atau meraih keuntungan.
Genereux dan McLeod (dalam Vinski dan Tyron, 2009) mendefinisikan
menyontek sebagai upaya siswa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan melalui caracara yang dilarang atau tidak sah. Contohnya, menyalin jawaban ujian dari teman lain
dan menggunakan lembar contekan pada saat ujian berlangsung (Vinski dan Tyron,
2009). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam menyontek, seseorang

melakukan sebuah praktek kecurangan baik memberi informasi, atau membuat catatan
untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri.
Menurut Hetherington dan Feldman (dalam Bjorklund dan Cwenestam, 1999),
ada empat jenis metode yang harus dibedakan ketika mengklasifikasikan perilaku
menyontek, yaitu: Individual opportunistic, individual planned, active social and
passive social. Disisi lain, Baird (dalam Bjorklund dan Cwenestam, 1999) hanya

membedakan antara perilaku individual (individual behaviours) dan kerjasama (cooperative). Sedangkan Kuehn, dkk (dalam Bjorklund dan Cwenestam, 1999),

mengatakan bahwa ada tiga perilaku menyontek yaitu, menggunakan buku catatan,
menyalin tes siswa lain, dan memungkinkan siswa lain untuk menyalin pekerjaan.

3

Selain itu, adapula alasan-alasan sehingga siswa melakukan perilaku menyontek.
Salah satunya yaitu yang dikemukakan oleh Anderman, dkk (dalam Bjorklund dan
Cwenestam, 1999) dalam sebuah studi di Amerika Utara bahwa adanya tekanan nilai
yang tinggi dalam tes dapat mendorong siswa untuk menyontek.
Kesimpulan serupa dilaporkan dari beberapa penyelidikan, di mana beban kerja
siswa ditemukan menjadi faktor penting. Davis, dkk (dalam Bjorklund dan Cwenestam,

1999) menunjukkan bahwa tekanan untuk nilai bagus di pendidikan tinggi merupakan
penentu penting dari perilaku menyontek. Baird (dalam Bjorklund dan Cwenestam,
1999) sebelumnya melaporkan temuan serupa. Dalam penelitiannya ditemukan 35
persen dari siswa menyatakan bahwa mereka memiliki sedikit waktu belajar untuk ujian
dan 26 persen dari siswa mengatakan beban untuk mencapai nilai yang tinggi membuat
mereka perlu untuk menyontek.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku
menyontek, salah satunya yaitu faktor religiusitas (Bloodgood, Turnley, dan Mudrack,
2008). Dalam Journal of Business Ethics (Bloodgood, Turnley, dan Mudrack, 2008),
menyatakan bahwa etika, religiusitas, dan kecerdasan memiliki pengaruh dalam
perilaku menyontek. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pelatihan agama dan
keyakinan memiliki potensi untuk mempengaruhi perilaku dengan menyediakan
kerangka kerja untuk membantu membedakan antara benar dan salah. Sesorang yang
memiliki tingkat religiusitas yang tinggi seharusnya memiliki moral yang baik. Dalam
dunia pendidikan, siswa tidak terlepas dari situasi-situasi yang menuntunya untuk
memutuskan suatu penilaian atau pendapat moral, yaitu yang berhubungan dengan
boleh atau tidak boleh suatu perilaku tertentu dilakukan, salah satu contohnya yaitu
perilaku menyontek saat ujian (Pasaribu, 2008). Namun penelitian yang dilakukan oleh

4


Pasaribu (2008) menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat religiusitas
dengan penalaran moral. Artinya, tingkat religiusitas seseorang tidak berhubungan
dengan pemikiran terhadap sesuatu yang benar dan salah.
Bloodgood, Turnley, dan Mudrack (2008), mendefinisikan religiusitas sebagai
pemahaman untuk melakukan dan mengikuti seperangkat doktrin agama atau prinsipprinsip agama. Religiusitas dapat dinilai dengan perilaku-perilaku seperti kehadiran
dalam pelayanan keagamaan, anggota keagamaan, frekuensi doa, membaca kitab suci,
dan partisipasi dalam kegiatan diskusi agama dengan orang lain. McCullough dan
Willoughby (2009) setuju dengan pendapat tersebut. Menurut McCullough dan
Willoughby (2009), religiusitas itu dapat dinilai dengan sering terlibat dalam lembagalembaga keagamaan seperti gereja, rumah ibadat, masjid, dan kuil-kuil, dan keterlibatan
dalam praktek-praktek agama seperti membaca kitab suci, ibadah, dan doa.
Dari uraian di atas dan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang masih
menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara tingkat religiusitas dengan perilaku
moral, dalam hal ini mengenai perilaku menyontek, peneliti tertarik untuk mengangkat
masalah ini sebagai bahan penelitian untuk menganalisis hubungan antara tingkat
religiusitas dengan perilaku menyontek siswa, dengan memilih SMK T&I Kristen
Salatiga sebagai tempat penelitian. Tujuan dari penelitian ini sendiri yaitu untuk
mengetahui hubungan antara tingkat religiusitas dengan perilaku menyontek siswa
SMK T&I Kristen Salatiga.
Perilaku Menyontek

Menurut Sujana dan Wulan (1994), menyontek merupakan tindak kecurangan
dalam tes melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah.
Genereux dan McLeod (dalam Vinski dan Tyron, 2009) mendefinisikan menyontek

5

sebagai upaya siswa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan melalui cara-cara yang
dilarang atau tidak sah. Contohnya, menyalin jawaban ujian dari teman lain dan
menggunakan lembar contekan pada saat ujian berlangsung (Vinski dan Tyron, 2009).
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam menyontek, seseorang
melakukan sebuah praktek kecurangan baik memberi informasi, atau membuat catatan
untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri pada saat ujian.
Bentuk-bentuk Perilaku Menyontek
Hetherington dan Feldman (dalam Bjorklund dan Cwenestam, 1999)
mengelompokkan empat bentuk menyontek. Yaitu: (a) Individualistic-opportunistic.
Individualistic-opportunistic dapat dimaknai sebagai perilaku dimana siswa mengganti

suatu jawaban ketika ujian atau tes sedang berlangsung dengan menggunakan catatan
ketika guru keluar dari kelas. (b) Independent-planned. Independent-planned dapat
diidentifikasikan sebagai menggunakan catatan ketika tes atau ujian berlangsung, atau

membawa jawaban yang telah lengkap atau dipersiapkan dengan menulisnya terlebih
dahulu sebelum berlangsungnya ujian. (c) Social-active. Social-active adalah perilaku
menyontek dimana siswa menjiplak atau melihat atau meminta jawaban dari orang lain
pada saat tes atau ujian sedang berlangsung. (d) Social-passive. Social-passive adalah
mengijinkan seseorang untuk melihat atau menjiplak jawabannya.
Faktor-Faktor terjadinya Perilaku Menyontek
Adapun alasan-alasan seseorang dalam melakukan praktek menyontek, yaitu
seperti yang dikemukakan oleh Davis dkk (dalam Bjorklund dan Cwenestam, 1999)
menunjukkan bahwa tekanan untuk nilai bagus di pendidikan tinggi merupakan penentu
penting dari perilaku menyontek. Baird (dalam Bjorklund dan Cwenestam, 1999)
sebelumnya melaporkan temuan serupa. Dalam penelitiannya ditemukan 35 persen dari

6

siswa menyatakan bahwa mereka memiliki sedikit waktu belajar untuk ujian dan 26
persen dari siswa mengatakan beban untuk mencapai nilai yang tinggi membuat mereka
perlu untuk menyontek.
Baird dkk (dalam Bjorklund dan Cwenestam, 1999) mengelompokkan faktorfaktor yang menyebabkan kecurangan dalam ujian menjadi dua, yaitu faktor eksternal
dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi soal ujian yang sulit, dan kurang
pengawasan dari guru. Dan faktor internal meliputi kemalasan, merasa temannya lebih

mampu, nilai ujian yang rendah sebelumnya dan ingin mendapat nilai yang lebih baik,
serta ingin membantu teman.
Tingkat Religiusitas
Religiusitas didefinisikan sebagai sejauh mana seorang individu berkomitmen
terhadap ajaran-ajaran agama dianutnya (Johnson dkk, 2001). Glock dan Stark (dalam
Indriastuti, 2005) mengemukakan definisi operasional tentang religiusitas sebagai
percaya tentang ajaran agama tertentu dan dampak dari ajaran agama itu dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Dimensi Religiusitas
Glock dan Stark (dalam Indriastuti, 2005) secara terperinci mengemukakan
bahwa religiusitas terdiri dari lima dimensi. Yaitu (a) Ritual Involvement / dimensi
ritualistik. Berisi sejauh mana penganut agama tertentu melakukan aktivitas-aktivitas
yang diwajibkan dan dianjurkan dalam agamanya, seperti sholat, puasa, kebaktian, misa
kudus, dan sebagainya. (b) Ideological involvement / dimensi ideologis. Dimensi ini
berisikan pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada
suatu teologis tertentu, mengakui kebenaran-kebenaran doktrin tersebut. Misalnya
apakah seseorang mempercayai adanya setan, malaikat, surga, neraka, dll. (c)

7


Intelectual involvement / dimensi pengalaman. Dimensi ini mengacu pada harapan

bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan
mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan pokok ajaran yang harus
diimani dan dilaksanakan. (d) Experiental involvement / dimensi pengalaman. Berisikan
pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan sebagai
keajaiban yang datang dari Tuhan. Hal ini berwujud dalam perasaan bersyukur kepada
Tuhan, perasaan mendapat teguran dari Tuhan, perasaan bahwa doanya sering terkabul,
perasaan dekat dengan Tuhan pada saat berdoa. Dan (e) Consequential involvement /
dimensi konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada seberapa tingkatan seseorang dalam
berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya. Perilaku ini lebih dalam hal
perilaku di dunia, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya terutama
sesamanya. Misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya yang sakit, mendermakan
sebagian hartanya untuk fakir miskin, dll.
Fungsi religiusitas
Jalaluddin (1997) mengemukakan beberapa fungsi agama yaitu (a) Berfungsi
edukatif: ajaran-ajaran agama yang harus dipatuhi oleh para penganutnya membimbing
mereka untuk menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama
masing-masing. (b) Berfungsi sebagai penyelamat: keselamatan yang diberikan oleh
agama kepada penganutnya adalah keselamatan dunia dan akhirat, dan keselamatan itu
dicapai melalui keimanan kepada Tuhan. (c) Berfungsi sebagai pendamaian: melalui
agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui
tuntutan agama, sehingga rasa berdosa atau rasa bersalah akan segera hilang dari
batinnya jika ia bertobat. (d) Berfungsi sebagai kontrol sosial: ajaran agama oleh
penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga agama dapat berfungsi sebagai

8

pengawas sosial baik secara individu maupun kelompok. (e) Berfungsi transformatif:
ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi
kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan Perilaku Menyontek
Dalam menghadapi tantangan globalisasi, bangsa Indonesia membutuhkan
sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia adalah dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan,
baik pendidikan formal dan pendidikan non formal. Upaya tersebut dimulai dengan
memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, memperbaiki kualitas guru dan
memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Upaya konkret pemerintah Indonesia dalam
usaha meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan jalan menetapkan nilai
minimum yang harus diraih oleh para siswa peserta ujian nasional. Hal ini tentunya
menjadi beban bagi para peserta didik. Pada akhirnya fokus dari prestasi yang dikejar
hanya pada tingginya nilai dan bukan pada psoses belajarnya.
Menurut Sujana dan Wulan (1994), menyontek merupakan tindak kecurangan
dalam tes melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah.
Genereux dan McLeod (dalam Vinski dan Tyron, 2009) mendefinisikan menyontek
sebagai upaya siswa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan melalui cara-cara yang
dilarang atau tidak sah.
Dalam dunia pendidikan, siswa tidak terlepas dari situasi-situasi yang
menuntunya untuk memutuskan suatu penilaian atau pendapat moral, yaitu yang
berhubungan dengan boleh atau tidak boleh suatu perilaku tertentu dilakukan, salah satu
contohnya yaitu perilaku menyontek saat ujian (Pasaribu, 2008).

9

Munculnya perilaku menyontek ini disebabkan oleh tingkat religiusitas
seseorang (Bloodgood dkk, 2008). Dalam Journal of Business Ethics, Bloodgood,
Turnley, dan Mudrack (2008), menyatakan bahwa etika, religiusitas, dan kecerdasan
memiliki pengaruh dalam perilaku menyontek.
Bloodgood, Turnley, dan Mudrack (2008), mendefinisikan religiusitas sebagai
pemahaman untuk melakukan dan mengikuti seperangkat doktrin agama atau prinsipprinsip agama. Religiusitas dapat dinilai dengan perilaku-perilaku seperti kehadiran
dalam pelayanan keagamaan, anggota keagamaan, frekuensi doa, membaca kitab suci,
dan partisipasi dalam kegiatan diskusi agama dengan orang lain. McCullough dan
Willoughby (2009) setuju dengan pendapat tersebut. Menurut McCullough dan
Willoughby (2009), religiusitas itu dapat dinilai dengan sering terlibat dalam lembagalembaga keagamaan seperti gereja, rumah ibadat, masjid, dan kuil-kuil, dan keterlibatan
dalam praktek-praktek agama seperti membaca kitab suci, ibadah, dan doa.
Perilaku menyontek merupakan perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai
dengan norma atau aturan yang berlaku. Hal ini tidak sesuai dengan salah satu dari
fungsi agama menurut Jalaluddin (1997) yaitu berfungsi sebagai kontrol, dimana ajaran
agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga agama dapat berfungsi
sebagai pengawas sosial baik secara individu maupun kelompok.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan uraian kajian teori dari para ahli,
maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara
tingkat religiusitas dengan perilaku menyontek siswa SMK Kelas X T&I Kristen
Salatiga.

10

METODE PENELITIAN
Partisipan
Penelitian ini dilakukan di SMK T&I Kristen Salatiga. Partisipan dalam
penelitian ini adalah Siswa-siswi kelas X (sepuluh) SMK T&I Kristen Salatiga.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas X SMK T&I Kristen Salatiga
yang berjumlah 56 orang.
Prosedur Sampling
Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara teknik purposive sampling,
yaitu pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang
diperlukan. Dari jumlah populasi siswa 56 orang, diambil sampel sebanyak 36 siswasiswi kelas X untuk dijadikan subjek dalam penelitian.
Alat Ukur Penelitian
Dalam penelitian ini, metode pengukuran yang digunakan untuk memperoleh
data informasi adalah angket. Angket dalam penelitian ini berdasarkan skala yang telah
disusun oleh peneliti sebagai berikut :
1. Skala Perilaku Menyontek
Skala perilaku menyontek meliputi bentuk-bentuk perilaku menyontek yang
dikemukakan oleh Hetherington dan Feldman (dalam Bjorklund dan Cwenestam, 1999)
yaitu individualistic-opportunistic, independent-planned, social-active, dan socialpassive. Item dalam skala-skala tersebut dikelompokkan dalam pernyataan favorable

dan unfavorable dengan menggunakan 4 alternatif jawaban dari skala Likert yaitu,
Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS).
Jumlah item yang favorable adalah 12 item dan jumlah item yang unfavorable adalah
12 item. Sehingga seluruhnya berjumlah 24 item. Dari hasil uji daya diskriminasi 24

11

item, tidak ada item yang gugur. 24 item tersebut memiliki koefisien korelasi item total
yang bergerak antara 0,159-0,813 dan didapat nilai Alpha Cronbach sebesar 0,938 yang
artinya skala tersebut reliabel (Azwar, 2012).
2. Skala Religiusitas
Skala

religiusitas

disusun

berdasarkan

aspek-aspek

religiusitas

yang

dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Indriastuti, 2005) yaitu, ritual involvement,
ideological

involvement,

intelectual

involvement,

experiental

involvement,

consequential involvement. Item dalam skala religiusitas dikelompokkan dalam

pernyataan favorable dan unfavorable dengan menggunakan 4 alternatif jawaban dari
skala Likert yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak
Sesuai (STS). Jumlah item yang favorable adalah 12 item dan jumlah item yang
unfavorable adalah 12 item. Sehingga seluruhnya berjumlah 50 item. Dari hasil uji daya

diskriminasi 50 item, tidak ada item yang gugur. 50 item tersebut memiliki koefisien
korelasi item total yang bergerak antara -0,129-0,705 dan didapat nilai Alpha Cronbach
skala religiusitas sebesar 0,893. Hal ini berarti skala religiusitas reliabel (Azwar, 2012).
Teknik Analisa Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisa data uji Pearson Product Moment.
Uji normalitas yang dilakukan adalah uji normalitas Kolmogorov-Smirnov. Uji
liniearitas dilakukan dengan menggunakan anova. Analisa data dalam penelitian ini
menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment.
Uji Linearitas
Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah antara variabel memiliki
hubungan liniear atau tidak. Kemudian nilai Fhitung dibandingkan dengan Ftabel dengan
taraf signifikansi 5%. Variabel dikatakan memiliki hubungan yang linear apabila

12

diperoleh hasil Fhitung > Ftabel atau hubungan dikatakan linear jika harga p beda sama
atau > 0.05 (Hadi, 2004).
Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel memiliki distribusi
normal atau tidak (Gujarati, 2003). Uji normalitas yang akan digunakan pada penelitian
ini adalah uji Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan program SPSS version 21 for
windows.

Uji Hipotesis
Hipotesis diuji dengan menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment,
yang bertujuan untuk mencari derajat hubungan antara variabel bebas (X) dengan
variabel terikat (Y).
Kuatnya korelasi Pearson Product Moment yang dihasilkan dari kedua variabel
dapat dilihat berdasarkan Tabel 1 di bawah ini :
Tabel 1 Koefisien Korelasi
Interval Koefisien

Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199

Sangat Rendah

0,20 – 0,399

Rendah

0,40 – 0,599

Sedang

0,60 – 0,799

Kuat

0,80 – 1,000

Sangat Kuat
Sumber : Sugiyono (2005)

13

HASIL PENELITIAN
Uji Deskriptif
Uji deskriptif yang dilakukan terdiri dari kategori pengukuran Skala Perilaku
Menyontek dan kategori pengukuran Skala Religiusitas. Uji kategori pengukuran Skala
Perilaku Menyontek dan kategori pengukuran Skala Religiusitas dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
1. Perilaku Menyontek
Tabel 1 Perilaku Menyontek
No

Interval

Kategori

1.

x < 51.87

Sangat Rendah

2.

51.88 ≤ x < 60

Rendah

3.

60.1 ≤ x < 68.12

4.

68.13≤ x

N

Presentase (%)

14

38.9

10

27.8

Tinggi

7

19.4

Sangat Tinggi

5

13.9

36

100%

Jumlah

Mean

55.92

SD =12.232 Min =29 Max = 79

Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa terdapat 14 siswa yang memiliki perilaku
menyontek dengan kategori sangat rendah dengan persentase sebesar 38,9%. Terdapat
10 siswa yang memiliki perilaku menyontek dengan kategori rendah dengan persentase
sebesar 27,8%. Terdapat 7 siswa yang memiliki perilaku menyontek dengan kategori
rendah dengan persentase sebesar 19,4%. Terdapat 5 siswa yang memiliki perilaku
menyontek dengan kategori rendah dengan persentase sebesar 13,9%. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa persentase terbesar perilaku menyontek siswa berada pada kategori

14

sangat rendah. Rata-rata skor perilaku menyontek yang diperoleh siswa-siswi adalah
sebesar 55,92,00 berada pada kategori sedang. Skor perilaku menyonyek yang diperoleh
siswa-siswi bergerak dari skor minimum 29 sampai dengan skor maksimum 79 dengan
standar deviasi 12,232.
Tabel 2 Tingkat Religiusitas
No

Interval

Kategori

1.

x < 115

2.

N

Presentase (%)

Sangat Rendah

0

0

115.1 ≤ x < 125

Rendah

0

0

3.

125.1 ≤ x < 135

Tinggi

1

2.8

4.

135.1≤ x

Sangat Tinggi

35

97.2

36

100%

Jumlah

Mean

160.56

SD =13.872 Min =129 Max = 186

Tabel 3 merupakan tingkat sebaran religiusitas responden. Berdasarkan tabel
diatas terlihat bahwa tidak terdapat responden yang memiliki tingkat reigiusitas dengan
kategori sangat rendah, dan rendah. Terdapat 1 responden yang berada pada kategori
tinggi dengan persentase sebesar 2,8%. Dan terdapat 35 responden yang berada pada
kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 97,2%. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa persentase terbesar tingkat religiusitas siswa berada pada kategori sangat tinggi.
Rata-rata skor tingkat religiusitas yang diperoleh siswa-siswi adalah sebesar 160,56 dan
berada pada kategori sedang. Skor tingkat religiusitas yang diperoleh siswa-siswi
bergerak dari skor minimum 129 sampai dengan skor maksimum 186 dengan standar
deviasi 13,872.

15

Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui distribusi atau sebaran data apakah
terdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov menggunakan program SPSS for windows.
Tabel 3 Uji Normalitas
Perilaku_
Menyontek

Religiusitas

36

36

55.92

160.56

12.232

13.872

N
Normal

Mean

Parametersa,b

Std.
Deviation

Most Extreme

Absolute

.100

.097

Differences

Positive

.100

.097

Negative

-.069

-.094

Test Statistic

.100

.097

Asymp. Sig. (2-tailed)

.200c,d

.200c,d

Tabel 4 adalah hasil uji normalitas yang dilakukan untuk mengetahui tingkat
normal sebaran data, data diakatan terdistribusi normal jika memiliki nilai Sig > .05.
Berdasarkan hasil uji diatas terlihat bahwa variabel periliku menyontek memiliki nilai
Sig .200 dan nilai Sig variabel tingkat religiusitas adalah .200 sehingga dapat
disimpulkan bahwa data terdistribusi secara normal.

16

Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui linearitas hubungan antara variabel
bebas yaitu tingkat religiusitas dan variabel terikat yaitu perilaku menyontek serta untuk
mengetahui signifikansi penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut. Hasil uji
linearitas variabel tingkat religiusitas dengan variabel perilaku menyontek memiliki
nilai p = 0.44 atau lebih besar dari 0.05 (p>0.05) dan nilai Fhitung (2.651) < Ftabel
(2.74), sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara variabel adalah terikat
dalam bentuk linear.
Hasil Uji Korelasi
Analisa korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa korelasi
Pearson Product Moment dengan menggunakan aplikasi SPSS for Windows. Uji
korelasi antara tingkat Religiusitas dan Perilaku Menyontek diperoleh hasil sebagai
berikut :
Tabel 4 Uji Korelasi

Menyontek

Pearson Correlation

Menyontek

Religius

1

-.332*

Sig. (2-tailed)

Religius

.048

N

36

36

Pearson Correlation

-.332*

1

Sig. (2-tailed)

.048

N

36

36

17

Berdasarkan hasul uji korelasi Pearson Product Moment pada Tabel 3 diperoleh
korelasi sebesar -.332 dengan signifikansi sebesar 0.048 (p < 0.05). Hal ini menunjukan
bahwa terdapat hubungan negatif antara tingkat religiusitas dengan perilaku menyontek.
Hal ini menunjukan bahwa hubungan antara religiusitas dan perilaku menyontek adalah
berbanding terbalik, dimana semakin tinggi tingkat religiusitas siswa maka semakin
rendah perilaku menyontek siswa, sebaliknya semakin tinggi perilaku menyontek siswa
maka semakin rendah tingkat religiusitas siswa. Nilai koefisen korelasi -.332 juga
menunjukan bahwa tingkat korelasi kedua variabel adalah rendah.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap siswa-siswi SMK T&I Kristen Salatiga
kelas X yang terdiri dari 36 responden tentang hubungan antara tingkat religiusitas dan
perilaku menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif antara religiusitas dengan
perilaku menyontek pada siswa siswi, hal ini terlihat dari uji korelasi dengan nilai nilai
= -.332 dan nilai p = 0.048 < 0.05. Hubungan negatif antara kedua variabel dapat
diartikan dengan semakin tinggi tingkat religiusitas siswa-siswi maka semakin rendah
perilaku menyontek siswa-siswi, dan sebaliknya semakin tinggi perilaku menyontek
siswa maka semakin rendah tingkat religiusitas siswa-siswi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Bloodgood, Turnley, & Mudrack
(2008) yang menunjukkan bahwa

tingkat religiusitas berhubungan negatif dengan

perilaku menyontek, yaitu, semakin rendah tingkat religiusitas siswa, maka semakin
tinggi perilaku menyontek dan sebaliknya. Namun berbanding terbalik dengan
penelitian Pasaribu (2008) yang menunjukan bahawa tidak terdapat hubungan antara
tingkat religiusitas dengan penalaran moral, dalam hal ini termasuk didalamnya perilaku
menyontek.

18

Religiusitas merupakan faktor keyakinan beragama yang mengajarkan setiap
penganut agama untuk berperilaku berdasarkan ajaran-ajaran yang dianut. Setiap agama
mengajarkan bahwa perilaku yang menyimpang seperti tidak jujur, mencuri, atau
perilaku yang dapat merugikan orang lain adalah dosa. Konsep dosa dalam agama
adalah perbuatan yang melanggar hukum Tuhan. Genereux dan McLeod (dalam Vinski
dan Tyron, 2009) mendefinisikan menyontek sebagai upaya siswa untuk mendapatkan
hasil yang diinginkan melalui cara-cara yang dilarang atau tidak sah. Contohnya,
menyalin jawaban ujian dari teman lain dan menggunakan lembar contekan pada saat
ujian berlangsung, definisi tersebut menunjukan bahwa perilaku menyontek merupakan
bagian dari tindakan ketidak jujuran seorang siswa ketika mengikuti ujian. Sehingga
siswa-siswi yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi cenderung berperilaku untuk
menjauhi perbuatan-perbuatan menyontek karena dianggap dosa.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penilitian yang dilakukan terhadap siswa-siswa SMK T&I Kristen Salatiga kelas
X dengan jumlah responden menunjukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara
tingkat religiusitas dengan perilaku menyontek hal ini di tunjukan dengan hasil
koefisien korelasi antara kedua variabel yaitu

= -.332 dan p = 0.048. Artinya,

semakin tinggi tingkat religiusitas maka semakin rendah perilaku menyontek, begitupun
sebaliknya, semakin rendah tingkat religiusitas maka semakin tinggi perilaku
menyontek.

19

Saran
Berdasarkan hasil penilitian yang dilakukan, peneliti mengajukan beberapa
saran:
1. Bagi Siswa
Menyontek merupakan perilaku tidak jujur dalam untuk mendapatkan hasil yang
baik, menyontek sangatlah merugikan diri sendiri. Kesadaran akan kemampuan diri
sendiri dapat ditemukan dengan mengamalkan setiap pengajaran agama.
2. Bagi Fakultas Psikologi
Untuk penelitiaan selanjutnya dapat dilakukan dengan mengetahui seberapa
besar pengaruh religiusitas terhadap perilaku menyontek.

20

Daftar Pustaka
Bjorklund, M., & Cwenestam (1999). Academic Cheating: Frequency, Methods, and
Causes. Finland : Department of Teacher Education.
Bloodgood, J. M., Turnley, W.H., Mudrack, P. 2008. The Influence of Ethics
Instruction Religiosity, and Intelligence on Cheating Behavior. Journal of
Business Ethics, 82 : 557-571.).
Gujarati, Damoar. 2003. Ekonometrika Dasar : Edisi keenam. Jakarta: Erlangga
Hadi, S. 2000. Statistik (Jilid 1). Yogyakarta : Andi Offset.
Indrastuti, M. 2005. Hubungan antara Religiusitas dengan Kecenderungan untuk
Melakukan Hubungan Seksual pada Remaja yang Berpacaran. Skripsi. Salatiga
: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana (tidak diterbitkan).
Jalaluddin (1997). Psikologi agama . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Johnson, B., Jang, S., Larson, D., & Li, S. (2001). Does adolescent religious
commitment matter?: A reexamination of the effects of religiosity on
delinquency. Journal of Research in Crime & Delinquency, 13, 22-44.
Kamus Bahasa Indonesia Online. Online:(www.KamusBahasaIndonesia.org)
McCullough, M.E., dan Willoughby, B.L.B. 2009. Religion, Self Regulation, and SelfControl: Associations, Explanations, and Implications. Psychological Bulletin
American Psychological Association, Vol. 135, No. 1, 69–93.
Pasaribu, A. 2008. Hubungan antara Religiusitas dengan Penalaran Moral pada Remaja
Akhir. VISI. 16(3) 680-696
Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sujana, Y.E., dan Wulan, R. 1994. Hubungan Antara Kecenderungan Pusat Kendali
dengan Intensi Menyontek. Jurnal Psikologi, XXI, 2, Desember, 1-7.
Vinski, E. J. dan Tyron, G. S. 2009. Study of a Cognitive Dissonance Intervention to
Address High School Student’s Cheating Attitudes and Behaviors. Ethic &
Behavior , 19(3), 218-226.
www.kompas.com. Senin, 18 Agustus 2008. Nyontek, Pantang Buat Si Pemberani!