T1 802009023 Full text

PENDAHULUAN
Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagiaan merupakan hasil
dari kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan merupakan tujuan
tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Bagi sebagian besar orang,
kebahagiaan dapat dicapai dengan menjalin hubungan dengan lawan jenis
(heteroseksual). Namun, sebagian orang tertarik menjalin hubungan dengan
sesama jenis atau homoseksual. Homoseksual terbagi menjadi dua, yakni lesbian
dan gay. Lesbian adalah perempuan yang memiliki ketertarikan terhadap sesama
perempuan, sedangkan gay adalah laki-laki yang juga memiliki ketertarikan
terhadap sesama lelaki (Zastrow, dalam Tarigan, 2011).
Di Indonesia yang menganut nilai norma dan budaya yang tinggi, masih
banyak keluarga menutup mata dan telinga saat mengetahui anggota keluarganya
adalah lesbian (Tarigan, 2011). Russell & Joyner (2001) mengatakan bahwa
penolakan yang kuat terhadap kaum lesbian oleh masyarakat terjadi karena kaum
lesbian dianggap melawan agama, moral, etika dan kewajaran dalam kehidupan
masyarakat. Itulah sebabnya kaum lesbian memiliki psychological distress yang
jauh lebih tinggi, jika dibandingkan dengan kaum heteroseksual (King &
McKeown, 2003).
Perlakuan yang menyakitkan yang diterima oleh kaum lesbian adalah
penolakan dan penganiayaan dari keluarga seperti orang tua, saudara, teman
sebaya dan sahabat mereka (Kertzner, Meyer, Frost & Stirratt, 2009). Situasi ini

terkadang membuat kaum lesbian berusaha berpura-pura menjadi heteroseksual
dengan berpacaran dengan laki-laki (Rich, 2003). Menurut Russell & Joyner

1

(2001), hal ini dapat bermuara pada rendahnya psychological well-being pada
lesbian, karena hidup dalam keberpura-puraan adalah cerminan dari tidak dapat
menikmati dan menerima kehidupan dan keadaan diri mereka.
Psychological well-being merupakan pencapaian penuh dari potensi
psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan
dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi
yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu
mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal (Ryff, 1989).
Menurut Kertzner, Meyer, Frost & Stirratt (2009) rendahnya psychological wellbeing yang dimiliki oleh lesbian disebabkan karena kaum lesbian tidak dapat
mengekspresikan dirinya dengan leluasa, mereka juga tidak memiliki keterbukaan
diri atau self-disclosure sebagai lesbian karena penolakan masyarakat, sehingga
mereka takut kalau ada orang lain yang mengetahui orientasi seksual mereka.
Wheeles (dalam Gainau, 2009) menyatakan self-disclosure merupakan
kemampuan seseorang untuk mengungkapkan informasi tentang diri sendiri
kepada orang lain. Pengungkapan informasi tentang diri dapat membantu

pemahaman diri dan memperkuat konsep diri (Lumsden, dalam Gainau, 2009).
Self-disclosure terkait orientasi seksual memiliki pengaruh positif terhadap
psychological well-being pada diri kaum lesbian, sebab dapat mengurangi beban
stres mereka (Smith, 2011).
Penelitian sebelumnya mengungkapkan adanya hubungan antara selfdisclosure dan psychological well-being. Di antaranya adalah penelitian Zea,
Reisen, Poppen, Bianchi & Echeverry (2005) menemukan pengaruh positif self-

2

disclosure HIV status terhadap psychological well-being pada 301 gay dan
biseksual Latino di New York City, Washington DC dan Boston. Smith (2011)
juga menemukan pengaruh positif self-disclosure terkait orientasi seksual
terhadap psychological well-being pada LGBT yang sudah bekerja di Australia.
Meskipun sudah ada penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara
self-disclosure dengan psychological well-being, tetapi penulis tetap tertarik untuk
meneliti kembali. Hal ini dikarenakan, pertama, penelitian terdahulu mengenai
hubungan antar kedua variabel umumnya dilakukan di luar negeri. Oleh karena
itu, ada perbedaan tempat penelitian, serta subjek yang akan diteliti dengan
penelitian sebelumnya. Perbedaannya, penulis memilih tempat di Jawa Tengah
dan subyek kaum Lesbian di Jawa Tengah. Penulis ingin melakukan penelitian di

Jawa Tengah, karena secara mengejutkan fenomena lesbian di Jawa Tengah ibarat
gunung es, bahkan di Surakarta sudah ada wadah komunitas LGBT (Lesbian,
Gay, Biseksual dan Transgender) yang diberi nama Gessang (Suara Merdeka, 03
Desember 2004). Kedua, penulis ingin meneliti kaum lesbian adalah karena kaum
lesbian memiliki psychological distress yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan kaum heteroseksual (King & McKeown, 2003).

TINJAUAN PUSTAKA
Lesbian
Homoseksual terbagi menjadi dua, yakni lesbian dan gay. Lesbian adalah
perempuan yang memiliki ketertarikan terhadap sesama perempuan, sedangkan
gay adalah laki-laki yang juga memiliki ketertarikan terhadap sesama lelaki

3

(Zastrow, dalam Tarigan, 2011). Menurut Supratiknya (dalam Nurkholis, 2013)
lesbi atau lesbian adalah perempuan yang mempunyai orientasi seksual terhadap
perempuan.
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap kaum lesbian
sebagai penyimpangan seksual yang belum berlaku secara umum dan belum dapat

diterima oleh masyarakat (Puspitosari dan Pujileksono, dalam Tarigan, 2011).
Tidak semua lesbian dapat dikenali sejak masa kanak-kanak, tetapi beberapa
karakteristik dapat memberikan dugaan bahwa mereka akan menjadi homoseks, di
antaranya sifat tomboy (Tobing, dalam Tarigan, 2011). Di dalam kelompok
lesbian terdapat semacam label yang muncul karena dasar karakter atau
penampilan yang terlihat pada seorang lesbian yaitu (Tan, dalam Tarigan, 2011):
a. Butch adalah lesbian yang berpenampilan tomboy, kelaki-lakian, lebih suka
berpakaian laki-laki (kemeja laki-laki, celana panjang, dan potongan rambut
sangat pendek).
b. Femme adalah lesbian yang berpenampilan feminim, lembut, layaknya
perempuan heteroseksual biasanya, berpakaian gaun perempuan.
c. Andro atau Androgyne adalah perpaduan penampilan antara butch dan femme.
Lesbian ini bersifat lebih fleksibel, artinya dia bisa saja bergaya tomboy tapi
tidak kehilangan sifat feminimnya, tidak risih berdandan dan mengenakan
make up, menata rambut dengan gaya feminim, dan sebagainya
Berdasarkan beberapa pengertian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
lesbian adalah perempuan yang memiliki ketertarikan secara seksual kepada
sesama jenisnya.

4


Psychologycal Well-Being
Ryff (1989), penggagas teori psychological well-being menjelaskan istilah
psychological well-being sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis
seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan
kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang
positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan
lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Menurut Ryff & Singer (1996)
psychological well-being muncul dari pengembangan perspektif mental masa
kehidupan, yang menekankan tantangan yang berbeda-beda dihadapkan pada
berbagai tahapan siklus kehidupan. Psychological well-being dapat ditandai
dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak adanya gejalagejala depresi (Ryff & Keyes, 1995).
Dapat disimpulkan bahwa psychological well-being adalah pencapaian
penuh potensi psikologis seseorang yang ditandai dengan adanya perasaan
bahagia, mempunyai kepuasan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi ketika
dihadapkan pada berbagai tantangan dalam tahapan siklus kehidupan.
Ryff & Keyes (1995) membuat alat ukur untuk mengukur psychological
well-being yaitu Scales of Psychological Well-Being (SPWB) a short version yang
berisi 18 item. Ryff & Keyes (1995) menyebutkan bahwa dimensi-dimensi untuk
mengukur psychological well-being antara lain:


5

a. Penerimaan diri (self-acceptance)
Seseorang yang psychological wellbeing‐nya tinggi memiliki sikap positif
terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek positif dan
negatif dalam dirinya, dan perasaan positif tentang kehidupan masa lalu.
b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Psychological well‐being seseorang itu tinggi jika mampu bersikap hangat dan

percaya dalam berhubungan dengan orang lain, memiliki empati, afeksi, dan
keintiman yang kuat, memahami pemberian dan penerimaan dalam suatu
hubungan.

c. Kemandirian (autonomy)
Merupakan kemampuan individu dalam mengambil keputusan sendiri dan
mandiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bersikap dengan
cara yang benar, berperilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri,
dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal.
d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Mampu dan berkompetensi mengatur lingkungan, menyusun kontrol yang
kompleks

terhadap

aktivitas

eksternal,

menggunakan

secara

efektif

kesempatan dalam lingkungan, mampu memilih dan menciptakan konteks
yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai individu itu sendiri.
e. Tujuan hidup (purpose in life)
Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya keterarahan
dalam hidup dan percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan makna.


6

f. Perkembangan pribadi (personal growth)
Merupakan perasaan mampu dalam melalui tahap‐tahap perkembangan,
terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi yang ada dalam dirinya,
melakukan perbaikan dalam hidupnya setiap waktu.
Ryff (dalam Liwarti, 2013) mengemukakan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi psychological well-being seseorang, yaitu:
a. Usia
Ryff (dalam Liwarti, 2013) menyatakan bahwa usia menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi psychological well-being pada aspek penerimaan diri,
otonomi, penguasaan lingkungan dan hubungan baik dengan orang lain.
Terdapat peningkatan psychological well-being pada usia yang semakin
dewasa.
b. Tingkat pendidikan
Ryff, Magee, Kling & Wling (dalam Liwarti, 2013), menyatakan tingkat
pendidikan, salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being.
Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik, maka pengenalan
lingkungan lebih baik dan psychological well-being juga lebih baik.

c. Jenis kelamin
Ryff dan Singer (1996), menyatakan perbedaan jenis kelamin memberikan
pengaruh pada psychological well-being seseorang dimana wanita cenderung
memiliki psychological well-being lebih tinggi dibanding dengan laki-laki.
Hal ini berkaitan dengan aktifitas sosial yang dilakukan.

7

d. Status sosial ekonomi
Ryff (dalam Liwarti, 2013), menyatakan bahwa faktor status sosial ekonomi
menjadi sangat penting dalam peningkatan psychological well-being, bahwa
tingkat keberhasilan dalam pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik,
menunjukkan tingkat psychological well-being juga lebih baik.
e. Dukungan sosial
An dan Cooney (dalam Liwarti, 2013), menyatakan bahwa bimbingan dan
arahan dari orang lain memiliki peran yang penting pada psychological wellbeing.
f. Kepribadian
Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti
penerimaan diri dan keterbukaan diri mampu menjalin hubungan yang
harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung terhindar

dari konflik dan stres (Ryff, 1995).
g. Spiritualitas
Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup. Wink dan
Dillon (dalam Liwarti, 2013), menyatakan bahwa spiritualitas berkaitan
dengan psychological well-being terutama pada aspek pertumbuhan pribadi
dan hubungan positif dengan orang lain.

Self-disclosure Sebagai Seorang Lesbian
Wheeles (dalam Gainau, 2009) menyatakan self-disclosure merupakan
kemampuan seseorang untuk mengungkapkan informasi tentang diri sendiri

8

kepada orang lain. Self-disclosure adalah tipe khusus dari percakapan di mana kita
berbagi informasi dan perasaan pribadi dengan orang lain (Taylor, Pepplau &
Sears, 2009). Menurut Johnson (dalam Supratiknya, 1995), self-disclosure adalah
mengungkapkan reaksi atau tanggapan individu terhadap situasi yang sedang
dihadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang
berguna untuk memahami tanggapan individu itu di masa kini tersebut.
Person (dalam Gainau, 2009) mengartikan self-disclosure sebagai tindakan

seseorang dalam memberikan informasi yang bersifat pribadi pada orang lain
secara sukarela dan disengaja untuk maksud memberi informasi yang akurat
tentang dirinya. Calhoun dalam (dalam Gainau, 2009) mengungkapkan tiga
manfaat self-disclosure yaitu: (1) keterbukaan diri mempererat kasih sayang, (2)
dapat melepaskan perasaan bersalah dan kecemasan; dan (3) menjadi sarana
eksistensi manusia yang selalu membutuhkan wadah untuk bercerita.
Lesbian adalah perempuan yang memiliki ketertarikan terhadap sesama
perempuan (Zastrow, dalam Tarigan, 2011). Menurut Kertzner, Meyer, Frost &
Stirratt (2009) kaum lesbian seringkali tidak memiliki keterbukaan diri atau selfdisclosure sebagai lesbian karena penolakan masyarakat, sehingga mereka merasa
takut kalau ada orang lain yang mengetahui orientasi seksual mereka. Russell &
Joyner (2001) mengatakan bahwa penolakan yang kuat terhadap kaum lesbian
oleh masyarakat terjadi karena kaum lesbian dianggap melawan agama, moral,
etika dan kewajaran dalam kehidupan masyarakat. Penolakan dan marginalitas
dari lingkungan sekitar dan lingkup luas membuat kaum lesbian terhimpit rasa

9

takut, ragu, bahkan malu untuk menunjukkan identitas seksual mereka yang
sebenarnya (Tarigan, 2011).
Berdasarkan beberapa pengertian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
self-disclosure sebagai seorang lesbian adalah pengungkapan seorang lesbian
terhadap situasi yang sedang dihadapi kepada orang lain sebagai sarana berbagi
informasi dan perasaan pribadi dengan orang lain mengenai orientasi seksualnya
yang memiliki ketertarikan terhadap sesama perempuan.
Wheeless (dalam Ables, 2013) membuat alat ukur untuk mengukur selfdisclosure yaitu The Revised Self-Disclosure Scale yang berisi 32 item. Wheeless,
(dalam Ables, 2013) menyatakan dimensi-dimensi untuk mengukur Selfdisclosure, yaitu:
1. Intended Disclosure
Kemauan dari individu untuk melakukan pengungkapan diri. Seluas apa
individu mengungkapkan tentang apa yang ingin diungkapkan, seberapa besar
kesadaran individu untuk mengontrol informasi-informasi yang akan dikatakan
pada orang lain.
2. Amount
Frekuensi dan durasi pesan yang bersifat pengungkapan. Kuantitas dari
pengungkapan diri dapat diukur dengan mengetahui frekuensi dengan siapa
individu mengungkapkan diri dan durasi dari pesan self-disclosing atau waktu
yang diperlukan untuk mengutarakan statemen self-disclosure individu tersebut
terhadap orang lain.

10

3. Positive/Negativeness
Berfokus pada apakah isi dari pengungkapan dianggap merefleksikan secara
positif atau negatif terhadap individu yang mengungkapkan dirinya. Individu
dapat menyingkapkan diri mengenai hal-hal yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan mengenai dirinya, memuji hal-hal yang ada dalam dirinya atau
menjelek-jelekkan diri individu sendiri.
4. Control of Depth
Sejauh mana individu dapat mengontrol kedalaman atau keintiman apa yang
diungkapkan. Individu dapat mengungkapkan detail yang paling intim dari
hidupnya, hal-hal yang dirasa sebagai periperal atau impersonal atau hal yang
hanya bohong.
5. Honesty/accuracy
Ketepatan dan kejujuran individu dalam mengungkapkan diri. Ketepatan dari
pengungkapan diri individu dibatasi oleh tingkat dimana individu mengetahui
dirinya sendiri. Self-disclosure dapat berbeda dalam hal kejujuran. Individu
dapat saja jujur secara total atau dilebih-lebihkan, melewatkan bagian penting
atau berbohong.
Ada beberapa efek self-disclosure antara lain (Gainau, 2009):
1. Mengenal diri sendiri
Seseorang yang memiliki self-disclosure tinggi dapat lebih mengenal diri
sendiri, ia mampu mengungkapkan dirinya sehingga ia dapat memperoleh
gambaran baru tentang dirinya, dan mengerti lebih dalam perilakunya.

11

2. Adanya kemampuan menanggulangi masalah
Seseorang yang memiliki self-disclosure tinggi dapat mengatasi masalah,
karena ia memiliki dukungan, sehingga mampu menyelesaikan atau
mengurangi bahkan menghilangkan masalahnya.
3. Mengurangi Beban
Seseorang yang memiliki self-disclosure rendah akan lebih cenderung
menyimpan masalahnya dan tidak mengungkapkannya kepada orang lain,
maka akan terasa berat sekali memikul masalahnya. Seseorang yang memiliki
self-disclosure tinggi memiliki keterbukaan diri kepada orang lain atas
masalahnya, sehingga ia akan merasa ringan beban masalah yang dihadapinya.

Kerangka Berpikir
Psychological well-being merupakan pencapaian penuh dari potensi
psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan
dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi
yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu
mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal (Ryff, 1989).
Psychological well-being dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan,
kepuasaan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff & Keyes, 1995).
Salah satu faktor yang memengaruhi psychological well-being adalah kepribadian
(Ryff, dalam Liwarti, 2013). Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi
dan sosial, seperti penerimaan diri dan keterbukaan diri mampu menjalin
hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung

12

terhindar dari konflik dan stres (Ryff, 1995). Hal tersebut berarti keterbukaan diri
atau self-disclosure dapat memengaruhi psychological well-being seseorang.
Person (dalam Gainau, 2009) mengartikan self-disclosure sebagai
tindakan seseorang dalam memberikan informasi yang bersifat pribadi pada orang
lain secara sukarela dan disengaja untuk maksud memberi informasi yang akurat
tentang dirinya. Seseorang yang memiliki self-disclosure tinggi dapat mengatasi
masalah, karena ia memiliki dukungan, sehingga mampu menyelesaikan atau
mengurangi bahkan menghilangkan masalahnya (Gainau, 2009). Hal tersebut
berarti self-disclosure dapat meningkatkan psychological well-being seseorang,
karena individu dapat mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain
melalui self-disclosure, sebab ia akan merasa ringan beban masalah yang
dihadapinya dengan mendapatkan dukungan dari orang lain dan memahami
dirinya sendiri.
Menurut

Kertzner,

Meyer,

Frost

&

Stirratt

(2009)

rendahnya

psychological well-being yang dimiliki oleh lesbian disebabkan karena kaum
lesbian tidak dapat mengekspresikan dirinya dengan leluasa, mereka juga tidak
memiliki keterbukaan diri atau self-disclosure sebagai lesbian karena penolakan
masyarakat, sehingga mereka merasa takut kalau ada orang lain yang mengetahui
orientasi seksual mereka. Self-disclosure terkait orientasi seksual memiliki
pengaruh positif terhadap psychological well-being pada diri kaum lesbian, sebab
dapat mengurangi beban stress mereka (Smith, 2011). Penelitian Zea, Reisen,
Poppen, Bianchi & Echeverry (2005) menemukan pengaruh positif self-disclosure
HIV status terhadap psychological well-being pada 301 Latino gay dan bisexual di

13

New York City, Washington DC dan Boston. Penelitian Smith (2011) juga
menemukan pengaruh positif self-disclosure terkait orientasi seksual terhadap
psychological well-being pada LGBT yang sudah bekerja di Australia.
Fenomena yang terjadi di Indonesia, wanita lesbian di Indonesia biasanya
merahasiakan perilaku mereka (UNDP & USAID, 2013). Sebagian besar
masyarakat Indonesia masih menganggap lesbian sebagai penyimpangan seksual
yang belum berlaku secara umum dan belum dapat diterima oleh masyarakat
(Puspitosari dan Pujileksono, dalam Tarigan, 2011). Pandangan dan keinginan
orang tua, yang menginginkan anak berkelakuan ‟normal‟, menjadi salah satu
faktor mereka menutup diri (Pontororing, 2012). Penerimaan oleh pihak keluarga

dibatasi oleh tekanan budaya yang kuat untuk menikah secara heteroseksual dan
mendirikan keluarga, demikian juga pengaruh dari agama (UNDP & USAID,
2013). Penolakan dan marginalitas dari lingkungan sekitar dan lingkup luas
membuat kaum lesbian terhimpit rasa takut, ragu, bahkan malu untuk
menunjukkan identitas seksual mereka yang sebenarnya (Tarigan, 2011).
Berdasarkan paparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa individu
yang memiliki self-disclosure sebagai seorang lesbian yang tinggi ialah individu
yang mampu melakukan keterbukaan diri terhadap orang lain, individu tersebut
cenderung terhindar dari stres, sebab ia akan merasa ringan beban yang
dihadapinya dengan mendapatkan dukungan dari orang lain dan memahami
dirinya, sehingga dapat memiliki psychological well-being yang tinggi. Fenomena
yang terjadi di Indonesia, lesbian di Indonesia biasanya merahasiakan perilaku
mereka, sebab sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap lesbian

14

sebagai penyimpangan seksual yang belum berlaku secara umum dan belum dapat
diterima oleh masyarakat.

Hipotesis
Berdasarkan teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hipotesis yang
diuji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ho : rxy ≤ 0, maka tidak terdapat hubungan positif dan signifikan antara selfdisclosure sebagai seorang lesbian dengan psychological well-being
pada kaum lesbian di Jawa Tengah.
H1

: rxy > 0, maka terdapat hubungan positif dan signifikan antara selfdisclosure sebagai seorang lesbian dengan psychological well-being
pada kaum lesbian di Jawa Tengah.

METODE PENELITIAN
Partisipan
Penelitian ini dilakukan di Propinsi Jawa Tengah. Partisipan dalam
penelitian ini adalah kaum lesbian di Jawa Tengah. Populasi dalam penelitian ini
adalah kaum lesbian yang tinggal di Jawa Tengah yang jumlahnya tidak diketahui
secara pasti.

Prosedur Sampling
Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampling incidental.
Alasan penulis menggunakan teknik sampling insidental adalah karena jumlah

15

populasi subjek yang tidak diketahui secara pasti. Karena jumlah populasi tidak
diketahui secara pasti, maka penulis menggunakan rumus berikut untuk
menentukan jumlah sampel (Arikunto, 2010):
2

� ∝⁄
�=[
]


,96 2
�=[
]
,
� = 96, 4

Berdasarkan perhitungan sebelumnya, dapat diketahui besarnya sampel

dalam penelitian ini adalah 96 responden lesbian yang tinggal di Jawa Tengah.
Melalui teknik sampling incidental, penulis akan menemui subjek-subjek yang
diindikasi memiliki orientasi seksual lesbian di Jawa Tengah.

Pengukuran
Dalam penelitian ini, metode pengukuran yang digunakan untuk
memperoleh data informasi adalah angket. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan try out terpakai, yaitu subjek yang digunakan untuk try out
sekaligus digunakan untuk penelitian, guna menghemat waktu tenaga dan biaya.
Angket dalam penelitian ini berdasarkan skala yang telah disusun oleh
peneliti sebagai berikut :
1. Skala Psychological Well-Being
Skala Psychological Well-Being berdasarkan dimensi psychological wellbeing yang dikemukakan oleh Ryff & Keyes (1995), yaitu: penerimaan diri
(self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with

16

others), kemandirian (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental
mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan perkembangan pribadi (personal
growth). Variabel psychological well-being diukur menggunakan skala yang
diadaptasi dari Ryff & Keyes (1995) yaitu Scales of Psychological Well-Being
(SPWB) a short version yang berisi 18 item. Alat ukur telah diuji dengan
korelasi antar item berkisar 0,70 sampai 0,89 (Ryff & Keyes, 1995). Alternatif
pilihan jawaban untuk setiap item Skala Psychological Well-Being yang
tersedia, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), serta Sangat
Tidak Setuju (STS). Adapun skoring Skala Psychological Well-Being untuk
favourable adalah: satu (1) untuk Sangat Tidak Setuju (STS), dua (2) Tidak
Setuju (TS), tiga (3) untuk Setuju (S), dan empat (4) untuk Sangat Setuju (SS).
Sebaliknya untuk unfavourable adalah: empat (4) untuk Sangat Tidak Setuju
(STS), tiga (3) untuk Tidak Setuju (TS), dua (2) untuk Setuju (S), dan satu (1)
untuk Sangat Setuju (SS).
Pada uji daya diskriminasi item angket psychological well-being putaran
pertama, korelasi antar butir skor bergerak antara 0,207 sampai 0,519, dari 18
item terdapat 14 item yang memiliki daya beda ≥ 0,30 dan 4 item yang
memiliki daya beda < 0,30. Pada uji daya diskriminasi item putaran kedua,
setelah item gugur dibuang, korelasi antar butir skor bergerak antara 0,311
sampai 0,539, terdapat 14 item yang memiliki yang memiliki daya beda ≥
0,30. Berdasarkan hasil uji reliabilitas, angket psychological well-being adalah
reliabel dengan koefisien reliabilitas yaitu 0,807.

17

2. Skala Self-Disclosure (Sebagai Seorang Lesbian)
Skala Self-Disclosure berasal dari dimensi yang dikemukakan oleh Ables
(2013), yaitu: intended disclosure, amount, positive/negativeness, control of
depth dan honesty/accuracy. Variabel self-disclosure diukur menggunakan
skala yang diadaptasi dari Wheeless (dalam Ables, 2013) yaitu The Revised
Self-Disclosure Scale yang berisi 32 item, alat ukur ini dimodifikasi peneliti
dengan menambahkan kata “sebagai lesbian”. Alat ukur sudah pernah diuji
dengan realibiltas intended disclosure α = 0,90, amount α = 0,76,
positive/negativeness α = 0,78, control of depth α = 0,89 dan honesty/accuracy
α = 0,77 (Ables, 2013). Alternatif pilihan jawaban untuk setiap item Skala
Self-Disclosure yang tersedia, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak
Setuju (TS), serta Sangat Tidak Setuju (STS). Adapun skoring Skala SelfDisclosure untuk favourable adalah: satu (1) untuk Sangat Tidak Setuju
(STS), dua (2) Tidak Setuju (TS), tiga (3) untuk Setuju (S), dan empat (4)
untuk Sangat Setuju (SS). Sebaliknya untuk unfavourable adalah: empat (4)
untuk Sangat Tidak Setuju (STS), tiga (3) untuk Tidak Setuju (TS), dua (2)
untuk Setuju (S), dan satu (1) untuk Sangat Setuju (SS).
Pada uji daya diskriminasi item angket self-disclosure putaran pertama,
korelasi antar butir skor bergerak antara 0,149 sampai 0,586, dari 32 item
terdapat 23 item yang memiliki daya beda ≥ 0,30 dan 9 item yang memiliki
daya beda < 0,30. Pada uji daya diskriminasi item putaran kedua, setelah item
gugur dibuang, korelasi antar butir skor bergerak antara 0,301 sampai 0,579,
terdapat 23 item yang memiliki memiliki daya beda ≥ 0,30. Berdasarkan hasil

18

uji reliabilitas, maka angket self-disclosure adalah reliabel dengan koefisien
reliabilitas yaitu 0,872.
Tabel 1
Hasil Perhitungan Realibilitas Angket
No
Instrumen
Koefisien Reliabilitas
1
Angket psychological well-being
0,807
2
Angket self-disclosure
0,872

Teknik Analisa Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisa data uji korelasi Pearson
Product Moment. Uji asumsi meliputi uji normalitas dan uji linieritas bertujuan
untuk mengetahui apakah data yang telah memenuhi asumsi analisis sebagai
syarat untuk melakukan analisis dengan uji korelasi Pearson Product Moment. Uji
Normalitas yang digunakan adalah uji normalitas Kolmogorov-Smirnov. Uji
linieritas dilakukan dengan menggunakan anova. Analisis data dalam penelitian
ini menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment.

HASIL PENELITIAN
Pengambilan Data
Dalam penelitian ini digunakan jumlah sampel sebanyak 96 responden
lesbian. Penelitian ini dilakukan dengan cara membagi angket pada responden
yaitu lesbian yang berada di sejumlah Kota di Jawa Tengah. Dalam hal
penyebaran angket, peneliti telah mengenal beberapa komunitas Lesbian di
sejumlah Kota di Jawa Tengah yang tergabung dalam Komunitas SepociKopi,
yaitu: Salatiga, Solo, Ambarawa, Ungaran, Semarang yang biasanya berkumpul
tiap sabtu dan minggu menghabiskan waktunya nongkrong di kafe-kafe tertentu di

19

kotanya masing-masing. Peneliti juga mendatangi tempat tinggal, kos atau
kontrakan mereka, peneliti dapat mengetahui tempat tinggal mereka karena
peneliti telah mengenal mereka sebelumnya. Hal tersebut memudahkan peneliti
untuk mengambil data responden dengan mengadakan janji pertemuan
sebelumnya.
Penyebaran angket dilakukan sebanyak lima (5) kali. Pada tanggal 15
November 2014 peneliti menyebar angket sebanyak 27 angket di Salatiga, dan
angket kembali sebanyak 27 angket. Pada tanggal 16 November 2014 peneliti
menyebar angket sebanyak 10 angket di Ambarawa dan angket kembali sebanyak
10 angket. Pada tanggal 23 November 2014 peneliti menyebar angket sebanyak
15 angket di Solo, dan angket kembali sebanyak 15 angket. Pada tanggal 29
November 2014 peneliti menyebar angket sebanyak 14 angket di Ungaran, dan
angket kembali sebanyak 14 angket. Pada tanggal 30 November 2014 peneliti
menyebar angket sebanyak 30 angket di Semarang, dan angket kembali sebanyak
30 angket. Maka angket yang digunakan untuk olah data dalam penelitian ini yaitu
sebanyak 96 angket.

Hasil Uji Asumsi
Hasil Uji Normalitas
Dalam penelitian ini uji normalitas menggunakan uji normalitas
Kolmogorov-Smirnov. Data berdistribusi normal, jika signifikansi (Sig) > 0,05.

20

Tabel 2
Hasil Uji Normalitas
Psychological Well-being
N
Normal

Parametersa

Most Extreme Differences

Self-Disclosure

96

96

Mean

38.06

59.42

Std. Deviation

6.293

9.988

Absolute

.100

.074

Positive

.053

.041

Negative

-.100

-.074

Kolmogorov-Smirnov Z

.981

.730

Asymp. Sig. (2-tailed)

.291

.661

a. Test distribution is Normal.

Berdasarkan hasil pengujian normalitas pada Tabel 4, kedua variabel
memiliki signifikansi lebih besar dari 0,05 (> 0,05). Variabel psychological wellbeing memiliki nilai K-S Z sebesar 0,981 dengan signifikansi sebesar 0,291.
Variabel self-disclosure memiliki nilai K-S Z sebesar 0,730 dengan signifikasi
sebesar 0,661. Dengan demikian variabel psychological well-being dan variabel
self-disclosure memiliki distribusi yang normal karena p > 0,05.

Hasil Uji Linieritas
Uji linieritas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan
SPSS 16.0, hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3
Hasil Uji Linieritas
Sum of
Squares
Psychological Between Groups
Well-being *
Self-Disclosure

(Combined)
Linearity

1716.968
609.540

Deviation from
Linearity

Mean
Square

df
37

Sig.

46.405 1.316

.171

1 609.540 17.291

.000

1107.428

36

30.762

Within Groups

2044.657

58

35.253

Total

3761.625

95

21

F

.873

.665

Berdasarkan hasil uji linearitas, maka dapat diketahui bahwa variabel selfdisclosure dan variabel psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa
Tengah diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,873 dengan signifikansi p = 0,665 (p >
0,05) yang menunjukkan hubungan antara variabel self-disclosure dan variabel
psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah adalah linier.

Hasil Deskriptif
a. Psychological well-being
Tabel 4
Kategorisasi Skala Psychological Well-Being
No
Interval
Kategori
Mean
N
Prosentase
1.
47,6 ≤ x ≤ 56
Sangat Tinggi
5
5,2 %
2.
39,2 ≤ x < 47,6
Tinggi
41
42,7 %
3.
30,8 ≤ x < 39,2
Sedang
38,06
41
42,7 %
4.
22,4 ≤ x < 30,8
Rendah
7
7,3 %
5.
14 ≤ x < 22,4
Sangat Rendah
2
2,1 %
Total
96
100%
Standar Deviasi = 6,293 Skor Minimum = 18 Skor Maksimum = 50
Keterangan : x = Skor psychological well-being; N = Jumlah Subjek.

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa 5 lesbian memiliki skor
psychological well-being yang berada pada kategori sangat tinggi dengan
prosentase 5,2 %, 41 lesbian memiliki skor psychological well-being yang
berada pada kategori tinggi dengan prosentase 42,7 %, 41 lesbian memiliki
skor psychological well-being yang berada pada kategori sedang dengan
prosentase 42.7 %, 7 lesbian memiliki skor psychological well-being yang
berada pada kategori rendah dengan prosentase 7,3 %, 2 lesbian memiliki skor
psychological well-being yang berada pada kategori sangat rendah dengan
prosentase 2,1 %. Rata-rata skor psychological well-being yang diperoleh
22

lesbian sebesar 38,06 berada pada kategori sedang. Skor psychological wellbeing yang diperoleh lesbian bergerak dari skor minimum sebesar 18 sampai
dengan skor maksimum sebesar 50 dengan standar deviasi 6,293.
b. Self-disclosure
Tabel 5
Kategorisasi Skala Self-Disclosure
No
Interval
Kategori
Mean
N
Prosentase
1.
78,2 ≤ x ≤ 92
Sangat Tinggi
3
3,1 %
2.
64,4 ≤ x < 78,2
Tinggi
28
29,2 %
3.
50,6 ≤ x < 64,4
Sedang
59,42
45
46,9 %
4.
36,8 ≤ x < 50,6
Rendah
19
19,8 %
5.
23 ≤ x < 36,8
Sangat Rendah
1
1%
Total
188
100%
Standar Deviasi = 9,988 Skor Minimum = 36 Skor Maksimum = 81
Keterangan : x = Skor self-disclosure; N = Jumlah Subjek.

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa 3 lesbian memiliki skor selfdisclosure yang berada pada kategori sangat tinggi dengan prosentase 3,1 %,
28 lesbian memiliki skor self-disclosure yang berada pada kategori tinggi
dengan prosentase 29,2 %, 45 lesbian memiliki skor self-disclosure yang
berada pada kategori sedang dengan prosentase 46,9 %, 19 lesbian memiliki
skor self-disclosure yang berada pada kategori rendah dengan prosentase 19,8
%, 1 lesbian memiliki skor self-disclosure yang berada pada kategori sangat
rendah dengan prosentase 1 %. Rata-rata skor self-disclosure yang diperoleh
lesbian sebesar 59,42 berada pada kategori sedang. Skor self-disclosure yang
diperoleh lesbian bergerak dari skor minimum sebesar 36 sampai dengan skor
maksimum sebesar 81 dengan standar deviasi 9,988.

23

Hasil Uji Korelasi
Dalam penelitian ini uji korelasi antara variabel self-disclosure dan
variabel psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah dilakukan
dengan bantuan SPSS 16.0. Hasil uji korelasi antara variabel self-disclosure dan
variabel psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah dalam
penelitian ini dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6
Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment
Psychological Well-being Self-Disclosure
Psychological Well-being

Pearson Correlation

1

Sig. (1-tailed)

.000

N
Self-Disclosure

.403**

Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)

96

96

.403**

1

.000

N

96

96

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson Product Moment pada Tabel 8
diperoleh korelasi sebesar 0,403 dengan signifikansi sebesar 0,000 pada tingkat
taraf kepercayaan sebesar 0,01 atau 99%. Dari hasil perhitungan uji korelasi
diperoleh signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01), maka H1 diterima. Artinya
terdapat hubungan signifikan antara self-disclosure dengan psychological wellbeing pada kaum lesbian di Jawa Tengah. Hubungan ini ditunjukkan dengan nilai
korelasi positif sebesar 0,403.

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan koefisien korelasi (r) sebesar
0,403 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01). Hal tersebut menunjukkan

24

bahwa

ada

hubungan

positif

signifikan

antara

self-disclosure

dengan

psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah. Artinya semakin
tinggi self-disclosure, maka akan semakin tinggi psychological well-being pada
kaum lesbian di Jawa Tengah. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah selfdisclosure, maka akan semakin rendah psychological well-being pada kaum
lesbian di Jawa Tengah. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya
yaitu penelitian dari Smith (2011) yang menemukan pengaruh positif selfdisclosure terkait orientasi seksual terhadap psychological well-being pada LGBT
yang sudah bekerja di Australia.
Ada kemungkinan yang menyebabkan hubungan positif signifikan antara
psychological well-being dengan self-disclosure pada kaum lesbian di Jawa
Tengah terkait dengan efek self-disclosure yang diungkapkan oleh Gainau (2009).
Pertama, mengenal diri sendiri. Pengungkapan informasi tentang diri dapat
membantu pemahaman diri dan memperkuat konsep diri (Lumsden, dalam
Gainau, 2009). Hal tersebut berarti self-disclosure dapat meningkatkan
psychological well-being lesbian, karena ia dapat memahami dan menerima
dirinya sendiri. Ryff & Keyes (1995) menyatakan seseorang yang psychological
wellbeing‐nya tinggi memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan
menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya, dan perasaan positif
tentang kehidupan masa lalu. Kedua, adanya kemampuan menanggulangi
masalah. Seseorang yang memiliki self-disclosure tinggi dapat mengatasi
masalah, karena ia memiliki dukungan, sehingga mampu menyelesaikan atau
mengurangi bahkan menghilangkan masalahnya (Gainau, 2009). Hal tersebut

25

berarti self-disclosure dapat meningkatkan psychological well-being lesbian,
karena ia dapat mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain melalui
self-disclosure, sebab ia akan mampu menyelesaikan atau mengurangi bahkan
menghilangkan masalahnya dengan mendapatkan dukungan dari orang lain.
Ketiga, mengurangi beban. Seseorang yang memiliki self-disclosure tinggi
memiliki keterbukaan diri kepada orang lain atas masalahnya, sehingga ia akan
merasa ringan beban masalah yang dihadapinya (Gainau, 2009). Hal tersebut
berarti self-disclosure terkait orientasi seksual memiliki pengaruh positif terhadap
psychological well-being pada diri kaum lesbian, sebab dapat mengurangi beban
stres mereka (Smith, 2011). Ryff & Keyes (1995) menyatakan psychological wellbeing dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan
tidak adanya gejala-gejala depresi.
Selain itu, kemungkinan yang menyebabkan hubungan positif signifikan
antara self-disclosure dengan psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa
Tengah dapat dilihat dari dinamika hasil penelitian ini yaitu rata-rata skor
psychological well-being yang diperoleh kaum lesbian di Jawa Tengah sebesar
38,06 berada pada kategori sedang, sedangkan rata-rata self-disclosure yang
diperoleh kaum lesbian di Jawa Tengah sebesar 59,42 berada pada kategori
sedang.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka didapatkan koefisien determinan
(r2) sebesar (0,403)2 yaitu 16,24 %, artinya kontribusi self-disclosure terhadap
psychological well-being sebesar 16,24 %, dan berarti masih terdapat 83,76 %
variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi psychological well-being kaum

26

lesbian di Jawa Tengah selain self-disclosure, seperti diungkapkan oleh Liwarti
(2013) yaitu: usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, status sosial ekonomi,
dukungan sosial, kepribadian, dan spiritualitas.

SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Ada hubungan positif signifikan antara self-disclosure dengan psychological
well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah. Artinya semakin tinggi selfdisclosure, maka akan semakin tinggi psychological well-being pada kaum
lesbian di Jawa Tengah. Begitu juga sebaliknya.
2. Self-disclosure

memberikan

kontribusi

sebesar

16,24

%

terhadap

psychological well-being dan berarti masih terdapat 83,76 % variabel-variabel
lain yang mempengaruhi psychological well-being.
Saran yang dapat diajukan peneliti berdasarkan hasil penelitian ini adalah :
1. Bagi lesbian
Self-disclosure memberikan kontribusi terhadap psychological well-being.
Oleh sebab itu diharapkan bagi lesbian agar lebih terbuka dalam
mengungkapkan jati dirinya terhadap orang-orang terdekatnya, sehingga
psychological well-being dirinya dapat meningkat.
2. Bagi pihak keluarga

27

Orang tua baik ayah maupun ibu diharapkan mampu membangun komunikasi
yang baik dengan anak, sehingga anak dapat memiliki keterbukaan diri (selfdisclosure) sebagai lesbian dan meningkatkan psychological well-being.
3. Untuk penelitian selanjutnya
Bagi peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian lebih lanjut tentang selfdisclosure dan psychological well-being pada kaum lesbian, maka disarankan
untuk menyertakan variabel-variabel lain, seperti misalnya: usia, tingkat
pendidikan, status sosial ekonomi, dukungan sosial, kepribadian, dan
spiritualitas.

28

DAFTAR PUSTAKA
Ables, J. L. (2013). Status, Likes and Pokes: Self-disclosure and Motivations for
Using Facebook. Thesis. Baylor University, Texas: Baylor Electronically
Accessible Research Documents.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Gainau, M. B. (2009). Keterbukaan Diri (Self-Disclosure) Siswa Dalam
Perspektif Budaya Dan Implikasinya Bagi Konseling. Jurnal Ilmiah Widya
Warta. Volume 33, Nomor 1. Surabaya: Puslit Petra. p. 95-112.
Kertzner, R.M., Meyer, I.H., Frost, D.M., & Stirratt, M.J. (2009). Social and
Psychological Well-Being in Lesbians, Gay Men, and Bisexuals: The
Effects of Race, Gender, Age, and Sexual Identity. American Journal of
Orthopsychiatry. Volume 79, Nomor 4. American Psychological
Association. p. 500-510.
King, M & Mckeown, E. (2003). Mental Health And Social Wellbeing of Gay
Men, Lesbians And Bisexuals In England And Wales: A Summary Of
Findings. London: Mind (National Association for Mental Health).
Liwarti. (2013). Hubungan Pengalaman Spiritual Dengan Psychological Well
Being Pada Penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Sains Dan Praktik
Psikologi. Volume I, No 1. Malang: Magister Psikologi UMM. p. 77 – 88.
Nurkholis. (2013). Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Lesbian Dan Kondisi
Psikologisnya. Jurnal Online Psikologi. Volume 01 Nomor 01. Malang:
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. p. 174-186.
Pontororing, M. Kaum Lesbian di Kota Manado. Skripsi (Tidak diterbitkan).
Manado:
FISIP
Universitas
Sam
Ratulangi.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/holistik/article/download/1235/1003.
Russell, S.T & Joyner K. (2001). Adolescent Sexual Orientation And Suicide
Risk: Evidence From A National Study. American Journal of
Public Health. Volume 91, Nomor 8. American Public Health Association.
p. 1276-1281.
Rich, A.C. (2003). Compulsory Heterosexuality and Lesbian Existence. Journal
of Women's History. Volume 15, Nomor 3. The Johns Hopkins University
Press. p. 11-48.

29

Ryff, C. D. (1989). Happiness is Everything, or is It? Explorations on The
Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social
Psychology. Volume 57. American Psychological Association. p 10691081.
Ryff, C. D. & Keyes, C.L.M. (1995). The Structure of Psychological Well-Being
Revisited. Journal of Personality and Social Psychology. Volume 69,
Nomor 4. American Psychological Association. p. 719-727.
Ryff, C. D., & Singer, B. (1996). Psychological well-being: Meaning,
measurement, and implications for psychotherapy research. Psychotherapy
and Psychosomatics Journal. International Federation for Medical
Psychotherapy, Blackwell Publishing. Volume 65. p. 14-23.
Smith, I. (2011). Sexual Orientation Disclosure, Concealment and the Effects of
Heterosexism. Paper Submission for SBS HDR Conference 2011. New
South Wales, Australia: University of Wollongong Research Online.
Suara Merdeka. (03 Desember 2004). Komunitas Gay, Waria, dan Lesbian di
Solo. http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/03/slo02.htm.
Supratiknya, A. (1995). Komunikasi Antar Pribadi: Tinjauan Psikologis.
Yogyakarta: Kanisius.
Tarigan, M. (2011). Komunikasi Interpersonal Kaum Lesbian Di Kota Pontianak
Kalimantan Barat. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik UPN.
Taylor, S. E., Pepplau, A., & Sears. D. O. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta:
Erlangga.
UNDP & USAID. (2013). Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan LGBT
Nasional Indonesia. Ikhtisar Eksekutif Dialog Komunitas LGBT Nasional
Indonesia. Bali, Indonesia: UNDP & USAID.
Zea, M.C., Reisen,C.A., Poppen, P.J., Bianchi,F.T., & Echeverry, J.J. (2005).
Disclosure of HIV Status and Psychological Well-Being Among Latino
Gay and Bisexual Men. AIDS and Behavior Journal. Volume 9, Nomor 1.
Springer Science & Business Media, Inc. p 15-26.

30