T1 802012090 Full text

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI
PADA REMAJA PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN
GISTING LAMPUNG SELATAN

OLEH
MARIA LIDIA LIANASARI
802012090

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai citivas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Maria Lidia Lianasari
Nim
: 802012090
Program Studi
: Psikologi
Fakultas
: Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya
: Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW
hal bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royality freeright) atas karya ilmiah saya
berjudul:
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA
PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN GISTING LAMPUNG SELATAN
Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalihmedia

atau mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tugas akhir, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis
atau pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di

: Salatiga

Pada Tanggal : 11 Desember 2015
Yang menyatakan,

Maria Lidia Lianasari
Mengetahui,
Pembimbing

Enjang Wahyuningrum. M.Si., Psi.

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama

: Maria Lidia Linasari

Nim

: 802012090

Program Studi

: Psikologi

Fakultas

: Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA
PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN GISTING LAMPUNG SELATAN
Yang dibimbing oleh:

Enjang Wahyuningrum. M.Si., Psi
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau
gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya
saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber aslinya.

Salatiga, 11 Desember 2015
Yang memberi pernyataan,

Maria Lidia Lianasari

LEMBAR PENGESAHAN
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA
PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN GISTING LAMPUNG SELATAN
Oleh
Maria Lidia Lianasari
802012090

TUGAS AKHIR


Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal : 12 Januari 2016ptemb2015
Oleh:
Pembimbing,

Enjang Wahyuningrum. M.Si., Psi.

Diketahui Oleh,

Disahkan Oleh,

Kaprogdi

Dekan

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.

Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI
PADA REMAJA PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN
GISTING LAMPUNG SELATAN

Maria Lidia Lianasari
Enjang Wahyuningrum

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016


Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan resiliensi
pada remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan. Jenis penelitian ini
adalah kuantitatif korelasional dengan melibatkan 50 partisipan. Teknik pengambilan
sampel adalah menggunakan teknik snowball sampling. Karakteristik subjek pada
penelitian ini adalah remaja putus sekolah usia 12-21 tahun. Metode pengumpulan data
pada variabel konsep diri menggunakan skala Tennessee Self Concept Scale yang dibuat
oleh William H. Fitts. Pada variabel resiliensi dengan menggunakan skala Resilience
Quotient yang dibuat oleh Reivich dan Shatte (2002). Hasil penelitian ini menunjukkan
hasil adanya hubungan yang positif dan signifikan antara konsep diri dengan resiliensi.
Tingkat konsep diri remaja putus sekolah berada pada kategori tinggi dengan mean
sebesar 87,66, sedangkan tingkat resiliensi remaja putus sekolah berada pada kategori
tinggi dengan mean sebesar 63,32. Konsep diri memberikan sumbangan pengaruh
terhadap resiliensi sebesar 65,93%.
Kata kunci : konsep diri, resiliensi

i

Abstract
This study aims to determine the relationship between self-concept and resilience in

adolescents of school dropout in the District Gisting, Lampung Selatan. This research is
a quantitative correlation with the involvement of 50 participants. The sampling
technique is using snowball sampling technique. The Characteristics of the subjects in
this study are young school dropouts aged 12-21 years. The data colletction method on
self-concept uses Tennessee Self Concept Scale made by William H. Fitts. Mean while,
the data collection method on the variables of resilience uses Resilience Quotient made
by Reivich and Shatte (2002). The results shows that there is a positive and significant
correlation between self-concept and resilience. Adolescents of school dropout selfconcept levels are on the high category with mean amounted to 87.66, while the level of
resilience in adolescents school drop out, at the high category with mean amounted to
63.32. Self concept give 65,93 % influence on resilience.
Keywords: self concept, resilience

ii

1

PENDAHULUAN
Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam membentuk sikap dan
perilaku seseorang. Branata (2009) mengungkapkan bahwa pendidikan ialah usaha yang
sengaja diadakan, baik langsung maupun secara tidak langsung, untuk membantu anak

dalam perkembangannya mencapai kedewasaan. Pendidikan merupakan kebutuhan
dasar manusia khususnya pada kelompok usia remaja (Santrock, 2003). Remaja
merupakan masa peralihan dari masa kanak - kanak menuju masa dewasa, masa ini
merupakan masa yang amat baik untuk mengembangkan segala potensi positif yang
mereka miliki. Menurut Monks (2001) usia remaja berlangsung dari 12 sampai dengan
21 tahun, dengan pembagian: usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, usia 15-18
tahun adalah masa remaja madya, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Akan tetapi
beberapa remaja mengalami kendala dan rintangan dalam melewati masa menempuh
pendidikan itu hingga membuat mereka mengalami putus sekolah.
Putus sekolah mencerminkan anak - anak usia sekolah yang sudah tidak
bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu sebelum
memperoleh ijazah. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Putus sekolah dapat terjadi pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan
menengah, ataupun pendidikan tinggi. Hal ini juga disampaikan oleh Wayman (2002)
yang menjelaskan putus sekolah sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan
anak muda yang meninggalkan sekolah sebelum waktu yang seharusnya. Data statistik
menunjukkan masih tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Jumlah siswa usia
wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun


2

pada tahun 2011 berjumlah 10,268 juta dan masih ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak
dapat melanjutkan ke tingkat SMA (Kompas, 2011).
Conger (1991) mengemukakan beberapa dampak yang akan terjadi jika seorang
remaja putus sekolah yakni harga diri rendah, merokok, minum-minuman beralkohol,
menggunakan obat-obatan terlarang dan kenakalan remaja. Hadiyanto (1996) juga
menambahkan tingginya angka putus sekolah dapat berakibat pada bidang-bidang
lainnya yang sangat merugikan masyarakat secara umum. Sebagai contoh, tingginya
angka putus sekolah menambah tingginya angka pengangguran yang mungkin dapat
berakibat terhadap tingginya kriminalitas atau gejolak sosial lainnya. Remaja putus
sekolah mengalami permasalahan ketika memasuki pasar tenaga kerja, masalah sosial
dan pendapatan yang memperburuk kondisi mereka untuk pindah ke jenjang karier.
Remaja putus sekolah lebih banyak menganggur, dan yang berhasil mendapatkan
pekerjaan mendapatkan upah lebih rendah dari pada yang memiliki ijazah. Wanita
muda yang putus sekolah lebih mungkin memiliki anak di usia muda dan lebih mungkin
menjadi orang tua tunggal (Adelman & Taylor, 2007).
Dalam

menempuh


pendidikan

formal

terdapat

kendala-kendala

yang

menghambat kelancaran dalam bersekolah hingga membuat mereka mengalami putus
sekolah. Penyebab terjadinya putus sekolah antara lain faktor ekonomi, faktor sosial
ataupun kendala ketidaknyamanan yaitu relasi terhadap teman ataupun relasi terhadap
lingkungan sekitar. Disamping adanya perasaan minder dan malu akan kekurangan yang
dimiliki sehingga menjadi hambatan untuk menyelesaikan pendidikan formal.
Christensen & Thurlow (2004) menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi hampir
sebagian besar siswa adalah masalah biaya pendidikan dan masalah relasi dengan guru
dan relasi dengan teman. Penelitian yang dilakukan oleh Rumberger (1995) juga

3

menjelaskan bahwa 50% alasan dari siswa yang keluar sekolah adalah kendala yang
berasal dari faktor ekonomi dan 35% kebanyakan karena masalah pribadi, seperti
kehamilan atau pernikahan. Anak putus sekolah, dari hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan Septiana & Wulandari (2012) faktor penyebabnya adalah pengalaman yang
tidak menyenangkan seperti takut pada guru, tidak naik kelas, dan lain-lain, serta
lingkungan seperti tingkat pendidikan orang tua rendah, rumah tangga bermasalah, dan
lain-lain. Dengan demikian, bisa dicermati bahwa pengalaman dan lingkungan yang
dialami mereka memengaruhi kondisi psikologis individu sehingga berdampak pada
sikap dan perilaku mereka yaitu memutuskan untuk berhenti sekolah.
Putus sekolah juga mengakibatkan remaja menjadi putus asa, pesimis, tidak ada
harapan dan melakukan bunuh diri. Kori Setiawan, warga Desa Banjarsari Kulon,
Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, ditemukan tewas dalam kondisi gantung
diri di dalam kamar mandi yang diduga karena putus sekolah (Suara Pembaruan, 2011).
Individu putus sekolah tidak mendapatkan pendidikan yang layak sehingga
kesejahteraan ekonomi dan sosialnya menjadi “terbatas” sepanjang hidupnya ketika
menjadi orang dewasa. Remaja yang melangkah keluar dari tangga pendidikan jauh
sebelum mereka mencapai tingkat karir yang profesional, sehingga membuat remaja
harus menggunakan cara mereka sendiri untuk mencari pekerjaan (Santrock, 2003).
Rembulan (2009) menguatkan bahwa di negara berkembang, faktor resiko yang dapat
menimbulkan gangguan jiwa adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan
(putus sekolah). Remaja yang mengalami putus sekolah juga berpotensi menjadi
pengangguran dari pada mereka yang lulus, hal ini dikarenakan tuntutan kerja pada
waktu yang akan datang membutuhkan pengetahuan dan kesiapan. Remaja yang gagal
menyelesaikan pendidikan akan menemukan kesulitan dalam mendapatkan dunia kerja.

4

Apabila bekerja, individu yang mengalami putus sekolah akan mendapat gaji di bawah
mereka yang mempunyai ijazah pendidikan. Remaja dengan tingkat pendidikan rendah
jarang mendapatkan kesempatan untuk dipromosikan ke jenjang karier yang lebih
tinggi, kurangnya pengalaman, keamanan kerja dan rendahnya performasi kerja
(Nuqosin, 2012).
Kondisi putus sekolah tidak bisa dihindarkan karena beberapa faktor, artinya
putus sekolah menjadi salah satu kondisi yang harus ditanggung oleh sebagian remaja.
Kondisi kehidupan yang harus dihadapi setelah mengalami putus sekolah, antara lain
adalah keterbatasan pengetahuan, keterbatasan akses informasi, keterbatasan akses
sosialisasi, dan kesempatan kerja yang terbatas karena tidak mempunyai ijazah sebagai
syarat administrasi. Kondisi-kondisi tersebut mengakibatkan remaja putus sekolah tidak
percaya diri untuk melakukan aktivitas tertentu karena merasa tidak mempunyai bekal
pengetahuan, tidak mempunyai harga diri, tidak termotivasi dan mempunyai konsep diri
negatif (Santrock, 2003).
Dari hasil wawancara dengan beberapa orang remaja putus sekolah di
Kecematan Gisting, Lampung Selatan, yang menunjukkan bahwa mereka tidak dapat
lolos dari cobaan hidup yang berupa penderitaan diri. Ketika remaja putus sekolah
mengadakan hubungan dengan lingkungan sosial, mereka cenderung menampakkan
sikap pendiam, perasaan minder dan rendah diri jika bergaul dengan teman-teman yang
sekolah, tertutup dengan lingkungan, karena takut jadi pembicaraan orang-orang, cemas
dan sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain bahkan jarang mengikuti kegiatan
sosial yang diadakan oleh masyarakat, malas untuk memikirkan masa depan.
Individu yang mengalami putus sekolah membutuhkan pengembangan
kepercayaan diri dan keyakinan akan kemampuan diri untuk beradaptasi terhadap

5

kesulitan hidup yang ada, bertahan dan segera bangkit kembali apabila menemui
kesulitan-kesulitan hidup serta mempunyai kehendak yang kuat dan mencari berbagai
alternatif cara positif untuk menggapai hidup yang lebih baik Rumberger (1995).
Remaja yang mengalami putus sekolah memiliki tanggung jawab untuk menyesuaikan
diri dan berperilaku sesuai strategi baru dengan menggunakan sumber daya yang
dimiliki walau terbatas.
Stoltz (2005) berpendapat bahwa pada dasarnya setiap orang memendam hasrat
untuk mencapai kesuksesan. Dalam meraih kesuksesan, diperlukan kemampuan
seseorang dalam berjuang menghadapi dan mengatasi masalah, hambatan, atau
kesulitan yang dimilikinya serta mengubahnya menjadi peluang keberhasilan dan
kesuksesan. Kesulitan, kemalangan sejatinya ditemui oleh setiap individu namun
dengan jenis dan intensitas yang berbeda-beda. Individu ada yang berhasil melewati
kesulitan dan kemalangan ada juga yang gagal dan terpuruk karena kesulitan dan
kemalangan itu. Menurut Stoltz (2005), individu yang memiliki kemampuan mengatasi
kesulitan tinggi akan mengarahkan segala potensi yang dimiliki untuk meraih
keberhasilan atau dapat memberikan hasil yang terbaik, serta selalu akan termotivasi,
dan mereka akan mengerjakan pekerjaan atau aktivitas sebaik mungkin, termasuk
mencari informasi serta memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia walau terbatas.
Garmezy dan Michael (dalam Pranandari, 2008) mengemukakan bahwa saat
menghadapi kesulitan hidup, sebagian individu gagal dan tidak mampu bertahan dimana
mereka mengembangkan pola-pola perilaku yang bermasalah. Sebagian lainnya bisa
bertahan dan mengembangkan perilaku adaptif bahkan lebih baik lagi bila mereka
berhasil keluar dari kesulitan dan menjalani kehidupan yang sehat. Resiliensi adalah
salah satu moderator yang dapat membantu memahami mengapa satu individu dapat

6

bereaksi negatif terhadap pengalaman negatif, sedangkan individu lain tidak mengalami
masalah apapun meskipun menghadapi tekanan yang berat. Menurut Reivich & Shatte
(2012) mengungkapkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan
tetap teguh dalam situasi sulit. Pada sisi inilah, mengatasi kesulitan memiliki aspekaspek yang dapat memberikan gambaran mengenai ketangguhan individu dalam
menghadapi hambatan, kesulitan atau kegagalan dan dapat memprediksi apakah ia tetap
terkendali dalam menghadapi situasi atau keadaan yang sulit seperti kesulitan setelah
mengalami putus sekolah. Keberhasilan dan kegagalan individu dalam menghadapi
kesulitan dan kemalangan ditentukan oleh kemampuan individu tersebut dalam
mengatasinya.
Reivich & Shatte (2012) berpendapat ada tujuh kemampuan yang dapat
membentuk resiliensi yaitu regulasi emosi yang merupakan kemampuan untuk tetap
tenang dalam kondisi yang penuh tekanan, pengendalian impuls yakni kemampuan
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam
diri seseorang, optimisme, individu yang resilien adalah individu yang optimis dan
individu memiliki harapan di masa depan dan percaya dapat mengontrol arah hidupnya,
empati yakni kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda psikologis dan emosi
dari orang lain, causal analysis yaitu merujuk pada kemampuan individu untuk secara
akurat mengidentifikasi penyebab-penyebab dari permasalahan individu, jika individu
tidak mampu memperkirakan penyebab dari permasalahannya secara akurat, maka
individu akan membuat kesalahan yang sama, efikasi diri yakni keyakinan pada
kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif,
dan reaching out yaitu kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam
hidup dimana individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah

7

dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan
interpersonal dan pengendalian emosi. Dalam ketujuh kemampuan resiliensi melibatkan
pikiran dan perasaan individu untuk menentukan dan menilai secara mendalam masalah
yang dihadapi.
Dalam menyikapi permasalahan-permasalahan tersebut, mampu tidaknya remaja
dalam menyelesaikan permasalahannya tergantung pada kemampuan bertahan dalam
menghadapi permasalahan karena setiap individu memiliki kekuatan yang berbedabeda. Dan faktor yang mempengaruhi resiliensi salah satunya adalah konsep diri
Werner (1992). Sebuah konsep diri yang positif juga berkontribusi terhadap
kemampuan resiliensi. Menurut Evarall (2006) mengatakan bahwa remaja yang resilien
cenderung memiliki tujuan, harapan, dan perencanaan terhadap masa depan, gabungan
antara ketekunan dan ambisi dalam mencapai hasil yang akan diperoleh. Everall (2006)
juga mengemukakan faktor-faktor yang memengaruhi resiliensi yaitu faktor individual
yang meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri, dan kompetensi
sosial yang dimiliki individu, faktor keluarga yang meliputi dukungan yang bersumber
dari orang tua, yaitu bagaimana cara orang tua untuk memperlakukan dan melayani
anak, yang terakhir yakni faktor komunitas yang meliputi kemiskinan dan keterbatasan
kesempatan kerja.
Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan
atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Hurlock (1999) mengatakan bahwa konsep
diri bertambah stabil pada periode masa remaja. Konsep diri yang stabil sangat penting
bagi remaja karena hal tersebut merupakan salah satu bukti keberhasilan pada remaja
dalam usaha untuk memperbaiki kepribadiannya. Konsep diri didefinisikan sebagai
keseluruhan kesadaran atau persepsi mengenai diri yang diobservasikan, dialami dan

8

dinilai oleh individu sendiri (Fitts, 1971). Fitts (1971) juga mengatakan bahwa konsep
diri berpengaruh kuat dalam tingkah laku seseorang. Menurut Calhoun & Acocella
(1990) konsep diri terbagi menjadi dua jenis, yaitu konsep diri yang positif dan konsep
diri yang negatif.
Konsep diri yang positif membuat remaja akan terlihat lebih optimis, penuh
percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan
yang dialaminya. Sedangkan konsep diri yang negatif, yang meyakini dan memandang
bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, malang, gagal, tidak
menarik, tidak disukai, bahkan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Dengan konsep
diri yang positif remaja mampu melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi
keberhasilan dimasa yang akan datang (Hurlock, 1999).
Bagi remaja yang pendidikannya kurang atau dalam arti putus sekolah, remaja
tersebut merasa mempunyai keterbatasan mereka akan merasa dirinya rendah atau dapat
menyebabkan remaja yang memiliki konsep diri negatif, evaluasi diri yang dimilikinya
juga meliputi penilaian yang negatif terhadap dirinya, merasa tidak pernah cukup, baik
dengan apa yang dirasakannya dan selalu membandingkan apa yang akan dicapai
dengan yang dicapai orang lain. Konsep diri negatif cenderung membuat individu
bersikap tidak efektif, hal ini akan terlihat dari kemampuan menyelesaikan masalah dan
penguasaan lingkungan dalam masyarakat Hurlock (1999). Seharusnya remaja dalam
perkembangan yang baik, harus mampu mengenali dirinya sendiri, dan memiliki
kemampuan ke dalam diri sendiri, menentukan hidup dan mampu menangani masalah
yang sedang dihadapi.
Seseorang dengan konsep diri yang positif, prilakunya akan terlihat lebih
memiliki harga diri, dan cenderung melakukan hal-hal yang positif, dibandingkan yang

9

memiliki konsep diri negatif hal ini yang membuat remaja tersebut memiliki konsep diri
yang positif (Santrock, 2003). Remaja yang putus sekolah biasanya memiliki banyak
kecenderungan negatif, remaja yang putus sekolah cenderung lebih suka memukul,
kurang bisa menilai dirinya sendiri, mengabaikan peraturan yang ada di sekitarnya,
kurang memberikan kasih sayang pada orang yang ada disekitarnya, melecehkan orang
lain, menghina orang lain yang menurut mereka lebih rendah dari dirinya, tidak berlaku
adil pada sesama, tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada pada dirinya dan lain
sebagainya. Remaja yang putus sekolah ketika dilihat dari pergaulannya dengan
lingkungan yang kurang mendukung, yang membuat remaja lebih cenderung
memunculkan perilaku negatif atau mempunyai konsep diri yang negatif Sobur (dalam
Uliyah, 2014).
Menurut American Psychological Association (dalam Djudiyah, 2011) cara
pandang diri negatif terhadap diri sendiri serta perasaan tidak berharga pada diri remaja
akan berdampak pada perkembangan daya resiliensinya. Apabila remaja menganggap
bahwa hidup ini kejam, hanya membuat dirinya menderita dan merasa tidak berdaya
menghadapinya maka akan menyebabkan daya resilensinya tidak berkembang atau
cenderung rendah. Namun bila remaja berusaha mengatasi persoalan - persoalan yang
dihadapinya dan berusaha bangkit dari keterpurukannya serta berusaha menerima apa
yang dimilikinya saat ini maka daya resiliensinya akan dapat berkembang.
Menurut Fitts (1971), konsep diri terdiri dari 5 aspek yang meliputi, physical self
(persepsi individu terhadap keadaan dirinya secara fisik, kesehatan, dan penampilan
dirinya), moral - ethical self (persepsi individu mengenai hubungannya dengan Tuhan,
kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai - nilai moral yang
dipegangnya), personal self (persepsi individu mengenai keadaan pribadinya, yang

10

menyangkut sifat yang digunakan oleh dirinya dalam berhubungan dengan dunia luar),
family self (persepsi individu mengenai dirinya dengan interaksinya dengan keluarga
dan orang – orang terdekat), dan yang terakhir social self (persepsi individu mengenai
dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain di luar keluarganya secara umum).
Menurut Hurlock (1999), pembentukan konsep diri pada remaja dipengaruhi
oleh faktor - faktor antara lain usia kematangan, penampilan diri, nama dan julukan,
hubungan keluarga, teman-teman sebaya, kreativitas, dan cita-cita. Selain itu Fitts
(1971) mengungkapkan pula mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri
yakni pengalaman, khususnya pengalaman interpersonal yang memunculkan perasaan
positif dan perasaan bernilai serta berharga, lalu yang kedua kompetensi dalam bidang –
bidang yang berarti bagi dirinya dan orang lain, serta yang ketiga adalah aktualisasi diri
atau atau implementasi dan realisasi dari potensi personal nyata dari seseorang apapun
bentuknya.
Ada beberapa penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara konsep diri
dengan resiliensi, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2015) mengenai
hubungan antara konsep diri dan resiliensi remaja pada keluarga orang tua tunggal yang
didapatkan hasil bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara konsep diri dengan
resiliensi remaja pada orang tua tunggal yang artinya semakin positif konsep diri maka
resiliensi remaja semakin baik, sebaliknya semakin negatif konsep diri maka resiliensi
semakin buruk. Namun ada juga penelitiaan yang dilakukan oleh Hamid (2014)
mengenai hubungan antara konsep diri dengan resiliensi pada mahasiswa Fakultas
Psikologi angkataan 2010-2013 Universitas Islam Negri Malang, yang didapatkan hasil
pada angkatan 2012 bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri
dengan resiliensi. Dari paparan tersebut, peneliti bertujuan untuk meneliti adanya

11

hubungan positif antara konsep diri dengan resiliensi pada remaja putus sekolah di
Kecamatan Gisting, Lampung Selatan.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode
korelasional dan ingin mengukur korelasi antara konsep diri dan resiliensi pada remaja
putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan.
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja putus sekolah yang berusia 12-21
tahun di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan yang berjumlah 50 orang. Teknik
pengambilan sampel partisipan menggunakan teknik snowball sampling.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
psikologi, yaitu instrumen yang dapat dipakai untuk mengukur atribut psikologis Azwar
(1999). Skala bertingkat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah skala likert.
Skala likert adalah skala yang mengukur kekuatan persetujuan dari pernyataanpernyataan untuk mengukur sikap atau perilaku. Skala yang digunakan dalam penelitian
ini berjumlah dua skala, yaitu:
a. Skala Konsep Diri
Dalam penelitian ini, alat ukur yang digunakan untuk mengukur konsep diri
yang dimiliki oleh subjek diadaptasi dari Tennessee Self Concept Scale (TSCS) yang
dikembangkan oleh William H. Fitts. Skala ini terdiri daru 40 item pernyataan.
Tennessee Self Concept Scale (TSCS) merupakan alat untuk mengukur konsep diri
secara umum yang berada dalam usia 12 tahun ke atas. Skala ini mengungkap 5

12

aspek yaitu, physical self, moral - ethical self, personal self, family self, dan social
self. Pengujian reliabilitas dilakukan lagi pada penelitian ini dengan menggunakan
data yang didapat dari sampel ketika pengambilan data dilakukan (try out terpakai).
Hasil uji seleksi item dan reliabilitas penentuan-penentuan item valid menggunakan
ketentuan dari Azwar (2010) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran
dapat dikatakan valid apabila ≥ 0,25 dan menunjukkan bahwa ada 10 item yang
gugur yaitu item 7, 12, 14, 15, 19, 28, 30, 32, 39, dan 40 dengan reliabilitas sebesar
0,898. Item-item dalam skala ini menggunakan pernyataan dengan empat pilihan
jawaban SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak
Setuju).
Tabel 1. Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Konsep Diri
No

Aspek

Item Favorable

Item Unfavorable

Jumlah
item valid

1

Physical self

1, 12*, 18, 23,

7*

3

2, 13, 19*

24,

3

3, 5, 8, 15*, 27,

4, 9, 14*, 20, 25,

14

31, 35, 36,

26, 32*, 37, 38,

30*,
2

Moral – ethnical self

3

Personal self

40*
4

Family self

10, 16, 21,

6, 28*, 33, 39*

5

5

Social self

11, 17, 29, 34

22

5

Total valid

30

13

b.

Skala Resiliensi
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur resiliensi adalah skala resiliensi yang
diadaptasi dari Resilience Quotient

(RQ) yang diungkapkan oleh Reivich dan

Shatte (2002). Item-item dalam skala disusun berdasarkan tujuh aspek resiliensi
oleh Reivich dan Shatte (2002). Skala ini terdiri dari 40 item. Pengujian reliabilitas
dilakukan lagi pada penelitian ini dengan menggunakan data yang didapat dari
sampel ketika pengambilan data dilakukan (try out terpakai). Hasil uji seleksi item
dan reliabilitas penentuan-penentuan item valid menggunakan ketentuan dari
Azwar (2010) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat
dikatakan valid apabila ≥ 0,25 dan menunjukkan bahwa ada 17 item yang gugur
yaitu item 6, 7, 10, 13, 14, 15, 18, 19, 21, 23, 25, 27, 29, 32, 33, 34, dan 37 dengan
reliabilitas sebesar 0,866. Item-item dalam skala ini menggunakan pernyataan
dengan empat pilihan jawaban SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju),
STS (Sangat Tidak Setuju).
Tabel 2. Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Resiliensi

No

Aspek

1

Regulasi emosi

2

Pengendalian impuls

Item

Item

Jumlah

Favorabele

Unfavorable

item valid

1, 7*, 13*, 22

19*, 25*, 31,

3

2, 8,

14*, 20, 26,

4

32*
3

Optimisme

3, 9,

15*, 21*, 27*,

2

33*
4

Causal Analysis (Analisis

4, 10*, 16,

34*

2

14

penyebab masalah)
5

Empati

6

Self Efficacy (Efikasi diri)

7

Reaching Out (Peningkatan

17, 38, 40

28, 37*, 39

5

5, 11,

23*, 29*, 35

3

6*, 12, 24,

18*, 30, 36

4

aspek positif)
Total valid

23

HASIL PENELITIAN
Uji Asumsi
Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang digunakan untuk mengetahui ada atau
tidaknya korelasi antara konsep diri dengan resiliensi di Kecamatan Gisting, Lampung
Selatan. Namun sebelum dilakukan uji korelasi, peneliti harus melakukan uji asumsi
terlebih dahulu untuk menentukan jenis statistik parametrik atau non-parametrik yang
akan digunakan untuk uji korelasi.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan
skala konsep diri (K-S-Z = 0,886, p = 0,413, p > 0,05) dan resiliensi (K-S-Z =
0,616, p = 0,843, p > 0,05). Hasil ini menunjukkan data konsep diri dan data
resiliensi berdistribusi normal.
2. Uji Linearitas
Hasil uji linearitas menunjukkan adanya hubungan yang linear antara konsep
diri dengan resiliensi dengan deviation from linearity sebesar F = 0,554 p =
0,926 (p > 0,05).

15

Analisa Deskriptif
Tabel 3. Statistik Deskriptif Skala Konsep Diri dan Resiliensi Pada Remaja
Putus Sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan
Descriptive Statistics

N

Mean

Std. Deviation

Minimum

Maximum

konsepdiri

50

87.6600

12.49426

57.00

111.00

resiliensi

50

63.3200

10.83539

43.00

91.00

Tabel 3 merupakan statistik deskriptif dari skor partisipan untuk setiap variabel.
Peneliti kemudian membagi skor dari setiap skala menjadi 4 kategori mulai dari “sangat
tinggi” hingga “sangat rendah”. Interval skor untuk setiap kategori ditentukan dengan
menggunakan rumus interval dalam Hadi (2000). Tabel 4 dan 5 menunjukkan jumlah
partisipan untuk setiap kategori pada masing - masing variabel.
Tabel 4. Kriteria Skor Konsep Diri

No

Interval

Kategori

1

97,5 ≤ x ≤ 120

Sangat tinggi

2

75 ≤ x < 97,5

Tinggi

3

52,5 ≤ x < 75

4

30 ≤ x < 52,5

Mean

F

Presentase

11

22%

32

64%

Rendah

7

14%

Sangat rendah

0

0%

50

100 %

87,66

Total
SD = 12,49

Min = 57

Max = 111

16

Berdasarkan Tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa skor konsep diri berada pada
kategori tinggi dengan mean sebesar 87,66. Sebanyak 32 remaja putus sekolah yang
menjadi subjek penelitian memiliki skor konsep diri yang berada pada kategori tinggi
dengan prosentase 64%. 11 partisipan berada pada kategori sangat tinggi dengan
prosentase 22%. Sisanya sebanyak 7 partisipan masuk kategori skor konsep diri rendah
dengan prosentase 14%. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum
sebesar 57 sampai dengan skor maksimum sebesar 111 dengan standar deviasi 12,49.
Tabel 5. Kriteria Skor Resiliensi
No

Interval

Kategori

1

74,75 ≤ x ≤ 92

Sangat tinggi

2

57,5 ≤ x < 74,75

Tinggi

3

40,25 ≤ x < 57,5

4

23 ≤ x < 40,25

Mean

F

Presentase

8

16%

27

54%

Rendah

15

30%

Sangat rendah

0

0%

50

100 %

63,32

Total
SD = 10,84 Min = 43 Max = 91

Berdasarkan Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa skor resiliensi berada pada kategori
tinggi dengan mean sebesar 63,32. Sebanyak 27 remaja putus sekolah yang menjadi
subjek penelitian memiliki skor konsep diri yang berada pada kategori tinggi dengan
prosentase 54%. 15 partisipan berada pada kategori rendah dengan prosentase 30%.
Sisanya sebanyak 8 partisipan masuk kategori skor konsep diri sangat tinggi dengan
prosentase 16%. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 43
sampai dengan skor maksimum sebesar 91 dengan standar deviasi 10,84.

17

Uji Korelasi
Berdasarkan uji asumsi yang telah dilakukan, diketahui bahwa data yang diperoleh
berdistribusi normal dan variabel-variabel penelitian linear maka uji korelasi dilakukan
dengan menggunakan statistik parametrik. Uji korelasi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah korelasi Pearson. Tabel 4 menunjukkan hasil dari uji korelasi.
Tabel 6. Korelasi Konsep Diri & Resiliensi
Correlations

Konsepdiri
Konsepdiri

Pearson Correlation

resiliensi
1

Sig. (1-tailed)

N
Resiliensi

Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)

N

.812

**

.000
50

50

**

1

.812

.000
50

50

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Hasil dari uji korelasi menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara
konsep diri dengan resiliensi pada dengan r = 0,812 dengan signifikan = 0,000 (p <
0,01). Hal ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan adanya korelasi positif yang
signifikan antara konsep diri dengan resiliensi pada remaja putus sekolah di Kecamatan
Gisting, Lampung Selatan. Dengan demikian semakin tinggi konsep diri maka semakin
tinggi pula tingkat resiliensi.

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan teknik
korelasi product moment pearson maka diperoleh hasil nilai koefisien korelasi) sebesar

18

0,812 dengan signifikan 0,000 (p < 0,01) artinya ada hubungan positif yang sangat
signifikan antara konsep diri dengan resiliensi, semakin positif konsep diri maka
semakin tinggi resiliensi, semakin negatif konsep diri maka semakin rendah
resiliensinya.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Djudiyah (2011)
konsep diri yang positif merupakan salah satu faktor konstribusi bagi resiliensi pada
remaja. Menurut America Psychological Association (dalam Djudiyah, 2011)
menyatakan bahwa cara pandang diri negatif terhadap diri sendiri serta perasaan tidak
berharga pada diri remaja akan berdampak pada perkembangan resiliensinya. Apabila
remaja menganggap bahwa hidup ini kejam hanya membuat dirinya menderita dan
merasa tidak berdaya menghadapinya maka akan menyebabkan daya resiliensinya tidak
berkembang atau cenderung rendah, namun bila remaja berusaha bangkit dari
keterpurukannya serta berusaha menerima apa yang dimilikinya saat ini maka daya
resiliensinya akan dapat berkembang.
Berdasarkan penelitian dari Murphey (dalam Amalia, 2015) menyatakan seorang
remaja yang mempunyai resiliensi yang baik akan memasuki masa dewasa dengan baik
untuk mengatasi masalah dengan baik jika ia telah mengalami keadaan yang sulit dalam
hidupnya, seperti masalah-masalah yang remaja alami setelah mengalami putus sekolah.
Sumbangan efektif variabel konsep diri terhadap resiliensi remaja sebesar
65,93% ditunjukkan oleh koefisien determinan (r²) sebesar 0,812. Hal ini memiliki arti
bahwa terdapat 34,07% faktor lain yang memengaruhi di luar faktor individual meliputi
kemampuan kognitif individu, harga diri, kompetensi sosial yang dimiliki individu.
faktor keluarga meliputi dukungan yang bersumber dari orang tua, yaitu bagaimana cara
orang tua untuk memperlakukan dan melayani anak, faktor komunitas meliputi

19

kemiskinan dan keterbatasan kesempatan kerja (Everall, 2006). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa konsep diri dengan segala aspek yang terkandung didalamnya
memang memberikan kontribusi terhadap resiliensi remaja meskipun resiliensi tidak
hanya dipengaruhi oleh variabel tersebut, dalam hal ini konsep diri memiliki konstribusi
yang positif terhadap resiliensi remaja putus sekolah, sehinga semakin positif konsep
diri maka semakin tinggi resiliensi remaja tersebut, sebaliknya semakin negatif konsep
diri maka semakin rendah resiliensi remaja tersebut, sehingga hal ini mencerminkan
bahwa memiliki konsep diri menjadi salah satu cara untuk dapat meningkatan daya
resiliensi yang ada di dalam individu.
Berdasarkan kategorisasi skala konsep diri diketahui konsep diri diketahui
bahwa tidak terdapat remaja yang memiliki konsep diri sangat rendah ditunjukkan
dengan nilai 0% (0 orang), 14% (7 orang) yang tergolong rendah konsep dirinya, 64%
(32 orang) yang tergolong tinggi konsep dirinya, 22% (11 orang) yang tergolong sangat
tinggi konsep dirinya. Menurut Calhoun & Aocella (1999) remaja yang memiliki
konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realiatas, yaitu
tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi
kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan.
Berdasarkan kategorisasi skala skala resiliensi diketahui bahwa tidak terdapat remaja
yang memiliki resiliensi yang sangat rendah ditunjukkan dengan nilai 0% (0 orang)
yang tergolong sangat rendah resiliensinya, 30% (15 orang) yang tergolong rendah,
54% (27 orang) yang tergolong tinggi, 16% (8 orang) yang tergolong sangat tinggi.
Jumlah dan prosentasi terbanyak menempati kategori tinggi. Subyek dalam kategori ini
dapat diartikan bahwa subyek tidak lepas dari resiliensi yang tentunya berpengaruh
tinggi bagi kehidupan. Menurut Everall (2006) faktor individual, faktor keluarga dan

20

faktor komunitas merupakan tiga faktor yang memengaruhi resiliensi. Menurut Everall
(2006) menyatakan bahawa remaja yang resilien cenderung memiliki tujuan, harapan,
dan perencanaan terhadap masa depan dengan gabungan antara ketekunan dan ambisi
dalam mencapai hasil yang akan diperoleh.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara konsep diri dengan resiliensi
pada remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan, diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada hubungan positif yang signifikansi antara konsep diri dengan resiliensi pada
remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan.
2. Remaja putus sekolah memiliki skor konsep diri yang berada pada kategori tinggi
dengan mean sebesar 87,6 dan remaja putus sekolah memiliki skor resiliensi yang
berada pada kategori tinggi pula dengan mean sebesar 63,32.
3. Besarnya variasi konsep diri dengan resiliensi dapat menjelaskan bahwa konsep diri
memberikan pengaruh terhadap resiliensi sebesar 65,93 dan sisanya sebesar 34,07%
yang dipengaruhi oleh faktor lain di luar konsep diri yang dapat berpengaruh
terhadap resiliensi.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan hal-hal
sebagai berikut:
1.

Bagi remaja putus sekolah yang memiliki konsep diri tinggi harap dipertahankan
karena dengan konsep diri yang positif akan berpengaruh pada daya resiliensinya
untuk bertahan dalam situasi sulit yang remaja alami setelah mengalami putus

21

sekolah. Bagi remaja yang memiliki resiliensi rendah, hendaknya meningkatkan
konsep diri yang lebih positif dengan mengubah keyakinan, pandangan atau
penilaian terhadap dirinya menjadi lebih positif agar daya resiliensi yang
dimilikinya juga semakin positif karena dengan konsep diri yang positif remaja
akan terlihat optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap
segala sesuatu.
2.

Bagi peneliti selanjutnya
Kontribusi variabel konsep diri yang sebesar 65,93% terhadap resiliensi terhadap
remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan bisa menjadi
masukan bagi penelitian selanjutnya dengan topik resiliensi pada remaja putus
sekolah. Penelitian selanjutnya bisa meneliti variabel – variabel lain di luar konsep
diri, seperti harga diri, regulasi emosi untuk mengetahui besarnya kontribusi
variabel lain terhadap resiliensi pada remaja putus sekolah. Melalui penelitian
konsep diri dan resiliensi pada remaja putus sekolah di Kecamatan Gisiting,
Lampung Selatan, peneliti selanjutnya juga dapat meneliti hubungan antara
konsep diri dan resiliensi pada remaja putus sekolah di daerah yang berbeda.
Peneliti selanjutnya hendaknya membatasi usia subjek peneltian, dan jarak waktu
setelah mereka mengalami putus sekolah agar benar-benar dapat mengukur
resiliensi dan konsep diri mereka setelah mengalami putus sekolah.

22

Daftar Pustaka
Adelman, H.S. & Taylor, L. (2009). School Dropout Prevention: A Public Health Role
For Primary Health Care Providers. Developmental And Behavioral News, 18(1),
1-23.
Retrieved
October
23,
2015,
from
http://Smhp.Psych.Ucla.Edu/Pdfdocs/Drop.Pdf
Akuntono, I. D. W. (2011, 26 Desember). Angka Putus Sekolah dan Komersialisasi
Pendidikan.
Kompas.
Diunduh
dari
http://edukasi.kompas.com/read/2011/12/26/10392444/Angka.Putus.Sekolah.dan
.Komersialisasi.Pendidikan
Amalia, F.N. (2015). Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Remaja Pada
Keluarga Orang Tua Tunggal. Skripsi. Program sarjana (S1) pada Program
Sarjana Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
Azwar, S. (1999). Metodologi penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
--------, S. (2010). Penyususnan skala psikologi. Yogyakarta: PustakaPelajar.
Branata, M.(2009). Pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Calhoun, J. F. & Acocella, J. R. (1990). Psychology of adjustment and human relations.
USA: Mc Graw-Hill.
Christenson, S. L., & Thurlow, M. L. (2004). School dropouts: Prevention
considerations, interventions, and challenges. American Psychological Society,
13(1),
36–39.
Retrieved
September
20,
2015,
from
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.474.1870&rep=rep1&
type=pdf
Conger, J.J. (1991). Adolescence And Youth (4th Ed). New York: Harper Collins
Djudiyah & Yuniardi, M. (2011). Model Pengembangan Konsep Diri Dan Daya
Resiliensi Melalui Support Group Therapy: Upaya Meminimalkan Trauma
Psikis Remaja Dari Keluarga Single Parent. Jurnal Proyeksi 6(1), 16-26.
Dian, F. (2008). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Coping Strategy Pada
Developed Kidiie Dalam Komunitas Hacker di Perguruan Tinggi X Bandung.
Skripsi. Program Sarjana (S1) pada Program Sarjana Fakultas Psikologi,
Universitas Islam Bandung. Bandung.
Evarall, R. D., Altrows, K. J., & Paulson, B. L. (2006). Creating A Future: A Study Of
Resilience In Suicidal Female Adolescents. Journal Of Counseling &
Development, 84(4),
461-470. Retrieved October, 20, 2015, from
http://Www.Nursingacademy.Com/Uploads/6/4/8/8/6488931/Roughspotsresilien
ce.Pdf
Hadi, S. (2000). Statistik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

23

Hamid, C, A. (2014). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Resiliensi Pada
Mahasiswa Fakultas Psikologi Angkatan 2010-2013 Universitas Islam Negri
Malang. Skripsi. Program Sarjana (S1) pada Program Studi Psikologi Fakultas
Psikologi, Universitas Negeri Malang. Malang.
Hurlock, E. B. 1999. Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Alih Bahasa : Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta : Erlangga.
Monks, F. J., Knoers, A. M. P., Haditono, S, R. (2001). Psikologi Perkembangan:
Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Natalia, F. (2012). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Intensi Kedisiplinan Siswa
Kelas VIII SMP Negri 2 Salatiga Semester Gasal. Program Sarjana (S1) pada
Program Studi Bimbingan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.
Nuqosin, A., R. (2012). Penguatan Modal Psikologis Melalui Pelatihan Mengatasi
Kesulitan Pada Remaja Putus Sekolah Di Yogyakarta. Skripsi. Program Sarjana
(S1) pada Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta
Pranandari, K. (2008). Kecerdasan Adversitas Ditinjau Dari Pengatasan Masalah
Berbasis Permasalahan Dan Emosi Pada Orangtua Tunggal Wanita. Jurnal
Psikologi 1(8), 121-127. Diunduh pada 19 Oktober, 2015, dari
http://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/viewFile/287/231
Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The resiliency Factor: 7 keys to finding your inner
strenght and overcoming life’s hurdles. New York: Three Rivers Press.
Rembulan, C.L. (2009). Penguatan Resiliensi Dengan Pelatihan Strategi Koping Fokus
Emosi Pada Remaja Putri Yang Tinggal Di Panti Asuhan. Tesis: Tidak
Diterbitkan. Yogyakarta: Pascasarjana Fakultas Psikologi UGM.
Rumberger, R. W. (1995). Dropping Out of High School: The Influence of Race, Sex
and Family Background. American Educational Research Journal, 20(2), 199220.
Retrieved
8
September,
2015,
from
http://aer.sagepub.com/content/20/2/199.full.pdf
Santrock, John W. (2003) Adolescence. Perkembangan remaja. Edisi Keenam. Jakarta:
Erlangga, 2003
Septiana, L & Wulandari, S. P. (2012). Pemodelan Remaja Putus Sekolah Usia SMA di
Propinsi Jawa Timur dengan Menggunakan Metode Regresi Spasial. Skripsi.
Surabaya: Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga.
Siregar, I, A. (2014). Pengaruh Layanan Bimbingan Kelompok terhadap Kepercayaan
Diri Siswa dalam Belajar di Kelas XI IPS II SMA Raksana Medan TA. 2013 /
2014. Skripsi. Program sarjana (S1) pada Program Sarjana Psikologi Pendidikan
dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negri Medan. Medan.

24

Stoltz, P. G. (2005). Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang.
Jakarta: Grasindo.
Suarapembaruan.com.
(4/8/2011).
Http://Www.Suarapembaruan.Com/Tajukrencana/Ironi-Putus-Sekolah/9827.
Diakses pada kamis, 19 Oktober 2015.
Uliyah, N., Abdul, A. (2014). Perbedaan Konsep Diri Negatif Antara Remaja Yang
Sekolah Dan Remaja Yang Putus Sekolah. Jurnal Psikologi. 2(2), 80-88.
Diunduh pada 20 Oktober 2015, dari
http://jurnal.yudharta.ac.id/wpcontent/uploads/2015/07/Perbedaan-Konsep-Diri-Negatif.pdf
Hadiyanto. (1996). Faktor-Faktor Penyebab Putus Sekolah Pada Pendidikan Dasar:
Suatu Kajian Dalam Rangka Mensukseskan Wajib Belajar 9 Tahun: Laporan
Penelitian.
Institute
Keguruan
Dan
Ilmu
Pendidikan
Padang.
Http://Elib.Pdii.Lipi.Go.Id/Katalog/Index.Php/Searchkatalog/Byid/32403.
Diakses Minggu, 12 Februari 2012.
Wayman, J. C. (2002). The Utility of Educational Resilience as a Framework for
Studying Degree Attainment in High School Dropouts. Journal of Educational
Research, 95 (3), 167-178.
Retrieved
September
8,
2015,
from
http://www.csos.jhu.edu/contact/staff/jwayman_pub/do_edresil.pdf
Werner, E. (1992). The children of Kauai: Resiliency and recovery in adolescence and
adulthood. Journal of Adolescent Health, 13(4), 262–268. Retrieved September
7,
2015,
from
http://www.esd113.org/cms/lib3/wa01001093/centricity/domain/48/resilienceres
earchchildren.pdf
Fitts, W. H. (1971). The self concept and psychology. California : Western
Psychological Service.