REFORMASI BIROKRASI YANG MENDUKUNG PEMBANGUNAN HUKUM

  

REFORMASI

BIROKRASI YANG MENDUKUNG PEMBANGUNAN HUKUM

IMRON ROSYADI

  

Dosen Fakultas Hukum Universitas Saburai

ABSTRAK

  

Jajaran birokrasi pada saat ini mendapat sorotan, bahkan kritik yang tajam, seperti perangai yang arogan,

organisasi yang tambun, geraknya yang lambat, sifatnya yang korup, profesionalisme dan produktivitas yang

rendah serta hal lain yang sejenis. Oleh karenanya untuk mewujudkan good governance tindakan pertama yang

harus dilakukan adalah memperbaiki pemerintahan (reformasi birokrasi). Reformasi ini diarahkan untuk

membangun kualitas birokrasi yang sesuai dengan tuntutan good governance. Pembangunan hukum adalah

bagaimana law enforcement dapat berjalan, dan masing-masing profesi dapat saling menjunjung tinggi etika dan

profesionalismenya. Peraturan perundang-undangan yang mengatur birokrasi dan perilaku birokrat yang terbit

sejak zaman kalonial ternyata masih belum berorientasi paradigma era reformasi. Berbagai langkah reformasi

birokrasi dapat dilaksanakan secara bertahap. Langka-langkah tersebut bisa berupa penyesuaian kompetensi

dengan jabatan, rasionalisasi jumlah PNS, perbaikan gaji dan tunjangan jabatan, sanksi yang tegas bagi

pelanggar aturan, penonaktifan pejabat yang diduga sedang terlibat KKN, dan pergantian pejabat yang

mementingkan kepentingan kelompok / pribadi / golongan. Oleh karena itu perlu melakukan pembaharuan hukum

terhadap peraturan perundang-undangan mengenai birokrasi.

  __________________________________________________ Keywords: Revormasi, Birokrasi, Pembangunan Hukum

  PENDAHULUAN

  mampu mengatasi masalah publik (Good Governance). Ketetapan Majelis

  Permusyawaratan Rakyat Nomor : Rendahnya daya tanggap

  XI/MPR/1996, serta Undang-Undang (Responsiveness) pemerintah Indonesia

  Nomor 28 tahun 1999, tentang dapat dirujuk pada upaya Penyelenggaraan Negara yang bersih penyelesaian kasus Tenaga Kerja dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan

  Indonesia (TKI) illegal yang diusir Nepotisme. Kedua peraturan ini dari Malaysia. Pada kasus ini antara lain menegaskan perlunya para pemerintah Indonesia dan pejabat pejabat publik mengumumkan dan publik yang berwenang tidak bersedia di periksa kekayaannya langsung menindaklanjuti persoalan sebelum, selama dan setelah menjabat ini. Justru yang terjadi adalah saling (Pasal 3 ayat 1 TAP MPR Nomor : silang pendapat antar pejabat publik

  XI/MPR/1998 dan Pasal 5 Undang- yang kemudian memperkeruh Undang Nomor 28 tahun 1999). hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia.

  Tujuan yang ingin dicapai dari peraturan adalah penyelenggaraan Hampir semua orang tahu pemerintah yang baik sehingga bagaimana kondisi penegakan hukum di Indonesia. Banyak pelanggaran hukum yang justru dilakukan oleh pejabat publik dan elit politik, yang tidak pernah tuntas terselesaikan. Kondisi ini mencerminkan betapa lemahnya Law Enforcement di Indonesia. Pejabat tinggi negara saat ini sulit diandalkan untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan bangsa dengan efektif. Parahnya seringkali perilaku yang ditampilkan para pejabat negara dirasakan justru memperburuk keadaan ketimbang menenangkannya.

  Jajaran birokrasi mendapat sorotan, bahkan kritikan yang tajam, seperti perangai arogan, organisasi yang tambun, geraknya yang lambat, sifatnya yang korup, profesionalisme dan produktivitas yang rendah, serta hal lain yang sejenis.

  Oleh karenanya untuk mewujudkan Good Governance tindakan pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki birokrasi pemerintahan (reformasi birokrasi). Reformasi ini diarahkan untuk membangun kualitas birokrasi yang sesuai dengan tuntutan Good

  Governance keteladanan dan

  kepemimpinan elit (pejabat publik) sangat dibutuhkan untuk membangun citra Good Governance di Indonesia, karena bangsa Indonesia sangat kuat menganut budaya paternalistik. Rakyat selalu meniru pemimpinnya apabila pejabat publik memberikan contoh yang baik, maka rakyat akan mengikutinya, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian harus dimulai dengan komitmen para pejabat publik untuk berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip Good Governance.

  Dari uraian tersebut diatas, secara spesifik yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Pelaksanaan Reformasi Birokrasi yang mendukung Pembangunan Hukum di Indonesia.

METODE PENELITIAN

  Pendekatan masalah dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dalam arti menelaah kaedah-kaedah atau norma- norma dan aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Data yang digunakan dalam menunjang penelitian adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang didapat dari bahan-bahan kepustakaan, peraturan perundang- undangan yang berlaku, dan teori- teori yang ada dalam literatur- literatur yang berkaitan dengan Reformasi Birokrasi, Hukum Administrasi Negara dan Etika Administrasi Negara.

  Sumber data sekunder dalam penelitian ini didukung dengan : a. Bahan Hukum Primer, antara lain dari Ketetapan Majelis

  Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR), Peraturan Perundang- Undangan, Peraturan Pemerintah dan berbagai macam Keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden dan Peraturan-Peraturan Menteri.

  b. Bahan Hukum Sekunder, antara lain berupa tulisan-tulisan dari para pakar yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti ataupun yang berkaitan dengan bahan Hukum Primer, meliputi literatur-literatur, jurnal ilmiah dan makalah-makalah.

  c. Bahan Hukum Tertier, antara lain berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan Hukum Primer dan bahan Hukum Sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa asing, artikel-artikel pada majalah dan surat kabar, serta media elektronik.

  Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari, mengutip dan menelaah literatur-literatur serta bahan-bahan yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Selanjutnya data sekunder tersebut diolah, diteliti dan dievaluasi, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan materi pembahasan masalah.

  Sebagai tindak lanjut dari pengumpulan dan pengolahan data, dilakukan analisa data secara kualitatif yaitu dengan memberikan arti dan kemudian diuraikan dengan kalimat per kalimat secara jelas serta dihubungkan untuk menjawab permasalahan yang ada untuk ditarik kesimpulan sehingga dapat memberikan gambaran secara umum terhadap permasalahan yang dibahas.

  PEMBAHASAN

  Setiap warga negara selalu berhubungan dengan aktivitas birokrasi pemerintahan. Tidak henti- hentinya orang harus berurusan dengan birokrasi, sejak berada dalam kandungan sampai meninggal. Dalam setiap sendi kehidupan kalau seseorang tinggal disebuah tempat dan melakukan interaksi sosial dengan orang lain serta merasakan hidup bernegara, maka keberadaan birokrasi pemerintahan menjadi suatu

  conditio sine quanon yang tidak bisa

  ditawar-tawar. Begitu luasnya ruang lingkup jasa pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah sehingga semua orang mau tidak mau harus menerima bahwa intervensi birokrasi melalui pelayanan umum itu absah keberadaannya, akan tetapi pertanyaan-pertanyaan etis kembali muncul sehubungan dengan kurangnya perhatian (concern) para aparatur birokrasi terhadap kebutuhan warga negara tersebut. Untuk memperoleh pelayanan yang sederhana saja, pengguna jasa sering dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang terkadang mengada-ada. Kecuali itu rutinitas tugas-tugas pelayanan dan perekanan yang berlebihan kepada pertanggungjawaban formal telah mengakibatkan adanya prosedur yang kaku dan lamban. Para pegawai tidak lagi merasa terpanggil untuk meningkatkan efisiensi dan memperbaiki prosedur kerja tetapi lebih sering justru menolak adanya perubahan. Etos kerja yang cenderung mempertahankan status quo ini telah menumbuhkan persepsi masyarakat bahwa berhubungan dengan birokrasi berarti berhadapan dengan berbagai prosedur yang berbelit-belit, makan waktu, dan menyebalkan.Yang lebih parah prosedur yang mencekik itu acapkali ditunggangi oleh kepentingan pribadi dan dijadikan komoditas yang diperdagangkan untuk keuntungan pribadi maupun kelompok. Ketentuan bahwa birokrasi punya kewajiban untuk melayani masyarakat menjadi terbalik sehingga bukan lagi birokrasi yang melayani masyarakat tetapi justru masyarakat yang melayani birokrasi.

  Banyak faktor yang mempe- ngaruhi begitu buruknya tata kerja dalam birokrasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di kantor- kantor pemerintah kita akan melihat bahwa banyak pegawai yang datang ke kantor hanya untuk mengisi presensi, membaca koran, main catur, menyebar gosip, sementara pekerjaan- pekerjaan yang diselesaikannya sungguh tidak sepadan dengan waktu yang telah dihabiskannya.

  Oleh sebab itu langkah debiro- kratisasi merupakan hal yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, dan pelaksa- naannnya pada jajaran aparat pemerintahan hendaknya dijaga konsistensinya. Prosedur yang kaku hendaknya dihapus sehingga suasana kerja akan mendukung berkembang- nya inovasi dan perubahan yang menuju peningkatan kualitas pelayanan. Perizinan disederhanakan sampai ke tingkat yang benar-benar diperlukan. Berbagai peraturan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kelancaran tugas harus dipotong dan pelayanan hendaknya diberikan secara adil dan merata. Kalau perlu pelayanan yang sudah tidak terjangkau lagi oleh jaring-jaring biro- krasi pemerintahan dapat diserahkan kepada pihak-pihak swasta. Dengan demikian akan tercipta suasana persaingan yang sehat bagi organisasi- organisasi pelayanan publik, dan masyarakat akan dapat memperoleh kualitas pelayanan yang maksimal.

  Bentuk organisasi birokrasi yang diharapkan memiliki daya tanggap yang baik terhadap kepentingan- kepentingan umum adalah bentuk organis- adaptif. Ciri-ciri pokok yang terdapat dalam struktur yang organis- adaptif antara lain :

  1. Berorientasi kepada kebutuhan para pemakai jasa.

  2. Bersifat kreatif dan inovatif

  3. Menganggap sumber daya manu- sia sebagai modal tetap jangka panjang (longterm fixed asset)

  4. Kepemimpinan yang memiliki kemampuan mempersatukan ber- bagai kepentingan dalam organisasi, sehingga dapat menumbuhkan sinergisme.

  Maka birokrasi yang adaptif mengandalkan adanya proses komunikasi timbal- balik antara manajer atau pemimpinan dengan karyawan atau bawahan. Garis pengambilan keputusan vertikal tidak boleh terlalu panjang. Konsep sinergisme diterapkan dengan asumsi bahwa pekerjaan yang dilaksanakan dengan kerjasama dan pemikiran orang banyak akan membawa hasil yang optimal, sementara itu para pegawai secara individual harus lebih peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan tidak membeda- bedakan pelayanan antara warga negara yang satu dengan warga negara yang lain.

  Pejabat negara sebagai bagian dari organisasi publik (birokrasi) wajib menaati aturan main yang terdapat didalamnya, dan sebagai anggota masyarakat wajib mengusahakan kesejahteraan untuk bagian terbesar masyarakat.

  Jelas bahwa birokrasi hendaknya tidak diisi dengan orang- orang yang lemah, baik secara rasional maupun secara etis. Sekali lagi kita harus melihat kenyataan bahwa masyarakat sering kali tidak membedakan antara masalah-masalah yang menyangkut mekanistis dan rasionalitas dengan masalah-masalah yang menyangkut integritas dan moralitas individu yang melaksanakannya.

  Sehubungan dengan kedudukannya dalam masyarakat, pejabat negara juga harus menghadapi dilema yang berkenaan dengan aturan dan prosedur dalam organisasi. Aturan, standar dan prosedur ditetapkan dengan maksud untuk menjaga keadilan, keterbukaan, kedalaman analisis, dan tanggung jawab dalam urusan-urusan publik. Mereka yang sering menerobos atau mengambil jalan pintas berarti melanggar satu aspek legalitas yang paling berharga : aturan hukum (the

  rule of law ). Meskipun prosedur bisa

  menjadi sarana dalam menentukan keputusan dan menjaga keteraturan, ia juga bisa menjadi penghambat keinginan dan arus tindakan. Maka flexibilitas prosedural dalam urusan publik hanya dapat dicapai dengan tindakan dan keputusan yang optimis, berani, dan adil yang ditunjang dengan itikad baik. Kemampuan untuk mengambil inisiatif, ketegasan, keberanian bertindak, kejujuran, dan kepekaan terhadap masalah-masalah publik merupakan ciri-ciri kualitas individu yang terbentuk dari proses yang panjang. Demikian pula penggunaan wewenang untuk bertindak sesuai dengan aturan dan sekaligus masuk akal oleh para pejabat merupakan prasyarat bagi terciptanya birokrasi yang bersih dan berwibawa.

  Untuk pengembangan pribadi- pribadi yang tangguh dan menciptakan aparatur yang bersih dan berwibawa, dan sekaligus profesional, ada beberapa aspek pengembangan kualitas manusia yang diperlukan, yakni :

  1. Pengembangan Sosial (social

  development ), yaitu untuk

  meningkatkan berbagai keahlian dan keterampilan dalam membina hubungan antar pribadi. Proses administratif membutuhkan keterampilan dalam membina hubungan baik dengan atasan, rekan sekerja, maupun bawahan sehingga interaksi sosial dalam organisasi dapat berjalan dengan baik.

  2. Pengembangan Emosional (emotional development ), untuk membina kesadaran diri yang lebih besar dan ketangguhan emosi. Syarat bagi pejabat yang baik adalah yang dapat mengontrol emosinya sehingga setiap persoalan dalam organisasi dapat terpecahkan dengan cara rasional.

  3. Pengambangan Intelektual (intellectual development), untuk memajukan pengetahuan, kearifan, dan berbagai keterampilan praktis. Para administrator organisasi publik dituntut memiliki pengetahuan yang menunjang pemahamannya mengenai persoalan-persoalan publik serta membuat keputusan- keputusan yang tepat.

  4. Pengembangan Watak (character

  development ), merupakan upaya

  untuk menyempurnakan perilaku manusia-manusia sehingga senantiasa sejalan dengan moral dan nilai-nilai etika. Kesadaran mengenai norma-norma etis juga merupakan bagian dari pengembangan watak.

  5. Pengembangan Spiritual (spiritual

  development ), yaitu usaha

  memupuk kesadaran yang lebih besar terhadap makna kehidupan dan makna kemanusiaan. Pengambangan spiritual juga merupakan sarana utama untuk membentuk kepribadian manusia yang tangguh.

  Permasalahan yang menyangkut tugas-tugas kedinasan atau tugas- tugas administrasi negara terkadang memang begitu rumit sehingga tanpa kecermatan dan kehati-hatian seorang pejabat akan mudah tergelincir dan melakukan tindakan penyelewengan tanpa disadarinya. Seorang pejabat yang mula-mula bekerja dengan jujur dan penuh pengabdian bisa saja tiba-tiba berubah karena ajakan dari rekan kerjanya. Banyak pula pejabat yang mula-mula berdedikasi tinggi dan bersih lambat laun terseret arus lantaran suasana di tempat kerjanya yang penuh dengan intrik dan penyelewengan. Karena itu para pegawai dan pejabat perlu sangat hati-hati dalam bertindak dan senantiasa mengingat kode-kode etik serta keluhuran nilai-nilai moral. Setiap pengaruh yang mengarah kepada hal-hal yang negatif hendaknya ditolak sedini mungkin sebelum terlampau jauh dalam melangkah hingga sulit untuk kembali.

  Paul

  H. Douglas, dalam bukunya

  Ethics in Government

  , mengemukakan beberapa tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat publik yaitu :

  1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatas namakan jabatan kedinasan.

  2. Menerima segala suatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentingan kedinasan atau pemerintah.

  3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat ia berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.

  4. Membocorkan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak- pihak yang tidak berhak.

  government , Osborne dan Gaebler

  Market ;

  2. Leverageing Change Through The

  1. Steering Rather Than Rowing Disini pemerintah hanya berfungsi sebagai pengarah, daripada melaksanakan tugas-tugas operasional. Artinya birokrasi pemerintah tidak perlu lagi menjadi pelaku utama pasar, tetapi lebih berfungsi mengarahkan pasar melalui kebijakan publik. Dengan demikian, apabila sektor privat dan organisasi masyarakat (LSM) telah mampu melakukan pekerjaan secara lebih baik dibandingkan dengan pemerintah, maka pemerintah tidak perlu lagi menangani pekerjaan sejenis. Disini pemerintah cukup memanfaatkan mekanisme pasar untuk mendorong perubahan.

  reinventing government yaitu :

  kewirausahaan) guna melaksanakan dan mewujudkan visi dan misi organisasi pemerintah. Semangat kewirausahaan tersebut selanjutnya diterjemahkan kedalam sepuluh prinsip yang dapat dijadikan panduan

  entrepreneurial spirit (semangat

  memberikan kata kunci, yaitu birokrasi pemerintah harus memiliki

  Untuk memahami reinventing

  5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.

  masyarakatnya tinggi, tetapi pemikiran ini dapat dijadikan referensi bagi upaya reformasi birokrasi pemerintahan di Indonesia.

  sector ) sudah kuat dan partisipasi

  1992), yaitu perubahan-perubahan yang dilakukan guna menemukan kembali (reinventing) prinsip-prinsip birokrasi pemerintahan yang baik (good governance ). Meskipun pemikiran reinventing government didasari oleh sistem sosial ekonomi dan politik masyarakat yang sudah maju, dimana sektor swasta (privat

  government (Osborne dan Gaebler,

  harus dilakukan adalah memperbaiki birokrasi pemerintahan (reformasi birokrasi). Reformasi birokrasi ini dapat dilakukan dengan reinventing

  governance tindakan pertama yang

  Untuk mewujudkan good

  Contoh diatas hanya merupakan sebagian dari unsur tindakan yang kelihatannya remeh tetapi bisa berakibat serius bagi integritas seorang pejabat, termasuk bagi kemungkinan untuk merugikan negara. Untuk memiliki kecermatan dan kepekaan terhadap hal-hal yang seharusnya tidak diperbolehkan, seorang pejabat memang perlu selalu mawas diri dan merenungkan kembali tugas-tugas yang telah dia lakukan di kantor maupun di tengah masyarakat.

  3. Empowering Rather Than Serving Tugas utama pemerintah adalah memberdayakan masyarakat dibanding melayani secara terus menerus. Melalui pemberdayaan masyarakat ini pada akhirnya akan terwujud kemandirian dan menghilangkan ketergantungan masyarakat kepada pelayanan pemerintah.

  4. Injecting Competition Into Service Delivery .

  Untuk mewujudkan reinventing tersebut Osborne dan Plastrik (1997) memberikan lima strategi, yaitu :

  Entrepreneurieal dalam organisasi,

  Yaitu menciptakan suatu budaya

  5. The Culture Strategy

  Pengawasan dan pemberian laporan tidak hanya oleh atasan, tetapi juga oleh masyarakat pemanfaat (penerima layanan).

  4. The Control Strategy

  Yaitu suatu upaya pemberian pelayanan publik yang berorientasi kepada pemanfaat. Artinya dalam mengorganisasikan pelayanan publik lebih berorientasi kepada misi daripada kekuasaan.

  3. The Customer Strategy

  Yaitu membagi organisasi menjadi bagian / kelompok kecil atau menyatukan beberapa unit organisasi menjadi satu guna meningkatkan kinerja organisasi.

  2. The Consequences Strategy

  1. Creating Core Strategy Artinya setiap organisasi perlu menciptakan sebuah pernyataan tentang misi, melalui pernyataan misi yang jelas, selanjutnya akan dapat menggerakkan organisasi secara keseluruhan dari tingkat atas sampai bawah.

  Organisasi pemerintah harus diarahkan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dan tim kerja, bukan membangun struktur yang jauh dari jangkauan masyarakat.

  Dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat perlu dilakukan kompetisi agar pelayanan tersebut lebih efisien.

  10. From Hierarchy To Participation And Team Work.

  9. Preventing Rather Than Care Agar kerugian yang lebih besar tidak dialami pemerintah, maka tindakan pencegahan terhadap munculnya masalah harus diutamakan dibanding mengatasi masalah tersebut.

  Pemerintah harus berusaha untuk mengusahakan pendapatan yang memadai, dibanding hanya menghitung pengeluaran.

  8. Earning Rather Than Spending.

  Berbagai pelayanan yang diberikan pemerintah harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat luas, bukan untuk kepentingan birokrasi.

  7. Meeting The Need Of The Customers, Not The Bureaucracy .

  Berbagai pembiayaan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus diarahkan untuk membiayai hasil dan bukan inputnya.

  6. Funding Outcomes Not Inputs.

  Dalam melaksanakan pekerjaan, pemerintah harus menekankan pada upaya pencapaian misi dan sasaran yang telah ditetapkan, dan bukan pada pelaksanaan aturan- aturan.

  5. Transforming Rule-Driven Organization .

  guna mencapai strategi organisasi yang telah ditetapkan dalam misi organisasi. Perjuangan untuk mewujudkan

  good governance dengan demikian

  3. Dalam beberapa hal kita kerap kali menemukan birokrasi terlalu kaku dan berlebih-lebihan dalam menerapkan berbagai prosedur, sehingga perlu dilakukan tindakan-tindakan yang dikenal sebagai debirokratisasi.

  governance. Pendekatan learning process yang diperkenalkan oleh David C.

  Korten (1984) merupakan cara yang cukup efektif untuk mewujudkan hal ini. Dalam pendekatan ini para pejabat publik dapat belajar dari kesalahan (embracing error) untuk proses memperbaiki diri. Selanjutnya melalui kesalahan tadi, para pejabat publik dapat belajar efektif (learning to

  be effective ) dan melangkah menuju

  belajar efisien (learning to be efficient), untuk pada akhirnya belajar mengembangkan diri (learning to be

  expand ) menuju kualitas pejabat

  publik dan good governance yang dicita-citakan.

  harus dimulai dengan komitmen para pejabat publik untuk berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip good

  4. Peraturan perundang-undangan yang mengatur birokrasi dan perilaku birokrat yang terbit sejak zaman kolonial ternyata masih belum berorientasi paradigma era reformasi.

SIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN

  2. Pemerintahan yang baik dan bersih akan menghasilkan tingkat kepercayaan yang besar dari kalangan masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Dengan terciptanya pemerintahan yang bersih dan kuat, maka dependensi pemerintah terhadap kalangan tertentu baik di dalam negeri maupun pihak asing, akan hilang dengan sendirinya. Dengan bgitu, pemerintah menjadi kuat dan diharapkan menegakkan hukum dalam semua bidang kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dapat berjalan sebagaimana mestinya.

  SARAN

  1. Perlu ada satu sistem birokrasi yang memiliki komitmen untuk mengutamakan pelayanan pada masyarakat sehingga bisa memberikan pelayanan yang efisien, biaya murah, dan tidak diskriminatif.

  2. Perlu melakukan sinkronisasi dan harmonisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang mendukung reformasi birokrasi serta menyusun undang-undang tentang pelayanan publik, administrasi pemerintahan, dan perilaku aparatur.

  3. Perlu peningkatan patisipasi publik dalam setiap tahap pembuatan peraturan perundang-

  1. Untuk menciptakan birokrasi yang professional dalam pelayanan publik, langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah membuat batasan tegas apa yang harus dilakukan oleh birokrasi dan bagaimana melakukannya. undangan, khususnya yang Publishing Company Inc, New berkaitan dengan pengawasan York. publik.

  Osborne, David and Peter Plastrik,

  4. Perlu melakukan pembaharuan 1997, Banishing Bureucracy : The hukum terhadap peraturan

  Five Strategies For Reinventing

  perundang-undangan mengenai

  Government, Addison Wesley

  birokrasi yang : Publishing Company Inc, New

  a. Berparadigma desentralisasi York.

  b. Berorientasi kepada pelayanan publik Sinambela, Mahadi dan Azhari, 2003,

  c. Berlandaskan pada prinsip-prinsip

  Dilema Otonomi Daerah & Masa

  tata kelola pemerintahan yang

  Depan Nasionalisme Indonesia,

  baik Penerbit Balairung & Co,

  d. Menghapus ego sektoral Yogyakarta.

  e. Menutup semua celah yang manipulatif dan berpotensi KKN Komisi Hukum Nasional Republik

  f. Populis dan Responsif Indonesia, 2005, Semua Harus

  Baik, Newsletter KHN, Vol. 4,

  No. 5, Januari – Februari 2005, DAFTAR PUSTAKA Jakarta. Ketetapan Majelis Permusyawaratan

  Israwan Setyoko, Paulus, 2002, Good Rakyat (TAP MPR) Nomor :

  Governance di Indonesia : Sebuah

  XI/MPR/1998 Tentang Penye-

  Perjuangan, Universitas Jen-

  lenggaraan Negara Yang deral Soedirman, Purwokerto. Bersih dan Bebas Dari Ko- Kumorotomo, Wahyudi, 1999, Etika rupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

  Administrasi Negara, PT. Raja

  Undang-Undang Nomor 31 Tahun Grafindo Persada, Jakarta.

  1999 jo. Undang-Undang Osborne, David and Ted Gaebler, Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

  1992, Reinventing Government : Pemberantasan Tindak Pidana How The Entrepreneurial Spirit Korupsi.

  Is Transforming The Publik Sector, Addison Wesley

Dokumen yang terkait

Cipto Sembodo Dosen FAI UCY c.sembodogmail.com abstract - Tampilan DARI KHILAFAH KE NATION-STATES: TRANSFORMASI HUKUM ISLAM ERA MODERN

0 0 15

TELAAH FILSAFAT HUKUM DALAM PEMBAGIAN WARISAN ISLAM

0 0 12

REORIENTASI PERANAN PESANTREN PADA ERA PEMBANGUNAN MENUJU PARTISIPASI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BAWAH

1 1 6

FENOMENA MAMAH DEDEH, EKSPRESI ISLAM PROGRESIF YANG MERAKYAT DI ERA GLOBAL

0 0 11

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI PEREKAT BUDAYA NUSANTARA: MENUJU INDONESIA YANG LEBIH BAIK

0 0 8

INTRODUKSI CARA-CARA PENGOLAHAN PANGAN YANG BAIK (CPPB) DAN PERALAT AN MEKANIS UNTUK PERBAIKAN PROSES PRODUKSI UKM ROTTERDAM BAKERY INTRODUCTION OF GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP) AND MECHANICAL EQUIPMENT TO IMPROVE PRODUCTION PROCESS OF SME ROTTERDAM

0 0 7

KONFIRMASI GEN YANG MENCIRIKAN EKSPRESI ANTOSIANIN PADA BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) GENE CONFIRMATION THAT CHARACTERIZE ANTHOCYANIN EXPRESSION IN COMMON BEAN (Phaseolus vulgaris L.)

0 0 7

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT BUD SET DUA VARIETAS TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TERHADAP KOMPOSISI MEDIA TANAM YANG BERBEDA BUD SET SEEDLING GROWTH RESPONSE OF TWO SUGARCANE VARIETIES (Saccharum officinarum L.) TO DIFFERENT PLANTING MEDIA COMPOSITIO

0 0 8

ANALISIS KINERJA SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH DI PROVINSI SULAWESI BARAT (PERFORMANCE ANALYSIS OF AGRICULTURAL SECTOR IN REGION DEVELOPMENT IN WEST SULAWESI)

0 0 7

FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PRODUKSI DAN TINGKAT EFISIENSI TEKNIS PADI SAWAH DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR (FACTORS THAT INFLUENCE TO PRODUCTION AND THE LEVEL OF TECHNICAL EFFICIENCY OF LOWLAND RICE IN POLEWARI MANDAR REGENCY)

0 0 8