MAKALAH PERSONAL CALON ANGGOTA DEWAN PEN
MAKALAH PERSONAL CALON ANGGOTA
DEWAN PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR
PERIODE 2016-2021
Oleh: ICHSAN MAULANA ST.MM
JUDUL MAKALAH :
MANUSIA, PENDIDIKAN DAN PROFESIONALISME PENDIDIK
Judul makalah ini saya sajikan sesuai dengan bidang tugas dan keilmuan yang
saya tekuni selama ini, baik sebagai pengusaha maupun sebagai pendidik.
“It all start with people”. Manusia merupakan titik sentral bagi seluruh aktivitas dan
dinamika dunia. Dan ketika kita berbicara tentang sejarah, peradaban, dan tentang
pendidikan, maka yang menjadi fokus atau topik pembicaraan kita adalah tentang
manusia itu sendiri. Dibalik pendidikan yang dilakukan, sedang ditata, diatur, dan
ditingkatkan adalah kualitas dan harkat serta martabat manusia.
Manusia diciptakan dan telah diberikan anugerah luar biasa oleh Sang Maha
Pencipta, berupa kalbu (heart), pikiran (mind), dan jiwa (soul). Manusia pada
dasarnya adalah pemimpin “in nature” yang dapat mencapai derajat tertinggi dengan
harkat dan martabatnya, pendidikan, kompetensi / profesionalisme dan karakter /
personality dengan menyelaraskan heart, mind, and soul dan kecerdasan intelektual
(IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).
Kalau kita bicara tentang manusia dan pendidikan, maka akan selalu memiliki
sisi-sisi menarik dan emosional yang memunculkan tarik-menarik antara konsep
pendidikan
yang
kepintaran
dalam
menitik-beratkan
ilmu
pada
pengetahuan)
pendidikan
dengan
intelektual
yang
(kecerdasan,
menitik-beratkan
pada
pendidikan karakter (kepribadian, sikap, perilaku, budi pekerti, personality, sifat,
tabiat, temperamen, watak, motivasi, keterampilan). Keseimbangan pendidikan
intelektual dan pendidikan karakter yang diharapkan
mampu menjaga harkat dan
martabat manusia, menjadi cita-cita setiap upaya pendidikan yang direncanakan oleh
setiap bangsa dan negara.
Sejarah mencatat, bahwa pendidikan di Indonesia dimulai pada masa kerajaan
Sriwijaya 678 Masehi, dimana seorang pendeta Budha bernama I Tsing mengatakan
bahwa Palembang pada di masa tersebut merupakan pusat agama Budha dimana
pemikir dari berbagai negara berkumpul disana. Hanya saja, pendidikan saat itu belum
diatur dan hanya fokus pada ajaran agama Budha.
Dalam upaya meningkatkan mutu dan partisipasi pendidikan terus berlanjut
hingga kini. Mempelajari sejarah perkembangan pendidikan mestinya membuat kita
dapat memahami apa saja yang telah dicapai lewat pendidikan dan mengevaluasi
perbaikan yang dibutuhkan untuk menciptakan mutu dan partisipasi pendidikan yang
lebih baik.
Sejarah juga mencatat, pendidikan Indonesia pada zaman pendudukan
Belanda, diawali datangnya bangsa Portugis pada abad 16 ke Indonesia dengan tujuan
perdagangan dan menyebarkan agama katolik. Untuk itu para pendatang Portugis
tersebut mendirikan sekolah yang bertujuan memberikan pendidikan baca, tulis dan
hitung sekaligus untuk mempermudah penyebaran agama katolik, hingga akhirnya
masuknya masa pendudukan Belanda yang membuat kegiatan belajar mengajar di
sekolah milik pendatang Portugis menjadi terhenti.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Belanda untuk menyebarkan agama
protestan dengan melanjutkan apa yang sudah dirintis oleh bangsa Portugis dengan
mengaktifkan kembali sekolah berbasis keagamaan dan sekolah baru dibeberapa
wilayah. Ambon adalah wilayah pertama yang dipilih oleh Belanda dan setiap tahunnya,
beberapa penduduk asli Ambon dikirim ke Belanda untuk dididik menjadi guru. Setelah
sukses mengembangkan pendidikan d Ambon, Belanda memperluas pendidikan di
pulau Jawa dengan mendirikan sekolah di Jakarta (Batavia) pada tahun 1617 M, dan
hingga tahun 1627 M telah terdapat 16 sekolah yang didirikan oleh Belanda dengan
jumlah siswa sekitar 1300.
Memasuki sistem tanam paksa oleh Belanda pada abad ke 19, dimana Belanda
membutuhkan banyak tenaga ahli, keadaan ini membuat Belanda mendirikan 20
sekolah untuk penduduk Indonesia di setiap ibukota karesidenan, dimana pelajarnya
hanya boleh berasal dari kalangan bangsawan, hingga berakhirnya era sistem tanam
paksa dan memasuki masa politik etis, beberapa sekolah Belanda mulai menerima
pelajar dari berbagai kalangan yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Rakjat.
Pada akhir era abad ke 19 dan awal abad ke 20, Belanda memperkenalkan
sistem pendidikan formal bagi masyarakat Indonesia dengan struktur sebagai berikut:
ELS (Europeesche Lagere School) – Sekolah dasar bagi orang eropa.
HIS (Hollandsch-Inlandsche School) – Sekolah dasar bagi pribumi.
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) – Sekolah menengah.
AMS (Algeme(e)ne Middelbare School) – Sekolah atas.
HBS (Hogere Burger School) – Pra-Universitas.
Memasuki abad ke 20, Belanda memperdalam pendidikan di Indonesia dengan
mendirikan sejumlah perguruan tinggi bagi penduduk Indonesia di pulau Jawa.
Beberapa perguruan tinggi tersebut adalah:
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) – Sekolah kedokteran di
Batavia.
Nederland-Indische Artsen School (NIAS) – Sekolah kedokteran di Surabaya.
Rechts Hoge School – Sekolah hukum di Batavia.
De Technische Hoges School (THS) – Sekolah teknik di Bandung.
Era pendidikan Indonesia pada zaman pendudukan Jepang, sistem
pendidikan Belanda dihentikan dan digantikan oleh sistem pendidikan dari Jepang.
Jepang menyediakan sekolah rakyat (Kokumin Gakko) sebagai pendidikan dasar,
sekolah menengah sebagai pendidikan menengah, dan sekolah kejuruan bagi guru.
Berbeda dengan sistem pendidikan Belanda yang dibatasi bagi kalangan tertentu,
pendidikan yang diterapkan Jepang tersedia bagi semua kalangan.
Jepang melarang sekolah mengadakan pendidikan dalam bahasa Belanda.
Mereka menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama diikuti bahasa Jepang
sebagai bahasa kedua. Selain itu, Jepang juga banyak menanamkan ideologi mental
kebangsaan dengan memberlakukan tradisi seperti menyanyikan lagu kebangsaan
Jepang, senam bersama menggunakan lagu Jepang (taiso), mengibarkan bendera, dan
penghormatan terhadap kaisar.
Sejarah Pendidikan Indonesia 1945 – 1965, setelah Indonesia merdeka,
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) mengusulkan pembaruan
pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara, yang saat itu menjabat Menteri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan Indonesia, membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran
untuk menyediakan struktur, bahan pengajaran, dan rencana belajar di Indonesia.
Kurikulum
ini
diharapkan
dapat
meningkatkan
kesadaran
bernegara
dan
bermasyarakat, meningkatkan pendidikan jasmani, dan pendidikan watak. Dari upaya
tersebut, disusunlah kurikulum SR 1947 yang terdiri dari 15 mata pelajaran.
Memasuki era demokrasi liberal pada 1950, pelaksanaan pendidikan Indonesia
diatur dalam UU no. 4 Tahun 1950 dan diperbarui menjadi UU no. 12 tahun 1954.
Pendidikan dan pengajaran bertujuan membentuk manusia susila yang cakap dan
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
masyarakat dan tanah air. Seiring dengan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, Indonesia
kembali menggunakan UUD 1945 sebagai dasar negara. Meskipun demikian,
perubahan ini tidak banyak mengubah sistem pendidikan yang telah berlangsung di
Indonesia.
Pada periode ini, pendidikan di Indonesia telah tersusun atas beberapa jenjang
yang merupakan pengembangan dari jenjang yang terdapat pada jaman pendudukan
Belanda. Jenjang pendidikan di Indonesia di zaman tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Taman Kanak-kanak (TK). TK dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian A (anak 4
tahun) dan bagian B (anak 5 tahun). TK ditujukan untuk membantu perkembangan
anak, serta interaksi anak dengan alam dan lingkungan masyarakat sekitar.
2. Sekolah Dasar (SD). SD berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan
dasar pengetahuan yang dibutuhkan untuk anak. SD memiliki peran penting sebagai
dasar pembangunan kehidupan bangsa sehingga diharapkan menjadi lembaga
pendidikan yang lengkap, fungsional, dan ilmiah.
3. Sekolah Menengah Pertama (SMP). SMP merupakan lembaga pendidikan setelah
SD
dimana
siswa
diharapkan
dapat
memperdalam
keilmuan
dasar
dan
memanfaatkannya sebagai keterampilan untuk hidup. Setiap pelajar akan
mengambil satu mata pelajaran keahlian spesifik yang sesuai dengan minat dan
bakatnya.
4. Sekolah Menengah Atas (SMA). SMA merupakan lembaga yang mengajarkan
keahlian atau keterampilan spesifik. Oleh karena itu, SMA sering disebut juga
sekolah kejuruan. Masa pendidikan berlangsung 4 tahun dimana lulusan SMA akan
mendapat gelar sarjana muda.
5. Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi di Indonesia terdiri dari Universitas, Institut,
Sekolah Tinggi, dan Akademi. Universitas minimum terdiri dari 4 fakultas yang
meliputi bidang keagamaan, ilmu budaya, ilmu sosial, ilmu eksakta, dan teknik.
Institut bertujuan melaksanakan pendidikan dan melakukan penelitian. Sekolah
tinggi difokuskan pada pendidikan untuk satu cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan
akademi menyediakan pendidikan untuk keahlian khusus.
6. Pendidikan Guru. Pendidikan guru di Indonesia mengalami dinamika sepanjang
periode ini. Awalnya, terdapat Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang
tergabung dalam Universitas FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan).
Ketidakpuasan atas FKIP membuat departement PP&K mendirikan Institut
Pendidikan Guru (IPG) yang menimbulkan konflik antar kedua belah pihak. Konflik
ini ditengahi oleh Presiden melalui Kepres No. 3/1963 dimana FKIP dan IPG dilebur
menjadi IKIP.
Pendidikan Indonesia Era 1965 – 1995, memasuki tahun 1965, pendidikan di
Indonesia memiliki misi untuk mengajarkan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila. Untuk
melaksanakan misi tersebut, departemen pendidikan dan kebudayaan menyusun
kurikulum yang mencakup prinsip dasar Pancasila.
Implementasi dari misi tersebut diawali dengan perubahan kurikulum di setiap
jenjang pendidikan. Melalui kurikulum SD 1968, pendidikan dasar diharapkan dapat
menyampaikan materi untuk mempertinggi mental budi pekerti, memperkuat keyakinan
agama, serta mempertinggi kecerdasan dan keterampilan. Sementara itu, kurikulum
SMP ditambah dengan pembentukan kelompok pembinaan jiwa pancasila, kelompok
pembinaan pengetahuan dasar, dan kelompok pembinaan kecakapan khusus.
Kurikulum SMA juga disempurnakan dengan tujuan membentuk manusia pancasila
sejati, mempersiapkan untuk masuk ke perguruan tinggi, serta mengajarkan keahlian
sesuai minat dan bakat.
Peningkatan pendapatan negara dari penjualan minyak membuat pemerintah
mampu mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk kebutuhan pendidikan.
Pemerintah kemudian mendirikan SD Inpres (Instruksi Presiden), merekrut lebih banyak
guru, mencetak buku pelajaran, dan mendirikan pusat pelatihan keterampilan.
Pada tahun 1989, melalui UU No. 2/1989, jenjang pendidikan di Indonesia
diperbarui menjadi tiga jenis yaitu:
Jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP).
Jenjang pendidikan menengah (SMU dan SMK).
Jenjang pendidikan tinggi.
Pendidikan Indonesia berkembang pesat pada periode ini. Pada 1973, jumlah
angka buta huruf di golongan usia muda Indonesia mencapai hampir 20 persen.
Pendirian SD Inpres, bersama dengan sekolah lainnya, membuat tingkat buta huruf di
Indonesia menurun signifikan. Pemerintah terus berusaha agar pendidikan dapat
menyebar dan dirasakan oleh hampir seluruh penduduk Indonesia.
Pendidikan Indonesia Era 1995 – 2005 memasuki tahun 1995, pendidikan
Indonesia menekankan pada pengembangan SDM yang mampu menjawab tantangan
masa depan. Terdapat empat prioritas utama pelaksanaan pendidikan yaitu:
1. Penuntasan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun.
2. Peningkatan mutu semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
3. Menghubungkan kebutuhan antara pendidikan dan industri.
4. Peningkatan kemampuan penguasaan iptek.
Pemerintah juga berusaha meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan
jumlah dan mutu pengajar, peningkatan mutu proses belajar mengajar, dan
peningkatan kualitas lulusan. Pemerintah juga berusaha menciptakan sekolah unggul
dan mengembangkan kurikulum yang menekankan perbaikan metode mengajar dan
perbaikan guru.
Pada tahun 1998, suasana politik di Indonesia mengalami gejolak yang
menyebabkan lahirnya era reformasi. Sistem pemerintahan berubah dari model
sentralisasi
menjadi
desentralisasi.
Penerapan
otonomi
daerah
membuat
penyelenggaraan pendidikan berubah menjadi otonomi pendidikan, terutama di jenjang
pendidikan tinggi. Pada masa peralihan kekuasaan, pendidikan di Indonesia masih
menerapkan kurikulum yang berlaku pada zaman orde baru. Kurikulum ini masih
digunakan pada masa pemerintahan presiden Abdurrachman Wahid dengan beberapa
perbaikan.
Sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan pada masa kepresidenan
Megawati melalui kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini berbasis pada 3 aspek
utama yaitu aspek afektif, aspek kognitif, dan aspek psikomotorik. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) memperbarui kurikulum tersebut menjadi kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) yang mencakup tujuan pendidikan, tingkat satuan
pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender
pendidikan, serta silabus.
Sejarah Pendidikan Indonesia 2005 – hingga kini (2015). Pemerintahan
presiden SBY berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia.
Upaya tersebut diawali penerbitan Instruksi Presiden No. 5 pada 09 Juni 2006 yang
bertujuan mempercepat penyelesaian wajib belajar 9 tahun. Upaya ini membuat
pemerintah melibatkan program pendidikan penyetaraan seperti paket A, B, dan C agar
dapat mengadopsi kurikulum sesuai dengan standar yang berlaku.
Masuknya
era
pemerintahan
presiden
Joko
Widodo
(Jokowi)
belum
menunjukkan indikasi munculnya upaya radikal dalam memajukan pendidikan di
Indonesia. Secara fundamental, kebijakan pendidikan masih sejalan namun dengan
beberapa perbaikan dan penyesuaian. Perubahan banyak terjadi pada tataran teknis
dan masyarakat masih menanti upaya pemerintah dalam mengatasi masalah dan
kekurangan dalam sistem pendidikan di Indonesia. (sumber: Sejarah Pendidikan di
Indonesia dan Perkembangannya Antar Generasi, Gilang 2015).
Belajar dari sejarah pendidikan di tanah air tercinta ini dari disetiap masa-masa
sebelumnya, dan melihat hasil pendidikan seperti sekarang ini, saya selaku calon
anggota Dewan Pendidikan JATIM periode 2016-2021, sesuai dengan bidang tugas
dan keilmuan yang saya tekuni selama ini akan memfokuskan pada pendidikan
karakter dan pendidikan kewirausahaan (entreprenuership education).
Manusia dianugrahi berupa kalbu (heart), pikiran (mind), dan jiwa (soul) serta
kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual
(SQ) yang dapat menghasilkan berbagai kreasi, karya dan inovasi. Namun, Sang Maha
Pencipta juga meletakkan dua sifat atau karakter yang melahirkan imajinasi positif
(membangun) dan imajinasi negatif (destruktif). Dengan anugrah tersebut wajar jika
manusia menjadi titik sentral berbagai macam aktivitas termasuk program dan kegiatan
pembangunan yang dianggap berhasil dan sukses jika mampu meningkatkan “nilai
(value)” manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu penting sekali berinvestasi dalam
sumber daya manusia (invesment in human capital) melalui pendidikan karakter
dan pendidikan kewirausahaan (entreprenuership education).
Urgensi terhadap pendidikan karakter dan pendidikan kewirausahaan
(entreprenuership
education)
adalah
kebutuhan
mendesak
dalam
rangka
memenangkan persaingan global, lihatlah keberhasilan negara-negara Asia Timur
seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan adalah keberhasilan strategi pendidikan
negara-negara tersebut dengan memberikan prioritas pada pengembangan aspek
human capital, dimana ketiadaan sumber daya alam (nature resourses) mendorong
mereka melakukan investasi pada sumber daya manusia (human resources) melalui
pendidikan dan pelatihan kewirausahaan (entreprenuership education) (Tjiptoherijanto
& Nagib, 2008).
Dalam makalah ini saya akan menyajikan 2 (dua) hal penting yang harus ditata
ulang dan dibenahi dalam sistem pendidikan di Indonesia saat ini, jika kita ingin
generasi penerus bangsa ini bisa bersaing secara global dan dihormati serta disegani
oleh bangsa lain. Yang pertama adalah pendidikan karakter, dan yang kedua adalah
pendidikan kewirausahaan (entreprenuership education).
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati,
jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”.
Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan
berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada
serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan
keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau
menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk
tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku
jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya
sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya,
yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis,
analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar,
berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil,
rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun,
ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner,
bersahaja,
bersemangat,
dinamis,
hemat/efisien,
menghargai
waktu,
pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis),
sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang
terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai
individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha
melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan,
bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan
potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya
(perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai
sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character
development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku
pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri,
yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan
mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu
perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter
dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people
understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind
of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge
what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right,
even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu
membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku
guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi,
dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang
sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan
warga
negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik,
dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat
atau bangsa, secara umum
adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena
itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks
pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang
bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian
generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari
nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut
sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila
berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa
nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan
isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama,
percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan;
baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain
mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat
dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani,
tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan
karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya
dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak
absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah
itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut
didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan
remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi
moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada
taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai
wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya
dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan
kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada
perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus
pendidikannya. Berhubungan dengan
pendekatan, sebagian pakar menyarankan
penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negaranegara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis
nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan
pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri
peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara
psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan
fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik)
dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan
berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual
and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan
Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective
and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai
berikut :
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral.
Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam
teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan
pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif,
dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)
mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan
kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga
unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi,
dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter
merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk
membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
(Sumber: Kemendiknas.2010.Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama. Jakarta)
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter
adalah merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.
Sebelum kita membahas topik ini lebih jauh lagi saya akan memberikan data dan
fakta berdasarkan sumber Litbang Kompas berikut:
158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011
42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011
30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI
Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU,KY, KPPU, Ditjen Pajak,
BI, dan BKPM.
Berdasarkan data fakta diatas, apa yang ada dipikiran kita ? itu adalah beberapa
kasus yang membuat hati di dada kita “terhentak” membaca kelakuan para pejabat
negara tercinta ini. Pendidikan karakter, sekarang ini mutlak diperlukan bukan hanya di
lingkungan sekolah saja, tapi dirumah dan di lingkungan sosial. Bahkan sekarang ini
peserta pendidikan karakter bukan lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia
dewasa. Dimana orang-orang yang pendidikan intelektualnya tinggi banyak terlibat
kasus korupsi.
Bayangkan apa persaingan yang muncul ditahun 2021 ? Yang jelas itu akan
menjadi beban kita dan orangtua masa kini. Saat itu, anak-anak masa kini akan
menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai belahan negara di dunia.
Bahkan kita yang masih akan berkarya ditahun tersebut akan merasakan perasaan
yang sama. Tuntutan kualitas sumber daya manusia pada tahun 2021 tentunya
membutuhkan karakter yang baik.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha
sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan
kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang
lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan
tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat
belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk
persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan
bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa
Indonesia, sanggupkah kita ?
Dikutip dari artikel yang dirilis media Inggris, The Daily Mail pada Kamis
(28/1/2016), posisi Indonesia, di daftar negara terkorup dan terbersih bernama
Corruption Perceptions Index itu, menunjukkan peningkatan. Untuk tahun 2015, dimana
Indonesia berada di era Jokowi, Indonesia juga menunjukkan peningkatan posisi dan
poin dari tahun sebelumnya. Tahun ini, dimana pertama kalinya Indonesia berada
dalam kendali Jokowi, Indonesia mendapat poin 34, dan berada pada posisi 88.
Ada 7 negara yang punya posisi yang sama dengan Indonesia, yakni Albania, Ajazair,
Mesir, Maroko, Peru, dan Suriname. Maka, bila dibandingkan dengan tahun 2014,
posisi ini jelas lebih baik.
Dalam peringkat yang juga dikeluarkan Transparency International, pada tahun
2014, Indonesia masih berada di posisi 107, dengan poin 32.
sehingga, bila dilihat dalam tabel di atas, angka yang ada di sebelah nama negara,
adalah poin dari tahun ke tahun. Bisa dilihat, 36 adalah poin Indonesia untuk tahun
2015, 34 untuk tahun 2014, 32 untuk tahun 2013, dan seterusnya.
Untuk tahun 2015, posisi dan poin Indonesia memang belum jadi yang terbaik di
antara negara Asia Tenggara. Tapi, di posisi ini, Indonesia masih lebih baik dari Filipina,
Vietnam, dan Myanmar. Bahkan, posisi ini bisa menunjukkan peningkatan, karena
tahun ini Indonesia sudah bisa menyalip Filipina.
Sementara itu, dalam daftar ini, Somalia dan Korea Utara, dinilai menjadi negara
paling korup sedunia. Kedua negara itu menghuni posisi paling bawah. Sebaliknya,
Denmark, Finlandia, dan Swedia, merupakan negara yang ada di posisi 3 besar untuk
urusan paling bersih.
Mengapa Denmark menjadi salah satu negara paling makmur di dunia? Padahal
negaranya tidak memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, padahal kondisi
musim di negara itu sangat ekstrim karena dekat dengan kutub utara. Padahal di negeri
ini matahari dan siang hari hanya sebentar saja, terutama di musim dingin.
Saya mencoba mencari referensi dan mengarah pada media sosial untuk
membuka sejarah negara Denmark. Melalui google meskipun saya agak risih juga
menggunakan google karena google tidak mau diperiksa oleh Dirjen Pajak berkaitan
pajak iklan yang tidak pernah dibayarkan sebagaimana seharusnya.
Dari info Wikipedia yang kebetulan saya baca ternyata Denmark adalah negara
paling nyaman untuk tempat tinggal manusia di dunia, negara dengan pendapatan
penduduk paling tinggi di dunia, juga menjadi negara paling makmur di dunia paling
bersih di dunia hingga mendapat gelar “Negeri Dongeng”.
Meskipun kemudian tingkat kenyamanannya tergeser oleh New Zealand. New
Zealand menempati urutan pertama negara paling nyaman untuk tempat tinggal
manusia di dunia.
Sebagai seorang pemilik bisnis dan pendidik (dosen), saya langsung berpikir
bahwa mungkin yang menjadi penyebab Denmark dan New Zealand menjadi negara
termakmur adalah karena pendidikan mereka yang sangat baik. Namun ternyata
dugaan saya keliru. Orang-orang Denmark justru percaya bahwa penyebab dari
negaranya menjadi negara termakmur, ternyaman dan teraman adalah karena
masyarakatnya jujur.
Orang Denmark percaya bahwa semua kebaikan yang ada di negaranya berawal
dari kejujuran, pada saat seorang jujur maka semua fasilitas umum untuk rakyat akan
terbangun dengan baik oleh pemerintah, sebagaimana mestinya sesuai standar mutu
yang telah ditetapkan di segala bidang mulai dari kesehatan, pendidikan, kesejahteraan
dan lain-lain.
Masyarakat Denmark percaya bahwa kejujuran bisa melahirkan segalanya.
Mereka percaya bahwa setiap manusia itu pintar, dengan kejujuran maka setiap
kepintaran manusia akan menjadi manfaat bagi sesama dan seluruh negeri. Mereka
yakin jika setiap aparat pemerintah jujur, mulai dari pejabat, menteri, polisi dan
seterusnya dan rakyatnya jujur maka sebuah negara bisa menjadi makmur tanpa perlu
menjadi yang paling pintar di bidang pendidikan.
Ternyata memang benar, Denmark masuk dalam salah satu negara dengan
tingkat korupsi nyaris nol, seperti juga di Finlandia dan New Zealand. Karena kejujuran
itulah akhirnya pendidikan di negara ini pun menjadi lebih baik dan sangat maju. Jadi
tidak salah jika kita katakan bahwa ketidak jujuran (mental korup), akan melahirkan
bencana berantai dalam sebuah negara.
Mereka begitu yakinnya bahwa kejujuran adalah awal dari semua kebaikan dan
bukannya kepintaran. Kira-kira 10 tahun silam, kejujuran dan etika moral adalah
prioritas utama, sedangkan kepintaran itu kita kembangkan kemudian, karena kita juga
yakin bahwa setiap anak terlahir pintar. Kita tidak terlalu pusing jika seorang anak
belum bisa berhitung saat masuk SD atau bahkan setelah sekolah SD, tapi kami sangat
peduli jika sorang anak tidak jujur dan beretika buruk.
Dan setelah membaca artikel ini sepertinya saya diingatkan kembali oleh Tuhan
Yang Maha Esa untuk tetap mempertahankan apa yang sudah kami yakini. Bahwa
karakter, perilaku dan kejujuran adalah landasan untuk membangun Indonesia yang
kuat dan makmur, bukan sekedar angka-angka akademik yang tertera di buku-buku
raport sekolah. Belajarlah juga dari pengalaman negara lain. Semoga kita bisa
mengawali dari lingkup terkecil, keluarga dan sekolah kita.
Sampailah saya pada akhir pembahasan tentang pendidikan karakter, dengan
mengutip yang apa dikatakan oleh Theodore Roosevelt yakni : “To educate a person
in mind and not in morals is to educate a menace to society.” Artinya, mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan pada aspek moral adalah
ancaman mara-bahaya kepada masyarakat.
Pendidikan Kewirausahaan (entreprenurship education) adalah usaha
terencana dan aplikatif untuk meningkatkan pengetahuan, intensi/niat dan kompetensi
peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya dengan di wujudkan dalam prilaku
kreatif, inovatif dan berani mengelola resiko. Pendidikan kewirausahaan merupakan
kajian internasional terkini dan terus di teliti dan di kembangkan secara dinamis di
seluruh belahan dunia.
Pendidikan kewirausahaan dilakukan mulai dari Universitas, Sekolah Menengah,
Sekolah dasar hingga ada playgroup of entrepreneurship untuk anak-anak. Maraknya
pendidikan kewirausahaan di seluruh dunia ini tidak lain karena semakin meningkatnya
kesadaran akan pentingnya karakter kewirausahaan pada generasi muda (kreatif,
inovatif
dan
berani
mengelola
resiko)
dan
pentingnnya
kedudukan
seorang
entrepreneur pada suatu motor pergerakan perekonomian suatu negara. Hal ini
dijelaskan secara gamblang oleh McClelland bahwa “Negara akan makmur jika
entrepreneur dalam suatu negara mencapai 2 % dari keseluruhan penduduknya”.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) Indonesia sangat sadar akan
pentingnya pendidikan kewirausahaan bagi kemajuan sumber daya manusia Indonesia
untuk menjawab tantangan masa depan. Oleh karena itu Dikti mempunyai programprogram unggulan untuk melaksanakan pendidikan kewirausahaan dalam program
mahasiswa
wirausaha
(PMW),
Co-operative,
Program
Kreativitas
Mahasiswa
Kewirausahaan (PKM-K) dan masih banyak lagi. Hal ini semua di lakukan untuk
meningkatkan pengetahuan, niat dan aktivitas kewirausahaan di kalangan mahasiswa.
Beberapa
pendapat
ahli
ketika
ditanyakan,
Kenapa
ada
pendidikan
kewirausahaan padahal banyak seorang wirausaha sukses tidak berpendidikan
formal tinggi ?,
Ir. Dede Martino Dosen Universitas Jambi menjawab, banyak
wirausaha sukses yang tidak kuliah itu karena mereka orang yang giat dan mencari
sendiri bagaimana menjadi wirausaha melalui pengalaman. Namun hal ini memerlukan
waktu yang lama. Oleh karena itu dalam pendidikan kewirausahaan kita akselerasi
pengalaman dan pola pikir. Dalam pendidikan kewirausahaan yang ingin kita didik
adalah menularkan pola pikir dan perilaku seorang wirausaha pada peserta didik hingga
dia berperilaku dan berwirausaha.
Kenapa masih sedikit pengusaha yang hasil pendidikan kewirausahaan
yang sukses dan menjadi pengusaha besar ?, Prof. Disman PD I FPEB UPI,
mengatakan, pendidikan kewirausahaan adalah untuk menjawab perubahan 5 tahun,
10 tahun mendatang. Pendidikan kewirausahaan adalah membentuk peserta didik
mandiri melalui pola pikir serta pemberian kompetensi dan skill. Jadi dalam pendidikan
kewirausahaan akan mengembangkan peserta didik berperilaku entrepreneur dan
menjawab tantangan masa depan. (Sumber: Ade Suyitno. 2013).
Jika hal yang sama ditanyakan kepada saya, Kenapa ada pendidikan
kewirausahaan padahal banyak seorang wirausaha sukses tidak berpendidikan
formal tinggi ? dan kenapa masih sedikit pengusaha yang hasil pendidikan
kewirausahaan yang sukses dan menjadi pengusaha besar ?, Untuk menjawab
kedua pertanyaan tersebut diatas, saya sebagai pengusaha dan pendidik berpendapat
bahwa untuk menjadi seorang wirausaha sukses tidak harus melalui pendidikan
kewirausahaan, karena kewirausahaan itu sendiri adalah passion atau talenta yang
dimiliki oleh setiap orang yang jika digali lebih dalam dan diasah ibaratnya seperti
sebuah pisau maka ia akan tajam. Kekuatan-kekuatan yang ada pada talenta tersebut
dapat dilihat sebagai penggabungan antara kalbu (heart), pikiran (mind), dan jiwa
(soul) dengan berbagai macam kombinasi, tentu saja tidak ada formula baku tentang
hal ini.
Kalbu (heart), pikiran (mind), dan jiwa (soul) yang berkombinasi pada tingkat
keseimbangan
yang
ideal
melahirkan
bentuk-bentuk
kekuatan
(power)
yang
menggerakkan manusia mencapai harkat dan martabat yang lebih tinggi.
Adapun kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan
kecerdasan spiritual (SQ) yang diperkenalkan oleh para ahli psikologi dan neurologi
seperti kecerdasan intelektual (IQ) oleh Alfred Binet ahli psikologi Perancis pada awal
abad ke 20, kecerdasan emosional (EQ) oleh Daniel Goleman (1995) seorang
neurolog dan psikolog dalam bukunya “Emotional Intellgence” menyatakan bahwa
kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya 80%
ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut kecerdasan emosional (EQ).
Selanjutnya Danah Zohar dan Ian Marshal (2000) dalam bukunya “Spiritual
Intelligence : the Ultimate Intelligence” mengklaim bahwa kecerdasan spiritual (SQ)
atau Spiritul Quotient adalah inti dari segala kecerdasan dan dapat melihat makna
dari setiap suatu peristiwa.
Kembali kita pada pembahasan kewirausahaan, berdasarkan data dari
Kementrian Koperasi dan UKM tahun 2015 diperoleh data bahwa jumlah pengusaha di
Indonesia hanya sekitar 1,65% dari jumlah penduduk saat ini. Kalah jauh dibandingkan
dengan negara tetangga, misalnya Singapura sebesar 7%, Malaysia 5%, dan Thailand
4%. Dan juga ditambah dengan data yang menyatakan bahwa jumlah lulusan Sarjana
S1 maupun S2 hanya 6% saja yang memilih berwirausaha, sedangkan 94% lebih
memilih berkarir sebagai karyawan di pemerintahan maupun sebagai profesional di
perusahaan swasta baik lokal maupun asing. (sumber : Kementrian Koperasi dan UKM
2015).
Tentunya jumlah 94% lulusan Sarjana S1 dan S2 yang menjadi karyawan belum
lagi ditambah lulusan SMA/SMK makin menambah daftar beban pemerintah dalam
menyediakan lapangan kerja dan tingginya persaingan dalam memperebutkan
lapangan kerja yang ada.
Oleh karenanya saya selaku calon anggota Dewan Pendidikan JATIM periode
2016-2021 akan mendorong kepada semua penyelengara pendidikan di JATIM agar
menata ulang kembali tata kelola sistem pengajaran pendidikan kewirausahaan
(entreprenuership) dimulai dari pendidikan sedini mungkin, sejak anak berada di usia
PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) agar mereka anak-anak ini sudah mengenal dan
terbentuk karakternya.
Semua ini bisa kita atasi bersama dengan melibatkan semua pihak, mulai dari
peranan orang tua / wali murid dan guru sebagai ujung tombak pencetak generasi
penerus bangsa ini. Dalam upaya tersebut tentunya akan ada pelatihan-pelatihan
khusus kepada guru-guru yang memang memiliki jiwa (passion/talenta) dalam
membangun wirausaha dan para guru pun akan mendapatkan pendalaman materi
dalam bentuk seminar, in house training, workshop yang berkaitan dengan dunia
kewirausahaan dari para praktisi bisnis, konsultan bisnis, dan pelatih bisnis (business
coach) yang berpengalaman.
Demikian makalah personal saya sebagai calon anggota Dewan Pendidikan
Provinsi JATIM periode 2016-2021. Semoga Allah Subhanahuwata’ala mengijinkan
saya untuk memegang amanah tersebut.
Ichsan Maulana ST.MM
DEWAN PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR
PERIODE 2016-2021
Oleh: ICHSAN MAULANA ST.MM
JUDUL MAKALAH :
MANUSIA, PENDIDIKAN DAN PROFESIONALISME PENDIDIK
Judul makalah ini saya sajikan sesuai dengan bidang tugas dan keilmuan yang
saya tekuni selama ini, baik sebagai pengusaha maupun sebagai pendidik.
“It all start with people”. Manusia merupakan titik sentral bagi seluruh aktivitas dan
dinamika dunia. Dan ketika kita berbicara tentang sejarah, peradaban, dan tentang
pendidikan, maka yang menjadi fokus atau topik pembicaraan kita adalah tentang
manusia itu sendiri. Dibalik pendidikan yang dilakukan, sedang ditata, diatur, dan
ditingkatkan adalah kualitas dan harkat serta martabat manusia.
Manusia diciptakan dan telah diberikan anugerah luar biasa oleh Sang Maha
Pencipta, berupa kalbu (heart), pikiran (mind), dan jiwa (soul). Manusia pada
dasarnya adalah pemimpin “in nature” yang dapat mencapai derajat tertinggi dengan
harkat dan martabatnya, pendidikan, kompetensi / profesionalisme dan karakter /
personality dengan menyelaraskan heart, mind, and soul dan kecerdasan intelektual
(IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).
Kalau kita bicara tentang manusia dan pendidikan, maka akan selalu memiliki
sisi-sisi menarik dan emosional yang memunculkan tarik-menarik antara konsep
pendidikan
yang
kepintaran
dalam
menitik-beratkan
ilmu
pada
pengetahuan)
pendidikan
dengan
intelektual
yang
(kecerdasan,
menitik-beratkan
pada
pendidikan karakter (kepribadian, sikap, perilaku, budi pekerti, personality, sifat,
tabiat, temperamen, watak, motivasi, keterampilan). Keseimbangan pendidikan
intelektual dan pendidikan karakter yang diharapkan
mampu menjaga harkat dan
martabat manusia, menjadi cita-cita setiap upaya pendidikan yang direncanakan oleh
setiap bangsa dan negara.
Sejarah mencatat, bahwa pendidikan di Indonesia dimulai pada masa kerajaan
Sriwijaya 678 Masehi, dimana seorang pendeta Budha bernama I Tsing mengatakan
bahwa Palembang pada di masa tersebut merupakan pusat agama Budha dimana
pemikir dari berbagai negara berkumpul disana. Hanya saja, pendidikan saat itu belum
diatur dan hanya fokus pada ajaran agama Budha.
Dalam upaya meningkatkan mutu dan partisipasi pendidikan terus berlanjut
hingga kini. Mempelajari sejarah perkembangan pendidikan mestinya membuat kita
dapat memahami apa saja yang telah dicapai lewat pendidikan dan mengevaluasi
perbaikan yang dibutuhkan untuk menciptakan mutu dan partisipasi pendidikan yang
lebih baik.
Sejarah juga mencatat, pendidikan Indonesia pada zaman pendudukan
Belanda, diawali datangnya bangsa Portugis pada abad 16 ke Indonesia dengan tujuan
perdagangan dan menyebarkan agama katolik. Untuk itu para pendatang Portugis
tersebut mendirikan sekolah yang bertujuan memberikan pendidikan baca, tulis dan
hitung sekaligus untuk mempermudah penyebaran agama katolik, hingga akhirnya
masuknya masa pendudukan Belanda yang membuat kegiatan belajar mengajar di
sekolah milik pendatang Portugis menjadi terhenti.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Belanda untuk menyebarkan agama
protestan dengan melanjutkan apa yang sudah dirintis oleh bangsa Portugis dengan
mengaktifkan kembali sekolah berbasis keagamaan dan sekolah baru dibeberapa
wilayah. Ambon adalah wilayah pertama yang dipilih oleh Belanda dan setiap tahunnya,
beberapa penduduk asli Ambon dikirim ke Belanda untuk dididik menjadi guru. Setelah
sukses mengembangkan pendidikan d Ambon, Belanda memperluas pendidikan di
pulau Jawa dengan mendirikan sekolah di Jakarta (Batavia) pada tahun 1617 M, dan
hingga tahun 1627 M telah terdapat 16 sekolah yang didirikan oleh Belanda dengan
jumlah siswa sekitar 1300.
Memasuki sistem tanam paksa oleh Belanda pada abad ke 19, dimana Belanda
membutuhkan banyak tenaga ahli, keadaan ini membuat Belanda mendirikan 20
sekolah untuk penduduk Indonesia di setiap ibukota karesidenan, dimana pelajarnya
hanya boleh berasal dari kalangan bangsawan, hingga berakhirnya era sistem tanam
paksa dan memasuki masa politik etis, beberapa sekolah Belanda mulai menerima
pelajar dari berbagai kalangan yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Rakjat.
Pada akhir era abad ke 19 dan awal abad ke 20, Belanda memperkenalkan
sistem pendidikan formal bagi masyarakat Indonesia dengan struktur sebagai berikut:
ELS (Europeesche Lagere School) – Sekolah dasar bagi orang eropa.
HIS (Hollandsch-Inlandsche School) – Sekolah dasar bagi pribumi.
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) – Sekolah menengah.
AMS (Algeme(e)ne Middelbare School) – Sekolah atas.
HBS (Hogere Burger School) – Pra-Universitas.
Memasuki abad ke 20, Belanda memperdalam pendidikan di Indonesia dengan
mendirikan sejumlah perguruan tinggi bagi penduduk Indonesia di pulau Jawa.
Beberapa perguruan tinggi tersebut adalah:
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) – Sekolah kedokteran di
Batavia.
Nederland-Indische Artsen School (NIAS) – Sekolah kedokteran di Surabaya.
Rechts Hoge School – Sekolah hukum di Batavia.
De Technische Hoges School (THS) – Sekolah teknik di Bandung.
Era pendidikan Indonesia pada zaman pendudukan Jepang, sistem
pendidikan Belanda dihentikan dan digantikan oleh sistem pendidikan dari Jepang.
Jepang menyediakan sekolah rakyat (Kokumin Gakko) sebagai pendidikan dasar,
sekolah menengah sebagai pendidikan menengah, dan sekolah kejuruan bagi guru.
Berbeda dengan sistem pendidikan Belanda yang dibatasi bagi kalangan tertentu,
pendidikan yang diterapkan Jepang tersedia bagi semua kalangan.
Jepang melarang sekolah mengadakan pendidikan dalam bahasa Belanda.
Mereka menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama diikuti bahasa Jepang
sebagai bahasa kedua. Selain itu, Jepang juga banyak menanamkan ideologi mental
kebangsaan dengan memberlakukan tradisi seperti menyanyikan lagu kebangsaan
Jepang, senam bersama menggunakan lagu Jepang (taiso), mengibarkan bendera, dan
penghormatan terhadap kaisar.
Sejarah Pendidikan Indonesia 1945 – 1965, setelah Indonesia merdeka,
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) mengusulkan pembaruan
pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara, yang saat itu menjabat Menteri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan Indonesia, membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran
untuk menyediakan struktur, bahan pengajaran, dan rencana belajar di Indonesia.
Kurikulum
ini
diharapkan
dapat
meningkatkan
kesadaran
bernegara
dan
bermasyarakat, meningkatkan pendidikan jasmani, dan pendidikan watak. Dari upaya
tersebut, disusunlah kurikulum SR 1947 yang terdiri dari 15 mata pelajaran.
Memasuki era demokrasi liberal pada 1950, pelaksanaan pendidikan Indonesia
diatur dalam UU no. 4 Tahun 1950 dan diperbarui menjadi UU no. 12 tahun 1954.
Pendidikan dan pengajaran bertujuan membentuk manusia susila yang cakap dan
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
masyarakat dan tanah air. Seiring dengan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, Indonesia
kembali menggunakan UUD 1945 sebagai dasar negara. Meskipun demikian,
perubahan ini tidak banyak mengubah sistem pendidikan yang telah berlangsung di
Indonesia.
Pada periode ini, pendidikan di Indonesia telah tersusun atas beberapa jenjang
yang merupakan pengembangan dari jenjang yang terdapat pada jaman pendudukan
Belanda. Jenjang pendidikan di Indonesia di zaman tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Taman Kanak-kanak (TK). TK dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian A (anak 4
tahun) dan bagian B (anak 5 tahun). TK ditujukan untuk membantu perkembangan
anak, serta interaksi anak dengan alam dan lingkungan masyarakat sekitar.
2. Sekolah Dasar (SD). SD berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan
dasar pengetahuan yang dibutuhkan untuk anak. SD memiliki peran penting sebagai
dasar pembangunan kehidupan bangsa sehingga diharapkan menjadi lembaga
pendidikan yang lengkap, fungsional, dan ilmiah.
3. Sekolah Menengah Pertama (SMP). SMP merupakan lembaga pendidikan setelah
SD
dimana
siswa
diharapkan
dapat
memperdalam
keilmuan
dasar
dan
memanfaatkannya sebagai keterampilan untuk hidup. Setiap pelajar akan
mengambil satu mata pelajaran keahlian spesifik yang sesuai dengan minat dan
bakatnya.
4. Sekolah Menengah Atas (SMA). SMA merupakan lembaga yang mengajarkan
keahlian atau keterampilan spesifik. Oleh karena itu, SMA sering disebut juga
sekolah kejuruan. Masa pendidikan berlangsung 4 tahun dimana lulusan SMA akan
mendapat gelar sarjana muda.
5. Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi di Indonesia terdiri dari Universitas, Institut,
Sekolah Tinggi, dan Akademi. Universitas minimum terdiri dari 4 fakultas yang
meliputi bidang keagamaan, ilmu budaya, ilmu sosial, ilmu eksakta, dan teknik.
Institut bertujuan melaksanakan pendidikan dan melakukan penelitian. Sekolah
tinggi difokuskan pada pendidikan untuk satu cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan
akademi menyediakan pendidikan untuk keahlian khusus.
6. Pendidikan Guru. Pendidikan guru di Indonesia mengalami dinamika sepanjang
periode ini. Awalnya, terdapat Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang
tergabung dalam Universitas FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan).
Ketidakpuasan atas FKIP membuat departement PP&K mendirikan Institut
Pendidikan Guru (IPG) yang menimbulkan konflik antar kedua belah pihak. Konflik
ini ditengahi oleh Presiden melalui Kepres No. 3/1963 dimana FKIP dan IPG dilebur
menjadi IKIP.
Pendidikan Indonesia Era 1965 – 1995, memasuki tahun 1965, pendidikan di
Indonesia memiliki misi untuk mengajarkan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila. Untuk
melaksanakan misi tersebut, departemen pendidikan dan kebudayaan menyusun
kurikulum yang mencakup prinsip dasar Pancasila.
Implementasi dari misi tersebut diawali dengan perubahan kurikulum di setiap
jenjang pendidikan. Melalui kurikulum SD 1968, pendidikan dasar diharapkan dapat
menyampaikan materi untuk mempertinggi mental budi pekerti, memperkuat keyakinan
agama, serta mempertinggi kecerdasan dan keterampilan. Sementara itu, kurikulum
SMP ditambah dengan pembentukan kelompok pembinaan jiwa pancasila, kelompok
pembinaan pengetahuan dasar, dan kelompok pembinaan kecakapan khusus.
Kurikulum SMA juga disempurnakan dengan tujuan membentuk manusia pancasila
sejati, mempersiapkan untuk masuk ke perguruan tinggi, serta mengajarkan keahlian
sesuai minat dan bakat.
Peningkatan pendapatan negara dari penjualan minyak membuat pemerintah
mampu mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk kebutuhan pendidikan.
Pemerintah kemudian mendirikan SD Inpres (Instruksi Presiden), merekrut lebih banyak
guru, mencetak buku pelajaran, dan mendirikan pusat pelatihan keterampilan.
Pada tahun 1989, melalui UU No. 2/1989, jenjang pendidikan di Indonesia
diperbarui menjadi tiga jenis yaitu:
Jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP).
Jenjang pendidikan menengah (SMU dan SMK).
Jenjang pendidikan tinggi.
Pendidikan Indonesia berkembang pesat pada periode ini. Pada 1973, jumlah
angka buta huruf di golongan usia muda Indonesia mencapai hampir 20 persen.
Pendirian SD Inpres, bersama dengan sekolah lainnya, membuat tingkat buta huruf di
Indonesia menurun signifikan. Pemerintah terus berusaha agar pendidikan dapat
menyebar dan dirasakan oleh hampir seluruh penduduk Indonesia.
Pendidikan Indonesia Era 1995 – 2005 memasuki tahun 1995, pendidikan
Indonesia menekankan pada pengembangan SDM yang mampu menjawab tantangan
masa depan. Terdapat empat prioritas utama pelaksanaan pendidikan yaitu:
1. Penuntasan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun.
2. Peningkatan mutu semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
3. Menghubungkan kebutuhan antara pendidikan dan industri.
4. Peningkatan kemampuan penguasaan iptek.
Pemerintah juga berusaha meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan
jumlah dan mutu pengajar, peningkatan mutu proses belajar mengajar, dan
peningkatan kualitas lulusan. Pemerintah juga berusaha menciptakan sekolah unggul
dan mengembangkan kurikulum yang menekankan perbaikan metode mengajar dan
perbaikan guru.
Pada tahun 1998, suasana politik di Indonesia mengalami gejolak yang
menyebabkan lahirnya era reformasi. Sistem pemerintahan berubah dari model
sentralisasi
menjadi
desentralisasi.
Penerapan
otonomi
daerah
membuat
penyelenggaraan pendidikan berubah menjadi otonomi pendidikan, terutama di jenjang
pendidikan tinggi. Pada masa peralihan kekuasaan, pendidikan di Indonesia masih
menerapkan kurikulum yang berlaku pada zaman orde baru. Kurikulum ini masih
digunakan pada masa pemerintahan presiden Abdurrachman Wahid dengan beberapa
perbaikan.
Sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan pada masa kepresidenan
Megawati melalui kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini berbasis pada 3 aspek
utama yaitu aspek afektif, aspek kognitif, dan aspek psikomotorik. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) memperbarui kurikulum tersebut menjadi kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) yang mencakup tujuan pendidikan, tingkat satuan
pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender
pendidikan, serta silabus.
Sejarah Pendidikan Indonesia 2005 – hingga kini (2015). Pemerintahan
presiden SBY berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia.
Upaya tersebut diawali penerbitan Instruksi Presiden No. 5 pada 09 Juni 2006 yang
bertujuan mempercepat penyelesaian wajib belajar 9 tahun. Upaya ini membuat
pemerintah melibatkan program pendidikan penyetaraan seperti paket A, B, dan C agar
dapat mengadopsi kurikulum sesuai dengan standar yang berlaku.
Masuknya
era
pemerintahan
presiden
Joko
Widodo
(Jokowi)
belum
menunjukkan indikasi munculnya upaya radikal dalam memajukan pendidikan di
Indonesia. Secara fundamental, kebijakan pendidikan masih sejalan namun dengan
beberapa perbaikan dan penyesuaian. Perubahan banyak terjadi pada tataran teknis
dan masyarakat masih menanti upaya pemerintah dalam mengatasi masalah dan
kekurangan dalam sistem pendidikan di Indonesia. (sumber: Sejarah Pendidikan di
Indonesia dan Perkembangannya Antar Generasi, Gilang 2015).
Belajar dari sejarah pendidikan di tanah air tercinta ini dari disetiap masa-masa
sebelumnya, dan melihat hasil pendidikan seperti sekarang ini, saya selaku calon
anggota Dewan Pendidikan JATIM periode 2016-2021, sesuai dengan bidang tugas
dan keilmuan yang saya tekuni selama ini akan memfokuskan pada pendidikan
karakter dan pendidikan kewirausahaan (entreprenuership education).
Manusia dianugrahi berupa kalbu (heart), pikiran (mind), dan jiwa (soul) serta
kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual
(SQ) yang dapat menghasilkan berbagai kreasi, karya dan inovasi. Namun, Sang Maha
Pencipta juga meletakkan dua sifat atau karakter yang melahirkan imajinasi positif
(membangun) dan imajinasi negatif (destruktif). Dengan anugrah tersebut wajar jika
manusia menjadi titik sentral berbagai macam aktivitas termasuk program dan kegiatan
pembangunan yang dianggap berhasil dan sukses jika mampu meningkatkan “nilai
(value)” manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu penting sekali berinvestasi dalam
sumber daya manusia (invesment in human capital) melalui pendidikan karakter
dan pendidikan kewirausahaan (entreprenuership education).
Urgensi terhadap pendidikan karakter dan pendidikan kewirausahaan
(entreprenuership
education)
adalah
kebutuhan
mendesak
dalam
rangka
memenangkan persaingan global, lihatlah keberhasilan negara-negara Asia Timur
seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan adalah keberhasilan strategi pendidikan
negara-negara tersebut dengan memberikan prioritas pada pengembangan aspek
human capital, dimana ketiadaan sumber daya alam (nature resourses) mendorong
mereka melakukan investasi pada sumber daya manusia (human resources) melalui
pendidikan dan pelatihan kewirausahaan (entreprenuership education) (Tjiptoherijanto
& Nagib, 2008).
Dalam makalah ini saya akan menyajikan 2 (dua) hal penting yang harus ditata
ulang dan dibenahi dalam sistem pendidikan di Indonesia saat ini, jika kita ingin
generasi penerus bangsa ini bisa bersaing secara global dan dihormati serta disegani
oleh bangsa lain. Yang pertama adalah pendidikan karakter, dan yang kedua adalah
pendidikan kewirausahaan (entreprenuership education).
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati,
jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”.
Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan
berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada
serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan
keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau
menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk
tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku
jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya
sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya,
yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis,
analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar,
berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil,
rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun,
ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner,
bersahaja,
bersemangat,
dinamis,
hemat/efisien,
menghargai
waktu,
pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis),
sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang
terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai
individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha
melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan,
bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan
potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya
(perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai
sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character
development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku
pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri,
yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan
mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu
perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter
dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people
understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind
of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge
what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right,
even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu
membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku
guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi,
dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang
sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan
warga
negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik,
dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat
atau bangsa, secara umum
adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena
itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks
pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang
bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian
generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari
nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut
sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila
berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa
nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan
isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama,
percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan;
baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain
mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat
dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani,
tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan
karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya
dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak
absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah
itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut
didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan
remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi
moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada
taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai
wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya
dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan
kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada
perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus
pendidikannya. Berhubungan dengan
pendekatan, sebagian pakar menyarankan
penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negaranegara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis
nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan
pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri
peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara
psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan
fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik)
dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan
berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual
and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan
Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective
and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai
berikut :
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral.
Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam
teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan
pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif,
dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)
mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan
kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga
unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi,
dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter
merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk
membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
(Sumber: Kemendiknas.2010.Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama. Jakarta)
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter
adalah merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.
Sebelum kita membahas topik ini lebih jauh lagi saya akan memberikan data dan
fakta berdasarkan sumber Litbang Kompas berikut:
158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011
42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011
30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI
Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU,KY, KPPU, Ditjen Pajak,
BI, dan BKPM.
Berdasarkan data fakta diatas, apa yang ada dipikiran kita ? itu adalah beberapa
kasus yang membuat hati di dada kita “terhentak” membaca kelakuan para pejabat
negara tercinta ini. Pendidikan karakter, sekarang ini mutlak diperlukan bukan hanya di
lingkungan sekolah saja, tapi dirumah dan di lingkungan sosial. Bahkan sekarang ini
peserta pendidikan karakter bukan lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia
dewasa. Dimana orang-orang yang pendidikan intelektualnya tinggi banyak terlibat
kasus korupsi.
Bayangkan apa persaingan yang muncul ditahun 2021 ? Yang jelas itu akan
menjadi beban kita dan orangtua masa kini. Saat itu, anak-anak masa kini akan
menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai belahan negara di dunia.
Bahkan kita yang masih akan berkarya ditahun tersebut akan merasakan perasaan
yang sama. Tuntutan kualitas sumber daya manusia pada tahun 2021 tentunya
membutuhkan karakter yang baik.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha
sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan
kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang
lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan
tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat
belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk
persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan
bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa
Indonesia, sanggupkah kita ?
Dikutip dari artikel yang dirilis media Inggris, The Daily Mail pada Kamis
(28/1/2016), posisi Indonesia, di daftar negara terkorup dan terbersih bernama
Corruption Perceptions Index itu, menunjukkan peningkatan. Untuk tahun 2015, dimana
Indonesia berada di era Jokowi, Indonesia juga menunjukkan peningkatan posisi dan
poin dari tahun sebelumnya. Tahun ini, dimana pertama kalinya Indonesia berada
dalam kendali Jokowi, Indonesia mendapat poin 34, dan berada pada posisi 88.
Ada 7 negara yang punya posisi yang sama dengan Indonesia, yakni Albania, Ajazair,
Mesir, Maroko, Peru, dan Suriname. Maka, bila dibandingkan dengan tahun 2014,
posisi ini jelas lebih baik.
Dalam peringkat yang juga dikeluarkan Transparency International, pada tahun
2014, Indonesia masih berada di posisi 107, dengan poin 32.
sehingga, bila dilihat dalam tabel di atas, angka yang ada di sebelah nama negara,
adalah poin dari tahun ke tahun. Bisa dilihat, 36 adalah poin Indonesia untuk tahun
2015, 34 untuk tahun 2014, 32 untuk tahun 2013, dan seterusnya.
Untuk tahun 2015, posisi dan poin Indonesia memang belum jadi yang terbaik di
antara negara Asia Tenggara. Tapi, di posisi ini, Indonesia masih lebih baik dari Filipina,
Vietnam, dan Myanmar. Bahkan, posisi ini bisa menunjukkan peningkatan, karena
tahun ini Indonesia sudah bisa menyalip Filipina.
Sementara itu, dalam daftar ini, Somalia dan Korea Utara, dinilai menjadi negara
paling korup sedunia. Kedua negara itu menghuni posisi paling bawah. Sebaliknya,
Denmark, Finlandia, dan Swedia, merupakan negara yang ada di posisi 3 besar untuk
urusan paling bersih.
Mengapa Denmark menjadi salah satu negara paling makmur di dunia? Padahal
negaranya tidak memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, padahal kondisi
musim di negara itu sangat ekstrim karena dekat dengan kutub utara. Padahal di negeri
ini matahari dan siang hari hanya sebentar saja, terutama di musim dingin.
Saya mencoba mencari referensi dan mengarah pada media sosial untuk
membuka sejarah negara Denmark. Melalui google meskipun saya agak risih juga
menggunakan google karena google tidak mau diperiksa oleh Dirjen Pajak berkaitan
pajak iklan yang tidak pernah dibayarkan sebagaimana seharusnya.
Dari info Wikipedia yang kebetulan saya baca ternyata Denmark adalah negara
paling nyaman untuk tempat tinggal manusia di dunia, negara dengan pendapatan
penduduk paling tinggi di dunia, juga menjadi negara paling makmur di dunia paling
bersih di dunia hingga mendapat gelar “Negeri Dongeng”.
Meskipun kemudian tingkat kenyamanannya tergeser oleh New Zealand. New
Zealand menempati urutan pertama negara paling nyaman untuk tempat tinggal
manusia di dunia.
Sebagai seorang pemilik bisnis dan pendidik (dosen), saya langsung berpikir
bahwa mungkin yang menjadi penyebab Denmark dan New Zealand menjadi negara
termakmur adalah karena pendidikan mereka yang sangat baik. Namun ternyata
dugaan saya keliru. Orang-orang Denmark justru percaya bahwa penyebab dari
negaranya menjadi negara termakmur, ternyaman dan teraman adalah karena
masyarakatnya jujur.
Orang Denmark percaya bahwa semua kebaikan yang ada di negaranya berawal
dari kejujuran, pada saat seorang jujur maka semua fasilitas umum untuk rakyat akan
terbangun dengan baik oleh pemerintah, sebagaimana mestinya sesuai standar mutu
yang telah ditetapkan di segala bidang mulai dari kesehatan, pendidikan, kesejahteraan
dan lain-lain.
Masyarakat Denmark percaya bahwa kejujuran bisa melahirkan segalanya.
Mereka percaya bahwa setiap manusia itu pintar, dengan kejujuran maka setiap
kepintaran manusia akan menjadi manfaat bagi sesama dan seluruh negeri. Mereka
yakin jika setiap aparat pemerintah jujur, mulai dari pejabat, menteri, polisi dan
seterusnya dan rakyatnya jujur maka sebuah negara bisa menjadi makmur tanpa perlu
menjadi yang paling pintar di bidang pendidikan.
Ternyata memang benar, Denmark masuk dalam salah satu negara dengan
tingkat korupsi nyaris nol, seperti juga di Finlandia dan New Zealand. Karena kejujuran
itulah akhirnya pendidikan di negara ini pun menjadi lebih baik dan sangat maju. Jadi
tidak salah jika kita katakan bahwa ketidak jujuran (mental korup), akan melahirkan
bencana berantai dalam sebuah negara.
Mereka begitu yakinnya bahwa kejujuran adalah awal dari semua kebaikan dan
bukannya kepintaran. Kira-kira 10 tahun silam, kejujuran dan etika moral adalah
prioritas utama, sedangkan kepintaran itu kita kembangkan kemudian, karena kita juga
yakin bahwa setiap anak terlahir pintar. Kita tidak terlalu pusing jika seorang anak
belum bisa berhitung saat masuk SD atau bahkan setelah sekolah SD, tapi kami sangat
peduli jika sorang anak tidak jujur dan beretika buruk.
Dan setelah membaca artikel ini sepertinya saya diingatkan kembali oleh Tuhan
Yang Maha Esa untuk tetap mempertahankan apa yang sudah kami yakini. Bahwa
karakter, perilaku dan kejujuran adalah landasan untuk membangun Indonesia yang
kuat dan makmur, bukan sekedar angka-angka akademik yang tertera di buku-buku
raport sekolah. Belajarlah juga dari pengalaman negara lain. Semoga kita bisa
mengawali dari lingkup terkecil, keluarga dan sekolah kita.
Sampailah saya pada akhir pembahasan tentang pendidikan karakter, dengan
mengutip yang apa dikatakan oleh Theodore Roosevelt yakni : “To educate a person
in mind and not in morals is to educate a menace to society.” Artinya, mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan pada aspek moral adalah
ancaman mara-bahaya kepada masyarakat.
Pendidikan Kewirausahaan (entreprenurship education) adalah usaha
terencana dan aplikatif untuk meningkatkan pengetahuan, intensi/niat dan kompetensi
peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya dengan di wujudkan dalam prilaku
kreatif, inovatif dan berani mengelola resiko. Pendidikan kewirausahaan merupakan
kajian internasional terkini dan terus di teliti dan di kembangkan secara dinamis di
seluruh belahan dunia.
Pendidikan kewirausahaan dilakukan mulai dari Universitas, Sekolah Menengah,
Sekolah dasar hingga ada playgroup of entrepreneurship untuk anak-anak. Maraknya
pendidikan kewirausahaan di seluruh dunia ini tidak lain karena semakin meningkatnya
kesadaran akan pentingnya karakter kewirausahaan pada generasi muda (kreatif,
inovatif
dan
berani
mengelola
resiko)
dan
pentingnnya
kedudukan
seorang
entrepreneur pada suatu motor pergerakan perekonomian suatu negara. Hal ini
dijelaskan secara gamblang oleh McClelland bahwa “Negara akan makmur jika
entrepreneur dalam suatu negara mencapai 2 % dari keseluruhan penduduknya”.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) Indonesia sangat sadar akan
pentingnya pendidikan kewirausahaan bagi kemajuan sumber daya manusia Indonesia
untuk menjawab tantangan masa depan. Oleh karena itu Dikti mempunyai programprogram unggulan untuk melaksanakan pendidikan kewirausahaan dalam program
mahasiswa
wirausaha
(PMW),
Co-operative,
Program
Kreativitas
Mahasiswa
Kewirausahaan (PKM-K) dan masih banyak lagi. Hal ini semua di lakukan untuk
meningkatkan pengetahuan, niat dan aktivitas kewirausahaan di kalangan mahasiswa.
Beberapa
pendapat
ahli
ketika
ditanyakan,
Kenapa
ada
pendidikan
kewirausahaan padahal banyak seorang wirausaha sukses tidak berpendidikan
formal tinggi ?,
Ir. Dede Martino Dosen Universitas Jambi menjawab, banyak
wirausaha sukses yang tidak kuliah itu karena mereka orang yang giat dan mencari
sendiri bagaimana menjadi wirausaha melalui pengalaman. Namun hal ini memerlukan
waktu yang lama. Oleh karena itu dalam pendidikan kewirausahaan kita akselerasi
pengalaman dan pola pikir. Dalam pendidikan kewirausahaan yang ingin kita didik
adalah menularkan pola pikir dan perilaku seorang wirausaha pada peserta didik hingga
dia berperilaku dan berwirausaha.
Kenapa masih sedikit pengusaha yang hasil pendidikan kewirausahaan
yang sukses dan menjadi pengusaha besar ?, Prof. Disman PD I FPEB UPI,
mengatakan, pendidikan kewirausahaan adalah untuk menjawab perubahan 5 tahun,
10 tahun mendatang. Pendidikan kewirausahaan adalah membentuk peserta didik
mandiri melalui pola pikir serta pemberian kompetensi dan skill. Jadi dalam pendidikan
kewirausahaan akan mengembangkan peserta didik berperilaku entrepreneur dan
menjawab tantangan masa depan. (Sumber: Ade Suyitno. 2013).
Jika hal yang sama ditanyakan kepada saya, Kenapa ada pendidikan
kewirausahaan padahal banyak seorang wirausaha sukses tidak berpendidikan
formal tinggi ? dan kenapa masih sedikit pengusaha yang hasil pendidikan
kewirausahaan yang sukses dan menjadi pengusaha besar ?, Untuk menjawab
kedua pertanyaan tersebut diatas, saya sebagai pengusaha dan pendidik berpendapat
bahwa untuk menjadi seorang wirausaha sukses tidak harus melalui pendidikan
kewirausahaan, karena kewirausahaan itu sendiri adalah passion atau talenta yang
dimiliki oleh setiap orang yang jika digali lebih dalam dan diasah ibaratnya seperti
sebuah pisau maka ia akan tajam. Kekuatan-kekuatan yang ada pada talenta tersebut
dapat dilihat sebagai penggabungan antara kalbu (heart), pikiran (mind), dan jiwa
(soul) dengan berbagai macam kombinasi, tentu saja tidak ada formula baku tentang
hal ini.
Kalbu (heart), pikiran (mind), dan jiwa (soul) yang berkombinasi pada tingkat
keseimbangan
yang
ideal
melahirkan
bentuk-bentuk
kekuatan
(power)
yang
menggerakkan manusia mencapai harkat dan martabat yang lebih tinggi.
Adapun kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan
kecerdasan spiritual (SQ) yang diperkenalkan oleh para ahli psikologi dan neurologi
seperti kecerdasan intelektual (IQ) oleh Alfred Binet ahli psikologi Perancis pada awal
abad ke 20, kecerdasan emosional (EQ) oleh Daniel Goleman (1995) seorang
neurolog dan psikolog dalam bukunya “Emotional Intellgence” menyatakan bahwa
kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya 80%
ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut kecerdasan emosional (EQ).
Selanjutnya Danah Zohar dan Ian Marshal (2000) dalam bukunya “Spiritual
Intelligence : the Ultimate Intelligence” mengklaim bahwa kecerdasan spiritual (SQ)
atau Spiritul Quotient adalah inti dari segala kecerdasan dan dapat melihat makna
dari setiap suatu peristiwa.
Kembali kita pada pembahasan kewirausahaan, berdasarkan data dari
Kementrian Koperasi dan UKM tahun 2015 diperoleh data bahwa jumlah pengusaha di
Indonesia hanya sekitar 1,65% dari jumlah penduduk saat ini. Kalah jauh dibandingkan
dengan negara tetangga, misalnya Singapura sebesar 7%, Malaysia 5%, dan Thailand
4%. Dan juga ditambah dengan data yang menyatakan bahwa jumlah lulusan Sarjana
S1 maupun S2 hanya 6% saja yang memilih berwirausaha, sedangkan 94% lebih
memilih berkarir sebagai karyawan di pemerintahan maupun sebagai profesional di
perusahaan swasta baik lokal maupun asing. (sumber : Kementrian Koperasi dan UKM
2015).
Tentunya jumlah 94% lulusan Sarjana S1 dan S2 yang menjadi karyawan belum
lagi ditambah lulusan SMA/SMK makin menambah daftar beban pemerintah dalam
menyediakan lapangan kerja dan tingginya persaingan dalam memperebutkan
lapangan kerja yang ada.
Oleh karenanya saya selaku calon anggota Dewan Pendidikan JATIM periode
2016-2021 akan mendorong kepada semua penyelengara pendidikan di JATIM agar
menata ulang kembali tata kelola sistem pengajaran pendidikan kewirausahaan
(entreprenuership) dimulai dari pendidikan sedini mungkin, sejak anak berada di usia
PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) agar mereka anak-anak ini sudah mengenal dan
terbentuk karakternya.
Semua ini bisa kita atasi bersama dengan melibatkan semua pihak, mulai dari
peranan orang tua / wali murid dan guru sebagai ujung tombak pencetak generasi
penerus bangsa ini. Dalam upaya tersebut tentunya akan ada pelatihan-pelatihan
khusus kepada guru-guru yang memang memiliki jiwa (passion/talenta) dalam
membangun wirausaha dan para guru pun akan mendapatkan pendalaman materi
dalam bentuk seminar, in house training, workshop yang berkaitan dengan dunia
kewirausahaan dari para praktisi bisnis, konsultan bisnis, dan pelatih bisnis (business
coach) yang berpengalaman.
Demikian makalah personal saya sebagai calon anggota Dewan Pendidikan
Provinsi JATIM periode 2016-2021. Semoga Allah Subhanahuwata’ala mengijinkan
saya untuk memegang amanah tersebut.
Ichsan Maulana ST.MM