HUKUM DAN ETIK DALAM PELAYANAN GERIATRI

  HUKUM DAN ETIK

DALAM PELAYANAN GERIATRI MARGARETHA TELI, SKep, Ns, MSc Pendahuluan 

  Etika sangat penting dalam perawatan geriatri

   Ethics a fundamental part of geriatrics.

  While it is central to the practice of medicine itself, the dependent nature of geriatric patients, makes it a special concern

  Dilematis!!! penting!!!!! 

  Apakah pengobatan diteruskan atau dihentikan

  

  Apakah perlu tindakan resusitasi

  

  Apakah makanan perinfus tetap diberikan pada kondisi penderita yang sudah jelas akan meninggal?

  

Prinsip Etika Pelayanan pada Lansia

  Empathy

  

  Non-maleficence and beneficence

  

  Otonomi

  

  Keadilan

  

  Kesungguhan Hati Prinsip etika pelayanan kesehatan pada lansia 

  Empati  memandang seorang lansia yang sakit dengan pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut

  Tindakan empati diberikan dengan wajar, tidak ◦ berlebihan sehingga tidak memberikan kesan over-protective dan belas kasihan Prinsip etika pelayanan kesehatan pada lansia 

  Yang harus dan yang “jangan” (non- malefience and beneficence)

  Perawatan gerirtari  mengerjakan yang baik ◦ untuk penderita dan harus menghindari tindakan untuk menambah penderitaan (harm) bagi penderita Adagium primum non nocere  yang penting

  ◦ Prinsip etika pelayanan kesehatan pada lansia 

  Otonomi  seseorang individu mempunyai hak untuk menentukkan nasibnya dan mengemukakan keinginannya sendiri.

  Prinsip otonomi berupaya untuk melindungi ◦ penderita yang fungsional masih kapabel Aspek penting memakai prinsip

  ◦ Prinsip etika pelayanan kesehatan pada lansia 

  Keadilan  memberikan pelayanan atau perawatan yang sama bagi semua penderita

  

  Kesungguhan hati  prinsip untuk memenuhi semua janji yang diberikan pada seseorang penderita

   Aspek etika pada pelayanan geriatri berdasarkan pada prinsip otonomi :

  Penderita harus ikut berpartisipasi dalam proses ◦ pengambilan keputusan dan pembuatan keputusan. Pengambilan keputusanbersifat sukarela Penderita harus mendapatkan penjelasan cukup

  ◦ tentang tindakan atau keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas

Keputusan yang diambil hanya dianggap sah bila

  ◦ penderita secara mental kapabel Informed Consent 

  Penderita berhak menolak tindakan medis yang disarankan oleh dokter/perawat, tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut tidak berguna (useless) atau bahkan berbahaya (harmful)

  Kapasitas untuk mengambil Keputusan 

  Aspek hukum dan etik yang sangat rumit 

  Penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita haruslah dari kapasitas fungsional bukan atas label diagnosis :

  Apakah penderita bisa buat/tunjukkan keinginan secara

  ◦

  benar? Dapatkah penderita memberikan alasan tentang pilihan

  ◦

  yang dibuat? Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya

  ◦

  setelah penderita mendapatkan penjelasan yang

  

  Pendekatan fungsional tersebut memang sukar karena seringkali terdapat fungsi yang baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yang lain sudah tidak baik

  

  Pertimbangan pada lansia gangguan komunikasi akibat menurunnya pendengaran, sehingga perlu waktu, upaya dan kesabaran yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional penderita Prinsip Etika dibatasi 

  Oleh realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan

  

  Pada kasus berat  keputusan dialihkan kepada wali hukum atau wali keluarga (istri/anak (de facto)/pengacara (de jure)  Surrogate decision maker Arahan Keinginan penderita (advance directives) 

  Ucapan atau keinginan penderita yang diucapkan pada saat penderita masih dalam keadaan kapasitas fungsional yang baik.

   Arahan ini sebaiknya direkam atau dicatat. 

  

Kalaupun tidak dicatat  yg penting ada

saksi 

  Testamen Kematian (living will) 

pernyataan penderita saat masih kapabel

  

Life Sustaining Device ( Pemberian

peralatan perpanjangan hidup) 

  Contoh : ventilator atau RJP 

  Pada penedrita dewasa muda diharapkan

hidup penderita masih lama bila ditolong

  Lansia dianggap tindakan yang kejam if(futile treatment) Kekejaman fisiologik bila terapi/tindakan yang

  ◦

diberikan tidak akan memberikan perbaikan

(plausible effect) Kekejaman kuantitatif tindakan atau terapi

  ◦

  

  Tindakan ini seringkali menimbulkan tanggapan emsoional dari keluarga, penghentian peralatan perpanjangan hidup harus diberikan pertimbangan yang sama

  

  Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga penderita dan memberikan

  

Perumatan Penderita terminal dan

Hospis 

  Penderita yang secara medik didiagnosa dalam keadaan teminal tidak terbatas hanya pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar merupakan penderita lanjut usia

  

  Perawatan Hospis atau perawatan bagi

  Lanjutan 

  Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma dalam, semua fungsi organ sudah jelas tidak bisa membaik dengan berbagai pengobatan, nafas agonal dan keadaan yang jelas ”tidak memberi harapan”, masalahnya mungkin tidak begitu sulit.

  

  Akan tetapi pada penderita yang masih sadar

   Pada penderita ini (misalnya dengan diagnosis karsinoma metastasis lanjut), beberapa hal perlu ditimbangkan :

  Apakah penderita perlu diberitahu ◦

  Kalau jelas-jelas semua tindakan ◦

medis/operatif tidak bisa dikerjakan, apakah

ada hal lain yang perlu dilakukan, atau apakah etis kalau dokter/perawat tetap memaksakan pemberian sotostatika atau tindakan lain ?

  

  Produk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara merupakan gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut Usianya.

  

  Baru sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo.

  

  Bila dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara berkembang perhatian terhadap Lanjut Usia Perawatan Lansia di Dunia 

  

Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person Home Act (1954), Home Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program (1985), Bureau for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care (1992), Charter for Resident’s Right (1992), Community Option Program (1994), dan Aged Care Reform Strategy (1996). Perawatan Lansia Dunia 

  Di Amerika Serikat di undangkan Social Security Act yang meliputi older American Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965), Social Service block Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title XVI). Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal Responsibility Act (1982), Omnibus Budget Reconcilliation Act (OBRA, 1987), The Continuun of Long-term Care (1987) dan Program of All Care of the Elderly (PACE, 1990). Berbagai nproduk hokum dan perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan sejak 1965. beberapa di antaranya adalah : Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747). Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

   Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.

   Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang PErkembangan Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera.]

  

  Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :

  ◦

  Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan kelembagaan.

  ◦ Upaya pemberdayaan. ◦

  Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak potensial.

  ◦ Pelayanan terhadap Lanjut Usia. ◦ Perlindungan sosial. ◦ Bantuan sosial. Permasalahan 

  Produk Hukum

  Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua ◦ produk hokum dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan.

  Begitu pula, belum diterbirkan Peraturan Daerah, Petunjuk ◦

  Pelaksanaan serta Ptunjuk Teknisnya, sehingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan permasalahan.

  Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang ◦

  

Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan sosial

Lanjut Usia, sehingga perlu dipertimbangkan diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat mengatasi permasalahan Lanjut Permasalahan 

  Keterbatasan prasarana

  Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat ◦ masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II, sering menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia.

  Demikian pula, lembaga sosial masyarakat dan ortganisasi sosial ◦ dan kemsyarakatan lainnya yang menaruh minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya.

  Hal ini mengakibatkan para Lanjut Usia tak dapat diberi ◦ pelayanan sedini mungkin, sehingga persoalanya menjadi berat pada saat diberikan pelayanan. Permasalahan 

  Keterbatasan sumberdaya Manusia

  

Terbatasntya kuantitas dan kualitas tenaga ◦ yang dapat memberi pelayanan serta perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda

dini adanya suatu permasalahan hukum dan Permasalahan 

  Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga

  ◦ Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993),

berbagai isu hukum dan etika yang sering

terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan

keluarganya adalah :

  

 Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)  Tindak kejahatan (crime) Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect) 

  Pelecehan dan ditelantarkan merupakan keadaan atau tindakan yang menempatkan seseorang dalam situasi kacau, baik mencakup status kesehatan, pelayanan kesehatan, pribadi, hak memutuskan, kepemilikan maupun pendapatannya.

  

  Pelaku pelecehan dapat dari pasangan hidup, anak lelaki atau perempuan bila pasangan hidupnya telah meninggal dunia atau orang lain.

  

  Pelecehan atau ditelantarkan dapat berlangsung lama

   Penyebab pelecehan menurut International

Institute on Agening (INIA, United Ntions-Malta,

1996) adalah :

   Beban orang yang merawat Lanjut usia tersebut sudah terlalu berat.

   Kelainan kepribadian dan perilaku Lanjut usia atau keluarganya.  Lanjut Usia yang diasingkan oleh keluarganya.  Penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya. 

  Faktor lainnya yang terdapat di keluarga seperti :  Perlakuan salah terhadap Lanjut Usia.Ketidaksiapan dari orang yang akan merawat Lanjut Usia.Konflik lama di antara Lanjut Usia dengan keluarganya.

  

  Gejala yang terlihat pada pelecehan atau ditelantarkan antara lain :

   Gejala fisik berupa memar, patah tulang yang tidak jelas sebabnya, higiena jelek, malnutrisi dan adanya bukti melakukan pengobatan yang tidak benar.

   Kelainan perilaku berupa rasa ketakutan yang berlebihan menjadi penurut atau tergantung, menyalahkan diri, menolak bila akan disentuh orang yang melecehkan, memperlihatkan tanda bahwa miliknya akan diambil orang lain dan adanya kekurangan biaya transpor, biaya berobat atau biaya memperbaikik rumahnya.

   Adanya gejala psikis seperti stres, cara mengatasi suatu

  

  Jenis pelecehan dan ditelantarkan adalah :

   Pelecehan fisik atau menelantarkan fisik.  Pelecehan psikis atau melalui tutur kata.  Pelanggaran hak.  Pengusiran.  Pelecehan di bidang materi atau keuangan.  Pelecehan seksual.

   Upaya pencegahan terhadap terjadinya kelantaran pasif (passive neglect) dan

keterlantaran aktif (active neglect) pada lanjut

Usia dapat dekelompokan sebagai berikut :

   Teryhadap keterlantaran pasif atau tak disengaja:tindakan hukum atau melakukan transaksi keuangan. Mendapatkan orang yang di[ercaya untuk melakukan  Mengusahakan bantuan hukum dari seorang pengacara.

   Terhadap keterlantaran aktif atau tindak pelecehan: 

Mengusahakan agar Lanjut Usia tidak terisolir.

  

  Orang yang merawat lanjut Usia menyadari keterbatasannya tidak ragu-ragu mencari pertolongan atau melimpahkan tanggung jawaabnya kepada fasilitas yang lebih mampu, manakala mereka tidak sanggup lagi merawatnya.

  

  Masyarakat mengemban sistem pengamatan terhadap tindak pelecehan kepada Lanjut Usia (neighbourhood watch).

  

  

  Tindak intervensi bila telah terjadi tindak pelecehan terhadap Lanjut Usia adalah sebagai berikut :

   Memberikan dukungan kepada korban pelecehan. 

  Lanjut Usia di rumah dan panti Tresna Wredha berhak menolak tindakan intervensi tertentu.

   Melatih keluarga untuk melaksanakan tindakan pelayanan tertentu.

   Memberikan pertolongan dan pengobatan kepada orang yang melecehakan Lanjut Usia tersebut. Tindak kejahatan (crime) ◦

  

  Lanjut usia pada umumnya lebih takut terhadap tindak kejahatan bila dibandingakan dengan ketakutan terhadap penyalit dan pendapatan yang berkurang. Kerugian yang diderita oleh mereka tidak melebihi penderitaan yang dialami oleh kaum muda. Hanya akibat yang ditimbulkan pada Lanjut Usia lebih parah, berupa rasa ketakutan, kesepian, merasa terisolasi dan tidak berdaya.

  

  Faktor yang mempengaruhi tindak kejahatan berupa factor fisik, keuangan dan kedaan lingkungan di sekitar Lanjut Usia tersebut.

  

  Jenis tindak kejahatan adalah:

  ◦ Penodongan. ◦ Pencurian dan perampokan. ◦ Penjambretan. ◦ Perkosaan. Pelayanan perlindungan (protective

  ◦

  services)

   Pelayanan perlindungan adalah pelayanan yang dibeikan kepada para Lanjut Usia yang tidak mempu melindungi dirinya terhadap kerugian yang terjadi akibat mereka tidak dapat

merawat diri mereka sendiri atau dalam melakukan kiegiatan

sehari-hari.

  

Pelayanan perlindungan bertujuan memberikan perlindungan

kepada para Lanjut Usia, agar kerugian yang terjadi ditekan seminimal mungkin. Pelayanan yang diberikan akan menimbulkan keseimbangan di antara kebebasan dan keamanan.

  Persetujuan tertulis (Informed consent).

  ◦ 

  Persetujuan tertulis merupakan suatu persetujuan yang diberikan sebelum prosedur atau pengobatan diberikan kepada seorang lanjut usia atau penghuni panti.

   Syarat yang diperlukan bila seorang lanjut usia

  memberikan persetujuan ialah ia masih kompeten dan telah mendapatkan informasi tentang manfaat dan risiko dari suatu prosedur atau pengobatan tertentu yan g diberikan kepadanya.

   Bila seoang lanjut usia inkompeten, persetujuan Sekian dan Terima kasih