BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Serikat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaan)

  bukan atas kekuasaan (machtstaat), demikianlah penegasan yang terdapat dalam

  

  pasal 1 ayat (2) amandemen ke 4 Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai negara hukum, negara harus berperan disegala bidang kehidupan, baik dalam kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia maupun dalam kehidupan warga negaranya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta menghendaki agar hukum ditegakkan. Artinya hukum harus dihormati dan ditaati oleh siapapun tanpa terkecuali baik oleh seluruh warga masyarakat, penegak hukum, maupun oleh penguasa negara, segala tindakannya harus dilandasi oleh hukum.

  Terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 mutlak memerlukan perangkat perundang-undangan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Demikian pula dibidang hukum acara pidana sebagai dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam Negara hukum, dipandang perlu tersedianya perangkat perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan penegakan 1 Chairuman Harahap, Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum, (Bandung: hukum(pidana) sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing aparatur penegak hukum kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan

   martabat manusia, ketertiban, serta kepastian hukum.

  Undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum itu haruslah sesuai dengan tujuan dari falsafah negara dan pandangan hidup bangsa, maka dalam upaya penegakan hukum akan lebih mencapai sasaran yang dituju. Tujuan dari hukum acara pidana (dapat dibaca pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman) adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, dimana kebenaran materil adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan ujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang

   didakwa itu dapat dipersalahkan.

  Perkembangannya hukum acara pidana di Indonesia dari dahulu sampai sekarang ini tidak terlepas dari apa yang disebut pembuktian, apa saja jenis dan tindak pidananya dapat melewati proses pembuktian. proses pembuktian merupakan salah satu proses yang paling penting karena tahap tersebut yang membuktikan apakah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana benar atau tidak melakukan tindak pidana tersebut. 2 Wisnubroto dan widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya

  Bakti,2005), Hal 1

  Perbuatan dapat dipidana bila perbuatan tersebut merupakan tindak pidana jika perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana atau memenuhi unsur- unsur di dalam suatu KUHP (asas legalitas). Dapat tidaknya seseorang atau pelaku kejahatan itu di pidana tergantung dari pembuktian di pengadilan dimana yang bersangkutan telah dapat dibuktikan bersalah melakukan perbuatan tersebut. namun hal yang paling mendasar dalam menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan di pidana adalah perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana, kemudian setelah itu baru diadakan suatu tindakan hukum dari tahap penyelidikan hingga tahap putusan akhir.

  Menarik untuk mengkaji hukum dari perspektif perbandingan (komperatif), adapun beberapa macam studi komperatif hukum dapat di kelompokkan kedalam beberapa kategori, dan hug(1922) telah mengusulkan lima

  

  kelompok studi yang mungkin bisa digunakan: a.

  Memperbandingkan sistem asing dengan sistem domestik dalam rangka menemukan kesamaan dan perbedaan b.

  Studi yang menganalisis berbagai solusi secara objektif dan sistematis yang ditawarkan oleh berbagai sistem untuk suatu masalah hukum tertentu c.

  Studi yang menginvestigasi hubungan kausal antara sistem-sistem hukum berbeda d.

  Studi-studi yang membandingkan tahap-tahap dari beberapa sistem hukum,dan

4 Peter De Cruz, Comparative Law In A Changing World diterjemahkan oleh Narulita Yusron

  e.

  Studi yang berusaha menemukan atau mengkaji evolusi hukum secara umum berdasarkan sistem dan periodenya.

  Pengembangan ilmu hukum pidana dan usaha pembaharuan hukum pidana perlu ditunjang dengan pengkajian yang bersifat komperatif. Rene David dan John E. Brierley pernah menegaskan, bahwa studi perbandingan hukum merupakan bagian yang sangat penting dan diperlukan bagi ilmu hukum serta bermanfaat

  

  untuk dapat lebih memahami dan mengembangkan hukum nasional Masalah sosial yang dikaji dari berbagai metode faktual (sosiologis, antropologis, psikologis, komperatif dan historis) dan bahkan dikaji secara filosofis, pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran dan kegiatan-kegiatan yang bersifat yuridis-normatif dan sistematis apabila masalah- masalah sosial yang dikaji itu akan dituangkan dalam bentuk produk legislatif.Di

  

  sinilah arti pentingnya perbandingan normatif Arti penting lainnya dari metode komperatif terletak pada apa yang disebut

  Yntema sebagai “perbaikan dan perluasan terus-menerus terhadap pengetahuan hukum kita”, yang membentuk sebuah komponen penting bagi pendidikan hukum. Yntema yang menyamakan penelitian hukum dengan hukum komperatif

   mengatakan bahwa yang belakangan itu hanya nama lain dari ilmu hukum.

5 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

  1990), kata pengantar hal V 6 ibid., hal.VII.

  Berdasarkan uraian di atas maka perbandingan hukum juga tidak terlepas dari politik hukum pada umumnya, maka adapun pengertian dari politik hukum

  

  itu sendiri menurut Sudarto, politik hukum adalah:

  1. Usaha untuk mewujudkan peraturan- peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat ;

  2. Kebijakan dari suatu Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengeskpresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

  Dalam RUU KUHAP tahun 2013 bab XII bagian keenam pada pasal 199, yang di beri nama Jalur Khusus, diatur mengenai pembuktian keterangan terdakwa dalam pemeriksaan persidangan yang berbeda dengan tahap pembuktian pada umumnya. Pada Jalur Khusus ini mengakomodir pengakuan Terdakwa dalam persidangan dan pengakuan tersebut diberikan pada tahap persidangan

  

  pembacaan surat dakwaan. Masih banyak ketentuan lain tentang Jalur Khusus yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Jalur Khusus tersebut mirip dengan konsep Plea Bargaining di Amerika Serikat.

  Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk memperdalam pengetahuan dan membuat tulisan tentang hukum pembuktian dengan judul “ Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat” 8 9 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. (Bandung:Alumni, 1981), Hal 159

Pasal 199 (1) RUU KUHAP tahun 2013 dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Ham Republik Indonesia

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jabarkan, maka penulis menarik beberapa permasalahan yang penulis anggap penting untuk di bahas lebih lanjut. Adapun masalah-masalah yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya adalah :

1. Bagaimana pengaturan pembuktian dalam peradilan pidana di

  Indonesia? 2. Bagaimana pengaturan pembuktian dalam peradilan pidana di Amerika

  Serikat? 3. Bagaimana perbandingan penerapan pembuktian di Indonesia dan di

  Amerika Serikat ? C.

   Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.

  Tujuan penulisan a.

  Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pembuktian dalam peradilan pidana di Indonesia b.

  Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pembuktian dalam peradilan pidana di Amerika Serikat c.

  Untuk mengetahui bagaimana perbandingan penerapan pembuktian peradilan pidana antara Indonesia dan Amerika Serikat

2. Manfaat Penulisan

  Dari hasli penulisan ini, diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas dan bermanfaat baik secara tertulis maupun secara praktis.

  Secara teoritis, penulis ini dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan pemikiran pada bidang hukum pidana dan hukum acara pidana pada umumnya. Hasil penulisan ini juga bermanfaat untuk menambah bahan literatur bagi dunia akademis

  Secara praktis, diharapkan hasi penulisan ini dapat dimanfaatkan oleh para penegak hukum untuk menerapkan dan menjalankan pembuktian sesuai dengan Undang-Undang yang ada.

D. Keaslian Penulisan

  Berbagai penulisan tentang perbandingan pembuktian pernah dilaksanakan oleh penulisan terdahulu. Namun mengenai Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Serikat sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Dimana dalam proses pembuatan skripsi ini penulis memulainya dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan perbandingan hukum dan pembuktian baik pembuktian di Indonesia maupun di Amerika Serikat, kemudian penulis merangkainya sendiri menjadi suatu karya tulis ilmiah yang disebut dengan skripsi. Oleh karena itu penulis dapat menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis.

E. Tinjauan pustaka 1. Pengertian Pembuktian

  Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidanga pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.

10 Dari uraian singkat diatas arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara

  pidana, antara lain :

  

  a) Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum. Semua terkait pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mepergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak boleh leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggap benar diluar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar- benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang temukan selama pemeriksaan persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, 10 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. ( Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hal 273. kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak demikian, bisa saja orang jahat lepas dan yang tidak bersalah mendapat ganjaran hukuman.

  b) Sehubungan dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara “limitatif”

  Melengkapi uraian pengertian pembuktian, perlu juga dibicarakan mengenai “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” yang di rumuskan dalam pasal 184 ayat (2) KUHAP. Lazimnya bunyi rumusan pasal 184 ayat 2 KUHAP ini selalu disebut dengan istilah notoire feiten notorious (generally

  

known) yang berarti setiap “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan

  dalam pemeriksaan dlaam pemeriksaan sidang pengadilan. Ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan” atau omstandgheiden atau

  

circumstance , yakni hal ikwal atau peristiwa yang diketahui umum bhawa hal

  ikwal atau peristiwa itu memang sudah demikian hal yang sebenarnya. Atau “sudah semestinya demikian” halnya. Atau bisa juga berarti berupa perihal kenyataan dan pengalaman yang selamanya dan selalu akan mengakibatkan “resultan” atau kesimpulan yang demikian, yaitu kesimpulan yang didasari dari pengalaman umum ataupun berdasarkan pengalaman hakim sendiri bahwa setiap peristiwa dan keadaan yang seperti itu “senantiasa” menimbulkan akibat yang

   pasti demikian.

2. Sistem Pembuktian a.

  Teori Sistem Pembuktian Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang diperiksa.

  Hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Beberapa ajaran yang berhubungan

  

  dengan sistem pembuktian : 1.

  Conviction-in Time Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.

  Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan, bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan terdakwa. Sistem pembuktian ini sudah tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup.

  Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang 12 dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat

  Ibid. hal 276 bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasarkan alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. keyakinan hakim yang dominan atau yang lebih menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah- olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakimlah yang menetukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. Sistem pembuktian ini banyak di pakai oleh Negara-negara yang menggunakan sistem peradilan juri, misalnya di Inggris dan Amerika serikat.

  Juri merupakan orang-orang sipil yang di tunjuk oleh Negara dan mereka adalah pihak yang netral yang tidak memiliki intrest atapun hubungan kekeluargaan dengan terdakwa, para juri juga tidak mengetahui sama sekali latar belakang perkara yang disidangkan. Kedua belah pihak yang berperkara diperbolehkan untuk mewawancarai dan memilih juri pilihannya. Para juri ini dipilih dari golongan masyarakat awam, bukanlah dari golongan ahli hukum ataupun praktisi hukum. Hal ini dikarenakan adanya harapan bahwa para juri memandang masalah dengan seadil-adilnya. Juri jugalah yang memiliki wewenang untuk menilai alat bukti yang diajukan dan menentukan salah (guilty) atau tidaknya (not guilty) seorang terdakwa, dengan kata lain bersalah atau tidaknya terdakwa tergantung kepada keyakinan para juri. Sedangkan hakim hanya berperan sebagai pemimpin sidang dan menjatuhkan vonis

   kepada terdakwa.

  2. Conviction-Raisonee Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peran penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction raisonee keyakinan hakim harus didukung dengan alasan- alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan- alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.

  3. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau

  conviction-in time.

  Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya 14

   Diunduh pada terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan pada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini hakim seolah-olah “robot pelaksana” undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinan, tetapi semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampur aduk hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali majelis hakim memperoleh hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat bukti yang diatur undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya.

4. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk

  Stelsel)

  Sistem pembukitan menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.

  Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim.

  Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative “menggabungkan” kedalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu “sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian sistem ini memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa misalnya, ditinjau dari sei cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun kesalahan sudah cukup terbukti, hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa. Dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya hakim benar benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang- undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, diantara dua komponen tersebut harus saling mendukung. Sekalipun secara teoritis antara kedua komponen itu tidak saling dominan, tapi dalam praktek secara terselubung unsur keyakinan hakim yang paling menentukan dan dapat melmparkan secara halus unsur pembuktian yang cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati, atau hakim yang kurang tangguh banteng iman dan moralnya, gampang sekali memanfaatkan sistem pembuktian ini dengan suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa.

  b.

  Sistem Pembuktian Yang Dianut Indonesia Sistem pembuktian yang dianut oleh Indonesia adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk), hal tersebut dapat disimpulkan dari pasal 183 KUHAP.

   Pasal 183 KUHAP berbunyi:

  “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

  Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif ini pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang- undang, dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan perundang-

   undangan.

  c.

  Sistem Pembuktian Yang Dianut Amerika Serikat Di Amerika Serikat setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara selama lebih dari enam bulan memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengadilan oleh juri. Juri di beberapa Negara bagian dipilih melalui pendaftaran. Sebuah formulir dikirim kejuri calon untuk melakukan pra-kualifikasi dengan meminta calon untuk menjawab pertanyaan tentang kewarganegaraan, kemampuna penyandang cacat, pemahaman bahasa Inggris dan apakah mereka memiliki kondisi atau alasan untuk mereka menjadi anggota juri. Jika mereka dianggap memenuhi syarat, panggilan akan

   dikeluarkan.

  Juri di Amerika Serikat biasanya terdiri dari 12 juri, dan putusan juri diharapkan untuk mencapai mufakat. Namun, dibanyak yurisdiksi, jumlah juri seringkali direduksi menjadi jumlah yang lebih kecil (seperti lima atau enam) berdasarkan ketentuan legislative. Beberapa yurisdiksi juga mengijinkan vonis harus diputuskan meskipun terdapat perbedaan pendapat satu,dua atau tiga juri. Selama persidangan, pengacara menentang sisi pernyataan saksi yang dipanggil untuk memberikan bukti. Para pengacara juga membuat pembukaan dan penutup

16 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara pidana Indonesia,edisi revisi. (Jakarta:

  Ghalia,1985) Hal 234 pernyataan kepada juri. Pada akhirnya, hakim membuat pernyataan akhir kepada

  

  juri Proses pembuktian pada Common Law tidak terbatas hanya kepada yang disebut didalam undang-undang. Akan tetapi, menggunakan hukum yang berlaku umum, kebiasaan-kebiasaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat, dan adanya

  

  asas the binding of precedent . Dalam hal ini dapat dikatakan sebagai case law, karena hukum berasal dari kebiasaan-kebiasaan di masyarakat.

  Jika diliat dari sistem pembuktian pada tradisi hukum common law, sekilas akan terlihat bahwa sistem ini telah memenuhi rasa keadilan. Hal ini dapat dilihat dari adanya badan juri yang terdiri dari orang awam yang tidak paham duduk perkara dan bukan dari golongan ahli hukum. Sehingga, para juri akan menetukan salah atau tidaknya terdakwa secara adil. Namun pada prakteknya, sering juri dimanfaatkan oleh pihak jaksa maupan pengacara. Artinya, kedua pihak memiliki hak untuk setuju atau tidak setuju dalam memilih juri, sehingga tentunya jaksa ataupun pengacara harus pandai dalam memilih juri yang kira-kira akan membantu argumentasi dan pro terhadap mereka. Selain itu, dari pihak juri sendiri belum tentu juga mereka akan memberikan putusan yang seadil-adilnya, karena melihat faktor gaji yang mereka peroleh tidaklah memadai dibanding jam kerja

   yang tidak jelas, dan dapat disimpulkan seperti kualitas kerja mereka.

  18 19 ibid The binding of precedent adalah keputusan hakim terdahulu yang wajib diikuti oleh

pengadilan dalam kasus yang sama atau hampir sama. Hakim disebut sebagai pencipta hukum, jika

terdapat pertentangan antara undang-undang dengan preseden, maka preseden yang dimenangkan

3. Sistem Peradilan Pidana

  Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya pihak yang merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan hakim. Khusus bagi sistem peradilan pidana, sebagai suatu jaringan, sistem peradilan pidana mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana utama, dan dalam hal ini berupa hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan

   pidana.

  Untuk mendapat gambaran tentang sistem peradilan pidana atau criminal

  

justice system, berikut akan dijelaskan pengertian sistem peradilan pidana oleh

  para sarjana. Istilah criminal justice system menurut Ramington dan Ohlin sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita adalah sebagai berikut: Criminal

  

justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap

  mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala

   keterbatasannya.

  Marjono Reksodipoetro memberikan batasan bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Berdasarkan apa 21 Yesmil Anwar dan Adang, sistem peradilan pidana, (bandung: widya padjajaran, 2009), hal

  1 22 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada

  yang dikemukakan oleh Marjono tersebut terlihat bahwa komponen atau sub sistem dalam sistem peradilan pidana adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan

   dan lembaga pemasyarakatan.

   Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana adalah: 1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

  2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

  3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

  Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekwen dan terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat

  

  mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga bermanfaat untuk :

  1. Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu Polisi. Dengan data statistik kriminil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminil secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.

  2. Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan.

  3. Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah 23 dalam kebijakan sosial. 24 Ibid. hal 3 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan

  Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI,1994), hal 84 25 Abdulssalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Restu Agung, 2007),

  4. Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun masyarakat.

  Dalam sistem peradilan banyak berbagai teori yang berkaitan, ada yang menggunakan pendekatan dikotomi ataupun pendekatan trikotomi.Umumnya pendekatan dikotomi digunakan oleh teoritis hukum pidana di Amerika Serikat, yaitu Herbet Packer, seorang ahli hukum dari Universitas Stanford, dengan pendektan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis dalam melaksanakan . mekanisme proses peradilan pidana

   Di dalam pendekatan dikotomi terdapat dua model,diantaranya: 1.

  Crime control model, pemberantasan kejahatan merupakan fungsi terpenting dan harus diwujudkan dari suatu proses peradilan pidana. Titik tekan dari model ini yaitu efektifitas, kecepatan dan kepastian. Pembuktian kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses pemeriksaan oleh petugas Kepolisian. Adapun nilai-nilai yang melandasi crime control model adalah:

  a) Tindakan reprensif terhadap suatu tindakan criminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan; b)

  Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilan;

  

diunduh pada tanggal 20 Ferbuari 2015 pukul 21.30 27 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi (Bandung: Mandar

  c) Proses criminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan prinsip cepat dan tuntas, dan model yang dapat mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah model administratif dan mmerupakan model manajerial; d) Asas praduga bersalah akan menyebabkan system ini dilaksanakan secara efisien; e) Proses penegakan hukum harus menitik beratkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administrative, oleh karena temuan tersebut akan membawa kearah:

  1) Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau

2) Kesediaan tersangka menyetakan dirinya bersalah.

  2. Due process model, model ini menakankan seluruh temuan-temuan fakta dari suatu kasus yang diperoleh melalui prosedur formal yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. prosedur itu penting dan tidak boleh diabaikan, melalui suatu tahapan pemeriksaan yang ketat mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan dan peradilan serta adanya suatu reaksi untuk setiap tahan pemeriksaan, maka dapat diharapkan seorang tersangka yang nyata-nyata tidak bersalah akan dapat memperoleh kebebasan dari tuduhan melakukan kejahatan. Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam model ini adalah: a. Mengutamakan, formal-adjudicative

  

  dan adversary fact-findings

  

  ,

  hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka

28 Formal adjudicative merupakan proses putusan yang melibatkan pendengaran argumentasi

  pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya; b. Menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan; c.

  Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaanya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memilih potensi untukk menempatkan individu pada kekuasaanya yang koersif dari Negara; d.

  Memegang tegus doktrin legal audit

  

  1) Seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara procedural dan dilakukkan oleh mereka yang memilik kewenangan untuk tugas itu;

  , yaitu:

  2) Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang- undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahn seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak e.

  Gagasan persamaan di muka hukum lebih diutamakan f. Lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.

  29 Adversarial fact-findings menyandarkan untuk menemukan kebenaran dengan cara benturan

argumentasi dari pihak yang berperkara di pengadilan dengan bukti-bukti pendukung yang

diajukan para pihak tersebut. 30 Legal audit adalah suatu pemeriksaan dan/atau penilaian permasalahan-permasalahan hukum

  Konsep due process model, sangat menjunjung tinggi supremasi hukum, dalam perkara pidana tidak ada seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum.

  Pendekatan trikotomi, pendekatan ini di bawa oleh Denis Szabok Direktur

  

the international centre for comparative criminology, the University of Montreal,

  Canada dalam Komperensi UNAFEI di Fuchu, Tokyo, jepang bulan Desember 1982.

  a.

  Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat Sistem hukum yang berlaku di Amerika Serikat, baik materil maupun formal dikenal sebagai adversary system atau accusatorial system dengan ciri-ciri, adanya perlindungan terhadap hak asasi seseorang (terdakwa) yang dilandaskan

  

  pada klausula “due process of law klausul tersebut secara tegas dicantumkan

   dalam konstitusi Amerika Serikat.

  Sistem hukum acara pidana di Amerika Serikat terdapat beberapa tahap proses penanganan perkara pidana di mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dalam sidang, penetapan hukuman dan pelaksanaan hukumannya.

  dan preliminary

  

hearing , pada saat itu terdakwa harus hadir dalam memberikan pembelaan.

31 Due process of law merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil,logis dan layak yang harus dijalankan oleh orang berwenang dengan cara tidak bertentangan dengan hukum 32 Romli Atmasasmita, sistem peradilan pidana, perspektif eksistensialisme dan abolisme (Bandung: Binacipta,1996), hal 10 33 Arraignment adalah sidang di depan hakim atau wakilnya yang terjadi beberapa hari setelah

seseorang ditahan, dimana tuduhan terhadap tersangka dibacakan dan tersangka dtanyai sikapnya,

apakah bersalah atau tidak 34 Preliminary hearing proses dimana penyidik akan menghadap pengadilan untuk memperoleh

penilaian hakim apakah telah terdapat alasan kuat untuk percaya bahwa tersangka tertentu

  Dakwaan digelar dalam sidang terbuka dan biasanya diawali dengan membacakan dakwaan secara resmi dan terdakwa diharuskan untuk mendengar apa yang didakwakan terhadapnya. Selain itu juga terdakwa diberitahukan atas hak hukumannya untuk meminta perlindungan hukum dan diminta juga untuk menjawab atas dakwaan dengan hadir dalam pembelaan.

  Pembelaan bisa dilakukan dalam beberapa bentuk. Terdakwa bisa didakwa bersalah atau dikurangai kesalahannya. Walaupun pembelanya tidak pernah memberitahukan kliennya bagaimana mengaku, pembela dapat menasehatinya. Jika terdapat bukti bahwa kasus yang menimpanya begitu kuat terdakwa bersalah, maka dalam sidang pengadilan tersebut pembela dapat berusaha atas nama terdakwa tawar-menawar dengan jaksa penuntut umum untuk menerima pembelaan sebagai pengurangan dakwaan, menghemat waktu dan uang untuk datang ke pengadilan. Kalau sudah ada kesepakatan tawar-menawar, penuntut, pembela dan terdakwa akan mengahadapi hakim dan meminta hakim untuk menerima pengakuan bersalah untuk menurunkan tuntutan. Mereka harus meyakini hakim bahwa terdakwa mempunyai inisiatif sendiri terhadap permohonan itu bahwa pengakuan dilakukan secara sukarela sehingga bisa meringankan hukuman terdakwa daripada mengikuti sidang, kemudian dinyatakan bersalah. Jika hakim puas bahwa pengakuan itu dilakukan secara sukarela dan atas keinginan terdakwa, hakim bisa menerima pengakuan tersebut.

  Pengakuan bersalah terhadap pidana yang didakwakan disidang terbuka, tidak perlu diterima hakim jika hakim percaya bahwa terdakwa dipaksa untuk mengaku, juga tidak mengerti arti pengakuannya atau memang benar-benar tidak bersalah. Perlu dikemukakan bahwa berdasarkan atas hukum beberapa negera bagian, sidang diperlukan dan pengakuan bersalah terhadap kasus besar bisa tidak

  

  diterima. Proses tersebut di atas dikenal dengan nama “plea bargaining system” b.

  Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Diberlakukan Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-

  Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah mengalami perubahan mendasar baik secara konsepsional maupun secara implementasi terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Tujuan KUHAP untuk memberi perlindungan kepada hak-hak asasi manusia, yaitu yang diatur dengan KUHAP meliputi: Hak-hak tersangka/ terdakwa, bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan, dasar hukum bagi penangkapan/penahanan dan pembatasan jangka waktu, ganti kerugian dan rehabilitasi, penggabungan perkara perdata pada perkara pidana dalam hal ganti rugi, upaya hukum, koneksitas dan pengawasan

   pelaksanaan putusan pengadilan.

  Dengan aturan aturan tersebut diatas yang telah di atur dalam KUHAP, telah membuktikan bahwa criminal justice system di Indonesia berjalan dan terdiri atas komponen atas sub sistem polisi, jaksa, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Keempat sub sistem tersebut memiliki hubungan yang sangat erat antara satu sama lain, bahkan dapat dikatakan saling menetukan. Sistem peradilan pidana yang diatur dalam KUHAP

35 Abdulssalam dan DPM Sitompul op.cit . hal 13-15

  termasuk adversary system atau due process model atau akusatur atau negative

   model .

F. METODE PENELITIAN

  Metode penelitian merupakan persyaratan yang penting untuk menjawab permasalahan yang timbul dari latar belakang masalah. Penulisan skripsi ini memerlukan serangkaian penelitian guna memperoleh jawaban atas pokok permasalahan yang timbul. Metode penelitian berfungsi untuk mengarahkan penelitian ini. Sehubungan dengan hal itu penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

  Peneliti menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif mengenai teori- teori dasar yang berhubungan dengan penelitian. Bentuk penelitian yuridis normatif dimana peneliti mengarahkan penelitian pada hukum positif dan norma tertulis. Penulis meneliti dan mengkaji aspek-aspek yuridis. Menurut ilmu yang

  

  dipergunakan, penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan 2.

   Sifat Penelitian

  Jika dilihat dari segi sifatnya, penelitian ini adalah bersifat deskriptif yang menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan fakta secara sistematis, faktual dan akurat. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan baik yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang 37 38 Ibid , hal 38 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung.

  Penelitian deskriptif juga dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan dan penelitian deskriptif tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan serta tidak ada uji hipotesis sebagaimana yang terdapat dalam penelitian eksperimen.

3. Sumber Data

  Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder yang terdiri atas:

  1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan yang mengikat. Meliputi peraturan perundang-undangan dan yuris prudensi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan yaitu Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang transfer Dana serta peraturan perundang- undangan Negara lain yaitu Amerika Serikat. Peraturan Amerika Serikat digunakan sebagai alasan dari perbandingan di Indonesia, dimana dalam hal ini dalam aspek pembuktian berpedoman pada Negara adi daya tersebut.

  2. Bahan hukum sekunder Merupakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa rancangan undang-undang, buku-buku, artikel, makalah serta data-data lainnya yang mendukung penelitain ini.

3. Bahan hukum tersier

  Bahan hukum terseir merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, meliputi: kamus, bibliografi, buku tahunan, buku petunjuk, indeks dan lain-lain. Peneliti menggunakan kamus bahasa Indonesia, dan kamus Bahasa Inggris serta kamus hukum sebagai pedoman penulisan.

  4. Teknik Pengumpulan Data

  Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dan mempergunakan data sekunder, maka penelitian ini mengacu kepada Library Research (Penelitian Kepustakaan), yaitu mempelajari serta mengumpulkan data yang diperoleh dari buku-buku yang menulis tentang pengaturan hukum pembuktian dalam peradilan pidana di Indonesia dan Amerika Serikat serta buku-buku tentang perbandingan hukum pidana.

  Teknik penelitian pengumpulan data tertulis serta sumber-sumber bacaan misalnya melalui penelusuran ke perpustakaan, antara lain berupa peraturan- peraturan hukum yang berlaku dan buku-buku yang berhubungan dengan penelitian ini. Selain itu penelitian ini juga merujuk dari bahan-bahan atau artikel yang diperoleh melalui situs-situs internet.

  5. Analisis Data

  Analisis data yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif, yakni data yang ada adalah data yang digambarkan dalam kalimat, tidak ada unsur angka tetapi tidak mengurangi validitas data tersebut.

6. Pendekatan

  Dalam kaitannya dengan penelitian normatif disini akan digunakan

  

  beberapa pendekatan, yaitu : a.

  Pendekatan perundang-undangan Pendekatan undang- undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitain untuk kegiatan akademis peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mepelajari adalah konsistentis dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau regulasi dan undang- undang.

  b.

  Pendekatan komperatif (perbandingan) Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu Negara dengan undang-undang dari dari satu atau lebih Negara lain mengenai hal yang sama. Dapat juga yang diperbandingakan disamping undang-undang juga putusan pengadilan dibeberapa Negara untuk kasus yang sama. Kegunaan pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan diantara undang-undang tersebut.

  c.

  Pendekatan konseptual

  Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin- doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep- konsep hukum dan asas-asas hukum yang relvan dengan isu yang dihadapi.

  Maka dalam kaitannya dengan penelitian normatif, bentuk laporan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, perbandingan dan koseptual.

G. Sistematika Penulisan

  untuk memudahkan pembahasan di dalam skripsi ini, maka penulisan skripsi dibagi menjadi lima bab sebagai berikut ini:

  Bab 1 PENDAHULUAN Pada bab ini, penulis menjabarkan secara rinci tentang titik tolak dari

  penulisan karya tulis ini. Dalam hal ini, bab satu membahas mengenai latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penulisan, defenisi, metode penelitian yang digunakan, serta uraian mengenai sistematika penulisan skripsi ini

  Bab 2 PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI INDONESIA Bab dua ini berisi mengenai hal yang mengatur mengenai pembuktian

  secara menyeluruh yang berlaku di Indonesia. Bab dua ini memuat secara detail mengenai teori pembuktian, beban pembuktian, sistem pembuktian, penerapan alat bukti, dan kekuatan pembuktian, perluasan pembuktian pada tindak pidana khusus dan beban pembuktian

  

Bab 3 PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI AMERIKA

SERIKAT Bab tiga membahas bagaimana penerapan alat bukti di Amerika Serikat,

  bagaimana pengaturan plea bargaining di Amerika Serikat dan bagaimana beban pembuktian di Amerika Serikat.

  

Bab 4 TINJAUAN YURIDIS PERBANDINGAN ALAT BUKTI

DAN BEBAN PEMBUKTIAN DI INDONESIA DENGAN DI AMERIKA SERIKAT Bab empat ini berisi mengenai pemaparan tentang analisis perbandingan

  alat bukti dan beban pembuktian dalam peradilan pidana di Indonesia dengan di Amerika Serikat, selain itu juga bab ini menguraikan bagaimana keterkaitan konsep plea bargaining dengan RUU KUHAP yang ada di Indonesia.

  Bab 5 PENUTUP

  bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan sebelumnya dan merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang telah disampaikan sebelumnya. Dalam bab ini juga berisi saran-saran yang penulis rasa dapat bermanfaat bagi setiap pihak untuk memberikan pencerdasan bagi masyarakat Indonesia kedepannya.

Dokumen yang terkait

Komunikasi Antarpribadi Penarik Becak Wanita (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarpribadi Penarik Becak Wanita Di Kampus Universitas Sumatera Utara)

0 1 14

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori - Situs Waspada.co.id Dan Pemenuhan Kebutuhan Informasi (Studi Korelasional Penggunaan Situs Portal Berita Online Waspada.co.id terhadap Pemenuhan Kebutuhan Informasi dikalangan Mahasiswa Ikatan Pemuda Tanah Renco

0 0 32

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Situs Waspada.co.id Dan Pemenuhan Kebutuhan Informasi (Studi Korelasional Penggunaan Situs Portal Berita Online Waspada.co.id terhadap Pemenuhan Kebutuhan Informasi dikalangan Mahasiswa Ikatan Pemuda Tanah Re

0 1 7

BAB II KERANGKA TEORI - Analisis Faktor-faktor Minat Beli konsumen Terhadap Pakaian Bekas (Monza) (Studi Pada Pasar Tradisional Sambu di Medan)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Faktor-faktor Minat Beli konsumen Terhadap Pakaian Bekas (Monza) (Studi Pada Pasar Tradisional Sambu di Medan)

1 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Konsumsi Pangan - Gambaran Pola Konsumsi Pangan Keluarga Peserta Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli Tahun 2014

0 0 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Pergantian Debitur Pada Perjanjian Jual-Beli Mobil Secara Kredit Di Pt. Daya Adicipta Wihaya Di Medan

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pergantian Debitur Pada Perjanjian Jual-Beli Mobil Secara Kredit Di Pt. Daya Adicipta Wihaya Di Medan

0 0 10

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat- Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

0 2 9

BAB II PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI INDONESIA A. Penerapan Alat Bukti, Barang Bukti dan Kekuatan Pembutian pada KUHAP - Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Seri

0 0 40