Penerapan Hygiene Sanitasi Makanan Minuman Di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak

PENERAPAN HYGIENE SANITASI MAKANAN MINUMAN
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK
Suci Nurul Khaerani, Munawar Raharja, Rahmawati
Jl.H.M.Cokrokusumo No.1A Kota Banjarbaru
Email : m_raharja@yahoo.com
Abstract: Application of hygiene and sanitation of food and drink in Lembaga
Pemasyarakatan Anak (LAPAS). Lembaga Pemasyarakatan is have purpose to provide
guidance to prisoner in Indonesia. The average population density Lapas the over capacity
in Indonesia. Based on recent data form Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, the number of population in LAPAS class II A Martapura was ranked third
highestof the 13 LAPAS in Kalimantan Selatan with the number of population of about 921
people. With many of population, application of hygiene and sanitation of food an drink
need to be implement for the implementation of food safety. The purpose of this research
was to determine how the application of the hygiene and sanitation of food and drink in
LAPAS class II A Martapura. The study was conducted by observing how security measures
against food, equipment, food handlers, and food holder then comparing them with
standard. The results showed thet the application of the hygiene and sanitation of food and
drink in the category overall enough. For variable security measures on the equipment and
food handlers in the category less, variable security measures on the food holder in the
category enough, and variable security measures on the food in the category good. To the
optimize application of hygiene and sanitation of food and drink in Lapas, efforts to do is

add sanitation facilities food holder modify the open space, ordered food ingredients should
not use the car open and do not slam, washed equipment performed with the correct
phases and use soap, and stroge equipment stored in a safe place to minimize contamination
of biological, physical, chemical.
Keywords

: Application Higiene and sanitation of food and drink

Abstrak: penerapan hygiene sanitasi makanan dan minuman di lembaga
pemasyarakatan anak (LAPAS). Lembaga Pemasyarakatan bertujuan untuk melakukan
pembinanan terhadap anak didik (narapidana) di Indonesia. Rata-rata kepadatan hunian
lapas di Indonesia melebihi kapasitas, berdasarkan data terakhir dari Kantor Wilayah
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia jumlah penghuni di LAPAS Kelas II A
Martapura menduduki peringkat ke tiga terbanyak dari 13 lapas yang ada di Kalimantan
Selatan dengan jumlah penghuni sekitar 921 orang. Dengan banyaknya hunian tersebut
penerapan hygiene sanitasi makan dan minuman perlu dilaksanakan terselenggaranya
keamanan pangan dilapas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
penerapan hygiene sanitasi makan dan minuman di LAPAS Kelas II A Martapura.
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengobservasi bagaimana tindakan pengamanan
terhadap makanan, peralatan, penjamah dan tempat kemudian dibandingkan dengan

standar. Hasil pengamatan menunjukan bahwa penerapan hygiene sanitasi makan dan
minuman keseluruhan masuk dalam kategori Cukup. Untuk variabel tindakan
pengamanan terhadap peralatan dan penjamah kategori Kurang, tindakan pengamanan
terhadap tempat Cukup dan tindakan pengamanan terhadap makanan baik. Untuk
mengoptimalkan penerapan higiene dan sanitasi makanan di Lapas Upaya yang dapat
dilakukan yaitu menambah fasilitas sanitasi, memodifikasi tempat pengolahan yang
terbuka, bahan makanan yang dipesan sebaiknya tidak menggunakan mobil terbuka dan
tidak dibanting, pencucian peralatan dilakukan dengan tahapan yang benar dan memakai
sabun, dan penyimpanan peralatan ditempat yang aman untuk menghindari atau
meminimalisir kontaminasi dari faktor biologis, fisik dan kimia.
Kata kunci

: Penerapan higiene dan sanitasi makanan

Suci Nurul Khaerani, Munawar Raharja, Rahmawati. Penerapan Hygiene
Sanitasi Makanan dan Minuman di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS)

PENDAHULUAN
Lembaga Pemasyarakatan (LP atau
LAPAS) adalah tempat untuk melakukan

pembinaan terhadap narapidana dan anak
didik pemasyarakatan di Indonesia.
Sebelum dikenal istilah lapas, tempat ini
lebih dikenal dengan istilah penjara.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan unit
pelaksana teknis di bawah Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu
Departemen
Kehakiman).
Penghuni
Lembaga Pemasyarakatan bisa disebut
narapidana (napi) atau warga binaan
Pemasyarakatan (WBP) dan statusnya
masih tahanan, maksudnya orang tersebut
masih berada dalam proses peradilan dan
belum ditentukan bersalah atau tidak oleh
hakim (1).
Di Kalimantan Selatan terdapat 13
lembaga

pemasyarakatan
dibawah
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Rata-rata hunian dari semua lapas
menurut mantan Wakil Menteri Hukum dan
HAM Denny Indriyana, telah melebihi
kapasitas dari jumlah maksimal hunian di
lapas. Penghuni lapas di seluruh Indonesia
diperkirakan sekitar 157.684 orang
berdasarkan data pada April 2013. Padahal
kapasitas hunian hanya dapat menampung
104.864 orang. Jika di persentasikan over
kapasitas mencapai 150,37 persen (2).
Berdasarkan data terakhir dari Kantor
Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi
Manusia jumlah penghuni di Lembaga
Pemasyaraktan Anak Kelas II A Martapura

menduduki peringkat ke tiga terbanyak
setelah Lembaga Pamasyarakatan Kelas II
Banjarmasin dan Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II B Kotabaru di Kalimantan Selatan
pertanggal 17 April 2015. Jumlah penghuni
sekitar 921 orang, padahal hanya dapat
menampung sekitar 210 orang. Jumlah
penghuni tersebut merupakan gabungan
dari narapidana anak-anak, wanita dan lakilaki (3).
Melihat kondisi dan banyaknya
penghuni di lembaga pemasyarakatan tidak
menutup kemungkinan bahwa kebutuhan
jasmani dan rohani bagi narapidana tidak
terpenuhi. Seperti yang diatur dalam
undang-undang Nomor 12 tahun 1995

316

tentang hak dan kewajiban narapidana.
Salah satu hak dari narapidana yaitu,

melakukan ibadah, mendapat perawatan,
pendidikan, layanan kesehatan serta
mendapat makanan yang layak. Hak-hak ini
sudah di ataur agar narapidana dapat
menjalankan hukuman mereka (4).
Berdasarkan data dari majalah Warta
Pemasyarakatan di Rumah Tahanan Pondok
Bambu tahun 2008, kasus kesehatan yang
paling banyak diderita narapidana setelah
penyakit kulit adalah penyakit pencernaan.
Sekitar 2.273 narapidana menderita
penyakit
pencernaan. Dan
penyakit
pencernaan menduduki posisi ke tiga
setelah HIV dan TBC, sebagai penyakit yang
dapat menyebabkan kematian penghuni di
lapas (5).
Di Lapas Nusa Kambangan keracunan
makanan

pernah
terjadi.
Penyebab
keracunan makanan tersebut berasal dari
ikan yang kurang baik dalam proses
pengolahannya.
Penderita
keracunan
mengalami gejala seperti diare dan mual.
Tidak hanya menyebabkan keracunan saja,
makanan
juga
dapat
menyebabkan
kesakitan yang lain, khususnya penyakit di
bagian pencernaan (6).
Berdasarkan hasil penelitian oleh
Angraini, kondisi penjamah makanan
termasuk kriteria kurang (45,3%) yaitu
kesehatan diri seperti tidak memiliki

sertifikat Higiene Sanitasi Makanan, tidak
memakai APD (celemek, topi, sarung
tangan)
saat
mengolah
makanan,
kebersihan
individu
seperti
tidak
berpakaian bersih dan rapi, dan perilaku
sehat seperti saat bersin atau batuk tidak
menutup mulut dengan sapu tangan. Hal
demikian
merupakan
bukti
bahwa
penerapan hygiene sanitasi yang kurang
baik akan menimbulkan risiko kesakitan
atau keracunan akibat makanan.

Pengolahan makanan yang dilakukan
untuk orang banyak biasanya lebih berisiko,
karena jumlah makanan yang diolah lebih
banyak serta lamanya waktu yang
dibutuhkan.
Selain makanan, tempat
peralatan dan orang pun dapat menjadi
faktor pendukung atau penyebab kesakitan,
sehingga semua faktor harus dikendalikan
agar
memperkecil
harapan
atau
kesempatan terjadinya kesakitan baik yang

317

Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 13 No. 1 Januari 2016

disebabkan oleh faktor biologis, fisik

maupun kimia.
Tujuan
penelitian
ini
adalah
mengetahui penerapan hygiene sanitasi
makanan minuman meliputi tindakan
terhadap pengamanan makanan dan
minuman, peralatan makan, tempat
pengolahan makanan dan penjamah
makanan yang mengelola di bagian dapur
Lembaga Pemasyarakatan anak kelas IIA
Martapura.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Desain
penelitian
adalah
observasional dengan menggunakan studi
cross sectional. Penelitian dilakukan di
Lembaga Pemasyaraktan Anak Kelas II A

Martapura, Kalsel.
Populasi dalam
penelitiaan ini adalah semua kegiatan
penanganan makanan. Sampel dalam
penilitian ini adalah kegiatan penanganan
makanan yang disajikan untuk makan siang
dengan
pertimbangan
waktu
dan
kemudahannya,juga dilakukan pengambilan
sampel makanan jadi, sampel usap
peralatan makan untuk penyajian makanan
dan sampel air bersih dengan para meter
pH, sisa chlor dan MPN coliform
Pengumnpulan data diperoleh
melalui wawancara kepada penjamah
yang ada dalam proses penanganan
makanan,
dilakukan
pengamatan
langsung
pada
objek
penelitian
menggunakan panduan observasi dan
pemeriksaan sampel di laboratorium.
Data yang telah terkumpul kemudian
diolah secara manual, dianalisis secara
deskriptif dan dibandingkan dengan
teori-teori yang berhubungan dengan
penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lembaga Pemasyarakatan Anak
Kelas II A Martapura dihuni oleh warga
binaan dewasa baik pria maupun wanita,
dengan jumlah penghuni keseluruhan
pada saat penelitian yaitu 928 orang,
dimana hunian ini sudah melebihi
kapasitas dari yang seharusnya.
Dengan jumlah hunian yang begitu
banyak, pemenuhan kebutuhan pokok
seperti
makanan
di
lembaga
pemasyarakatan
anak
kelas
IIA
Martapura dilakukan tidak secara khusus

bekerja sama dengan pihak kedua atau
ketiga, melainkan dilakukan oleh warga
binaan itu sendiri.
Bahan makanan untuk peroses
pengolahan makanan didapat dari luar,
dimana pihak Lembaga Pemasyarakatan
bekerja sama dengan pendistributor atau
orang yang menyediakan jasa penyedian
bahan makanan. Dan bahan yang pesan
sesuai dengan menu dasar yang sudah
dibuat
oleh
pihak
lembaga
pemasyarakatan.
a. Tindakan
pengamanan terhadap
makanan
Bahan makanan yang dibutuhkan
dalam pengolahan makanan didapat dari
pasar yang didistribusikan langsung
dengan menggunakan jasa pendistributor.
Pihak
lapas
mempercayakan
pengadaan bahan oleh pihak penyedia jasa
pengadaan makanan. Hal ini sudah cukup
baik, hanya saja penyedia bahan makanan
atau pendistibutor kurang memperhatikan
hal-hal kecil yang dapat menjadi sarana
kontaminasi terhadap bahan makanan yang
dibawa seperti mobil yang digunakan
dalam keadaan terbuka.
Mobil pengangkut yang digunakan
adalah mobil pick up bak terbuka tidak
khusus sehingga bisa saja penyedia juga
bisa menggunakan mobil tersebut untuk
kebutuhan lain seperti mengangkut barang
atau material bangunan. Hal ini bisa saja
terjadi, apabila mobil tidak di bersihkan
lalu
langsung
digunakan
untuk
pengangkutan bahan makanan, mobil yang
digunakan dalam keadaan kotor sehingga
bisa mengkontaminasi terhadap makanan.
Saat pengangkutan dan penurunan
bahan makanan dari mobil yang di banting
itu bisa membuat bahan makanan kondisi
fisiknya rusak atau cacat sehingga bahan
makanan yang kondisinya rusak tidak
dapat diolah.
Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1096/MENKES/PER/VI/2011
Tentang
Higiene Sanitasi Jasaboga pengankutan
bahan makanan sebaiknya tidak bercampur
dengan bahan berbahaya dan beracun,
menggunakan kendaraan pengankutan
khusus bahan makanan yang higieneis,
bahan makanan yang diangkut tidak boleh
diinjak, dibanting dan diduduki, dan untuk

Suci Nurul Khaerani, Munawar Raharja, Rahmawati. Penerapan Hygiene
Sanitasi Makanan dan Minuman di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS)

bahan makanan seperti daging, susu cair
harus di angkut dalam keadaan dingin.
Pengankutan bahan yang sesuai dan
higienes dapat berperan untuk mencegah
atau meminimalisir cemaran pada saat
pengangkutan bahan.
Pada tempat penyimpanan bahan
makanan sudah terhindar dan aman dari
binatang pengganggu dan tertutup,
walaupun
ada
sebagian
tempat
penyimpanan yang terbuka yang disimpan
adalah sayur-sayuran atau bahan yang
tidak mudah rusak. Sedangkan untuk bahan
makanan yang mudah rusak disimpan
dilemari
yang
tertutup.
Tempat
penyimpanan
yang
digunakan
kemungkinan masih bisa terkontaminasi
bahan B3 karena masih terdapat ronggarongga kecil yang dapat menjadi tempat
masuknya.
Bahan yang disimpan juga tidak
memperhatikannya suhu penyimpanan dan
disimpan tidak pada tempat yang khusus
sesuai dengan jenis makanannya, misalnya
saat menyimpan tempe dengan suhu
ruangan dikarenakan bahan yang disimpan
untuk beberapa jam saja dan tidak untuk
beberapa hari karena setiap bahan
makanan yang datang pagi akan habis
pada malam hari. Hal yang demikian bisa
saja menimbulkan tumbuhnya jamur atau
kapang bahkan mikroba lain yang dapat
membawa kesakitan atau keracunan
makanan bagi yang mengkonsumsinya.
Pada dasarnya proses penyimpanan bahan
makanan bertujuan agar bahan makanan
yang disimpan tidak mudah rusak dan
kehilangan nilai gizinya apabila bahan itu
diolah (7).
Pada dasarnya proses penyimpanan
bahan makanan menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor
1096/MENKES/PER/VI/2011
Tentang
Higiene
Sanitasi
Jasaboga
seharusnya
memperhatikan
tempat
penyimpanan, wadah penyimpanan, prinsif
penyimpanan, dan suhu.
Proses pemasakan bahan makanan
yang lebih dahulu diolah adalah memasak
nasi kemudian dilanjutkan memasak lauk
pauk. Nasi yang sudah matang di bagikan
kesemua
omprengan,
kemudian
omprengan tersebut di susun bertingkat
dan dibiarkan terbuka sambil menunggu

318

lauk pauk masak. Hal yang demikian ini
dapat menimbulkan kontaminasi dari
kuman di udara dan kuman peralatan
kemakanan karena kondisi yang terbuka
dan tumpang tindih. Selain kontaminasi
yang berasal dari mikrobiologi, juga dapat
terjadi kontaminasi dari fisik maupun
binatang pengganggu, karena kondisi
omprengan yang terbuka. Sehingga dapat
menimbulkan kejadian kesakitan atau
keracunan akibat makanan.
Keamanan pangan adalah kondisi
dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia (8).
Dalam hal peroses pememasakan makanan
perlu diperhatikan prioritas pemasakan
dan lama waktu saat memasak agar
makanan yang sudah masak tidak terlalu
lama kontak atau dibiarkan di suhu
ruangan dalam keadaan terbuka.
Dalam prioritas memasak ada
beberapa hal terpenting yang perlu
diperhatikan sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor
1096/MENKES/PER/VI/2011
Tentang Higiene Sanitasi Jasaboga salah
satunya adalah mendahulukan memasak
makanan yang tahan lama seperti goringgorengan yang kering serta makanan
rawan seperti makanan berkuah dimasak
paling akhir.
b. Tindakan
Pengamanan
Terhadap
Peralatan
Dari hasil observasi tindakan
pengaman terhadap peralatan masuk
dalam kategori Kurang, hal ini juga
dipertegas
oleh
hasil
pemeriksaan
bakteriologis pada peralatan makan yang
digunakan oleh napi tidak memenuhi
standar. Ini dikarenakan kondisi peralatan
makan yang digunakan (omprengan) ada
sebagian yang kondisinya pecah dibagian
atas. Kondisi tersebut akibat saat menutup
omprengannya kurang kuat dan apabila
makanan yang ada didalamnya kondisinya
encer makanan tersebut akan keluar
melalui sela-sela yang pecah tersebut. dan
bahan yang dari luar pun akan mudah
masuk ke makanan yang didalam
omprengan.

319

Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 13 No. 1 Januari 2016

Pada saat pencucian peralatan masak
dilakukan di dapur pengolahan makanan
tetapi para penjamah tidak menggunakan
rak pencucian untuk mencuci peralatan
makan dan bahan makanan dengan alasan
lebih mudah dan leluasa. Tempat yang
digunakan untuk pencucian tersebut
berada disamping dapur dan dasarnya
adalah lapisan semen saja serta dekat
dengan saluran pembuangan atau got,
sehingga apabila dilakukan pencucian
bahan makan atau peralatan masak disitu
kemungkinan bahan makan yang di cuci
bisa kotor kembali dan bahan makanan
atau peralatan juga bisa jatuh ke got. Hal
tersebut
berpeluang
terjaadinya
kontaminasi terhadap bahan makanan dan
peralatan.
Pada tahapan pencucian peralatan
masak tidak dilakukan perendaman dan
disinfeksi, sedangkan untuk omprengan
atau peralatan makan yang digunakan
untuk napi mereka mencuci sendiri di blok
selnya masing-masing. Hal seperti itu
membuat omprengan yang digunakan ada
yang bersih dan ada yang masih kotor serta
berlemak hal tersebut dikarenakan
perilaku dari individu yang dalam
melakukan
pencucian
masing-masing
berbeda serta sarana pencucian yang ada
didalam blok sel yang kurang memadai. Hal
ini dapat menimbulkan kontaminasi silang
antara peralatan yang sudah bersih dan
myang kurang bersih pencuciannya.
Peralatan makan disimpan ditempat
yang terbuka dengan cara tumpang tindih.
Disimpan di tempat terbuka seperti itu
kurang baik, karena bisa saja ada binatang
pengganggu
yang
mengkontaminasi
terhadap peralatan yang sudah dicuci
tersebut mengingat tempat pengolahan
yang kondisinya juga terbuka atau cemaran
fisik, kimia dan biologis lainnya yang dapat
membawa kontaminasi dan berakibat
kesakitan atau keracunan. Penyimpanan
dengan cara tumpang tindih seperti itu bisa
menimbulkan kotaminasi silang pada
peralatan yang lainnya maksudnya pada
saat pencucian peralatan makan yang
dilakukan masing-massing napi membuat
peralatan tersebut ada yang bersih dan ada
yang masih kotor dan berlemak sehingga
bila peralatan tersebut di tumpang tidak
menutup kemungkinan peralatan yang di

tumpanginya
akan
mengkontaminasi
keperalatan yang lainnya dan penyimpanan
yang seperti ini membuat peralatan tidak
kering optimal, peralatan yang berada
dibawah tidak akan kering dan peralatan
yang di atas saj yang kering.
Hasil pemeriksaan laboratorium
pada peralatan yang digunakan tidak
memenuhi
persyaratan
kualitas
bakteriologi seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Bakteriologis
pada Peralatan Makan
Peralata
Eschericia
TPC
Ket
n Makan
coli
272
koloni/
1
Negatif
TMS
2
cm
3.106,7
2
Negatif
TMS
koloni/
cm2
3
43.200
Negatif
TMS
0
Standar
Negatif
koloni
Dari pemeriksaan angka kuman pada
peralatan makan yang digunakan napi
hasilnya tidak memenuhi persyaratan yang
seharusnya. Hal ini jelas dapat disimpulkan
karena proses pencucian, yang kurang baik,
penyimpanannya yang dibiarkan terbuka
dan tumpang tindih serta kondisi
omprengan tersebut yang kurang baik. Hal
lain yang juga meperngaruhi angka kuman
yang di peralatan makan yaitu sumber air
pencucian peralatan yang digunakan.
c. Tindakan
Pengamanan
Terhadap
Penjamah
Dari hasil observasi tindakan
pengaman terhadap Penjamah makanan
masuk dalam kategori Kurang. Dimana
dalam hal ini ada beberapa item yang tidak
sesuai persyaratan seperti dalam proses
pengolahan makanan yang ditangani oleh
narapidana wanita dan mereka tidak
mempunyai sertifikat kesehatan dan
sertifikat khusus hygiene sanitasi makanan
walau pun mereka pernah diberikan
materi atau pelatihan tentang jasa boga
pada saat peresmian dapur, tetapi mereka
masih belum memiliki sertifikat kesehatan
dan kurang memahami tentang hygiene
sanitasi makan dan minuman. Apabila ada
yang mengetahui tentang hygiene sanitasi

Suci Nurul Khaerani, Munawar Raharja, Rahmawati. Penerapan Hygiene
Sanitasi Makanan dan Minuman di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS)

makanan dan setiap penjamah memiliki
sertifikat kesehatan maka keamanan
pangan akan terlaksana di lapas dan dapat
mencegah
atau
meminimalisasi
kemungkinan kesakitan atau keracunan
yang disebabkan dari makanan.
Perilaku penjamah masih ada yang
menyimpang saat mengolah makan seperti
berbicara, merokok, rambutnya digerai,
memakai perhiasan, menggaruk dan kontak
langsung dengan makanan. Hal ini dapat
menimbulkan atau membawa kuman yang
ada di anggota tubuh kemakanan. Misalkan
saja apabila dalam menangani makan
penjamah berbicara atau mengobrol
kemungkinan air liurnya akan masuk
kemakanan dan mengkontaminasi, apabila
penjamah yang menangani makana
memiliki riwayat kesehatan pernah
menderita TBC maka kemungkinan air liur
yang
mengkontaminasi
kemakanan
tersebut membawa bibit penyakit tersebut.
Sehingga
sangat
penting
penjamah
dilakukan pemeriksaan kesehatan rutin
dan memiliki sertifikat kesehatan.
Perilaku penjamah mencuci tangan
sebelum dan sesudah bekerja dan dari
toilet sudah baik, tetapi hanya mencucinya
dengan air saja. Hanya sebagian yang
mencucinya dengan sabun. Sehingga
kuman yang ada di tangan dapat
mengkontaminasi ke makanan dan ke
penjamah itu sendiri yang dapat
menyebabkan kesakitan seperti mual atau
diare.
Alat pelindung diri sebenarnya sudah
disediakan seperti apron, akan tetapi
penjamah kurang menganggap penting dan
tidak memakainya dengan alasan penjamah
merasa panas bila menggunakannya. Hal
tersebut meyebabkan apron tidak terurus
lagi dan kadang hilang sehingga jumlahnya
kurang, padaha alat pelindung diri ini
penting agar meminimalisir kontaminasi
kuman yang ada pada pada penjamah ke
makanan yang diolahnya.
d.

Tindakan
Pengamanan
Terhadap
Tempat
Berdasarkan hasi observasi tindakan
pengaman terhadap Tempat pengolahan
makanan masuk dalam kategori Cukup, hal
ini karena ada beberapa item penilaian
yang masih tidak sesuai seperti bangunan

320

yang terbuka dan tidak aman dari binatang
pengganggu. Kondisi pintu dan dinding,
yang terbuat dari jeruji besi dan tidak
mempunyai pelindung seperti kasa, tidak
hanya itu, kondisi langit-langit pun terbuka
membuat binatang seperti kucing atau
tikus mudah masuk kedalam tempat
pengolahan dan dapat merusak dan
membawa bibi penyakit kemakanan seperti
typus. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1096/MENKES/PER/VI/2011
tentang
Higiene Sanitasi Jasaboga dimana Tempat
pengolahan makanan atau dapur harus
memenuhi persyaratan teknis hygiene
sanitasi
untuk
mencegah
resiko
pencemaran terhadap makanan dan dapat
mencegah masuknya lalat, kecoa, tikus dan
hewan lainnya
Selain itu, kondisi yang tidak
memiliki plafon ini akan menimbulkan
hawa didalamnya menjadi panas ketika
siang karena atap yang berbahan seng. Hal
ini terbukti dari hasil pengukuran suhu dan
kelembapan tempat pengolahan yang tidak
memenuhi persyaratan. Hal ini dapat
menggangu ketidak nyaman bagi penjamah
yang menangani makanan. Penjamah akan
berkeringat saat melakuakn pengolahan
makanan dan keringat tersebut bisa
menetes tanpa sengaja ke bahan makan
yang
diolah
dan
akibatnya
mengkontaminasi makanan.
Untuk pertemuan dinding dan lantai
tidak berbentuk lengkung atau konus hal
ini berakibat sulit membersihkan kotoran
yang berada pada sela-sela dinding dan
lantai tersebut akibatnya masih ada
kotoran yang terdapa di sela-sela tersebut.
Saat pengolahan makanan, kondisi
tempat pengolahan makanan kotor dan
basah karena aktifitas dari penjamah saat
mengolah makanan. Hal demikian dapat
menganggu kegiatan pengolahan makanan
misalnya saja penjamah tergelincir. Kondisi
yang kotor ini pun dikarenakan kurangnya
jumlah tempat sampah yang ada di tempat
pengolahan makanan sehingga membuat
penjamah saat memilah bahan makanan
atau saat membersihkan sayur dan bahan
makanan
yang
lainnya
sampahnya
dikumpulkan dan bergeletakan di lantai
tidak langsung dibuang ketempat sampah
karena letakknya tidak terjangkau dan

321

Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 13 No. 1 Januari 2016

jumlahnya yang kurang. Keadaan ruangan
yang kotor seperti ini dapat mengurangi
nilai estetika dan kehigienisan makanan,
walaupun sebenarnya setiap selesai
kegiatan pengolahan makanan, penjamah
selalu membersihkannya.
Sampah yang dihasilkan tidak ada
dilakukan pemilahan antara sampah basah
dan kering serta bak sampah yang
disediakan pun hanya satu sehingga semua
jenis
sampah
dibuang
tanpa
pengelompokan
dengan
frekuensi
pembuanagnnya
setiap
hari.
Tidak
dilakukannya pemisahan sampah seperti
ini kurang baik karena memperlambat
dekomposisi atau penguraian terhadap
sampah organic karena tercampur dengan
sampah anorganik.
Kurangnya fasilitas sanitasi seperti
tidak tersedianya tempat cuci tangan yang
khusus dan lengkap, serta tidak adanya
jamban yang mudah dijangkau oleh
penjamah karena letak dari jamban itu
sendiri berada didalam sel mereka masingmasing. Sarana cuci tangan ini penting
sebab untuk memutus atau sebagai sarana
untuk meminimalisir kontaminasi yang
mungkin penjamah tularkan melalui tangan
penjamah.
Air
bersih
yang
digunakan
sumbernya ada dua yaitu air sumur dan
irigasi tetapi untuk sumber air irigasi
digunakan hanya pada saat yang terdesak.
Kualitas fisik dan kimia air (pH) memenuhi
persyaratan akan tetapi berdasarkan hasil
pemeriksaan MPN Coli pada air bersih yang
digunakan hasilnya pada pengulangan
kedua tidak memenuhi standar yaitu 20
MPN Coli, dan pada pengulangan pertama
dan ketiga 10 MPN Coli. Hal seperti ini
berarti pada air yang digunakan
teridentifikasi bakteri kelompok Coliform
dan apabila Air yang tercemar digunakan
untuk kegiatan pengolahan makanan
kemungkinan dapat mengkotaminasi pada
peralatan makan dan makanan. Meskipun
belum pasti akan menyebabkan kesakitan
karena bakteri Coliform ini tidak semuanya
pathogen (bakteri penyebab kesakitan)
tetapi kemungkinannya akan selau ada.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penerapan Higiene Sanitasi Makanan
dan Minuman di Lembaga Pemasyarakatan

Anak Kelas II A Martapura Tahun 2015
termasuk dalam penilaian cukup.
Tindakan pengamanan terhadap
makanan dan minuman di lembaga
Pemasyarakatan Anaka Kelas II A
Martapura termasuk dalam kategori BAIK.
Beberapa item-item yang di perbaiki seperti
penyediaan bahan dan penyimpanan bahan,
penanganan makanan masak.
Tindakan pengamanan terhadap
peralatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Kelas II A Martapura termasuk dalam
kategori KURANG, baik kondisi fisik
peralatan
makan
maupun
upaya
pemeliharaan kebersihan peralatan. Hasil
pemeriksaan
kualitas
bakteriologis
peralatan pada omprengan memenuhi
standar untuk parameter bakteri Eschericia
coli tetapi, untuk angka kuman peralatan
tidak memenuhi standar dan hasil
pemeriksaan
Tindakan pengamanan terhadap
penjamah di Lembaga Pemasyarakatan
Anak Kelas II A Martapura termasuk dalam
kategori KURANG, dilihat dari pengetahuan,
personal hygiene dan perilaku penjamah.
Tindakan pengamanan terhadap
tempat di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Kelas II A Martapura termasuk dalam
kategori CUKUP, item yang tidak terpenuhi
seperti kontruksi bangunan yang terbuka,
kurangnya sarana sanitasi dan bak sampah.
Saat pemeriksaan MPN coli pada air bersih
yang digunakan untuk pencucian peralatan
dan makanan tidak memenuhi persyaratan
pada pengambilan ke dua yaitu 20 MPN
coliform/ 100 ml.
Saran yang dapat diberikan agar
Petugas Lemabaga Pemasyarakatan Anak
Kelas II A Martapura merencanakan
pelatihan oleh tenaga sanitarian tentang
hygiene sanitasi makanan dan minuman
kepada narapidana berkerja sama dengan
Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar.
Penambahan jumlah bak sampah yang
tertutup dan kedap air dan sebaikknya bak
sampah dipisahkan antara sampah organik
dan non organik. Disetiap blok sel
narapidana disediakan tempat pencucian
dan sabun untuk mencuci peralatan makan
yang
digunakan
para
narapidana.
Bangunan
dapur
yang
terbuka
menggunakan jeruji besi seperti pintu dan
dinding atas sebaiknya diberi kawat kasa

Suci Nurul Khaerani, Munawar Raharja, Rahmawati. Penerapan Hygiene
Sanitasi Makanan dan Minuman di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS)

agar binatang tidak masuk kedalam tempat
pengolahan.
KEPUSTAKAAN
1. Wikipedia. wikipedia. [Online] 12 8, 2013.
[Cited:
02
27,
2015.]
http://id.wikipedia.org/w/index.php?ti
tle=Lembaga_Pemasyarakatan&oldid=7
418294.
2. Sumartono, Sumadiyono. Jumlah
Tahanan Lapas Kelebihan 50.751
Orang. Solopos. [Online] 05 1, 2013.
[Cited:
02
27,
2015.]
http://www.solopos.com/2013/05/
01/denny-indrayana-jumlahtahanan-lapas-kelebihan-50-751orang-402082.
3. Sistem Database Pemasyarakatan.
Sistem Database Pemasyarakatan.
[Online] 2015. [Cited: 04 17, 2015.]
http://smslap.ditjenpas.go.id/public
/grl/current/daily.
4. Dirkumham. Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1995 Tentang Narapidana.
UURI NO 12. [Online] 1995.
www.kemenkumham.go.id.
5.
Ditjenpas.
WARTA
PEMASYARAKATAN.
[Online]
DESEMBER 2008. [Cited: MARET 23,
2014.]
www.ditjenpas.go.id/wartapasdigital/warta-pemasyarakatan-no35.
6. Waspada. Keracunana Makanan di
Nusa Kambangan. [Online] 04 31,
2014. www.waspada.com.
7. Virdhani, Marieska Harya. Tujuh Santri
di Depok Keracunan Makanan.
www.okezone.com. [Online] februari
3, 2015. [Cited: februari 25, 2015.]
http://news.okezone.com/read/201
5/02/03/338/1100548/tujuhsantri-di-depok-keracunanmakanan.
8. Arifin, Zainal. Pengertian Kesehatan.
[Online] 10 17, 2011. [Cited: 02 27,
2015.]
http://zainal-a-fkm10.web.unair.ac.id/artikel_detail
-35770-KesehatanPengertian%20Sehat.html.

.

322