BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Terdahulu yang Relevan - KAJIAN PELANGGARAN PRINSIP KONVERSASI DALAM RUBRIK MBLAKETAKET PADA SURAT KABAR RADAR BANYUMAS EDISI BULAN OKTOBER - NOVEMBER 2013 - repository perpustakaan

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian Kajian Pelanggaran Prinsip Konversasi dalam Rubrik Mblaketaket

  pada Surat Kabar Radar Banyumas Edisi Bulan Oktober - November 2013 berbeda dengan penelitian sejenis yang telah ada. Penelitian sejenis yang peneliti temukan yaitu penelitian yang berjudul Bahasa Humor Stand Up Comedy di Metro TV 1 Maret-26 April 2012(Kajian Pragmatik) dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama pada Tuturan Dialog Dagelan Srimulat. Untuk membuktikannya, peneliti meninjau dua buah penelitian mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto tersebut.

1. Bahasa Humor Stand Up Comedy di Metro TV 1 Maret-26 April 2012(Kajian Pragmatik) oleh Andrian Kristanto, NIM 0801040046, tahun 2012

  Dalam penelitiannya menggunakan teori bahasa dan fungsi bahasa, jenis tindak tutur, bentuk pelanggaran prinsip konversasi yang menimbulkan kejenakaan dan gaya humor Stand Up Comedy. Dari tinjauan tersebut, maka analisis yang dilakukan adalah mendeskripsikan jenis tindak tutur dan pelanggaran prinsip

  

konversasi . Data yang digunakan adalah tuturan para comic dalam acara Stand Up

Comedy di Metro TV pada 1 Maret sampai 26 April yang berjumlah 155 tuturan dari

  21 comic. Sedangkan sumber datanya adalah para comic dalam acara Stand Up Comedy di Metro TV.

  Metode penyediaan data yang digunakan yaitu metode simak, yang terdiri dari: teknik sadap, teknik simak bebas libat cakap, teknik rekam, teknik catat. Metode analisis data menggunakan metode agih dan metode padan.Metode agih terdiri dari

  11 teknik perluas dan teknik ulang, sedangkan metode padan terdiri dari teknik pilah unsur penentu dan teknik hubung banding menyamakan. Data kemudian dianalisis berdasarkan jenis tindak tutur dan pelanggaran prinsip konversasi.

  Berdasarkan penjelasan di atas maka skripsi yang ditulis oleh peneliti yang berjudul Kajian Pelanggaran Prinsip Konversasi dalam Rubrik Mblaketaket pada

  

Surat Kabar Radar Banyumas Edisi Bulan Oktober-November 2013 memiliki

  beberapa perbedaan dengan skripsi yang dibuat oleh Andrian Kristanto. Perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut.

  a. Pada penelitian ini, tujuan penelitian adalah mendeskripsikan pelanggaran prinsip

  konversasi dalam rubrik Mblaketaket pada surat kabar Radar Banyumas edisi

  bulan Oktober-November 2013. Sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk mendeskripsikan jenis tindak tutur dan pelanggaran prinsip konversasi.

  b. Data pada penelitian ini adalah tuturan yang mengandung pelanggaran prinsip

  konversasi dalam rubrik Mblaketaket pada surat kabar Radar Banyumas edisi

  bulan Oktober-November 2013, sedangkan data penelitian sebelumnya adalah tuturan para comic dalam acara Stand Up Comedy di Metro TV pada 1 Maret sampai 26 April yang berjumlah 155 tuturan dari 21 comic. Sumber data dalam penelitian ini adalah rubrik Mblaketaket dalam surat kabar Radar Banyumas edisi bulan Oktober-November 2013, sedangkan sumber data pada penelitian sebelumnya adalah para comic dalam acara Stand Up Comedy di Metro TV.

2. Pelanggaran Prinsip Kerja Sama pada Tuturan Dialog Dagelan Srimulat oleh Muhyoto, NIM 0101540011, tahun 2004

  Muhyoto menggunakan teori percakapan, implikatur, konteks berbahasa, prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Berdasarkan tinjauan tersebut, maka analisis yang dilakukan adalah analisis bahasa humor pelawak Srimulat yang mengandung pelanggaran prinsip kerjasama. Data yang digunakan adalah tuturan dialog dagelan Srimulat khususnya yang melanggar prinsip kerja sama. Sumber data yang digunakan adalah bahasa kelompok lawak Srimulat di Indosiar 16 dan 23 Oktober 2003, yang terdiri dari satu judul yaitu “Mayat Darmini”. Metode penyediaan data yang digunakan yaitu metode simak, yang terdiri dari: teknik sadap, teknik rekam, teknik catat. Metode analisis data menggunakan metode agih dengan teknik ubah ujud. Data kemudian dianalisis berdasarkan prinsip kerjasama, yang meliputi: maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim percakapan.

  Berdasarkan penjelasan di atas maka skripsi yang ditulis oleh peneliti yang berjudul Kajian Pelanggaran Prinsip Konversasi dalam Rubrik Mblaketaket pada memiliki

  Surat Kabar Radar Banyumas Edisi Bulan Oktober-November 2013

  beberapa perbedaan dengan skripsi yang dibuat oleh Muhyoto. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

  a. Pada penelitian ini, tujuan penelitian adalah mendeskripsikan pelanggaran prinsip

  konversasi dalam rubrik Mblaketaket pada surat kabar Radar Banyumas edisi

  bulan Oktober-November 2013. Sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk mendeskripsikan pelanggaran prinsip kerja sama dalam tuturan dialog dagelan dalam Srimulat.

  b. Data pada penelitian ini adalah tuturan yang mengandung pelanggaran prinsip

  konversasi dalam rubrik Mblaketaket pada surat kabar Radar Banyumas edisi

  bulan Oktober-November 2013, sedangkan data penelitian sebelumnya adalah tuturan dialog dagelan Srimulat khususnya yang melanggar prinsip kerja sama.

  Sumber data dalam penelitian ini adalah rubrik Mblaketaket dalam surat kabar

  Radar Banyumas edisi bulan Oktober-November 2013, sedangkan sumber data

  pada penelitian sebelumnya bahasa kelompok lawak Srimulat di Indosiar 16 dan 23 Oktober 2003, yang terdiri dari satu judul yaitu “Mayat Darmini”.

B. Landasan Teori 1. Pragmatik a. Pengertian Pragmatik

  Leech (dalam Rahardi, 2005:48) menyatakan bahwa pragmatik dapat berintegrasi dengan tata bahasa atau garamatika yang meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.Cruse (dalam Cummings, 2007: 2), menyatakan:

  Pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (1) tidak dikodekanoleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (2) juga muncul secara alamiah tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut.

  Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri (Yule, 2006: 3). Pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercangkup dalam teori semantik, atau dengan perkataan lain, membahas segala aspek makna ucapan yang tidak dapat dijelaskan secara tuntas oleh referensi-referensi langsung pada kondisi-kondisi kebenaran kalimat yang diucapakan (Tarigan, 2009: 31). Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu yang mengkaji tentang makna dalam penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan aneka situasi ujaran.Dengan demikian pragmatik menganalisis makna yang terikat konteks tuturan atau maksud dari penutur bukan makna linguistiknya.Jadi, pemaknaan terhadap konteks tersebut berdasarkan situasi ujaran.

  Analisis terhadap humor dalam rubrikMblaketaket sangat tepat menggunakan pendekatan pragmatik. Untuk memahami bahwa humor dalam rubrik Mblaketaket tidak semata-mata humor tetapi juga mengandung maksud dan tujuan, diperlukan pemahaman terhadap konteks yang melatarbelakangi humor tersebut. Pemahaman terhadap konteks merupakan salah satu ciri pendekatan pragmatik. Pembahasan mengenai maksim-maksim adalah bahasan dalam pragmatik sehingga pendekatan pragmatik dirasa sangat ideal dalam menganalisis pelanggaran prinsip konversasi dalam rubrik Mblaketaket pada penelitian ini.

b. Prinsip Konversasi

  Kata konversasi sama artinya dengan percakapan (Alwi, 2007: 592). Jadi, prinsipkonversasi disebut juga dengan prinsip percakapan yaitu dasar yang harus dipatuhi dalam percakapan sehingga percakapan dapat berjalan dengan lancar. Prinsip

Konversasi terdiri dari dua macam yaitu prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.

  Kedua prinsip pragmatik tersebut memiliki maksim sendiri-sendiri, antara lain: (a) prinsip kerja sama terdiri dari: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim pelaksanaan;(Grice dalam Chaer, 2010:34). (b) prinsip kesopanan terdiri dari: maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kemurahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian (Leech dalam Chaer, 2010:56). Berikut ini penjelasan mengenai prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan.

1) Prinsip Kerja Sama

  Menurut Grice (dalam Rahardi, 2005: 52) agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur berjalan dengan baik dan lancar, mereka harus dapat saling bekerja sama.

  Dalam kerja sama tersebut setiap peserta tutur harus mematuhi prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama merupakan prinsip bahwa setiap peserta tutur dalam berkomunikasi harus dapat bekerja sama agar tujuan komunikasi dapat tercapai. Prinsip kerja sama Grice itu seluruhnya meliputi empat maksim yaitu: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

a) Maksim Kuantitas

  Grice (dalam Rahardi, 2005: 53) menjelaskan di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Jadi, informasi yang diberikan tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh mitra tutur. Selain itu, pendapat lain menyatakan bahwa maksim kuantitas menghendaki setiap pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya (Wijana dan Rohmadi, 2011:45). Jadi pada maksim ini penutur hendaknya memberikan kontribusi yang secukupnya, sebanyak yang dibutuhkan dan tidak berlebihan dalam memberikan informasi yang diminta oleh lawan tuturnya atau dengan kata lain memberi informasi sesuai yang diminta. Misalnya penutur yang berbicara secara wajar tentu akan memilih (104) dibandingkan dengan (105).

  (104) Tetangga saya hamil. (105) Tetangga saya yang perempuan hamil.

  Ujaran (104) disamping lebih ringkas, juga tidak menyimpang nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu tahu bahwa hanya orang-orang wanitalah yang mungkin hamil.Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan (105) sudah menyarankan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan dalam (105) justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini tentunya melanggar maksim kuantitas. Sebagai contoh lain dapat dipertimbangkan wacana (106) dan (107) berikut:

  (106) A : Siapa namamu? B :Ani.

  A :Rumahmu di mana? B :Klaten, tepatnya di Pedan. A :Sudah bekerja? B :Belum masih mencari-cari. (107) A :Siapa namamu?

  B :Ani, rumah saya di Klaten, tepatnya di Pedan. Saya belum bekerja.Sekarang saya masih mencari pekerjaan. Saya anak bungsu dari lima bersaudara. Saya pernah kuliah di UGM, tetapi karena tidak ada biaya, saya berhenti kuliah.

  Bila (106) dan (107) dibandingkan, terlihat B dalam (106) bersifat kooperatif karena B dalam (106) memberikan kontribusi yang secara kuantitas memadai atau mencukupi pada setiap tahapan komunikasi. Sementara itu, peserta pertuturan B dalam (107) tidak kooperatif karena memberikan kontribusi yang berlebihan.

  Kontribusi B yang berupa informasi alamat, status pekerjaannya, status dalam keluarga, pengalamannya pernah kuliah di UGM, dsb. belum dibutuhkan oleh A pada tahap itu, sehingga tuturan B dalam (107) dianggap melanggar maksim kuantitas karena memberikan kontribusi yag berlebihan.

  Ciri-ciri maksim kuantitas menurut Yule (2006: 64) yaitu(a) Buatlah percakapan yang informatif seperti yang diminta (dengan maksud pergantian percakapan yang sedang berlangsung); (b)Jangan membuat percakapan lebih informatif dari yang diminta. Jadi, berdasarkan ciri-ciri tersebut Yule menghendaki bahwa dalam maksim kuantitas setiap peserta tutur memberikan informasi sesuai yang diminta dan tidak membuat percakapan yang lebih informatif dari yang diminta. Jika melanggar hal tersebut maka peserta tutur dapat dikatakan telah melanggar maksim kuantitas.

b) Maksim Kualitas

  Grice (dalam Rahardi, 2005: 55) mengemukakan dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sebenarnya di dalam bertutur. Selain itu, Wijana dan Rahmadi (2011: 47) menyatakan maksim percakapam ini mewajibkan setiap peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Dari kedua pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa maksim kualitas pada hakikatnya menunjukkan kalimat yang diungkapkan benar dan didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Untuk itu dapat perhatikan wacana (108) di bawah ini:

  (108) Guru : Coba kamu Andi, apa ibukota Bali? Andi : Surabaya, Pak guru.

  Guru : Bagus, kalau begitu ibukota Jawa Timur Denpasar, ya? Dalam wacana (108) tersebut tampak guru memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas. Guru mengatakan ibukota Jawa Timur adalah Denpasar bukannya Surabaya. Jawaban yang tidak mengindahkan maksim kualitas ini diutarakan sebagai reaksi terhadap jawaban Andi yang salah atau dengan jawaban ini sang murid (Andi) sebagai individu yang memiliki kompetensi komunikatif (communicative competence) kemudian secara serta merta mencari jawaban mengapa gurunya membuat pernyataan yang salah. Mengapa kalimat yang diutarakan oleh bapak guru dengan nada yang berbeda. Dengan bukti-bukti yang memadai akhirnya Andi mengetahui bahwa jawabannya terhadap pertanyaan gurunya salah. Kata bagus yang diucapkan gurunya tidak konvensional karena tidak digunakan seperti biasanya untuk memuji, tetapi sebaliknya untuk mengejek. Jadi, ada alasan-alasan pragmatis mengapa guru dalam (108) memberikan kontribusi yang melanggar maksim kuantitas.

  Ciri-ciri maksim percakapan ini menurut Yule (2006: 64) yaitu (a) Cobalah untuk membuat suatu informasi yang benar; (b) Jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini itu salah; (c) Jangan mengatakan sesuatu jika Anda tidak memiliki bukti yang memadai. Jadi, berdasarkan ciri-ciri tersebut Yule menghendaki bahwa dalam maksim kualitas peserta tutur harus dapat membuat informasi yang benar dan jangan mengatakan sesuatu yang sudah diyakini salah serta tidak memiliki bukti yang memadai. Jika melanggar hal tersebut maka penutur dapat dikatakan telah melanggar maksim kualitas.

c) Maksim Relevansi

  Grice (dalam Rahardi, 2005: 56) mengemukakan di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Selain itu, Wijana dan Rahmadi (2011: 48) menyatakan maksim relevansi menghendaki atau mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Jadi pada maksim ini penutur dan mitra tutur dalam membentuk percakapan yang wajar memberi sumbangan informasi yang relevan dengan masalah yang dibicarakan. Yule (2006:

  64), menyatakan ciri dari maksim relevansi atau hubungan ini adalah relevanlah. Berikut adalah contoh wacana yang melanggar maksim relevansi: (109) A :Pak, ada tabrakan motor lawan truk di pertigaan depan.

  B :Yang menang apa hadiahnya? Wacana tersebut adalah percakapan antara seorang ayah dengan anaknya. Bila sang ayah sebagai peserta percakapan yang kooperatif, tidak selayaknyalah ia mempersamakan peristiwa kecelakaan yang dilihat oleh anaknya itu adalah sebuah pertandingan atau kejuaraan. Dalam kecelakaan, tidak ada pemenang dan tidak ada pula pihak yang akan menerima hadiah. Semua pihak akan menderita kerugian, bahkan ada kemungkinan salah satu, atau kedua belah pihak meninggal dunia. Jadi jelas jawaban B melanggar maksim relevansi karena tidak relevan dengan pembicaraan.

d) Maksim Pelaksanaan

  Grice (dalam Rahardi, 2005: 57) mengemukakan maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan bertuur secara langsung, jelas, dan tidak kabur.Selain itu, Wijana dan Rahmadi (2011: 49) mengemukakan maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan. Jadi pada maksim pelaksanaan peserta tutur harus menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, padat dan jelas (tidak berlebihan). Dalam kaitannya dengan prinsip ini Parker (1986: 23) memberi contoh wacana (110) berikut:

  (110) A : Let‟s stop and get something to eat.

  B :Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S. Dalam (110) tokoh B menjawab ajakan A secara tidak langsung, yakni dengan mengeja satu persatu kata Mc Donalds. Penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya. Anak-anak kecil dalam batas-batas umur tertentu memang akan kesulitan atau tidak mampu menangkap makna kata yang dieja hurufnya satu persatu. Jadi, tuturan B tersebut melanggar maksim pelaksanaan karena memberikan jawaban secara tidak langsung atau tidak jelas yaitu dengan mengeja satu persatu hurufnya, hal tersebut dimaksudkan agar anaknya tidak mengetahui apa yang sedang dibicarakan.

  Ciri-ciri maksim ini menurut Yule (2006: 64) yaitu: (a) Hindari ungkapan yang tidak jelas; (b) Hindari ketaksaan; (c) Buatlah singkat (hindarkan panjang-lebar yang tidak perlu); (d) Buatlah secara urut/teratur. Jadi, berdasarkan ciri-ciri tersebut Yule menghendaki bahwa dalam maksim pelaksanaan peserta tutur harus dapat menghindari ungkapan yang tidak jelas dan taksa dan dapat mengungkapkan dengan singkat dan urut. Jika melanggar hal tersebut maka penutur dapat dikatakan telah melanggar maksim pelaksanaan.

  Grice (dalam Wijana dan Rohmadi, 2011:51-52) membuat analogi bagi kategori-kategori maksim percakapannya sebagai berikut:

  1. Maksim kuantitas. Jika anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan kontribusi Anda tidak lebih atau tidak kurang dari apa yang saya butuhkan. Misalnya, jika pada tahap tertentu saya membutuhkan empat obeng, saya mengharapkan anda mengambilkan saya empat bukannya dua atau enam.

  2. Maksim kualitas. Saya mengharapkan kontribusi Anda sungguh-sungguh, bukannya sebaliknya. Jika saya membutuhkan gula sebagai bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan Anda memberi saya garam. Jika saya membutuhkan sendok, saya tidak mengharapkan Anda mengambilkan sendok-sendokan atau sendok karet.

  3. Maksim relevansi. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai dengan apa yang saya butuhkan pada setiap tahap transaksi. Jika saya mencampur bahan- bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan bukuyang bagus, atau bahkan kain oven walaupun benda yang terkhir ini saya butuhkan pada tahapan berikutnya.

  4. Maksim cara. Saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi yang harus dilakukannya secara rasional.

2) Prinsip Kesopanan

  Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual, tetapi sering juga berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Bila sebagai retorika tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerjasama (cooperative

  

principle ) maka sebagai retorika interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip lain

  yakni prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan merupakan prinsip bahwa setiap peserta tutur harus memperhatikan sopan santun (tutur kata yang baik) dalam komunikasi. Prinsip kesopanan sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif. Prinsip kesopanan memiliki enam maksim, yakni, (1) maksim kebijaksanaan (tact maxim), (2) maksim penerimaan atau kedermawanan (generosity maxim), (3) maksim kemurahan atau pujian (approbation

  

maxim ), (4) maksim kerendahan hati (modesty maxim), (5) maksim kecocokan atau

kesepakatan (agreement maxim), dan (6) maksim kesimpatian (sympathy maxim).

a) Maksim Kebijaksanaan

  Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain, Wijana dan Rahmadi (2011: 47). Menurut Leech (dalam Rahardi, 2005:59) gagasan dasar dalam maksim kebijaksanaan bahwa peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi kerugian orang lain, dan memaksimalkan keuntungan orang lain. Dari kedua pendapat tersebut maka dapat peneliti simpulkan bahwa dalam maksim kebijaksanaan para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi kerugian orang laindan menambah keuntungan orang lain. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan wacana (111) dan (112) berikut.

  (111) A : Mari saya bawakan tas Anda.

  B : Jangan, tidak usah. (112) A : Mari saya bawakan tas Anda.

  B : Ini, begitu dong jadi teman. Tuturan (111) merupakan tuturan yang mematuhi maksim kebijaksanaan karena penutur berusaha memaksimalkan keuntungan orang lain, lawan bicara wajib pula memaksimalkan kerugian diri sendiri. Sebaliknya tuturan (112) dirasa kurang sopan karena lawan tutur berusaha memaksimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan diri sendiri.

b) Maksim Penerimaan

  Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri (Wijana dan Rohmadi, 2009: 55). Menurut Leech (dalam Rahardi, 2005:61) menyatakan bahwa penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian diri sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan wacana (113) dan (114) berikut.

  (113) Saya akan meminjami Anda mobil. (114) Anda harus meminjami saya mobil.

  Tuturan (113) merupakan tuturan yang mematuhi maksim penerimaan karena penutur berusaha memaksimalkan keuntungan orang lain dengan memaksimalkan kerugian diri sendiri. Sebaliknya tuturan (114) dirasa kurang sopan karena penutur berusaha memaksimalkan keuntungan dirinya dengan menyusahkan orang lain.

  c) Maksim Kemurahan Hati

  Menurut Wijana dan Rohmadi (2011: 56) menyatakan maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Maksim ini diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dengan penggunaan kalimat ekspresif dan asertif ini dijelaskan bahwa penutur tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu kepada seseorang harus berlaku sopan, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian. Dengan demikian, tindakan menyuruh atau menawarkan sesuatu harus disertai dengan perilaku sopan karena pada prinsipnya maksim kerendahan hati mengharuskan penutur memaksimalkan rasa hormat dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain melalui tuturannya. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan wacana (115) dan (116) berikut.

  (115) A :Permainannmu sangat bagus.

  B :Tidak saya kira biasa-biasa saja. (116) A :Permainan Anda sangat bagus.

  B :Jelas siapa dulu yang main. Tokoh A dalam (115) bersikap sopan karena berusaha memaksimalkan keuntungan B lawan tuturnya. Lawan tuturnya B dalam (115) menerapkan paradoks pragmatik dengan beusaha meminimalkan penghargaan diri sendiri, sedangkan B dalam (116) melanggar paradoks pragmatik dengan berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Jadi, B dalam (116) tidak berlaku sopan.

  d) Maksim Kerendahan Hati

  Leech (dalam Rahardi, 2005:64) mengemukakan bahwa di dalam maksim kerendahan hati peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Selain itu Wijana dan Rahmadi (2011: 57) menyatakan bahwa maksim kerendahan hati menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif.

  Dengan kalimat tersebut setiap peserta tutur dituntut untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri atau menimbulkan rasa hormat pada diri sendiri.

  Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan wacana (117) dan (118) berikut.

  (117) A :Betapa pandainya orang itu.

  B :Betul, dia memang pandai. (118) A :Kau sangat pandai.

  B :Ya, saya memang pandai. Wacana (117) mematuhi prinsip kesopanan karena A memuji kebaikan pihak lain, dan respon yang dinerikan B memuji orang lain yang dibicarakan itu. Wacana (118) memiliki bagian yang melanggar maksim kesopanan.Tuturan Bdalam (118) tidak mematuhi maksim kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

e) Maksim Kecocokan

  Leech (dalam Rahardi, 2005:64) mengemukakan bahwa di dalam maksim kecocokan ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Selain itu Wijana dan Rohmadi (2011: 58) bahwa maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan diantara mereka. Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Jadi maksim kecocokan mewajibkan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan dan meminimalkan ketidakcocokan diantara mereka. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan wacana (119) dan (120) berikut.

  (119) A : Bahasa Inggris sukar, ya? B : Ya

  (120) A : Bahasa Inggris sukar, ya? B : (siapa bilang), mudah sekali. Kontribusi B dalam (119) lebih sopan dibandingkan dengan (120) karena dalam (120) B memaksimalkan ketidakcocokannya dengan pernyataan A. Dalam hal ini tidak berarti orang harus senantiasa setuju dengan pendapat atau pernyataan lawan tuturnya.

  Dalam hal ia tidak menyetujui apa yang dinyatakan oleh lawan tuturnya ia dapat membuat pernyataan yang mengandung ketidaksetujuan atau ketidakcocokan partial (partial agreement), sehingga pernyataannya tidak terkesan bahwa ia orang yang sombong.

f) Maksim Kesimpatian

  Leech (dalam Rahardi, 2005:65) mengemukakan bahwa di dalam maksim kesimpatian diharapkan agar peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Selain itu Wijana dan Rohmadi (2011: 59) juga menyatakan maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Maksim ini diungkapkan dengan kalimat eskpresif dan asertif. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Wacana (121) dan (122) sopan karena penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapat kebahagiaan (121) dan kedukaan (122).

  (121) A : Aku lolos di UMPTN, Jon.

  B : Selamat, ya! (122) A : bibi baru-baru ini sudah tidak ada. B : Oh, aku turut berduka cita. Berbeda dengan (121) dan (122), (123) dan (124) berikut tidak mematuhi maksim kesimpatian karena tuturan B memaksimalkan rasa antipati terhadap kegagalan atau kedukaan yang menimpa A.

  (123) A : Aku gagal di UMPTN B : Wah, pintar kamu. Selamat, ya! (124) A : Bibi baru-baru ini sudah tidak ada.

  B :Aku ikut senang Jon. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, dan maksim kerendahan hati adalah maksim yang berskala dua kutub (bipolar scale maxim) karena berhubungan dengan keuntungan atau kerugian diri sendiri dan orang lain. Sementara itu, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian adalah maksim yang berskala satu kutub (unipolar scale maxim) karena berhubungan dengan penilaian buruk baik penutur, terhadap dirinya atau orang lain. Dalam kaitannya dengan maksim berskala dua kutub, maksim kebijaksanaan dan maksim kemurahan adalah maksim yang berpusat pada orang lain (other centred

  

maxim ), dan maksim penerimaan dan maksim kerendahan hati adalah maksim yang

berpusat pada diri sendiri (self centred maxim) (Wijana dan Rahmadi, 2011: 60).

2. Humor a. Pengertian Humor

  Humor merupakan salah satu sarana penghibur yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Manusia dalam hidupnya selalu tidak lepas dari suatu permasalahan. Permasalahan yang dihadapinya dapat dilupakan sejenak salah satunya dengan jalan mencari hiburan. Salah satu hiburan yang dapat dimanfaatkan adalah humor. Wijana (dalam Kristanto, 2012: 21) mengemukakan bahwa: Humor merupakan salah satu wujud aktivitas yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Humor tidaksaja bermanfaat sebagai wahan hiburan, tetapi berguna pula sebagai sarana pendidikan dan kritik sosial bagi semestaketimpangan yang akan datang, sedang atau telah terjadi di tengah masyarakat penciptanya. Jadi humor pada hakikatnya merupakan salah satu cara manusia untuk meningkatkan hidupnya.

  Berdasarkan pernyataan tersebut, humor memiliki peranan yang sangat sentral dalam kehidupan manusia, yakni sebagai sarana hiburan dan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas hidupnya. Tidak kalah penting humor sering pula dimanfaatkan untuk membawakan pesan-pesan pembangunan, dan menyampaikan kritik dan saran terhadap aneka bentuk kepentingan sosial dan semesta problematika yang dihadapi masyarakat.

  Humor ada dua ragamnya, ada ragam humor negatif dan ada yang positif. Humor negatif adalah humor yang di dalamnya berisi sesuatu yang tidak baik yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), porno, hinaan dan celaan maupun berisi sesuatu yang tidak baik lainnya. Sedangkan humor yang positif adalah humor yang bisa membangkitkan sesuatu yang baik bagi pendengarnya. Data saja orang yang mendengar humor merasa tergugah hidupnya untuk menjadi yang terbaik, bisa saja orang yang mendengar humor positif tersebut merasa kena kritikan untuk menjadi orang yang baik, dan lain sebagainya.

  Wacana yang wajar menurut Wijana(dalam Kristanto, 2012: 23) dihasilkan dari proses komunikasi yang bonafid. Proses komunikasi ini terbentuk karena peserta percakapan mematuhi prinsip kerja sama, prinsip kesopanan dan parameter pragmatik. Dalam humor selalu ada maksim-maksim percakapan yang secara sengaja dilanggar oleh peserta percakapan. Penyimpangan maksim percakapan dalam rangka penciptaan efek humor dilakukan lewat pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan.

  b. Ciri-Ciri Humor

  Wijana (dalam Kristanto, 2012:24) mengemukakan bahwa wacana humor adalah wacana yang terbentuk dari proses komunikasi yang tidak bonafid (non-bona- fide communication). Pernyataan tersebut merupakan ciri yang sangat penting untuk diperhatikan sebagai ciri bahasa humor. Jadidalam wacana ini, maksim-maksim percakapan, maksim-maksim kesopanan, serta parameter pragmatik sengaja dilanggar untuk menciptakan humor. Humordalam rubrik Mblaketaket dimanfaatkan untuk menyegarkan atau menghibur para pembaca yang jenuh dengan berita yang dibacanya. Humor tersebut disajikan dalam bentuk wacana tulis berupa dialog yang diselingi dengan narasi. Pelaku utama dalam humor tersebut adalah Daplun, Kemplu, Dakem dan Kucluk.

  c. Fungsi Humor

  Rahmanadji (dalam Kristanto, 2012: 25) menyatakan bahwa humor dapat berfungsi untuk: (1) melaksanakan segala keinginan dan segala tujuan gagasan atau pesan, (2) menyadarkan orang bahwa dirinya tidak selalu benar, (3) mengajar orang melihat persoalan dari berbagai sudut, (4) menghibur, (5) melancarkan pikiran, (6) membuat orang mentoleransi sesuatu, dan (7) membuat orang menyadari soal pelik.Dari beberapa fungsi tersebut, fungsi humor yang paling menonjol yang dapat dirasakan oleh penikmatnya adalah untuk menghibur dan melancarkan pikiran.

3. Surat Kabar Radar Banyumas

  Menurut (Effendy dalam Steven) , “Surat kabar adalah lembaran tercetak yang memuat laporan yang terjadi di masyarakat dengan ciri-ciri terbit secara periodik, bersifat umum, isinya termasa dan aktual mengenai apa saja dan dimana saja di seluruh dunia untuk diketahui pembac a”. Effendy menjelaskan ada empat ciri yang dapat dikatakan sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh surat kabar, antara lain : (a)

  Publisitas (Publicity), yakni mengandung arti penyebaran kepada khalayak atau kepada publik. Karena diperuntukkan untuk khalayak umum, isi atau informasi dalam surat kabar ini terdiri dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan umum; (b) Periodesitas (Periodicity) yang berarti keteraturan dalam penerbitannya. Keteraturan ini bisa satu kali sehari bisa juga satu atau dua kali terbit dalam seminggu; (c) Universalitas (Universality) yang berarti kemestaan dan keragaman. Isinya yang datang dari berbagai penjuru dunia; (d) Aktualitas (Actuality), menurut kata asalnya aktualitas, berarti “kini” dan “keadaan sebenarnya”. Kedua-duanya erat sekali sangkut pautnya dengan berita yang disiarkan surat kabar.

  Di Indonesia jumlah surat kabar harian sangat banyak, salah satunya yaitu surat kabar Radar Banyumas yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini. Surat kabar Radar Banyumas merupakan salah satu surat kabar yang terbit harian yang beredar di Banyumas Jawa Tengah. Radar Banyumas selalu menyajikan berita terkini pada lima kabupaten yang meliputi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen. Beragam rubrik yang disajikan dalam surat kabar Radar Banyumas antara lain meliputi rubrik ekonomi, olahraga, kesehatan, hiburan dan sebagainya. Oleh karena surat kabar Radar Banyumas merupakan surat kabar yang beredar di Jawa Tengah maka terdapat juga rubrik yang menampung humor dalam bahasa Jawa khususnya dialek Banyumas. Humor tersebut terdapat dalam rubrik Mblaketaket.

4. RubrikMblaketaket

  Rubrik adalah karangan yang bertopik tertentu dalam surat kabar, majalah, dan sebagainya (Alwi, 2007: 896). Effendy dalam Puspita mengutarakan definisi mengenai rubrik dalam kamuskomunikasi, bahwa “Rubrik berasal dari bahasa Belanda yaitu Rubriek, yang artinya ruangan pada halaman surat kabar, majalah atau media cetak lainnya mengenai suatu aspek atau kegiatan dalam kehidupan masyarakat; misalnya rubrik wanita, rubrik olahraga, rubrik pendapat pembaca dan se bagainya“. Dari kedua penjelasan tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa rubrik merupakan sebuah halaman yang memiliki kepala halaman (kop) yang terdapat di dalam media cetak baik koran, majalah, tabloid, buletin, dan lainnya. Di dalamnya memuat mengenai berbagai informasi baik berita, opini, iklan,maupun seni atau hiburan yang senada sasaran pembacanya.

  Mblaketaket merupakan salah satu judul rubrik humor yang terdapat dalam

  surat kabar harian Radar Banyumas. Rubrik Mblaketaket ini berbeda dengan rubrik- rubrik lainnya karena rubrik ini berisikan humor yang menggunakan bahasa Jawa khususnya dialek Banyumas. Rubrik tersebut dimuat setiap hari senin s.d. sabtu dan terkadang pada hari-hari tertentu tidak dimuat. Pada dasarnya kata Mblaketaket berasal dari bahasa Jawa dengan kata dasar blaketaket yang artinya enak sekali atau akrab dan hangat (Tohari, 2007:36). Dalam kaitannya dengan humor, Mblaketaket dapat diartikan sebagai obrolan lucu yang asyik dan menyenangkan. Humor ini disajikan dalam bahasa Jawa dengan dialek Banyumas, sehingga nama tokoh-tokoh dalam humor tersebut pun berbau Jawa, yaitu Daplun, Kemplu, Dakem dan Kucluk. Keempat tokoh tersebut selalu menampilkan kejenakaannya sehingga membuat pembaca merasa terhibur. Selain pembaca dapat menikmati humor tersebut pada surat kabar Radar Banyumas, humor dalam rubrik Mblaketaket juga sering diunggah dalam akun facebook Radar Banyumas. Ketertarikan masyarakat terhadap humor ini menjadikan rubrik tersebut diunggah dalam akun facebook dan setiap harinya lebih dari seratus orang yang membacanya. Mereka menyukai humor tersebut karena humor yang disajikan setiap harinya selalu bervariasi.

  KAJIAN PELANGGARAN PRINSIP KONVERSASIDALAM RUBRIK MBLAKETAKET PADA SURAT KABAR RADAR BANYUMAS EDISI BULAN OKTOBER - NOVEMBER 2013

  Wacana Humor Pragmatik

  Prinsip Konversasi Prinsip Kerja Sama Prinsip Kesopanan

  Maksim Kuantitas Maksim Kualitas

  Maksim Pelaksanaan Maksim Relevansi

  Maksim Kebijaksanaan Maksim Penerimaan

  Maksim Kemurahan Hati Maksim Kerendahan Hati

  Maksim Kesimpatian Maksim Kecocokan

  Rubrik Tuturan dalam Rubrik

  Mblaketaket

  Pelanggaran Prinsip Kerja Sama

  Pelanggaran Prinsip Kesopanan

  33 Kajian Pelanggaran Prinsip..., Wahyu Vianika, FKIP UMP, 2014