BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan - Lusiana Budi Nurfita BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan Untuk membedakan penelitian mengenai unsur eksternal wacana, peneliti meninjau ada empat penelitian mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Penelitian yang telah ditulis sebelumnya yaitu menganalisis tentang iklan obat-obatan,

  menganalisis tembang-tembang Banyumasan, menganalisis iklan kosmetik, dan menganalisis iklan produk Home shopping di televisi. Hasil dari keempat penelitian tersebut yaitu terdapat: implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks wacana. Dari ke lima sub tersebut termasuk pada unsur eksternal wacana. Perbedaan pada penelitian sebelumnya dapat dilihat sebagai berikut: 1.

   Agung Pambudi Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto, NIM 0301040059 dengan judul Analisis Eksternal Wacana pada Iklan Obat- obatan Warung di Televisi.

  Penelitian ini termasuk jenis deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan dan memaparkan data. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan pada iklan obat-obatan di televisi. Analisis data tidak didesain atau dirancang dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik.

  Hasil dari wacana iklan obat-obatan terdapat: implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks wacana yang diperoleh dari akronim SPEAKING, yaitu

  

setting and scene, participant, ends, act sequences, key, instrumentalities, norms, dan

genres.

  8

2. Sumarsiyah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto, NIM 0401040022 Tahun 2009. Penelitiannya berjudul Analisis Eksternal Wacana Tembang-Tembang Banyumasan.

  Penelitian tersebut merupakan jenis deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa lirik dari tembang-tembang Banyumasan yang mengandung unsur eksternal. Judul lirik tembang diantaranya yaitu, Rilik-Rilik Banyumasan, Eling-Eling Banyumasan, Sekar Gadung, Gudril Banyumasan, Kulu-Kulu. Data diperoleh dari CD kumpulan tembang-tembang Banyumasan. Adapun hasil penelitiannya: a) Semua data mengandung unsur implikatur konvensional yaitu tembang Ricik-

  Ricik Banyumasan, Eling-Eling Banyumasan II, Sekar Gadung, Gudril Banyumasan, dan Kulu-Kulu.

  b) Keseluruhan data yang diperoleh mengandung presuposisi, Ricik-Ricik Banyumasan (percaya adanya Tuhan), Sekar Gadung (masyarakat yang berbudaya), Gudril Banyumasan (cinta akan kebudayaan Banyumasan), Kulu- Kulu (kehidupan pada zaman dahulu).

  c) Dalam data yang diperoleh terdapat referensi eksofora, referensi endosfora, dan referensi pengacuan demonstrative waktu.

  d) Adapun inferensi yang diperoleh yang ingin disampaikan oleh penutur, yaitu menghibur dan mengungkapkan isi hati atau pesan melalui tembang khususnya untuk masyarakat Banyumasan.

  e) Konteks wacana diperoleh dari akronim SPEAKING, yaitu setting and

  scene, participant, ends, act sequences, key, instrumentalities, norms, dan genres.

  3. Elis Kristiyanti Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto, NIM 0601040120 Tahun 2010. Penelitian tersebut berjudul Analisis Eksternal Wacana Pada Iklan Kosmetik di televisi.

  Penelitian ini merupakan jenis deskriptif kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa tuturan pada iklan kosmetik di televisi. Penelitian ini tidak didesain atau dirancang dengan menggunakan prosedur-prosedur atau statistik. Dari hasil penelitian ditemukan implikatur yang terdiri dari konvensional dan percakapan, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks wacana yang diperoleh dari akronim

  

SPEAKING . Akronim tersebut yaitu setting and scene, participant, ends, act

sequences, key, instrumentalities, norms, dan genres.

  4. Shinta Ana Pudjiman Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto, NIM 0901040031 dengan judul Analisis Unsur Eksternal Wacana Pada Iklan Produk Home Shopping di Lejel TV.

  Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian tersebut dilakukan dengan cara mendeskripsikan serta memaparkan data. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan pada iklan produk home shopping di lejel TV. Analisis data tidak didesain atau dirancang dengan menggunakan prosedur- prosedur statistik. Hasilnya adalah dalam wacana iklan produk home shopping terdapat: implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks wacana yang diperoleh dari akronim SPEAKING, yaitu setting and scene, participant, ends, act sequences, key, instrumentalities, norms, dan genres.

  Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, maka penelitian yang berjudul Analisis Eksternal Wacana Pada Iklan Kopi di televisi, berbeda dengan penelitian yang sebelumnya. Perbedaan tersebut yaitu pada data dan sumber data. Skripsi yang ditulis sebelumnya menggunakan tuturan iklan obat-obatan warung, tuturan iklan kosmetik, lirik pada tembang-tembang Banyumasan dari kumpulan CD tembang-tembang Banyumasan, serta tuturan iklan produk home shopping. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini data dan sumber data yang diperoleh dari tuturan iklan kopi di televisi.

  Oleh karena itu, dapat dilihat kembali perbedaan yang dilakukan oleh peneliti dengan penelitian sebelumnya.

  Peneliti mengambil iklan kopi sebagai bahan penelitiannya karena ketertarikan peneliti ketika melihat bermacam-macam iklan kopi yang bervariasi di televisi.

  Peneliti menangkap bahwa sekarang penikmat kopi tidak hanya kalangan laki-laki, tapi perempuan sekarang juga banyak yang mengkonsumsinya. Di sini peneliti ingin memberi tahu pada pemirsa televisi dan pembaca skripsi ini bahwa penikmat kopi tidak hanya bisa menikmati kopinya saja. Penikmat kopi juga diharapkan tahu bahwa tuturan dalam setiap iklan kopi di televisi itu mempunyai makna yang bisa dianalisis unsur eksternalnya. Unsur eksternal tersebut diantaranya yaitu implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks wacana.

B. Kajian Pustaka 1. Pengertian Wacana

  Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan atau ide yang utuh, yang dapat dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan). Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, maka wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal dalam wacana dapat dipenuhi jika dalam wacana tersebut sudah terbina yang disebut kekohesian. Kekohesian yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut (Chaer, 2007:267).

  Wacana adalah ucapan, perkataan, tutur, keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan, satuan bahasa terlengkap. Realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, artikel atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya (Suharso, 2005:632). Di sini sebuah novel, buku, artikel atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya, semuanya itu tidak lepas dari sebuah ucapan yang terangkum dan menjadi sebuah wacana. Jadi semuanya dapat dikatakan wacana karena selalu berhubungan dengan sebuah perkataan dan tuturan. Wacana merupakan kesatuan bahasa paling lengkap yang terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain.

  Sebuah tulisan merupakan sebuah wacana. Akan tetapi yang dinamakan wacana tidak hanya tulisan saja. Seperti halnya yang dinyatakan dalam kamus websters, sebuah pidato pun adalah wacana. Jadi kita akan mengenal wacana lisan maupun wacana tulis. Hal ini sejalan dengan pendapat Tarigan (dalam Sobur, 2009:10) yaitu istilah wacana dipergunakan untuk mencakup bukan hanya percakapan atau obrolan, tetapi juga pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upaya formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dirangkum pengertian wacana adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan dan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar yang dinyatakan dalam bentuk karangan yang utuh. Karangan yang utuh tersebut diantaranyanovel, buku, seri ensiklopedia dan sebagainya. Dari karangan yang utuh tersebut bertujuan untuk menghasilkan rasa kepaduan bagi penyimak atau pembaca serta mencakup bukan hanya percakapan tetapi juga pembicaraan. Beberapa pendapat di atas dapat memperjelas arti dari pengertian wacana itu sendiri. Maka dari itu beberapa pendapat tersebut dapat menambah literatur dari berbagai sumber.

2. Jenis wacana

  Pada dasarnya, klasifikasi diperlukan untuk memahami, mengurai, dan menganalisis wacana secara tepat. Ketika analisis dilakukan, perlu diketahui terlebih dahulu jenis wacana yang dihadapi. Pemahaman ini sangat penting agar proses pengkajian, pendekatan, dan teknik-teknik analisis wacana yang digunakan tidak keliru. Menurut Mulyana (2005:47-63) wacana dapat dikelompokan menjadi enam, yaitu: (1) berdasarkan bentuk, (2) berdasarkan media penyampaian, (3) berdasarkan jumlah penutur, (4) berdasarkan sifat, (5) berdasarkan isi, (6) berdasarkan gaya dan tujuan. Dalam penelitian ini klasifikasi wacana dibatasi menjadi dua jenis menurut dasar pengklasifikasiannya, yaitu berdasarkan media penyampaiannya dan tujuannya.

a. Berdasarkan media penyampaiannya

  Menurut Mulyana (2005:51-52) wacana dapat diklasifikasikan berdasarkan media penyampaiannya. Dalam media penyampaiannya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu wacana tulis dan wacana lisan. Wacana tulis yaitu jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Wacana lisan yaitu jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dengan bahasa verbal. Selanjutnya akan dipaparkan secara lebih jelas mengenai wacana tulis dan wacana lisan.

  1) Wacana tulis yaitu jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Berbagai bentuk wacana sebenarnya dapat dipresentasikan atau direalisasikan melalui tulisan karena tulisan merupakan media yang sangat efektif dan efisien untuk menyampaikan gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan, atau apapun yang dapat mewakili kreativitas manusia. Wacana tulis sering dipertukarkan maknanya dengan teks atau naskah. Namun, untuk kepentingan bidang kajian wacana tampaknya berusaha menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Kedua istilah tersebut kurang mendapat tempat dalam kajian wacana. Apalagi, istilah teks atau naskah tampaknya hanya berorientasi pada huruf. Sedangkan gambar tidak termasuk di dalamnya.

  2) Wacana lisan yaitu jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dengan bahasa verbal. Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan atau ujaran.

  Adanya kenyataan bahwa pada dasarnya bahasa pertama kali lahir melalui mulut atau lisan. Oleh karena itu, wacana yang utama, primer, dan sebenarnya adalah wacana lisan. Wacana lisan memiliki beberapa kelebihan yaitu, bersifat alami dan langsung, mengandung unsur-unsur prosodi bahasa, memiliki sifat suprasentensial, dan berlatar belakang konteks situasional.

b. Berdasarkan tujuannya

  Menurut Mahmudi (2013:20-33) wacana dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu wacana narasi, wacana deskripsi, wacana eksposisi, wacana persuasi, dan wacana argumentasi. Wacana narasi mengisahkan suatu kejadian berdasarkan urutan waktu. Wacana deskripsi menggambarkan sesuatu berdasarkan pengalaman. Wacana eksposisi menginformasikan tentang sesuatu sehingga memperluas pengetahuan pembaca. Wacana persuasi membujuk pembaca agar mau berbuat sesuai dengan keinginan penulisnya. Wacana argumentasi meyakinkan pembaca agar mau mengubah pandangan kemudian mengikuti pandangan penulis. Selanjutnya akan dipaparkan secara lebih jelas mengenai kelima wacana berdasarkan tujuannya tersebut.

  1) Wacana Narasi

  Wacana narasi merupakan salah satu jenis wacana yang mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa berdasarkan urutan waktu. Wacana narasi terdiri atas narasi kejadian dan narasi runtut cerita. Wacana narasi kejadian adalah paragraf yang menceritakan suatu kejadian atau peristiwa, sedangkan wacana narasi runtut cerita adalah pola pengembangan yang menceritakan suatu urutan dari tindakan atau perbuatan dalam menciptakan sesuatu. Berdasarkan jenis cerita, naratif dibagi menjadi dua macam yaitu narasi yang mengisahkan peristiwa yang benar-benar terjadi atau cerita nonfiksi. Serta narasi yang hanya mengisahkan suatu hasil rekaan, khayalan, atau imajinasi pengarang.

  2) Wacana Deskripsi

  Wacana deskripsi adalah paragraf yang melukiskan atau menggambarkan sesuatu berdasarkan pengalaman semua pancaindra dengan kata-kata secara jelas dan terperinci. Objek yang dikembangkan dalam wacana deskripsi berhubungan dengan ruang dan waktu. Wacana deskripsi dapat dikembangkan dengan pola pengembangan pengamatan, pola pengembangan fokus, pola tidak bergerak/statis, dan pola bergerak. Kedua pola (pola statis dan pola bergerak) tersebut menunjukkan perbedaan yang amat besar. Dalam titik pandangan pola pertama (statis) semua benda dalam sebuah tempat berada dalam keadaan diam. Sedangkan pada pola pandangan kedua menunjukkan perbedaan dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan jarak yang terjadi.

  3) Wacana Eksposisi

  Eksposisi merupakan karangan yang bertujuan untuk menginformasikan tentang sesuatu sehingga memperluas pengetahuan pembaca. Wacana eksposisi ini bersifat ilmiah/nonfiksi. Sumber karangan ini dapat diperoleh dari hasil pengamatan, penelitian atau pengalaman. Paragraf eksposisi lebih mengarah pada tingkat kecerdasan atau akal. Untuk memperjelas paparan, karangan atau paragraf eksposisi disertai data, seperti grafik, gambar, data statistik, contoh, denah, diagram, dan peta.

  4) Wacana Persuasi

  Persuasi adalah suatu bentuk karangan yang bertujuan membujuk pembaca agar mau berbuat sesuatu sesuai dengan keinginan penulisnya. Agar tujuannya dapat tercapai, penulis harus mampu mengemukakan pembuktian dengan data dan fakta. Langkah-langkah yang dapat ditempuh ketika akan menulis paragraf persuasi adalah menentukan topik dan tujuan yaitu tujuan penulis dapat dikemukakan secara langsung.

  Membuat kerangka karangan yaitu kerangka tulisan perlu mendapat perhatian dalam perumusannya. Selanjutnya yaitu mengumpulkan bahan, menarik kesimpulan, dan penutup.

  5) Wacana Argumentasi

  Wacana argumentasi bertujuan untuk meyakinkan pembaca agar pembaca mau mengubah pandangan dan keyakinannya kemudian mengikuti pandangan dan keyakinan penulis. Keberhasilan sebuah wacana argumentasi ditentukan oleh adanya pernyataan/pendapat penulis, keseluruhan data, fakta, atau alasan-alasan yang secara langsung dapat mendukung pendapat penulis. Keberadaan data, fakta, dan alasan sangat mutlak dalam karangan argumentasi. Bukti-bukti ini dapat berupa benda-benda konkret, angka statistik, dan rasionalisasi penalaran penulis. Dalam berargumentasi, unsur-unsur yang ada harus diatur secara logis dengan bentuk penalaran tertentu.

  Bentuk penalaran yang ada adalah penalaran induksi dan penalaran deduksi.

  Dari beberapa pendapat para ahli mengenai jenis wacana dapat diperoleh kesimpulan bahwa iklan televisi merupakan wacana lisan karena disampaikan secara lisan atau langsung dengan bahasa verbal. Kemudian iklan televisi adalah iklan yang ditayangkan melalui media televisi. Melalui media ini, pesan dapat disampaikan dalam bentuk audio, visual, dan gerak. Iklan televisi juga termasuk jenis wacana persuasi karena iklan bersifat untuk mempengaruhi mitra tutur agar melakukan tindakan sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu, iklan harus dibuat semenarik mungkin untuk memikat hati pemirsa televisi.

3. Unsur-Unsur Wacana

  Wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur dalam (internal) dan unsur luar (eksternal). Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaannya, sedangkan unsur eksternal berkenaan dengan hal-hal di luar wacana itu sendiri. Kedua unsur tersebut membentuk satu kepaduan dalam suatu struktur yang utuh dan lengkap. Sesuai judul penelitian, penulis membatasi unsur-unsur wacana tersebut hanya unsur eksternal wacana. Sebab yang akan penulis analisis yaitu mengenai unsur eksternal wacananya. Unsur eksternal wacana adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana. Namun, tidak nampak secara eksplisit. Sesuatu itu berada di luar satuan lingual wacana. Unsur-unsur eksternal wacana terdiri atas implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks wacana. Analisis dan pemahaman terhadap unsur-unsur tersebut dapat membantu pemahaman tentang suatu wacana (Mulyana, 2005:11).

a. Implikatur 1) Pengertian Implikatur

  Menurut Grice (dalam Mulyana, 2005:11) bahwa implikatur ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit.

  Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi. Dalam lingkup analisis wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan pembicaraan. Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai jembatan/r antai yang menghubungkan antara “yang diucapkan” dengan “yang diimplikasikan”. Sedangkan implikatur menurut (Lubis, 1993:67) adalah arti atau aspek arti pragmatik. Dengan demikian hanya sebagian saja dari arti literal(harfiah) itu yang turut mendukung arti sebenarnya dari sebuah kalimat, selebihnya berasal dari fakta-fakta disekeliling kita (atau dunia ini) situasinya, kondisinya.

2) Jenis Implikatur

  Menurut Grice (dalam Mulyana, 2005:12), implikatur dapat dibedakan menjadi dua yaitu implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur konvensional adalah pengertian yang bersifat umum dan konvensional. Implikatur percakapan yaitu memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi. Pemahaman terhadap hal yang dimaksudkan sangat bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Selanjutnya akan dipaparkan secara lebih jelas mengenai implikatur konvensional dan implikatur percakapan.

a) Implikatur Konvensional

  Implikatur konvensional ialah pengertian yang bersifat umum dan konvensional. Semua orang umumnya sudah mengetahui tentang maksud dan pengertian sesuatu hal tertentu. Implikatur konvensional ini bersifat non temporer. Artinya, makna atau pengertian tentang sesuatu bersifat lebih tahan lama. Suatu leksem, yang terdapat dalam suatu bentuk ujaran, dapat dikenali implikasinya karena maknanya “yang tahan lama” dan sudah diketahui secara umum. Sebagai contoh kalimat yang menunjukkan implikatur konvensional:

  (1) Chris John adalah seorang petarung Indonesia yang hebat. (2) Tegal termasuk jalur pantura, jadi sangat panas.

  Kata petarung pada contoh (1) berarti ”atlit tinju”. Pemaknaan ini dipastikan benar, karena secara umum (konvensional), orang sudah mengetahui bahwa Chris John adalah atlit tinju yang hebat karena ia tercatat sebagai petinju Indonesia yang berhasil meraih gelar juara dunia. Jadi, dalam konteks wacana tersebut, orang tidak akan memahami kata petarung dengan pengertian yang lain. Demikian juga implikasi umum yang dapat diambil antara jalur pantura dengan panas pada contoh (2) Tegal termasuk kota dengan cuaca yang panas. Implikasi yang muncul adalah, bahwa kota Tegal adalah kota dengan cuaca yang panas karena termasuk jalur pantura. Jadi seperti halnya presuposisi leksikal, implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata itu digunakan.

b) Implikatur Percakapan

  Implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi, karena pemahaman terhadap hal yang dimaksudkan sangat bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Oleh karena itu implikatur tersebut bersifat temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan).Non konvensional atau sesuatu yang diimplikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan. Dalam suatu dialog sering terjadi seorang penutur tidak mengutarakan maksudnya secara langsung. Hal yang hendak diucapkan justru disembunyikan, diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama sekali berbeda dengan maksud ucapannya. (Levinson, dalam Mulyana, 2005:13).

  Grice. Sebuah percakapan memiliki struktur yang kompleks. Dari sekian banyak ciri struktural percakapan, terdapat sebuah ciri yang relatif penting, yakni implikatur percakapan. Konsep tentang implikatur percakapan mengaitkan pengertian tradisional tentang kemampuan seseorang dalam menyatakan maksud yang berbeda dari apa yang dikatakan. Sebuah implikatur merupakan proposisi tersirat yang muncul dari sesuatu yang dikatakan, yang tidak dapat diturunkan secara logis atau langsug dari kata-kata yang terucap. Bila suatu ucapan mempunyai makna di balik apa yang dikatakan, maka ucapan itu dapat kita katakan memiliki implikatur. Secara lebih khusus lagi, implikatur percakapan muncul ketika seorang pendengar menilai bahwa pembicara telah melanggar atau menyimpang dari salah satu atau beberapa buah maksim dari prinsip kerja sama (Kris budiman, 1999:50). Sebagai contoh dari implikatur percakapan terdapat pada percakapan di bawah ini:

  (3) Ayah :

  ” Mendung, sepertinya akan turun hujan bu.” Ibu : ” Bawa payung ya, Pak?”

  (4) Kaka

  : ” Dik, Kaka jatuh kakinya berdarah.” Adik

: ” Sebentar Adik ambilkan obat dulu ya ka.” Percakapan antara Ayah dengan Ibu pada contoh (3) mengandung implikatur yang bermakna perintah mengambil. Dalam kalimat perintah, tuturan yang diucapkan Ayah hanya pemberitahuan bahwa cuaca mendung seperti akan turun hujan. Namun Ibu dapat memahami implikatur yang disampaikan Ayah, Ibu menjawab dan langsung mengambil tindakan untuk mengambil payung supaya Ayah tidak kehujanan, karena ada pepatah yang mengatakan bahwa

  ”Sedia payung sebelum hujan.” Pada contoh (4)

  yaitu perintah Kaka kepada adiknya untuk melakukan sesuatu agar kakinya bisa cepat diobati. Adik yang paham maksud kakanya, segera mengambilkan obat untuk mengobati luka kakanya. Suatu aspek yang menarik dari ungkapan-ungkapan yang demikian ini adalah, meskipun ungkapan-ungkapan itu secara khusus tidak seinformatif seperti yang diminta di dalam kontek itu, bahwa ungkapan-ungkapan itu secara alami akan diartikan sebagai informasi yang lebih banyak daripada yang dikatakan (karena penutur mengetahui jawabannya). Reaksi khusus dari pendengar (karena tentu ada sesuatu yang khusus disini) terhadap pelanggaran maksim-maksim apapun yang sebenarnya merupakan kunci dari maksud implikatur percakapan.

b. Presuposisi

  Menurut Nababan dalam (Mulyana, 2005:14) istilah presuposisi adalah tuturan dari bahasa Inggris presupposition yang berarti perkiraan, prasangkaan. Praanggapan merupakan anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks menjadi bermakna bagi pendengar atau pembaca. Praanggapan membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat) untuk mengungkapkan makna atau pesan yang ingin dimaksudkan. Jadi, semua pernyataan atau ungkapan kalimat, baik yang bersifat positif maupun negatif, tetap mengandung anggapan dasar. Anggapan dasar tersebut sebagai isi dan substansi dari kalimat tersebut.

  Praanggapan biasanya dipergunakan untuk memberikan segala macam asumsi yang melatar belakangi suatu aksi, teori, ekspresi, atau ujaran, sehingga ia jadi bermakna atau rasional. Dalam pengertiannya yang lebih teknis, praanggapan dibatasi sebagai asumsi-asumsi pragmatik tertentu yang setidak-tidaknya tampak berwujud sebagai ekspresi lingual. Selain itu dapat diisolasikan melalui pengujian linguistik tertentu. Pandangan semantik paling sederhana mengenai praanggapan dilandaskan pada definisi berikut: Sebuah kalimat A mempraanggapkan kalimat B jika dan hanya

  

jika (1) A benar disegala situasi, maka B benar; (2) A salah disegala situasi, maka B

benar. (Kris Budiman, 1999:94-95). Contoh dari kalimat yang mempunyai

  praanggapan dapat dilihat di bawah ini: (5) Ayahberhenti merokok.

  Dari kalimat (5) dapat diperoleh praanggapan yang berupa pernyataan ada Ayah dan ada berhenti merokok. Jika kalimat tersebut dinegatifkan akan berubah menjadi:

  (5a) Ayah tidak berhenti merokok.

  Dari kalimat di atas praanggapannya tetap sama, yaitu ada Ayah dan ada berhenti merokok.

  Sedangkan dalam konteks dialog, contohnya yaitu: (6) Rindang :

  ”Aku pinjam buku Kajian Wacana karya Mulyana di Perpustakaan Luma : ”Buku itu isinya ada tentang unsur internal dan eksternal wacananya kan?

  Dari contoh percakapan (6) yang diucapkan oleh Rindang, kita bisa mengetahui beberapa anggapan bahwa ada buku yang berjudul “Kajian Wacana”, ada seorang penulis bernama

  “Mulyana”. Kemudian dari ucapan yang diungkapkan oleh Luma memiliki hubungan dengan percakapan pertama yaitu buku yang ditulis Mulyana berjudul Kajian Wacana yang baru saja dipinjam oleh Rindang merupakan salah satu buku yang di dalamnya berisi materi tentang unsur internal dan eksternal wacana. Dari contoh (6) tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin akrab hubungan antara pembicara dengan pasangan bicaranya, maka akan semakin banyak kedua pihak berbagi pengalaman dan pengetahuan. Selain itu, semakin banyak pula praanggapan diantara mereka yang tidak perlu diutarakan secara verbal. Oleh karena itu penggunaan praanggapan hanya ditunjukan kepada pendengar yang menurut pembicara, memiliki pengetahuan seperti yang dimiliki pembicara.

c. Referensi

  Secara tradisional referensi berarti hubungan antara kata dengan benda (orang, tumbuhan, sesuatu lainnya) yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku pembicara/penulis. Jadi, yang menentukan referensi suatu tuturan adalah pihak pembicara sendiri, sebab hanya pihak pembicara yang paling mengetahui hal yang diujarkan dengan hal yang dirujuk oleh pengujarnya. Pendengar atau pembaca hanya dapat menerka hal yang dimaksud oleh pembicara dalam ujarannya itu. Terkaan itu bersifat relatif, bisa benar, bisa pula salah (Hamid Hasan Lubis, 1993:29).

  Menurut Halliday (dalam Mulyana, 2005: 16-17) referensi dilihat dari acuannya dapat dibagi menjadi dua bagian. Kedua bagian tersebut yaitu referensi eksofora dan referensi endofora. Referensi eksofora adalah interpretasi terhadap kata yang terletak di luar teks. Referensi endofora adalah interpretasi terletak di dalam teks itu sendiri. Selanjutnya akan dipaparkan secara lebih jelas mengenai referensi eksofora dan referensi endofora.

  1) Referensi Eksofora

  Referensi eksofora adalah interpretasi terhadap kata yang terletak di luar teks yaitu pada konteks situasi. Referensi ini membawa kita ke luar teks seperti, misalnya, tampak pada bentuk demonstratif itu di dalam kalimat itu buku saya. Referensi yang eksoforik tidak berfungsi kohesif karena tidak memadukan dua elemen bersama-sama ke dalam teks. Ia mengacu kepada lingkungan, konteks situasi, yang menjadi lokasi berlangsungnya suatu percakapan. Sebagai pengacuan yang situasional, eksofora tidak sama dengan arti referensial. Satuan-satuan leksikal memiliki arti referensial jika satuan-satuan itu menamai sesuatu, entah objek, kelas objek-objek, proses, dan sebagainya. Sebaliknya, sebuah satuan eksoforik tidak menamai sesuatu, ia cuma menandai bahwa pengacuan mesti dilakukan kepada konteks situasi (Kris budiman, 1999:29). Contoh referensi eksofora: (7) Itu mobil.

  Dalam kalimat (7) kata itu menunjuk pada sesuatu yaitu mobil. Mobil yang dimaksud tempatnya, tidak terdapat dalam teks, melainkan berada di luar teks. Jadi, referensi eksofora itu mengkaitkan langsung antara teks dengan sesuatu yang ditunjuk di luar teks. Referensi eksofora merupakan penunjukan atau interpretasi terhadap kata yang relasinya terletak dan tergantung pada konteks situasional. Bila interpretasi itu terletak di dalam teks itu sendiri, maka relasi penunjukan itu dinamakan referensi endofora.

  2) Referensi Endofora Referensi endofora yaitu interpretasi terletak di dalam teks itu sendiri.

  Referensi ini merupakan referensi intratekstual yang mengacu kepada sesuatu yang teridentifikasikan di dalam teks di sekelilingnya. Referensi endoforik termasuk kategori umum untuk menamakan pengacuan ke dalam teks, entah secara anaforik ataupun kataforik (Kris Budiman, 1999:32).Hubungan endofora ini dibagi atas dua bagian, yaitu referensi endofora anafora dan referensi endofora katafora. Untuk lebih jelasnya, pemilahan tersebut dapat dilihat yaitu sebagai berikut: 1) Referensi endofora anafora yaitu hubungan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya dilihat kembali kepada isi teks sesudahnya. Sebagai contoh referensi endofora anafora sebagai berikut: (8) Rifa membeli bakso. Dia memakannya tadi.

  Kata dia pada kalimat kedua mengacu pada Rifa, yaitu nama yang disebutkan sebelumnya pada kalimat pertama. Pada pengacuan masih merujuk pada sesuatu atau seseorang yang berada dalam teks, jadi tidak perlu dicari nama Rifa yang mana. 2) Referensi endofora katafora yaitu bagian yang ditunjuk itu sudah lebih dahulu diucapkan atau ada pada kalimat yang lebih dahulu. Contoh kalimat referensi endofora katafora yaitu sebagai berikut: (9) Alat untuk membersihkan lantai. Sapu.

  Kata alat pada kalimat pertama mengacu pada kata yang disebut sesudahnya, yaitu Sapu. Penunjukan ini sekaligus menjadi jawabannya.

d. Inferensi

  Inferensi atau inference secara leksikal berarti kesimpulan yaitu simpulan sendiri yang dibuat berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis (Alwi, 2003:441). Dalam bidang wacana, istilah inferensi sebagai proses yang harus dilakukan. Pendengar dapat mengambil pengertian, pemahaman atau penafsiran suatu makna tertentu. Dengan kata lain pendengar harus bisa membuat kesimpulan sendiri meskipun makna tidak terungkap secara eksplisit.

  Inferensi pembicaraan (percakapan) menurut Gunpers (dalam Lubis, 1993:68) adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Maksudnya dengan adanya penentuan situasi dan konteks, pendengar dapat menduga maksud dari pembicara dan dapat memberikan responnya. Selalu benar terjadi apa yang dimaksud oleh si pembicara tidak sama dengan apa yang ditanggap oleh si pendengar, sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat atau sering juga terjadi si pembicara harus mengulangi kembali ucapannya dengan cara atau kalimat yang lain supaya dapat ditanggapi oleh si pendengar. Contoh inferensi yaitu sebagai berikut: Ada orang yang suatu saat berkunjung ke tetangganya dengan harapan untuk mendapatkan pinjaman uang. Dalam usahanya itu, mungkin sekali orang itu akan menyatakan wacana berikut:

  (10) Tanggal tua seperti ini repot sekali, Pak. Gaji bulan lalu sudah habis,

  istri tidak bisa bekerja, dan anak-anak pada sakit. Yang paling berat yang bungsu, Pak. Panas dia naik turun terus selama empat hari ini. Saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat.

  Dari wacana di atas jelas tidak ada pernyataan bahwa orang itu mau meminjam uang. Namun, sebagai pesapa dapat mengambil inferensi apa yang dimaksudkannya.

  Pengambilan inferensi itu pada umumnya memakan waktu yang lebih lama daripada penafsiran secara langsung, tanpa memerlukan inferensi. Hal itu merupakan bukti bahwa ada sesuatu yang tidak disampaikan kepada pembaca atau pendengar. Bukti tersebut dapat dilihat dari tuturan yang diucapkan pada contoh inferensi tersebut.

e. Konteks Wacana

  Wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif, interpretatif, dan kontekstual. Artinya, pemakaian bahasa ini selalu mengandaikan terjadi secara dialogis, perlu adanya kemampuan menginterpretasikan, dan memahami konteks terjadinya wacana. Pemahaman terhadap konteks wacana, diperlukan dalam proses menganalisis wacana secara utuh. Menurut Mulyana (2005:21-22) konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Salah satu unsur konteks yang cukup penting ialah waktu dan tempat. Contoh (11) menggambarkan bagaimana kedua unsur tersebut sangat berpengaruh terhadap makna wacana.

  (11) Waktu pukul enam sore, desa Tirtomoyo sudah tampak sunyi seperti

  kuburan. Terpaksa aku menutup pintu rumah. Masuk, dan tiduran. Aku terbangun jam tiga pagi. Tidak dikira, ternyata di jalan sudah banyak orang lalu lalang.

  Contoh (11) memberi informasi tentang ”keadaan suatu desa berdasarkan konteks tempat dan waktu”. Pemahaman tentang keadaan dan keramaian desa umumnya berbeda dengan kondisi di perkotaan. Informasi itu bahkan bisa bermakna sebaliknya. Jam 18.00 petang, didesa, terutama di daerah pelosok, barangkali sudah dianggap malam (indikasinya sudah gelap, karena belum ada penerangan listrik, dan sebagainya). Sementara di kota, konteks waktu seperti itu masih dianggap sore.

  Sebaliknya, jam 03.00 pagi buta, di desa sudah dianggap pagi-kerja, sementara di kota, bahkan masih sangat malam. Penafsiran ini semata-mata berdasarkan pada kondisi dan kebiasaan saja. Konteks yang berkaitan dengan partisipan (penutur wacana) juga sangat berperan dalam memahami makna dan informasi tuturan.

  Misalnya muncul tuturan berikut ini:

  (12) Saya pingin turun. Sudah capek. Kalau yang mengucapkan tuturan (12) itu adalah seorang pejabat atau politisi, maka sangat mungkin yang dimaksud dengan turun adalah ”turun dari jabatan”.

  Namun, pengertian itu bisa keliru bila tuturan (12), misalnya, diucapkan oleh anak kecil yang sedang memanjat pohon. Maknanya bisa berubah drastis, yaitu ”turun dari pohon”. Inilah contoh tentang nuansa relativitas makna wacana. Singkat kata, untuk mendapatkan pemahaman wacana secara menyeluruh, konteks harus dipahami dan dianalisis secara mutlak.

  Dalam kajian sosiolinguistik, Dell Hymes (dalam Mulyana, 2005:23) merumuskan faktor-faktor penentu peristiwa tutur yang melalui akronim SPEAKING.

  Tiap fonem mewakili faktor penentu yang dimaksudkan. SPEAKING berarti setting and scene yaitu latar dan suasana. Partisipants yaitu peserta tuturan. Ends yaitu hasil.

  Act sequences yaitu pesan atau amanat. Key yaitu cara, nada, dan sikap dalam melakukan percakapan. Instrumentalities yaitu sarana. Norms yaitu norma. Genres yaitu jenis. Selanjutnya akan dipaparkan secara lebih jelas mengenai SPEAKING. S : setting and scene, yaitu latar dan suasana. Latar (setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara scene adalah latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai tuturan. P : partisipants, peserta tuturan, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik langsung maupun tidak langsung. Hal-hal yang berkaitan dengan

  partisipants , seperti usia, pendidikan, latar sosial.

  E : ends, hasil, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomes), dan tujuan akhir pembicaraan itu sendiri (ends in views goals).

  A : act sequences, pesan atau amanat, terdiri dari bentuk pesan (message form) dan isi pesan (message content). Dalam kajian pragmatik meliputi lokusi, ilokusi, dan perlokusi. K : key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan percakapan.

  Semangat percakapan misalnya serius, santai, dan akrab. I: instrumentalities, sarana percakapan, media percakapan tersebut disampaikan dengan cara lisan, tertulis, surat, radio.

  N: norms, atau norma, menunjuk pada norma atau aturan yang membatasi percakapan.

  G : genres, atau jenis, yaitu jenis atau bentuk wacana. Menunjuk langsung pada jenis wacana yang disampaikan, misalnya: wacana telpon, wacana koran, wacana puisi, ceramah.

  Menurut Halliday dan Hasan (Dalam Abdul Rani, dkk. 2004:188), yang dimaksud konteks wacana adalah teks yang menyertai teks lain. Menurut kedua penulis itu, pengertian hal yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan dituliskan, tetapi termasuk pula kejadian-kejadian yang nirkata

  

(nonverbal) lainnya keseluruhan lingkungan teks itu. Sejak awal 1970-an, para linguis

  sadar akan pentingnya konteks dalam menafsirkan berbagai macam kalimat. Konteks sangat menentukan makna suatu ujaran. Apabila konteks berubah maka berubah pulalah makna suatu ujaran. Dalam setiap interaksi verbal juga selalu terdapat beberapa faktor (unsur) yang mengambil peranan dalam peristiwa seperti itu, misalnya: partisipan (penutur dan mitra tutur), pokok pembicaraan, tempat bicara, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut mendukung terwujudnya suatu wacana.

  Alex Sobur dalam bukunya analisis teks media (2009:56) mengatakan bahwa sebetulnya, antara teks, konteks, dan wacana merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Guy Cook, misalnya, menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan wacana. Cook mengartikan teks sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Di sini, dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa di sini, memasukkan konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks, dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi, dan sebagainya (Eriyanto, 2001:9).

4. Iklan a. Pengertian Iklan

  Iklan di sini disejajarkan dengan konsep advertising. Menurut Wright (dalam Mulyana, 2005:63-64) iklan merupakan proses komunikasi yang mempunyai kekuatan penting sebagai sarana pemasaran, membantu layanan, serta gagasan dan ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang bersifat persuasif, yaitu mengajak konsumen agar memakai suatu produk yang diiklankan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 175), disebutkan bahwa iklan adalah berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan. Pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media masaa (seperti surat kabar dan majalah) atau di tempat- tempat umum. Pada umumnya, iklan dipasang di media massa, baik cetak maupun elektronik. Perbedaan antara iklan dengan informasi atau pengumuman biasa terletak pada ragam bahasa, retorika penyampaian, dan daya persuasi yang diciptakan. Pada iklan, bahasanya distrategikan agar berdaya persuasi. Yaitu mempengaruhi masyarakat agar tertarik dan membeli.

  Sedangkan menurut Agus Hermawan (2012: 72) Periklanan (advertising) adalah semua bentuk penyajian dan promosi nonpersonal atas ide, barang atau jasa yang dilakukan oleh perusahaan tertentu. Karena banyaknya bentuk dan penggunaan periklanan, sangat sulit untuk membuat generalisasi yang merangkum semuanya.

  Namun, kualitas khusus sepatutnya diperhatikan. Kualitas tersebut diantaranya adalah presentasi umum yaitu periklanan yang bersifat umum memberikan semacam keabsahan pada produk dan menyarankan tawaran yang terstandar. Tersebar luas dimana periklanan adalah medium yang berdaya sebar luas yang memungkinkan penjual mengulang pesan berkali-kali. Selanjutnya ada ekspresi yang lebih kuat dan tidak bersifat pribadi atau nonpersonal.Dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa iklan adalah sarana pemasaran dalam bentuk informasi yang bersifat persuasif untuk membujuk khalayak agar tertarik dan penyajian atau promosi barang dan jasanya dilakukan oleh perusahaan tertentu. Iklan juga harus bisa menggugah perhatian calon konsumen terhadap produk atau jasa yang ditawarkan.

  Para konsumen potensial dibuat untuk memerhatikan dan peduli terhadap produk yang memberikan manfaat bagi mereka yang akan memberikan alasan bagi mereka untuk membeli.

  b. Iklan Televisi

  Dalam dunia periklanan, media merupakan faktor yang vital dalam menentukan keberhasilan iklan. Oleh karena itu agensi periklanan harus sangat cermat dalam menyeleksi media (Hermawan, 2012: 80). Salah satu media yang digunakan oleh peneliti dalam analisisnya adalah melalui iklan televisi. Iklan televisi adalah iklan yang ditayangkan melalui media televisi. Melalui media ini, pesan dapat disampaikan dalam bentuk audio, visual, dan gerak. Bentuk pesan audio, visual, gerak tersebut pada dasarnya merupakan sejumlah tanda.

  c. Jenis-jenis Iklan

  1). Berdasarkan media yaitu termasuk media masa yang di dalamnya terdapat media cetak dan media elektronik, peneliti di sini membatasi penelitiannya pada media elektronik. Menurut (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2007) media adalah alat (sarana) untuk menyebarluaskan informasi, seperti surat kabar, radio, televisi.

  Sedangkan elektronik adalah alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika; barang yang menggunakan alat-alat yang dibentuk atau bekerja atas dasar elektronika. Jadi, media elektronik adalah sarana media massa yang mempergunakan alat-alat elektronik modern, misal radio, televisi, dan film. Dari keterangan tersebut media yang penelitianalisis yaitu melalui media elektronik televisi dimana televisi merupakan sistem penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi (suara). Televisi termasuk pada audio visual yang berarti bersifat dapat didengar, dan dapat dilihat dengan indra penglihatan (mata).

  2). Jenis-jenis iklan menurut pendapat Omar (lihat Wahyudi, 1999:14) dan Kasali (1995) (dalam Mulyana, 2005: 64) berdasarkan tujuannya iklan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu iklan perniagaan dan iklan pemberitahuan. Jenis kedua sering dinamakan sebagai iklan layanan masyarakat, seperti lowongan pekerjaan, informasi kesehatan, tender, dan sebagainya. Sementara menurut Kasali, iklan dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: iklan baris, iklan display, dan iklan suplemen. Iklan baris berisi pesan-pesan komersial yang berhubungan dengan kebutuhan pihak pengiklan, misalnya lowongan pekerjaan kehilangan, jual-beli kendaraan bermotor, dan sebagainya. Iklan display lebih bervariasi, dan biasanya memiliki jangkauan yang lebih luas. Iklan suplemen menyajikan informasi persuasif yang dikemas secara lebih formal. Berbagai pembagian jenis iklan tersebut cenderung lebih sesuai untuk media cetak. Sementara iklan yang diekspresikan lewat media elektronik umumnya dapat dipilih menjadi dua yaitu, iklan monolog, dan iklan dialog. Iklan monolog disampaikan oleh pengiklan (pembaca iklan) secara sendirian, sedangkan iklan dialog bisa dilakukan oleh dua atau lebih pengiklan.

d. Unsur Iklan

  Pada umumnya struktur iklan terdiri atas beberapa unsur pokok yang masing- masing mempunyai fungsi tertentu. Unsur pokok tersebut yaitu ilustrasi, headline,

  

body copy, signatur line, dan slogan. Pertama adalah ilustrasi, ilustrasi dibangun dari

  potret model atau pemandangan. Kedua headline yaitu berupa kata-kata yang mencoba menyampaikan inti pesan terpenting untuk disampaikan pada khalayak.

  Ketiga bodi copy yaitu uraian yang biasanya menyampaikan tiga jenis informasi, yaitu ciri produk, kegunaan, dan kelebihan produk. Informasi ini juga bertujuan untuk mengarahkan tindakan nyata pada khalayaknya. Keempat signatur line merupakan sesuatu yang menerapkan nama atau merk paten (brand name) dari produk yang diiklankan. Kelima slogan yaitu rangkaian kata yang biasanya singkat, padat, penuh arti, mudah diingat, mengandung arti yang dalam, serta mampu mengetengahkan khasiat atau kegunaan unik dari produk .

  

   Diunduh pada tanggal 16 Januari 2014. Pukul 10.35).