BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Model Pembelajaran a. Model Pembelajaran Quantum - ROSIANA NURUL KUSUMADESI BAB II

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Model Pembelajaran

a. Model Pembelajaran Quantum

  Menurut Sagala (2012:62), model merupakan suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Model menjadi salah satu hal penting sebelum seorang guru melakukan kegiatan belajar mengajar. Hal yang dilakukan sebelum guru dan siswa melakukan kegiatan belajar mengajar di kelas yaitu guru menyiapkan model pembelajaran yang tepat yang akan digunakan terlebih dahulu. Model pembelajaran yang akan digunakan harus disesuaikan dengan mata pelajaran dan materi ajar agar materi dapat tersampaikan dengan baik serta siswa pun turut aktif belajar dan merasa senang. Salah satu model pembelajaran akltif yang memberikan suasana menyenangkan bagi siswa adalah model pembelajaran Quantum.

  Model pembelajaran Quantum merupakan salah satu model pembelajaran yang berberpusat pada siswa. Menurut McCombs dan Miller (dalam Jacobsen dkk, 2009:227), pengajaran yang berpusat pada siswa menggambarkan strategi-strategi pengajaran dengan guru lebih memfasilitasi daripada mengajar langsung. Menurut Jacobsen dkk (2009:228) pengajaran yang berpusat pada siswa memiliki karakteristik-karakteristik yaitu siswa berada dalam pusat proses pembelajaran, guru membimbing pembelajaran siswa dan guru menekankan pemahaman yang mendalam tentang konten dan proses yang terlibat di dalamnya.

  Pembelajaran Quantum merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal ini dikarenakan dalam model pembelajaran Quantum, siswa dituntut aktif mengikuti kegiatan belajar mengajar, aktif berinteraksi dengan teman dan guru, serta aktif melakukan pengalaman sendiri agar materi ajar dapat dipahami dalam jangka waktu lama.

  Quantum menurut Bobby dePorter (2003:5) adalah

  orkestrasi bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Kegiatan belajar mengajar yang diciptakan oleh Bobby dePorter menuntun agar guru menggunakan berbagai macam aspek yang dapat mempengaruhi belajar siswa, baik siswa itu sendiri, guru, lingkungan kelas dan lain sebagainya.

  Pembelajaran Quantum merupakan salah satu model pembelajaran yang berbasis PAKEM, yaitu Partisipatif, Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Menurut Saud (dalam Rusman, 2011:329), terdapat tiga model pembelajaran yang telah biasa digunakan oleh para pengajar yang pada dasarnya mendukung PAKEM, yaitu: (1) pembelajaran kuantum, (2) pembelajaran berbasis kompetensi, dan (3) pembelajaran kontekstual. Pembelajaran partisipatif dan aktif merupakan pembelajaran yang melibatkan siswa ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, siswa tidak hanya duduk, diam, mendengarkan dan mencatat, melainkan bertanya, berdiskusi, mengamati, mencari informasi/pengetahuan sendiri. Pembelajaran kreatif merupakan pembelajaran yang mampu merangsang motivasi dan memunculkan kreativitas siswa dalam belajar dengan menggunakan metode dan strategi belajar tertentu.

  Menurut Rusman (2011:325) pembelajaran dapat dikatakan efektif apabila pembelajaran tersebut mampu memberikan pengalaman baru kepada siswa untuk membentuk kompetensi siswa sehingga siswa mampu mencapai tujuan belajar yang ia inginkan. Pembelajaran yang menyenangkan berarti pembelajaran yang mampu memberikan kesan baik kepada siswa saat kegiatan belajar mengajar berlangsung yang terjadi karena pola hubungan yang baik anatar guru dengan siswa.

  Pembelajaran Quantum merupakan bentuk upaya Bobby dePorter untuk merancang strategi pembelajaran yang menggairahkan dan bertumpu pada prinsip-prinsip dan teknik- teknik Quantum Learning di ruang kelas sekolah. Menurut dePorter

  (2003:3) dengan menggunakan pembelajaran Quantum, kita dapat menggabungkan keistimewaan-keistimewaan belajar menuju bentuk perencanaan pengajaran yang akan melejitkan prestasi siswa. Berdasarkan penjelasan di atas, pembelajaran Quantum merupakan pembelajaran yang yang berbasis PAKEM yang mampu membuat siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar.

  Suyadi (2013:112) mengemukakan keunggulan model pembelajaran Quantum yaitu melibatkan teknologi pendidikan, memberikan kebebasan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi pembelajaran sesuai modalitas belajar, memberi peluang kepada siswa untuk mencapai lompatan prestasi belajar, serta upaya belajar siswa dihargai dengan pemberian reward sehingga siswa semakin termotivasi untuk mendapatkan reward sebaik-baiknya.

  Sama halnya dengan model pembelajaran lain, selain terdapat kelebihan, model pembelajaran Quantum juga memiliki kelemahan. Berikut adalah kelemahan model pembelajaran

  Quantum menurut Suyadi (2013:112), yaitu:

  a. Lebih menekankan pada kompetisi individual dalam mencapai prestasi belajar, sehingga aspek sosial dan kerja sama kurang berkembang.

  b. Lebih menekankan prestasi belajar dalam hal akademik intelektual, namun kurang menaruh perhatian pada aspek moral, karakter, kepribadian maupun akhlak.

  Harapan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, tentulah dapat menciptakan suasana belajar yang kondusif, kegiatan belajar terlaksana dengan baik dan materi tersampaikan dengan baik. Hal tersebut dapat dilakukan apabila gur memperhatikan prinsip-prinsip model pembelajaran Quantum. Adapun prinsip-prinsip model pembelajaran Quantum menurut Bobby dePorter (2003:7) yaitu: (1) segalanya berbicara, baik lingkungan kelas, bahasa tubuh guru dan kertas yang dibagikan kepada siswa tersirat pesan untuk selalu belajar; (2) segalanya bertujuan, semua yang dilakukan saat kegiatan belajar mengajar memiliki tujuan; (3) pengalaman sebelum pemberian nama, siswa diharapkan memiliki pengalaman dengan mengalami sendiri apa yang dipelajari kemudian ia beri nama; (4) akui setiap usaha, dan (5) jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan, digunakan untuk memberi umpan balik atas kemajuan dan peningkatan belajar siswa.

b. Strategi TANDUR

  Pembelajaran Quantum dalam penerapannya memiliki strategi pembelajaran sendiri, salah satunya adalah strategi TANDUR. Strategi TANDUR merupakan strategi pembelajaran yang digunakan untuk menumbuhkan minat belajar siswa. TANDUR merupakan kepanjangan dari Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan.

  Tumbuhkan dapat diartikan sebagai tindakan awal guru dalam melaksanakan pembelajaran untuk menarik perhatian dan minat siswa terhadap mata pelajaran serta materi pelajaran yang akan disampaikan oleh guru. Hal yang dapat dilakukan guru adalah dengan memberikan pertanyaan, pantomim, lakon pendek dan lucu, drama, video, maupun cerita.

  Alami merupakan bentuk interaksi guru dengan siswa yang mana guru dituntut untuk mampu memberikan pengalaman belajar dan menumbuhkan pikiran “kebutuhan untuk mengetahui” kepada siswa. Guru dianjurkan untuk melibatkan siswa secara langsung.

  Hal ini dilakukan dengan harapan selain siswa memiliki pengetahuan awal, siswa juga memiliki pengalaman langsung sehingga siswa mampu memahami materi ajar dengan mengaitkan pengetahuan awalnya. Guru dapat menggunakan permainan dan simulasi dalam kegiatan belajar mengajar untuk menumbuhkan pikiran tersebut kepada siswa.

  Namai merupakan kegiatan pemberian identitas, mengurutkan dan mendefinisikan suatu materi ajar yang sedang dipelajari oleh siswa. Kegiatan yang cocok dilakukan oleh guru dalam hal ini adalah mengajarkan konsep, keterampilan berpikir dan menggunakan strategi belajar. Guru dapat menggunakan susunan gambar, warna, alat bantu, kertas tulis, dan poster di dinding saat kegiatan belajar mengajar berlangsung.

  Demonstrasikan dapat dilakukan dengan memberikan peluang kepada siswa untuk menerjemah dan menerapkan informasi/pengetahuan yang telah didapat. Demonstrasi dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperagakan informasi/pengetahuannya. Hal yang dapat dilakukan dalam hal ini antara lain sandiwara, video, permainan, lagu dan penjabaran dalam grafik.

  Ulangi dilakukan untuk mengulang informasi/pengetahuan yang telah didapat oleh siswa. Sesuai yang dikemukakan oleh dePorter (2003:92) bahwa ulangi adalah pengulangan memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa “Aku tahu bahwa aku tahu ini!”. Jadi, dalam kegiatan belajar mengajar diperlukan pengulangan untuk siswa agar mereka mampu menunjukkan bahwa mereka memahami apa yang telah mereka pelajari. Hal ini juga dilakukan agar guru mengetahui apakah siswa memahami materi yang telah disampaikan dengan baik atau tidak. Hal-hal yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah dengan mengadakan tutor sebaya, menirukan orang seperti meniru guru, mempresentasikan informasi/pengetahuan beserta kesimpulan, maupun pengulangan trio.

  Rayakan adalah kegiatan akhir dalam strategi TANDUR. Rayakan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk menunjukkan rasa senang atas kesuksesan dan keberhasilan suatu usaha. Hal-hal yang dapat dilakukan dalam perayaan atas suatu usaha antara lain pujian, bernyanyi bersama maupun pesta kelas.

2. Model Pembelajaran Langsung

  Model pembelajaran menurut Joyce (dalam Trianto, 2012:22) adalah suatu perencanaan atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran. Model pembelajaran kini digunakan untuk merancang kegiatan belajar mengajar agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Pencapaian tujuan pembelajaran dilakukan dengan melihat ciri-ciri khusus model pembelajaran menurut Nieveen (dalam Trianto, 2012:24), yaitu (1) shahih (valid); (2) praktis; dan (3) efektif. Model pembelajaran dikatakan shahih (valid) apabila model pembelajaran didasarkan pada rasional teoritis yang kuat dan terdapat konsistensi internal. Model pembalajaran dikatakan praktis bila dapat dikembangkan dan dapat diterapkan. Pembelajaran dikatakan efektif, bila model pembelajaran mampu memberikan hasil yang diharapkan.

  Setiap kegiatan belajar mengajar pasti terdapat dua pelaku yang terlibat secara aktif, yaitu guru dan siswa. Kedua pelaku tersebut dapat menjadi subjek pembelajaran dan objek pembelajaran. Model pembelajaran langsung dapat diartikan sebagai model pembelajaran yang berpusat pada guru. Seperti halnya dikemukakan oleh Trianto (2012:41) bahwa pembelajaran langsung adalah suatu model pengelajaran yang bersifat teacher center. Pembelajaran langsung cenderung menjadikan guru sebagai subjek pembelajaran, sedangkan siswa menjadi objek pembelajaran. Menurut Majid (2013:72), pembelajaran langsung umumnya dirancang untuk mengembangkan aktivitas belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan prosedural (bagaimana melaksanakan sesuatu) dan pengetahuan deklaratif (berupa fakta, konsep, prinsip atau generalisasi) dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Peran guru yang aktif dalam menyampaikan materi ajar terutama dalam mengarahkan kegiatan belajar siswa sangat dibutuhkan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini dapat membantu siswa dalam memahami materi ajar.

  Model pembelajaran langsung cenderung lebih sering digunakan oleh guru-guru dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Joyce, Weil dan Calhoun (dalam Aunurrahman, 2011: 169) mengemukakan tujuan umum model pembelajaran langsung yaitu untuk memaksimalkan penggunaan waktu belajar siswa. Dampak pengajarannya menurut Aunurrahman (2011:169) yaitu tercapainya ketuntasan muatan akademik dan keterampilan, meningkatkan motivasi belajar siswa serta meningkatkan kemampuan siswa. Model pembelajaran langsung banyak digunakan oleh guru-guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Adapun ciri-ciri pengajaran langsung menurut Kardi dan Nur (dalam Trianto, 2012:41) yaitu (1) adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk prosedur penilaian belajar; (2) sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajarannya yang terdiri dari tahapan; dan (3) strategi pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar kegiatan pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan baik.

  Kegiatan pembelajaran dapat dikatakan berlangsung dengan baik apabila siswa mampu menerima materi ajar dengan baik dan mampu melakukan evaluasi pembelajaran dengan baik pula sesuai dengan langkah-langkah pengajaran langsung. Langkah-langkah dalam pemgajaran langusng terdapat pada sintaks yang terdiri dari 5 fase yang masing-masing fase terdapat menjabaran bagaimana perna guru dalam pelaksanaan pengajaran langsung. Berikut adalah sintaks model pengajaran langsung.

Tabel 2.1. Sintaks Model Pengajaran Langsung

  

Fase Peran Guru

  Fase 1. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa

  Guru menjelaskan informasi latar belakang pengajaran dan mempersiapkan siswa. Fase 2. Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan

  Guru mendemonstrasikan keterampilan dan menyajikan informasi tahap demi tahap. Fase 3. Membimbing pelatihan Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal.

  Fase 4. Mengecek pemahaman dan memberi umpan balik

  Mencek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik dan memberi umpan balik. Fase 5. Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan.

  Guru melakukan perlatihan khusus pada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari- hari.

  Sumber: Trianto (2012:43) Fase-fase pada pembelajaran langsung di atas merupakan tahapan-tahapan kegiatan guru yang dilakukan dalam proses belajar mengajar. Pembelajaran ini dapat pula dikembangkan, seperti Daniel Muijs dan David Reynold (dalam Suprijono, 2013: 51-52) yaitu:

  a. Directing, yaitu guru menjelaskan tujuan pembelajaran

  b. Instructing, yaitu guru memberikan informasi dan menginstruksikannya.

  c. Demonstrating, yaitu guru menunjukkan, mendeskripsikan dan membuat model. d. Explaining dan illustrating, yaitu guru memberikan penjelasan dan merujuk pada metode sebelumnya.

  e. Questioning dan discussing, yaitu guru bertanya dan memastikan setiap siswa ikut ambil bagian.

  f. Consolidating, yaitu guru menguatkan dan mengembangkan mengenai apa yang sudah diajarkan .

  g.

  

Evaluating pupil‟s responses, yaitu guru mengevaluasi presentasi

hasil kerja siswa.

  h. Summarizing, yaitu guru merangkum apa yang telah siswa pelajari menjelang akhir pembelajaran.

  Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dengan model pembelajaran langsung diperlukan banyak faktor, seperti lingkungan yang baik, situasi ruang kelas yang tenang, adanya alat dan media yang cukup, motivasi siswa dalam belajar, serta cara menjelaskan yang dilakukan oleh guru yang harus memperhatikan tempo berbicara dan suara yang lantang. Menurut Kardi (dalam Trianto, 2012:43), pengajaran langsung dapat berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan atau praktik, dan kerja kelompok. Model pembelajaran langsung cenderung memfokuskan pembelajaran pada interaksi antara guru dengan siswa dengan cara mempresentasikan dan menerangkan secara langsung konsep-konsep dan materi ajar. Dengan kegiatan belajar mengajar yang menampilkan peran aktif guru tersebut, secara tidak langsung memunculkan sikap tidak aktif siswa dalam pembelajaran. Siswa cenderung mendengarkan penjelasan guru, membaca, mencatat dan mempraktikkan keterampilan yang telah ditetapkan guru. Model pembelajaran seperti ini dapat dikatakan sebagai model pembelajaran tradisional. Sesuai pendapat Fathurrohman dan Sutikno (2010:8) yang mengatakan bahwa model pembelajaran seperti ini kurang memberikan peran aktif pada siswa karena aktivitas guru sangat dominan dalam kegiatan belajar mengajar.

  Model pembelajaran langsung memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan model pembelajaran langsung menurut Majid (2013:74) yaitu:

  a. Guru dapat mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang diterima oleh siswa.

  b. Dapat diterapkan secara efektif dalam kelas yang besar maupun kelas yang kecil.

  c. Merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan konsep dan keterampilan eksplisit kepada siswa yang berprestasi rendah.

  d. Menekankan kegiatan mendengar melalui ceramah, yang mampu membantu belajar siswa yang tidak senang membaca dan tidak memiliki keterampilan menyusun atau menafsirkan informasi.

  e. Dapat memberikan tantangan untuk mempertimbangkan kesenjangan antara teori dan kenyataan yang terjadi. f. Siswa yang tidak dapat mengarahkan dirinya sendiri dalam belajar dapat tetap berprestasi nila model pembelajaran langsung digunakan secara efektif.

  Model pembelajaran langusung sangat cocok untuk mengajarkan konsep dan keterampilan eksplisit kepada siswa. Selain memiliki kelebihan, model ini memiliki kekurangan. Majid (2013:75) mengemukakan kekurangan-kekurangan pada model pembelajaran langsung sebagai berikut:

  a. Sulit untuk mengatasi perbedaan dalam hal kemampuan, pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan pemahaman, gaya belajar, atau ketertarikan siswa.

  b. Siswa sulit untuk mengembangkan keterampilan sosial dan interpersonal mereka.

  c. Kesuksesan pembelajaran siswa tergantung pada guru. Jika guru tidak siap, berpengetahuan, percaya diri, antusias dan terstruktur, maka siswa dapat menjadi bosan, perhatian teralihkan dan pembelajaran mereka akan terhambat.

  d. Sangat tergantung pada gaya komunikasi guru.

  e. Jika model ini tidak banyak melibatkan siswa, maka siswa akan kehilangan perhatiannya setelah 10-15 menit, dan hanya akan mengingat sedikit isi materi yang telah disampaikan.

  Arends (dalam Sagala, 2012:82) membagi model pembelajaran menjadi dua, yaitu model pembelajaran yang berpusat pada guru (model pembelajaran langsung) dan model pembelajaran yang berpusat pada siswa. menurut Arend (dalam Sagala, 2012:82), model pembelajaran langsung difokuskan pada interaksi tatap muka anatara guru dengan siswa dengan cara mempresentasikan dan menerangkan, pengajaran langsung dan pengajaran konsep. Pada model pembelajaran ini, guru cenderung terlibat aktif dalam penyampaian materi. Guru lebih banyak mempresentasikan dan menerangkan materi, sehingga siswa kurang mampu mengembangkan kemampuannya dalam bertanya, berdiskusi dan mencari informasi. Adapun beberapa perbandingan antara model pembelajaran berpusat pada guru dengan model pembelajaran berpusat pada siswa, sebagai berikut.

  Tabel. 2.2. Perbandingan Antara Model Pembelajaran Berpusat pada Guru dengan Model Pembelajaran Berpusat pada Siswa

  Fitur Model Pembelajaran Model Pembelajaran Berpusat pada Guru Berpusat pada Siswa

  Peran Guru Guru merancang pelajaran, Guru membangun kondisi menggunakan prosedur untuk penyelidikan siswa, yang mendukung melibatkan siswa dalam perolehan pengetahuan perencanaan, mendorong dan keterampilan. dan menerima ide siswa, serta memberi otonomi dan pilihan kepada siswa. Peran Siswa pasif, Siswa sering aktif,

  Siswa mendengarkan keterangan berinteraksi dengan siswa guru, atau membaca, lain, berpartisipasi di mempraktikkan berbagai kegiatan dan keterampilan yang mengatasi masalah. ditetapkan guru. Sumber: Sagala (2012:85)

3. Belajar

a. Pengertian Belajar

  Belajar merupakan kegiatan sehari-hari yang sering dialami oleh setiap individu. Banyak individu yang semakin lama dan semakin banyak belajar, maka semakin kompleks pula ia mengalami kesulitan-kesulitan, namun hal ini sering dianggap biasa saja oleh setiap individu. Hal ini sesuai dengan pendapat Gredler (20011:2) yang menyatakan bahwa belajar (learning) adalah proses multisegi yang biasanya dianggap sesuatu yang biasa saja oleh individu sampai mereka mengalami kesulitan saat menghadapi tugas yang kompleks.

  Menurut Anthony Robbins (dalam Trianto, 2012:15) menyatakan bahwa belajar sebagai proses menciptakan hubungan antara sesuatu (pengetahuan) yang sudah dipahami dan sesuatu (pengetahuan) yang baru. Menurut Slameto (2010:2), belajar adalah usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan kedua definisi di atas, belajar merupakan penggabungan suatu konsep/pengetahuan/informasi awal dengan konsep/pengetahuan/informasi baru yang lebih kompleks yang dapat terjadi karena adanya pengalaman dan interaksi individu terhadap lingkungannya.

  Belajar dilakukan secara terus menerus hingga seseorang mampu memahami apa yang ia pelajari. Seperti halnya dikemukakan oleh Paul Suparno (dalam Sardiman, 2007:38) yang menyatakan bahwa ciri atau prinsip dalam belajar adalah sebagai berikut: 1) Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami.

  2) Konstruksi makna adalah proses yang terus menerus. 3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, tetapi perkembangan itu sendiri.

  4) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.

  5) Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui, si subjek belajar, tujuan, motivasi, yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.

  Belajar dapat diidentikkan dengan pembangunan. Pembangunan merupakan suatu perubahan yang terjadi pada seseorang dalam jangka waktu lama dan terjadi secara teratur. Hal ini selaras dengan pendapat Brady (1985:97) yang menyatakan bahwa

  “The word „development‟ refers to changes that occur in

  people in an orderly way and over a long period of time”. Belajar

  merupakan upaya perubahan dari tidak tahu menjadi tahu. Belajar dapat dilakukan oleh setiap individu, dimana pun dan kapan pun.

  Belajar tidak hanya dilakukan oleh anak kecil dan remaja saja, tetapi orang dewasa pun perlu belajar agar menjadi pribadi yang lebih baik.

  Pemerintah telah menganjurkan kepada setiap warga negara untuk wajib belajar 9 tahun. Hal ini berarti bahwa setiap individu diwajibkan untuk menuntut ilmu pendidikan formal selama 9 tahun, yaitu SD 6 tahun dan SMP 3 tahun. Belajar dapat dilakukan ke dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Bloom (dalam Aunurrahman, 2011:49) membagi perilaku belajar pada ranah kognitif menjadi enam tingkatan, yaitu: 1) Pengetahuan, mencakup kemampuan ingatan yang berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian, kaidah, teori, prinsip satau metode. 2) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap hal-hal yang dipelajari.

  3) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode untuk menghadapi masalah baru.

  4) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.

  5) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk pola baru. 6) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu.

  Keenam tingkatan di atas merupakan tingkatan proses belajar pada ranah kognitif dari tingakatan terendah hingga tingkatan tertinggi.

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar Siswa

  Belajar adalah perubahan yang terjadi secara sadar. Hal ini dibuktikan ketika seorang siswa mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas. Seorang siswa sadar akan usaha belajarnya berarti siswa tersebut merasakan adanya perubahan yang terjadi pada dirinya, dari yang tidak tahu menjadi tahu, pengetahuannya bertambah, kecakapannya bertambah dan kemampuannya.

  Bertambahnya pengetahuan, kecakapan dan kemampuan seseorang, maka ia mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ia hadapi, termasuk permasalahan belajar.

  Hal yang diperlukan dalam pencapaian prestasi belajar yang baik salah satunya dengan adanya kesinambungan yang baik dari berbagai faktor pendukung keberhasilan belajar. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi belajar siswa secara umum menurut Syah (2011:145) dibagi menjadi tiga macam, yaitu (1) faktor internal; (2) faktor eksternal; dan (3) faktor pendekatan belajar. Faktor internal adalah faktor belajar yang berasal dari dalam diri siswa, seperti keadaan jasmani dan rohani siswa. Siswa yang sehat dan tidak gampang sakit akan lebih mudah menerima materi ajar dibandingkan dengan siswa yang memiliki fisik yang lemah.

  Penyakit mata seperti minus juga kadang menjadi kendala bagi siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar. Mereka cenderung sering tidak dapat melihat dengan jelas tulisan yang ada di papan tulis.

  Faktor eksternal (Syah, 2011:145) adalah faktor belajar yang berasal dari luar diri siswa, seperti keadaan/kondisi lingkungan sekitar siswa. Lingkungan sekolah yang mendukung antara lain ruang kelas, fasilitas/sarana prasarana dan sumber belajar. Tersedianya ruang kelas yang cukup dan lengkap dengan fasilitas dapat membuat siswa nyaman mengikuti kegiatan belajar mengajar. Fasilitas/sarana prasarana belajar siswa seperti meja, kursi, papan tulis/whiteboard, maupun kapur/spidol yang memadai dapat membuat siswa mudah menangkap materi ajar. Sumber belajar seperti buku adalah faktor penting bagi siswa untuk belajar.

  Adapun pepatah lama yaitu

  “Buku Adalah Jendela Dunia” yang

  dapat diartikan bahwa dengan siswa membaca buku, maka siswa memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. Walaupun di jaman yang modern ini telah ada internet yang mampu menjelajah segala informasi, namun buku adalah sumber belajar siswa yang utama. Hal ini dikarenakan buku pelajaran telah disesuaikan dengan kurikulum pendidikan, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang telah dirancang oleh pemerintah dan disesuaikan dengan taraf perkembangan siswa.

  Faktor pendekatan belajar Syah (2011:156) segala cara/strategi yang digunakan siswa dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu. Hal ini berarti, strategi dan metode belajar dapat menjadi alat bantu siswa dalam menerima materi ajar. Strategi dan metode belajar menjadi jembatan antara guru dengan siswa dalam rangka menransfer ilmu.

  Metode belajar merupakan cara yang digunakan oleh siswa dalam belajar. Metode belajar siswa berkaitan erat dengan metode mengajar guru. Metode mengajar guru yang baik akan memberikan kebiasaan cara belajar yang baik pula kepada siswa.

c. Prestasi Belajar

  Prestasi berasal dari Bahasa Belanda yaitu prestise, yang kemudian dalam Bahasa Indonesia disebut dengan prestasi.

  Menurut Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:895), prestasi adalah hasil yang telah dicapai/dilakukan/ dikerjakan. Prestasi dapat diraih oleh siapa saja termasuk siswa Sekolah Dasar. Kata prestasi pun dapat digunakan dalam berbagai bidang baik dalam akademik maupun non akademik. Prestasi di bidang akademik dapat disebut dengan prestasi belajar. Berdasarkan pengertian prestasi di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil belajar yang telah dicapai/ dilakukan/dikerjakan oleh siswa.

  Prestasi belajar merupakan salah satu aspek yang harus dinilai dalam kegiatan belajar mengajar. Ranah yang dinilai dalam prestasi belajar adalah ranah kognitif siswa yang mencakup enam tahapan yaitu pengetahuan, ingatan, pemahaman, analisis, sintesis dan evaluasi. Guru sebagai pendidik yang setiap hari bertemu dengan siswa memiliki kewajiban untuk memantau prestasi belajar siswa dan mengatasi anak yang memiliki prestasi belajar kurang. Uno dan Umar (2009:92) mengemukakan ciri-ciri anak berbakat yang berprestasi belajar kurang yaitu (1) memperlihatkan sikap ditolak oleh teman sebayanya, antagonisme, dan sikap permusuhan; (2) gagal menyelesaikan tugas, menguasai keterampilan dasar, kinerja tes yang kurang, perhatian mudah teralihkan, phobia sekolah, memiliki motivasi rendah, kurang tekun, aspirasi rendah dan memiliki standar prestasi yang tidak realistis; (3) cenderung menyalahkan orang lain dan berperilaku agresif; dan (4) merasa rendah diri.

  Prestasi belajar siswa dapat diukur dengan memberikan evaluasi kepada siswa. Menurut Arifin (2013:12), prestasi belajar memiliki fungsi utama yaitu: (1) sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai siswa; (2) sebagai lambang pemuasan rasa ingin tahu; (3) sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan, dapat dijadikan pendorong bagi siswa untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan berperan sebagai umpan balik (feedback) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan; (4) sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan; dan (5) sebagai indikator daya serap (kecerdasan) siswa. Prestasi belajar yang diraih oleh siswa mampu memberikan pandangan dan dapat menjadi acuan bagi guru dalam melihat perkembangan kognitif siswa. Ranah kognitif menyangkut enam tingkatan, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi.

  Pengetahuan merupakan tingkatan ranah kognitif yang menuntut siswa untuk mengetahui suatu konsep, prinsip dan fakta.

  Pemahaman merupakan tingkatan ranah kognitif yang menuntut siswa untuk memahami materi yang dipelajari. Penerapan merupakan tingkatan ranah kognitif yang menuntut siswa untuk menerapkan/menggunakan hal-hal yang telah dipelajari. Analisis merupakan tingkatan ranah kognitif yang menuntut siswa untuk menganalisis/menguraikan sesuatu atau keadaan tertentu. Sintesis merupakan tingkatan ranah kognitif yang menuntut siswa menghasilkan sesuatu yang baru. Evaluasi merupakan tingkatan ranah kognitif yang menuntut siswa untuk mengevaluasi sesuatu atau keadaan tertentu. Pengukuran prestasi belajar siswa dalam ranah kognitif, maka perlu diadakan tes. Berikut gambaran mengenai bentuk soal yang disesuaikan dengan tingkatan pada ranah kognitif dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.3. Prestasi Belajar pada Mata Pelajaran Matematika Materi

  Bangun Ruang dan Jaring-Jaring

  No. Indikator Aspek Kognitif Soal

  1. Menyebutkan Pengetahuan Sebutkan sisi-sisi bangun ruang dan pada kubus ciri-cirinya (sisi, disamping! rusuk dan titik sudut).

  2. Mencontohkan Pemahaman Sebutkan 3 benda benda-benda yang yang menyerupai menyerupai kubus balok! dan balok.

  3. Menentukan sisi Penerapan Sebutkan 3 rusuk dan rusuk yang yang sama sejajar. panjang dengan rusuk HG!

  4. Menyimpulkan Analisis Jelaskan apa yang keterkaitan antara disebut dengan bangun ruang jaring-jaring dengan jaring- kubus? jaring.

  5. Menciptakan Sintesis Buatkan jaring- jaring-jaring jaring kubus dan kubus dan balok. balok masing- masing 1 buah!

  6. Membandingkan Evaluasi Jelaskan kubus dan balok. perbedaan antara kubus dan balok!

4. Karakter Kerja Keras a. Pendidikan Karakter

  Pendidikan di Indonesia kini tidak hanya mempersiapkan para siswa unggul dalam prestasi saja, namun penanaman karakter juga dituntut diberikan kepada siswa di sekolah-sekolah. Prestasi di bidang akademik tentu dapat diterapkan dengan mempelajari mata pelajaran dan materi di sekolah. Namun, pendidikan karakter tidak hanya ditanamkan di sekolah, tetapi juga di lingkungan rumah.

  Pendidikan karakter tidak kalah penting ditanamkan pada siswa sejak dini. Karakter menurut Muslich (2011:84) adalah nilai- nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter menurut Badan Penelitian dan Pengembangan (2010:3) adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan nilai-nilai yang membentuk watak, sikap, akhlak dan kepribadian seseorang yang berhubungan terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan sebagai landasan seseorang untuk berpikir, bersikap dan bertindak.

  Karakter bila dikaitkan dengan pendidikan dapat menjadi nilai baik yang harus ditanamkan pada diri siswa untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia. Pendidikan karakter menurut Muslich (2011:29) adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan

  (action) . Pendidikan karakter sangat baik ditanamkan kepada siswa

  sehingga sekolah mampu menciptakan siswa yang berkualitas baik dalam pengetahuan yang luas, sikap yang mulia dan tindakan yang santun. Pusat Kurikulum (dalam Samani dan Hariyanto, 2012:9) menyatakan bahwa fungsi pendidikan karakter yaitu (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati mulia, berpikir baik dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan mem-bangun perilaku bangsa yang multikultural; (3) meningkatkan perbedaan bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

  Pendidikan karekter penting ditanamkan kepada siswa sejak dini karena merupakan perpaduan tiga aspek yang dapat membentuk siswa menjadi pribadi yang memiliki karakter baik, mantap, dapat melaksanakan tugas dengan baik, dapat memecahkan masalah dengan bijaksana dan kelak mampu bersaing di dunia global. Penanaman karakter baik kepada siswa perlu dilakukan secara berkesinambungan dan terus menerus. Sesuai dengan pendapat Aristoteles (dalam Muslich 2011:36) yang mengatakan bahwa karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan.

  Pendidikan karakter tidak hanya dilakukan di sekolah atas bimbingan dan pantauan guru, tetapi orang tua pun perlu terlibat.

  Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan yang berkaitan dengan kebiasaan, maka karakter tidak hanya ditanamkan di sekolah saja tetapi juga di lingkungan rumah. Siswa yang terbiasa melakukan sesuatu, maka siswa pun sering melakukan sesuatu tersebut dengan baik tanpa ada beban karena sudah terbiasa. Hal ini dapat membentuk siswa menjadi orang yang berkarakter baik. Menurut Muslich (2011:70), orang yang berkarakter baik adalah orang yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.

  Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai sikap dan moral yang positif. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan (2010:9), nilai-nilai pendidikan yang dikembangkan dalam pendidikan karakter ada delapan belas yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab. Dalam pendidikan di sekolah, nilai-nilai tersebut ditanamkan melalui berbagai mata pelajaran di setiap jenjang sekolah, terutama Sekolah Dasar.

b. Kerja Keras

  Kerja keras merupakan salah satu nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan (2010:9), kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Kesuma dkk (2012:17) berpendapat bahwa kerja keras adalah suatu upaya yang terus dilakukan (tidak pernah menyerah) dalam menyelesaikan pekerjaan/yang menjadi tugasnya sampai tuntas. Kerja keras harus dimiliki oleh setiap orang dalam bekerja atau menyelesaikan suatu kegiatan/tugas dengan sungguh- sungguh. Kerja keras perlu ditanamkan pada diri siswa sejak dini agar siswa terbiasa untuk menyelesaikan tugas sekolah dengan baik dan maksimal. Adapun karakteristik kerja keras menurut Kesuma dkk (2012:19) yang dicirikan oleh perilaku seseorang seperti merasa risau jika pekerjaan belum terselesaikan sampai tuntas, mengecek/memeriksa tugas/kewajiban/tanggung jawabnya, mengelola waktu dan mengorganisasi sumber daya yang ada untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya.

  Karakter kerja keras perlu ditanamkan pada diri siswa SD agar mereka terbiasa melakukan sesuatu dengan gigih, serius dan pantang menyerah. Hal ini sesuai dengan pendapat Naim (2012: 148) yang mengatakan bahwa kerja keras melambangkan kegigihan dan keseriusan mewujudkan cita-cita. Berawal dari kegigihan dan keseriusan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah, maka dapat membawa dampak positif bagi siswa saat meraih cita-cita di masa mendatang. Sikap kerja keras yang ditanamkan pada diri siswa lebih mudah terlihat pada saat siswa sedang melaksanakan tugas di kelas. Guru yang selalu bertemu dengan siswa dan memahami siswanya satu per satu mampu memantau dan melihat perkembangan sikap siswa, seperti kerja keras siswa di dalam kelas pada mata pelajaran matematika. Siswa yang memiliki kemauan keras dalam berusaha mengerjakan tugas menandakan memiliki sikap kerja keras yang tinggi.

  Kerja keras merupakan salah satu nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter yang dirasa cocok untuk mata pelajaran matematika terutama pada Sekolah Dasar. Hal ini tercantum dalam tabel pemetaan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa berdasarkan mata pelajaran.

Tabel 2.4. Peta Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

  Berdasarkan Mata Pelajaran

  Mata Pelajaran Jenjang Kelas 4 - 6

  Matematika  Teliti  Tekun  Kerja keras

   Rasa ingin tahu  Pantang menyerah

  Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan (2010:43) Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kerja keras dapat ditanamkan pada siswa kelas IV pada mata pelajaran matematika. Dalam pembelajaran di kelas, siswa harus dilatih bekerja keras dimulai dari jenjang Sekolah Dasar agar tercipta kepribadian yang baik yang berguna dalam kehidupannya mendatang, sebagai contoh siswa mampu menyelesaikan masalah dengan baik, tidak mudah mengeluh dan berputus asa. Berikut adalah keterkaitan nilai karakter dan indikator untuk tingkat Sekolah Dasar.

Tabel 2.5. Keterkaitan Nilai dan Indikator untuk Sekolah Dasar

  Nilai Indikator Kerja Keras Mengerjakan tugas dengan teliti dan rapi.

  Mencari informasi dari sumber-sumber di luar sekolah. Mengerjakan tugas-tugas dari guru pada waktunya. Fokus pada tugas-tugas yang diberikan guru di kelas. Mencatat dengan sungguh-sungguh sesuatu yang dibaca, diamati dan didengar untuk kegiatan kelas. Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan (2010:33) Penumbuhan dan penanaman karakter kerja keras dapat dilakukan di lingkungan sekolah maupun di dalam kelas. Penanaman karakter kerja keras dilakukan agar siswa dapat melaksanakan dan menyelesaikan tugas dengan sungguh-sungguh. Sebagai warga sekolah, siswa pun memiliki berbagai tugas baik tugas dari sekolah maupun tugas di dalam kelas. Tugas-tugas tersebut diberikan agar siswa mau dan mampu mengerjakan/ menyelesaikan tugasnya dengan baik dan benar. Tugas-tugas tersebut dapat menjadi sarana guru untuk menanamkan karakter pada siswa di sekolah dan di kelas, seperti kerja keras. Indikator keberhasilan sekolah dan kelas dalam pengembangan pendidikan karakter kerja keras sebagai berikut.

Tabel 2.6. Indikator Keberhasilan Sekolah dan Kelas dalam

  Pengembangan Pendidikan Karakter Kerja Keras

  Nilai Indikator Sekolah Indikator Kelas

  Kerja Keras  Menciptakan suasana kompetisi yang sehat.

   Menciptakan suasana sekolah yang menantang dan memacu untuk bekerja keras.

   Memiliki pajangan tentang slogan atau motto tentang kerja.

   Menciptakan suasana kompetisi yang sehat.  Menciptakan kondisi etos kerja, pantang menyerah, dan daya tahan belajar.

   Mencipatakan suasana belajar yang memacu daya tahan kerja.

   Memiliki pajangan tentang slogan atau motto tentang giat bekerja dan belajar.

  Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan (2010:26)

  Indikator-indikator di atas merupakan acuan dalam menilai kerja keras siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Berdasarkan berbagai indikator di atas, maka dapat disimpulkan bahwa indikator pencapaian pada karakter kerja keras terhadap kegiatan siswa adalah sebagai berikut.

Tabel 2.7. Indikator Pencapaian Kerja Keras Siswa pada Materi

  Bangun Ruang dan Jaring-Jaring

  No. Indikator Aspek Afektif Kegiatan

  1. Mengerjakan tugas Siswa dengan teliti dan mengerjakan rapi. dengan teliti dan rapi.

  2. Mengerjakan Siswa tugas-tugas dari mengerjakan tugas guru pada tepat waktu sesuai waktunya. perintah guru.

  3. Fokus pada tugas- Siswa fokus tugas yang mengerjakan tugas diberikan guru di hingga selesai kelas. secara mandiri dan tidak bermain

  Kerja Keras sendiri.

  4. Mencatat dengan Siswa mencatat sungguh-sungguh informasi penting sesuatu yang pada materi yang dibaca, diamati, telah dipelajarinya dan didengar untuk dengan sungguh- kegiatan kelas. sungguh di kelas.

  5. Berkompetisi Siswa berlomba secara sehat. mengerjakan tugas dengan cepat dan benar.

  6. Pantang menyerah Siswa tetap dan daya tahan menger jakan belajar kuat. tugas yang sulit dan semangat belajar.

5. Matematika

a. Pengertian Matematika

  Matematika adalah salah satu ilmu terapan yang diajarkan di sekolah-sekolah termasuk di Sekolah Dasar. Matematika merupakan ilmu yang selalu berkaitan dengan angka, seperti menghitung luas suatu bidang, menghitung volume suatu tempat, menghitung panjang dan berat suatu benda, dan lain sebagainya. Menurut Johnson dan Rising (dalam Ismunamto dkk, 2011:2), matematika adalah ilmu tentang pola, keteraturan pola, atau ide.

  Matematika sering menjadi mata pelajaran yang menakutkan bagi siswa SD. Banyak siswa yang merasa Matematika itu sulit.

  Kenyataannya, Matematika merupakan mata pelajaran yang mudah dipahami bila siswa benar-benar memperhatikan dan memahami dengan betul proses pengerjaannya serta rajin berlatih. Siswa hendaknya rajin berlatih melakukan operasi hitung matematika agar mahir dalam berhitung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Albert E. N. Gray (dalam Anang, 2010:32) yang menyatakan bahwa

  “Successful people are successful because they form the habit of doing those things that failures don‟t like to do”. Menurut Russendi (dalam Suwangsih dan Tiurlina, 2006:4), matematika adalah ilmu yang terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak terdefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil yang telah dibuktikan kebenarannya berlaku secara umum. James dan James (dalam Suwangsih dan Tiurlina, 2006:4) mengemukakan bahwa matematika merupakan ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu yang berkaitan dengan logika yang membahas tentang bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang tidak terdefinisikan namun mampu dibuktikan kebenarannya dan diberlakukan secara umum.

  Menurut Hudoyono (dalam Aisyah, dkk, 2008:1-1) mengatakan bahwa matematika berkenaan dengan ide (gagasan- gagasan), aturan-aturan, hubungan-hubungan yang diatur secara logis sehingga matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Uno dan Umar (2009:109) mengemukakan bahwa matematika adalah suatu bidang ilmu yang merupakan alat pikir, berkomunikasi, alat untuk memecahkan berbagai persoalan praktis, yang unsur-unsurnya logika dan intuisi, analisis dan konstruksi, generalitas dan indinvidualitas, dan mempunyai cabang-cabang antara lain aritmatika, aljabar, geometri dan analisis. Sesuai pendapat di atas, maka dalam melaksanakan pembelajaran matematika terutama di SD, perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Siswa SD masih belum mampu berpikir secara abstrak sehingga perlu adanya benda-benda konkret dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini bertujuan agar siswa SD mudah memahami konsep-konsep yang dipelajari dengan mudah sehingga siswa memiliki gambaran yang jelas mengenai materi yang sedang ia pelajari. Suwangsih dan Tiurlina (2006:7) mengemukakan bahwa konsep-konsep dalam matematika disusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana hingga konsep yang paling kompleks. Adapun konsep pembelajaran matematika menurut Heruman (2010:2) yaitu (1) penanaman konsep dasar; (2) pemahaman konsep; dan (3) pembinaan keterampilan.