BAB II LANDASAN TEORI A. Pembelajaran Langsung - ARI FALATIFA SUHENI BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Pembelajaran Langsung Pembelajaran Langsung (direct instruction ) adalah suatu

  pembelajaran yang bersifat teacher center (berpusat pada guru). Menurut Arends (Trianto, 2009), Pengajaran Langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah. Menurut Sudrajat (2009), Pembelajaran Langsung adalah pembelajaran yang menekankan pada penguasaan konsep dan/ atau perubahan perilaku dengan mengutamakan pendekatan deduktif.

  Adapun Pembelajaran Langsung menurut Kardi dan Nur (Trianto, 2009) adalah pembelajaran yang berpusat pada guru, yang mempunyai 5 langkah dalam pelaksanaannya, yaitu menyiapkan siswa menerima pelajaran, demontrasi, pelatihan terbimbing, umpan balik, dan pelatihan lanjut (mandiri). Sedangkan menurut Eggen dan Kauchak (David, 2009), Pengajaran Langsung merupakan salah satu pembelajaran yang dirancang untuk mengerjakan pengetahuan dan kemampuan dasar yang dibutuhkan siswa untuk pembelajaran selanjutnya.

  7 Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran Langsung merupakan pembelajaran yang berpusat pada guru yang menekankan pada penguasaan konsep dan/ atau perubahan tingkah laku dengan mengutamakan pendekatan deduktif. Pembelajaran Langsung sering disebut juga dengan model pengajaran aktif (active

  teaching model ), training model, mastery teaching, dan explicit instruction . Pembelajaran Langsung digunakan untuk menyampaikan

  pelajaran yang ditransformasikan langsung oleh guru kepada siswa. Pembelajaran Langsung dapat berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan atau praktik, dan kerja kelompok.

  Menurut Trianto (2009), sintaks model Pembelajaran Langsung tersajikan dalam lima tahap sebagai berikut:

  Tabel 2.1: Sintaks Pembelajaran Langsung Fase Peran guru Peran Siswa

  Fase 1 Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa

  Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, informasi latar belakang pembelajaran, penting- nya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar.

  Siswa memperhatikan penjelasan guru dan mempersiapkan diri untuk belajar

  Fase 2 Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan

  Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar atau menyajikan informasi tahap demi tahap.

  Siswa memperhatikan demonstrasi keterampilan dan menyerap informasi tahap demi tahap. Fase 3 Membimbing latihan soal

  Guru merencanakan dan memberi bimbingan latihan soal.

  Siswa mengerjakan latihan soal.

  Fase 4 Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik

  Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik.

  Siswa mendengarkan instruksi guru dan menerima umpan balik dari guru. Fase 5 Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan terapan

  Guru mempersiapkan kesempatan melakukan pelatihan lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari- hari.

  Siswa melakukan pelatihan lanjutan sesuai dengan instruksi guru. Menurut Sudrajat (2009), pembelajaran langsung mempunyai kelebihan dan kekurangan, antara lain sebagai berikut: Kelebihan:

  1. Dengan pembelajaran langsung, guru mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang diterima oleh siswa sehingga dapat mempertahankan fokus mengenai apa yang harus dicapai oleh siswa.

  2. Dapat diterapkan secara efektif dalam kelas yang besar maupun kecil.

  3. Dapat digunakan untuk menekankan poin-poin penting atau kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi siswa sehingga hal-hal tersebut dapat diungkapkan.

  4. Dapat menjadi cara yang efektif untuk mengajarkan informasi dan pengetahuan faktual yang sangat terstruktur.

  5. Merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan konsep dan keterampilan-keterampilan yang eksplisit kepada siswa yang berprestasi rendah. Kekurangan:

  1. Pembelajaran langsung harus bersandar pada kemampuan siswa untuk mengasimilasikan informasi melalui kegiatan mendengarkan, mengamati, dan mencatat. Karena tidak semua siswa memiliki keterampilan dalam hal-hal tersebut, maka guru masih harus mengajarkannya kepada siswa.

  2. Dalam pembelajaran langsung, sulit untuk mengatasi perbedaan dalam hal kemampuan, pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan pemahaman, gaya belajar atau ketertarikan siswa.

  3. Karena siswa hanya memiliki sedikit kesempatan untuk terlibat secara aktif, sulit bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial dan interpesonal mereka.

  4. Karena guru memainkan peran pusat dalam pembelajaran ini, maka kesuksesan pembelajaran langsung ini sangat bergantung pada guru.

  Jika guru tidak siap, berpengetahuan, percaya diri, kreatif, aktif, antusias dan terstruktur, maka siswa menjadi bosan, tidak memperhatikan pembelajaran sehingga pembelajaran mereka menjadi terhambat dan tujuan pembelajanpun tidak tercapai.

  5. Terdapat beberapa bukti penelitian bahwa tingkat struktur dan kendali guru yang tinggi dalam kegiatan pembelajaran, yang menjadi karakteristik pembelajaran langsung, dapat berdampak negatif terhadap kemampuan penyelesaian masalah, kemandirian, dan keingintahuan siswa.

B. Pembelajaran SAVI

  Dalam belajar sangat diperlukan adanya aktivitas. Tanpa aktivitas, kegiatan belajar tidak mungkin berlangsung dengan baik. Sadirman (2011) berpendapat bahwa belajar adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan, tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Dalam belajar sangat diperlukan adanya aktivitas, tanpa aktivitas belajar itu tidak mungkin akan berlangsung dengan baik. Aktivitas dalam proses belajar mengajar merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran, bertanya hal yang belum jelas, mencatat, mendengar, berfikir, membaca, dan segala kegiatan yang dilakukan yang dapat menunjang prestasi belajar (Sardiman, 2011). Menurut Meier (2000), pembelajaran tidak otomatis meningkat hanya dengan menyuruh siswa berdiri dan bergerak kesana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktifitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Pembelajaran yang seperti itu, Meier namakan dengan pembelajaran SAVI.

  Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran SAVI merupakan pembelajaran yang dalam belajar, siswa harus beraktivitas, menggunakan semua indra yang dimilikinya secara optimal sehingga hasil belajar menjadi optimal. De Porter (1992) mengungkapkan bahwa anak memiliki 3 gaya belajar yang berbeda sebagai modalitas awal dalam belajar yaitu Visual, Auditorial dan Kinestetik/Somatik. Lou Russel (1999) juga mengungkapkan 3 gaya penyerapan siswa dalam belajar, yaitu Kinestetik/ Somatik, Visual dan Auditori. Rose (1997) menyebutkan, dari penelitian yang dilakukan oleh Ken, Rita Dunn, Ricard Bandler, John Grinder dan Michael Grinder mengidentifikasi tiga gaya belajar dan komunikasi yang berbeda, yaitu Visual, Auditori dan Kinestetik/ Somatik. Meier (2000) menggabungkan ketiga modalitas belajar tersebut dan menambahkan satu lagi modalitas belajar anak, yaitu modalitas Intelektual sehingga menjadi sebuah alternatif pembelajaran yaitu pembelajaran SAVI .

  Menurut Meier (2000), karakteristik pembelajaran SAVI tercermin dari kepanjangan dari SAVI itu sendiri, yaitu Somatis, Auditori, Visual,

  Intelektual.

  1. Somatis ”Somatic” berasal dari bahasa Yunani yaitu tubuh –

  

soma . Jika dikaitkan dengan belajar maka dapat diartikan

  belajar dengan bergerak dan berbuat. Sehingga belajar somatic adalah belajar dengan indra peraba, kinestetis, praktis, melibatkan fisik dan menggunakan serta menggerakkan tubuh sewaktu belajar (Meier, 2000).

  Menurut De Porter (1992), kinestetik/ somatic merupakan gaya belajar siswa dengan cara bergerak, bekerja dan menyentuh.

  Menurut Lou Russel (1999), siswa dengan kecenderungan kinestetik/ Somatik lebih suka belajar dengan cara mencoba sesuatu dengan tangan mereka dan kemudian membuat banyak sekali catatan (untuk menstimulus tindakan) selama proses pembelajaran berlangsung. Menurut Paul B. Diedrich (Sardiman, 2011) aktivitas siswa yang tergolong Motor activities antara lain melakukan percobaan, membuat kontruksi, model mereparasi, dan bermain, sedangkan aktivitas siswa yang tergolong ke dalam Drawing

  activities antara lain menggambar, membuat grafik, peta dan

  diagram, dan aktivitas siswa yang tergolong Writing activities antara lain menulis cerita, karangan, laporan, angket dan menyalin.

  Ken, Rita Dunn, Ricard Bandler, John Grinder dan Michael Grinder (Rose, 1997) menyebutkan bahwa Kinestetik/ Somatik merupakan belajar melalui aktivitas fisik dan keterlibatan langsung dengan cara menangani, bergerak, menyentuh dan merasakan/mengalami sendiri.

  Menurut Meier (2000), siswa dapat bergerak ketika siswa melakukan hal-hal seperti: a. Menjalankan simulasi belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dll). b. Melakukan tinjauan lapangan, kemudian tulis, gambar, dan bicarakan tentang apa yang dipelajari.

  c. Mewawancarai orang di luar kelas.

  d. Dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh kelas.

  Berdasarkan teori tersebut, langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan aktivitas somatis dalam pembelajaran matematika adalah seperti:

  a. Menggambarkan bentuk segi empat, mencari berbagai informasi yang dapat diperoleh dari sebuah bentuk segi empat yang diketahui/ diberikan.

  b. Melengkapi tabel hasil pengamatan dari bentuk segi empat yang mereka gambar.

  c. Dapat melakukan permainan dalam pembelajaran, seperti mencari teman yang mempunyai jawaban yang cocok untuk soal yang dimilikinya.

  2. Auditori Menurut Meier (2000), belajar auditori adalah dengan berbicara dan mendengar, sedangkan menurut De Porter (1992) belajar auditorial adalah belajar dengan cara mendengar. Pikiran manusia lebih kuat daripada yang disadari, telinga pun terus menerus menangkap dan menyimpan informasi bahkan tanpa disadari. Ketika manusia membuat suara sendiri dengan berbicara beberapa area penting di otak menjadi aktif.

  Belajar auditori merupakan cara belajar standar bagi semua masyarakat sejak awal sejarah (Meier, 2000). Siswa dengan kecenderungan Auditori biasanya lebih suka belajar dengan cara mendengarkan dan belajar dengan banyak berbicara (Lou Russel, 1999). Ken, Rita Dunn, Ricard Bandler, John Grinder dan Michael Grinder (Rose, 1997) menyebutkan bahwa Auditori merupakan belajar melalui mendengar sesuatu, seperti mendengarkan kaset audio, ceramah kuliah, diskusi, debat dan instruksi (perintah) verbal. Paul B. Diedrich (Sardiman, 2011) menggolongkan kegiatan siswa yang termasuk dalam Oral activities yaitu menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi dan interupsi, sedangkan yang tergolong kegiatan Listening activities adalah seperti mendengarkan uraian materi, percakapan, diskusi, musik dan pidato.

  Beberapa gagasan yang dikemukakan Meier (2000) untuk dapat meningkatkan penggunaan sarana auditori siswa dalam belajar antara lain: a. Ajaklah siswa membaca keras-keras dari buku panduan.

  b. Mintalah siswa berpasang-pasangan membicarakan secara terperinci apa yang baru saja mereka pelajari dan bagaimana mereka akan menerapkannya.

  c. Mintalah siswa mempraktikkan suatu keterampilan sambil mengucapkan secara sangat terperinci apa yang sedang mereka kerjakan.

  d. Mintalah siswa menceritakan kisah-kisah yang mengandung materi pembelajaran yang terkandung di dalam buku yang mereka baca. Berdasarkan teori di atas, berikut beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan aktivitas belajar auditori dalam pembelajaran matematika, misalnya:

  a. Membicarakan apa yang dipelajari yaitu materi segi empat dan bagaimana menerapkannya.

  b. Meminta pelajar memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang dilakukan c. Mendengarkan materi yang disampaikan dan merangkumnya.

  3. Visual Belajar dengan mengamati dan menggambarkan. Dalam otak manusia terdapat lebih banyak perangkat untuk memproses informasi visual daripada semua indera yang lain. Setiap siswa yang menggunakan visualnya lebih mudah belajar jika dapat melihat apa yang sedang dibicarakan seorang penceramah atau sebuah buku atau program komputer. Secara khususnya pembelajar visual yang baik jika mereka dapat melihat contoh dari dunia nyata, diagram, peta gagasan, ikon dan sebagainya ketika belajar (Meier, 2000).

  Menurut De Porter (1992) gaya belajar visual yaitu siswa belajar dengan cara melihat. Siswa dengan kecenderungan visual lebih suka belajar dengan melihat segala sesuatu seperti petunjuk, komputer, buku, seni dan guru (apabila guru sedang menjelaskan materi) (Lou Russel, 1999). Ken, Rita Dunn, Ricard Bandler, John Grinder dan Michael Grinder (Rose, 1997) Ken, Rita Dunn, Ricard Bandler, John Grinder dan Michael Grinder Visual merupakan belajar melalui melihat sesuatu, seperti melihat gambar atau diagram, peragaan atau menyaksikan video. Paul B. Diedrich (Sardiman, 2011) menyebutkan aktivitas siswa yang tergolong ke dalam Visual activities antara lain membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, dan percobaan.

  Meier (2000), terdapat beberapa hal yang dapat dimanfaatkan untuk membuat pelajaran lebih visual,yaitu: a. Bahasa yang penuh gambar

  b. Grafik presentasi yang hidup

  c. Benda tiga dimensi

  d. Kreasi Piktogram (oleh pembelajar)

  e. Pengamatan lapangan

  Berdasarkan teori tersebut berikut adalah beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan aktivitas belajar visual dalam pembelajaran matematika, seperti:

  a. Mengamati gambar dan kemudian memaknainya melalui penyelesaian tabel pengamatan/ penyelesaian lembar kegiatan.

  b. Melihat benda yang memiliki permukaan berbentuk segi empat secara langsung, dan kemudian digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pada lembar pengamatan atau lembar kegiatan.

  c. Memvisualisasikan hasil kerja kelompknya ke dalam bentuk gambar, misal menggambarkan berbagai bentuk segi empat dari hasil aktivitas somatis.

  4. Intelektual Menurut Meier (2000), intelektual adalah penciptaan makna dalam pikiran, sarana yang digunakan manusia untuk berfikir, menyatukan pengalaman, menciptakan jaringan syaraf baru, dan belajar. Intelektual adalah bagian diri yang merenung, mencipta, memecahkan masalah dan membangun makna. Paul B. Diedrich (Sardiman, 2011) menyebutkan aktivitas siswa yang tergolong ke dalam Mental activities antara lain menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan dan mengambil keputusan.

  Menurut Meier (2000), aspek intelektual siswa dalam belajar akan terlatih jika guru mengajak siswa terlibat aktif dalam aktivitas seperti:

  a. Memecahkan masalah

  b. Menganalisis pengalaman

  c. Mengerjakan perencanaan strategis

  d. Melahirkan gagasan kreatif

  e. Mencari dan menyaring informasi

  f. Merumuskan pernyataan

  g. Menciptakan makna ribadi Berdasarkan teori tersebut berikut beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan aktivitas belajar auditori dalam pembelajaran matematika:

  a. Pemecahan masalah, misal dalam memecahkan masalah dalam contoh soal maupun latihan soal.

  b. Menganalisis pengalaman, kasus, misalnya dalam lembar kerja siswa dituntun untuk mendapatkan luas dan keliling suatu segi empat, kemudian dalam latihan soal siswa dihadapkan pada masalah luas dan keliling bangun segi empat. c. Menciptakan makna pribadi, misalnya dalam penarikan kesimpulan.

  Dari karakteristik tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran SAVI adalah sebuah pembelajaran yang melibatkan fisik dengan bergerak dan berbuat (somatic), berbicara dan mendengarkan (auditory), mengamati dan menggambarkan

  (visual) serta dapat memecahkan sebuah masalah dan merenung (intellectual).

  Langkah-langkah pembelajaran SAVI menurut Meier (2000) ada empat tahap, yaitu: a. Tahap 1: Persiapan

  Tahap persiapan ditujukan untuk menimbulkan minat siswa, memberikan siswa pengalaman positif mengenai pengalaman belajar yang akan datang, dan menempatkan siswa dalam situasi optimal untuk belajar. Tahap persiapan ini dapat dilakukan dengan cara: 1) Memberi sugesti positif 2) Memberikan pernyataan yang bermanfaat untuk siswa 3) Memberikan tujuan yang jelas dan bermakna 4) Membangkitkan rasa ingin tahu 5) Menciptakan lingkungan fisik, emosional, dan sosial yang positif b. Tahap 2: Penyampaian Tahap penyampaian bertujuan untuk membantu pembelajar menemukan materi belajar yang baru dengan cara yang menarik, menyenangkan, relevan, melibatkan panca indra, dan cocok untuk semua gaya belajar. Tahap penyampaian dapat dilakukan dengan cara: 1) Pengamatan fenomena dunia nyata 2) Pelibatan seluruh otak, seluruh tubuh 3) Presentasi interaktif 4) Grafik dan sarana presentasi berwarna warni 5) Pelatihan menemukan (sendiri, berpasangan, berkelompok) 6) Pengalaman belajar di dunia nyata yang kontekstual 7) Pelatihan memecahkan masalah

  c. Tahap 3: Pelatihan Tahap pelatihan bertujuan untuk membantu pembelajar mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan dan keterampilan baru dengan berbagai cara. Tahap pelatihan dapat dilakukan dengan cara: 1) Usaha aktif/ umpan balik/ renungan/ usaha kembali 2) Simulasi dunia nyata 3) Permainan dalam belajar

  4) Aktivitas pemecahan masalah 5) Refleksi dan artikulasi individu 6) Dialog berpasangan atau kelompok

  d. Tahap 4: Penampilan Hasil Tahap penampilan hasil bertujuan untuk membantu siswa menerapkan dan memperluas pengetahuan atau keterampilan baru mereka pada pekerjaan sehingga hasil belajar akan melekat pada penampilan hasil akan terus meningkat. Tahap penampilan hasil dapat dilakukan dengan cara: 1) Penerapan di dunia nyata dalam tempo segera 2) Aktivitas penguatan penerapan 3) Pelatihan terus menerus 4) Umpan balik dan evaluasi hasil belajar 5) Aktivitas dukungan kawan 6) Perubahan organisasi dan lingkungan yang mendukung.

  Berdasarkan tahapan-tahapan di atas, maka peneliti akan menggunakan tahapan sebagai berikut :

  Tabel 2.2: Sintaks pembelajaran SAVI Kegiatan Guru Kegiatan Siswa a. Kegiatan Awal (Tahap 1: Persiapan)

  1) Guru mengucapkan salam dilanjutkan dengan mengecek kehadiran siswa

  2) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. 3) Guru menginformasikan pembelajaran yang digunakan. 4) Guru membagi siswa dalam kelompok dengan beranggotakan 4-5 siswa secara heterogen dan mengkondisikan tiap kelompok siap mengikuti pelajaran

  5) Guru menyampaikan apersepsi dan mengingatkan kembali pokok bahasan yang telah dipelajari sebagai pengantar materi yang akan dibahas

  6) Mengaitkan pokok bahasan yang telah dipelajari dengan pokok bahasan akan diajarkan

  a. Kegiatan Awal (Tahap 1: Persiapan) 1) Siswa menjawab salam.

  2) Siswa mendengarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai( Auditory). 3) Siwa mendengarkan informasi pembelajaran yang digunakan(Auditory). 4) Siswa membuat kelompok dengan beranggotakan 4-5 siswa secara heterogen dan menyiapkan diri mengikuti pelajaran (Somatic, Auditory). 5) Siswa mendengarkan apersepsi dan mengingatkan kembali pokok bahasan yang telah dipelajari dan menjawab pertanyaan guru mengenai materi yang telah dipelajari (Auditory, Visual). 6) Mengaitkan pokok bahasan yang telah dipelajari dengan pokok bahasan akan diajarkan (Auditory, Visual).

b. Kegiatan Inti Eksplorasi (Tahap 2 : Penyampaian)

  1) Guru menyampaikan materi segi empat dengan cara memberi b.

   Kegiatan Inti Eksplorasi (Tahap 2 : Penyampaian)

  1) Siswa mendengarkan dan memperhatikan penjelasan guru serta ikut contoh dalam dunia nyata 2) Guru menyampaikan materi segi empat secara rinci dan bertahap dengan melibatkan siswa secara aktif

  3) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencatat materi dan mengajukan pertanyaan. serta memberi contoh bentuk segi empat dalam dunia nyata (Auditory, Visual). 2) Siswa terlibat secara aktif dalam penyampaian materi yang dilakukan oleh guru (Somatic,

  Auditory, Visual)

  3) Siswa mencatat pokok bahasan dan mengajukan pertanyaan mengenai hal- hal yang belum paham kepada guru (Somatic, Auditory, Intellectual).

  c. Elaborasi (Tahap 3: Pelatihan)

  1) Guru mengajak siswa untuk bersama-sama mendiskusikan mengenai materi pembelajaran. 2) Guru memberikan LKK sebagai bahan diskusi siswa. 3) Guru membahas LKK dengan meminta siswa mempresentasikan hasil diskusinya.

  4) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan tanya jawab tentang permasalahan yang sedang didiskusikan. 5) Guru menilai hasil diskusi dan meralat bila terjadi kesalahan.

  c. Elaborasi (Tahap 3: Pelatihan)

  1) Siswa bersama-sama berdiskusi mengenai materi pembelajaran (Auditory, Intellectual).

  2) Siswa menerima LKK dan berdiskusi secara berkelompok (Somatic, Auditory, Intellectual). 3) Salah satu siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya (Somatic, Auditory, Intellectual). 4) Siswa melakukan tanya jawab tentang permasalahan yang sedang didiskusikan (Auditory). 5) Siswa mendengarkan penilaian dari guru

  (Auditory).

  d. Konfirmasi (Tahap 4: Penampilan Hasil) d. Konfirmasi (Tahap 4: Penampilan Hasil)

  1) Guru memberikan soal evaluasi untuk mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa setelah proses pembelajaran secara individu. 2) Guru mendiskusikan hasil jawaban soal evaluasi secara bersama-sama dengan siswa.

  1) Siswa mengerjakan soal evaluasi untuk mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa setelah proses pembelajaran secara individu (Intellectual). 2) Siswa mendiskusikan hasil jawaban soal evaluasi secara bersama- sama dengan guru (Auditory , Intellectual).

e. Kegiatan Akhir

  1) Guru membimbing siswa untuk membuat kesimpulan. 2) Guru menutup pembelajaran dengan salam penutup.

  e. Kegiatan Akhir

  1) Siswa membuat kesimpulan dengan bimbingan guru (Auditory). 2) Siswa menjawab salam dari guru (Auditory).

C. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

  Menurut Wardhani (2010) suatu masalah adalah suatu tugas, latihan atau pertanyaan yang cara atau prosedur penyelesaiannya tidak langsung terlihat, sehingga perlu diselidiki, dicoba-coba, dilakukan pendugaan dan sebagainya. Untuk dapat menyelesaikan suatu masalah dituntut tingkat kreativitas yang tinggi. Menurut Wardhani (2010), pemecahan masalah matematika merupakan proses penerimaan tantangan dan kerja keras untuk menyelesaikan masalah matematika. Menurut Lenchner (Wardhani, 2010), memecahkan masalah matematika adalah proses menerapkan pengetahuan matematika yang diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Pemecahan masalah matematika adalah siswa dihadapkan pada masalah matematika yang penyelesaiannya belum diketahui, dan pemecahan masalah matematika tersebut tidak dapat dilakukan dengan algoritma tertentu. Siswa harus menggunakan pengetahuannya, dengan proses ini siswa akan mengembangkan pemahaman matematika baru melalui pengalaman berpikirnya sehingga siswa dapat memecahkan masalah matematika yang sedang dihadapinya.

  Menurut Budihardjo (2006) pemecahan masalah adalah kompetensi strategi yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan, dan menyelesaikan model untuk menyelesaikan masalah. Pemecahan masalah memerlukan strategi dalam pelaksanaannya. Kebenaran, ketepatan, keuletan dan kecepatan adalah suatu hal yang diperlukan dalam penyelesaian masalah. Keterampilan siswa dalam menyusun suatu strategi adalah suatu kemampuan yang harus dilihat oleh guru. Jawaban benar bukan standar ukur mutlak, namun proses yang lebih penting darimana siswa dapat mendapatkan jawaban tersebut. Dengan pemecahan masalah siswa akan belajar untuk mentransfer fakta, konsep, prinsip, dan skill ke situasi yang baru.

  Menurut Wena (2009), pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengaasi situasi baru. Pemecahan masalah tidak sekedar sebagai bentuk kemampuan menerapkan aturan-aturan yang telah dikuasai melalui kegiatan-kegiatan belajar terdahulu, melainkan lebih dari itu, merupakan proses untuk mendapatkan seperangkat aturan pada tingkat yang lebih tinggi.

  Ciri soal atau tugas dalam bentuk pemecahan masalah antara lain adanya tantangan dalam materi penugasan dan masalah tidak dapat diselesaikan hanya dengan menggunakan satu prosedur yang sudah diketahui, tetapi harus melalui beberapa prosedur terlebih dahulu.

  Menurut Polya (2004), soal matematika tidak akan menjadi masalah bagi seorang siswa, jika siswa memiliki kemampuan dan keinginan dalam menyelesaikan masalah tersebut ditinjau dari segi kematangan mental dan ilmunya.

  Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah matematika adalah proses menerapkan pengetahuan dan pemahaman matematika yang telah diperoleh siswa serta kekreatifan siswa dalam menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah matematika yang sedang dihadapinya.

  Menurut Polya (2004), fase pemecahan masalah ada 4 tahapan, yaitu:

  1. Memahami masalah Langkah ini sangat menentukan kesuksesan memperoleh solusi masalah. Langkah ini melibatkan pendalaman situasi masalah, melakukan pemilihan fakta-fakta, menentukan hubungan diantara fakta-fakta dan memuat formulasi pertanyaan masalah. Setiap informasi yang tertulis dalam masalah harus dipelajari dengan seksama secara berulang-ulang. Biasanya siswa harus menyatakan kembali masalah dalam bahasanya sendiri.

  2. Membuat rencana penyelesaian Langkah ini mengharuskan siswa membuat rencana penyelesaian dengan melihat keterkaitan berbagai pendekatan yang memungkinkan untuk dapat menemukan solusi pemecahan masalah agar masalah dapat terselesaikan dengan baik. Rencana solusi dibangun dengan mempertimbangkan struktur masalah dan pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa.

  3. Melaksanakan rencana penyelesaian Untuk mendapatkan solusi pemecahan masalah, pelaksanaan pemecahan masalah harus menggunakan strategi yang tepat sesuai dengan yang telah direncanakan dan harus dilaksanakan dengan hati-hati. Namun ketika hasil solusi pemecahan masalah tidak sesuai dengan yang direncanakan, maka proses perlu ditelaah ulang untuk mencari sumber ketidakkonsistenan tersebut.

  4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh Melihat kembali, meninjau dan mempertimbangkan hasil atau solusi yang diperoleh. Siswa harus berusaha mengecek ulang dan menelaah kembali dengan teliti setiap langkah pemecahan yang digunakan sehingga siswa dapat memperoleh jawaban yang sesuai dengan masalah yang diberikan. Untuk lebih memantapkan hasil, dapat pula dicari alternatif pemecahan masalah yang lain, unuk dibandingkan atau dicocokkan dengan solusi awal. Jika solusi alternatif sama dengan solusi alternatif, maka solusi bisa dikatakan akurat.

  Menurut Adjie (2006), beberapa keterampilan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah antara lain adalah:

  1. Memahami soal Dalam memahami soal, siswa harus memahami dan mengidentifikasi apa fakta atau informasi yang diberikan, apa yang ditanyakan, diminta untuk dicari atau dibuktikan.

  2. Memilih pendekatan atau strategi pemecahan masalah Dalam memilih pendekatan atau strategi pemecahan masalah dapat dilakukan dengan menggambarkan masalah dalam bentuk diagram, memilih dan menggunakan pengetahuan aljabar yang diketahui dan konsep yang relevan untuk membentuk model atau kalimat matematika.

  3. Menyelesaikan model matematika Dalam menyelesaikan model matematika, siswa harus melakukan operasi hitung secara benar dalam menerapkan strategi, untuk mendapatkan solusi dari masalah.

  4. Menafsirkan solusi Dalam menafsirkan solusi siswa harus memperkirakan dan memeriksa kebenaran jawaban, masuk akalnya jawaban, dan apakah memberikan pemecahan terhadap masalah semula. Solso dalam Wankat dan Oreovocz (Wena, 2009) mengemukakan enam tahap dalam pemecahan masalah, yaitu:

  1. Identifikasi permasalahan (identification the problem).

  2. Representasi permasalahan (representation the problem).

  3. Perencanaan permasalahan (planning the solution).

  4. Menerapkan/mengimplementasikan perencanaan (execute the plan).

  5. Menilai perencanaan (evaluate the plan).

  6. Menilai hasil pemecahan perencanaan (evaluate the solution).

  Dari beberapa pendapat ahli tersebut, indikator pemecahan masalah yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah (1) memahami masalah/soal, (2) membuat rencana penyelesaian, (3) melaksanakan rencana penyelesaian dan (4) menafsirkan solusi yang diperoleh. Peneliti menggunakan indikator tersebut dengan mempertimbangkan kebiasaan siswa dalam memecahkan masalah sehingga diharapkan tingkat ketercapaian indikator tersebut tinggi. Peneliti tidak menggunakan indikator memeriksa kembali hasil yang diperoleh, karena dalam menyelesaikan masalah siswa jarang melakukan pengecekan kembali sebab selain tidak terbiasa, terkadang siswa tidak mempunyai banyak waktu untuk melakukan pengecekan kembali, hal ini disebabkan oleh terfokusnya waktu pengerjaan siswa pada perencanaan dan pelaksanaan rencana penyelesaian soal. Oleh karena itu peneliti mengganti indikator mengecek kembali dengan indikator menafsirkan solusi yang diperoleh, karena indikator ini tidak terlalu menyita waktu pengerjaan jika dibandingkan dengan indikator mengecek kembali.

D. Kerangka Berfikir

  Kemampuan pemecahan masalah penting diajarkan di sekolah agar siswa mampu mengaplikasikan kemampuannya tersebut dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya sehari-hari. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa adalah pembelajaran yang dilakukan oleh guru di kelas. Terdapat berbagai macam pembelajaran yang dikemukakan dan ditemukan.

  Masing-masing pembelajaran memiliki teori-teori dasar yang berbeda. Dengan menggunakan pengajaran yang tepat dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

  Pada kegiatan Somatis, Auditori dan Visual dalam pembelajaran SAVI, siswa dilatih untuk aktif dalam mengikuti pembelajaran, sehingga terjadi proses belajar dalam diri siswa, karena tanpa ada aktivitas, proses belajar tidak akan terjadi. Melalui proses belajar tersebut, nantinya siswa dapat memahami materi yang diajarkan oleh guru. Pada kegiatan Intelektual dalam pembelajaran SAVI, siswa dilatih untuk dapat memecahkan masalah, menganalisis, melahirkan gagasan kreatif dan membuat perencanaan yang strategis, dengan demikian diharapkan siswa akan mampu menyelesaikan permasalahan matematika yang dihadapinya menggunakan pemahaman dan pemikiran logis serta kreatifitasnya, tidak bergantung pada rumus.

  Pembelajaran SAVI terdiri dari empat tahap, yaitu tahap persiapan, penyampaian, pelatihan dan penampilan hasil. Pada tahap persiapan, guru mempersiapkan siswa agar mampu menerima materi yang akan diajarkan dengan baik. Dalam tahap kedua yaitu tahap penyampaian, guru menyampaikan materi sedangkan siswa memperhatikan dan mencatat materi yang disampaikan oleh guru serta menanyakan hal yang belum dipahami dari penjelasan guru. Kegiatan yang dilakukan siswa pada tahap ketiga (tahap pelatihan) yaitu siswa berlatih mengerjakan Lembar Kerja Kelompok (LKK). Siswa berdiskusi dalam mengerjakan LKK secara berkelompok. Dalam pelatihan, siswa dilatih untuk dapat memahami masalah yang terdapat dalam soal, menyusun rencana penyelesaian, melaksanakan penyelesaian masalah sesuai rencana yang telah dibentuk dan menafsirkan hasil yang diperoleh secara berkelo mpok. Pada tahap penampilan hasil, guru memberi latihan soal yang harus dikerjakan siswa secara individu. Tahap ini melatih siswa untuk dapat memahami masalah yang terdapat dalam soal, menyusun rencana penyelesaian, melaksanakan penyelesaian masalah sesuai rencana yang telah di buat dan menafsirkan hasil yang diperoleh secara individu.

  Berdasarkan tahap-tahap pembelajaran SAVI tersebut, diharapkan tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang menggunakan pembelajaran SAVI lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang menggunakan pembelajaran langsung.

E. Hipotesis

  Berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan dan kerangka berfikir yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mengikuti pembelajaran SAVI lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mengikuti pembelajaran langsung.