BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah - SERTIFIKAT PENDIDIK DALAM KREDIT BANK DITINJAU DARI HUKUM JAMINAN Repository - UNAIR REPOSITORY

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah

  Globalisasi bukan hal baru bagi suatu negara khususnya Indonesia, sejak beberapa tahun terakhir globalisasi sudah berperan cukup aktif dan telah banyak merubah sikap, perilaku, dan pola berfikir masyarakat dunia. Dalam Masyarakat Indonesia sendiri sudah jelas dampak dari globalisasi, baik bersifat negatif maupun positif. Salah satu dampak negatif dari adanya globalisasi adalah pola perilaku masyarakat yang konsumtif. Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah dan dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada. Sayangnya tidak semua masyarakat siap dengan dampak globalisasi berupa pola perilaku konsumtif yang terkadang mengharuskan masyarakat untuk berhutang atau kredit pada bank. Bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi menyalurkan kredit kepada masyarakat merespon baik adanya fenomena tersebut dengan mengeluarkan produk pemberian kredit untuk keperluan konsumtif.

  Kredit adalah salah satu kegiatan usaha pokok bagi bank, kaitannya juga dengan tugas dan fungsi bank sebagai lembaga intermediary atau lembaga yang berfungsi untuk menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Pemberian kredit adalah fungsi utama bank, sebagaimana disyaratkan pada Pasal

  3 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana

  25

  masyarakat. Jika dibandingkan dengan produk dan jasa perbankan yang ditawarkan, pendapatan atau keuntungan suatu bank lebih banyak bersumber dari pemberian kredit kepada nasabahnya. Oleh karenanya, pemberian kredit tersebut pasti secara terus-menerus dilakukan oleh bank dalam rangka menjaga kesinambungan operasionalnya.

  Dalam pengertian sederhana kredit merupakan penyaluran dana dari pihak pemilik dana kepada pihak yang memerlukan dana. Penyaluran dana tersebut didasarkan pada kepercayaan yang diberikan oleh pemilik dana kepada pengguna dana. Artinya pihak yang memberikan kredit percaya kepada pihak yang menerima kredit, bahwa kredit yang diberikan pasti akan terbayar. Di lain pihak, penerima kredit mendapat kepercayaan dari pihak pemberi pinjaman, sehingga pihak peminjam berkewajiban untuk mengembalikan kredit yang telah

  26

  diterimanya. Dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan selanjutnya disingkat dengan UU Perbankan telah menjelaskan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

  Di dalam kredit terdapat unsur kepercayaan, yang berarti bahwa bank selaku kreditor meyakini dan memberikan kepercayaan kepada debitor bahwa debitor akan memenuhi kewajibannya untuk membayar pinjamannya sesuai dengan                                                                                                                 25

                 

  M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2007, h. 75. 26 26 Ismail, Manajemen Perbankan. Prenada Media, Jakarta,2010, h. 93 Ismail, Manajemen Perbankan. Prenada Media, Jakarta,2010, h. 93 jangka waktu tertentu yang telah diperjanjikan. Unsur kepercayaan dalam pemberian kredit oleh kreditur bahwa debitur akan memenuhi kewajiban untuk membayar pinjamannya sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan bukan tanpa risiko, kepercayaan yang diberikan tetap saja mengandung unsur risiko.

  Risiko adalah kemungkinan kerugian yang akan timbul atas penyaluran kredit bank. Risiko tersebut dapat berupa dana yang dipinjam tidak kembali atau debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya.

  Pada prinsipnya hak yang lahir dari perjanjian kredit adalah bersifat perorangan dan bersifat relatif yang berarti bahwa dengan lahirnya perikatan yang dibuat maka selain dirinya sebagai subjek hukum menjadi terikat kepada pihak lawan, benda miliknya-pun juga ikut terikat. Dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1131 BW, bahwa : “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu”. Jaminan yang diberikan oleh Pasal 1131 BW ini bersifat umum dalam arti jaminan itu memposisikan harta debitor dan jaminan itu diberikan kepada semua

  27 pihak yang berkedudukan sebagai kreditor.

  Kelemahan dari jaminan umum adalah kedudukannya hanyalah sebagai kreditor konkuren, yang berarti mempunyai kedudukan yang sama dengan kreditor lain dalam hal pelunasan, walaupun diantara para kreditor mempunyai tagihan yang lebih dahulu, pelunasannya dibagi sesuai perimbangan besarnya                                                                                                                 27 Trisadini Prasastinah Usanti dan Leonora Bakarbessy. Hukum Jaminan, Buku Referensi Hukum Perbankan, Revka Petra Media, Surabaya, 2013, h. 6. tagihan, sebagaimana diatur pada Pasal 1132 BW. Dengan kelemahan yang ada pada jaminan umum tersebut sebenarnya potensi kerugian yang mungkin terjadi pada kreditor dapat diminimalisir dengan menggunakan jaminan lainnya yang lebih menjamin kedudukan kreditor sebagai pihak yang berpotensi dirugikan, yaitu jaminan khusus. Dalam jaminan khusus sendiri terdapat dua macam jaminan yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan, dalam hal jaminan kredit perbankan yang dirasa paling tepat dan melindungi kreditor adalah jaminan kebendaan yang objeknya adalah benda tertentu (khusus) milik debitor atau pihak ketiga dan diperuntukkan bagi kreditor tertentu pula. Hal tersebut disediakan untuk meminimalisir potensi kerugian yang mungkin terjadi di kemudian hari.

  Jaminan kebendaan yang dibuat oleh para pihak adalah perjanjian kebendaan bukan perjanjian obligatoir.

  Arti jaminan dalam hukum perbankan sendiri dapat dilihat pada Pasal 8 UU Perbankan dan penjelasannya bahwa jaminan pemberian kredit diberikan arti yang lain dengan kata agunan. Dalam pasal tersebut juga menjelaskan bahwa Undang- Undang Perbankan telah memberikan arti yuridis bagi jaminan pemberian kredit bukan sebagai agunan kredit, sedangkan agunan kredit hanya merupakan salah satu unsur dari jaminan pemberian kredit. Agunan memang bukan unsur yang pertama dalam proses pemberian kredit akan tetapi keberadaannya penting mengingat agunan akan berperan bilamana terjadi kredit bermasalah dan karena kreditor pemegang jaminan khusus mempunyai posisi yang lebih baik karena berkedudukan sebagai kreditor preferen.

  Jika menelaah lebih dalam pada penjelasan Pasal 8 UU Perbankan bahwa dalam penjelasan terebut menjelaskan agunan hanya dapat berupa barang atau benda, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Benda menurut ketentuan Pasal 499 BW adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Sedangkan dalam ilmu hukum, pengertian benda lebih luas, yaitu segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum dan barang-barang yang dapat menjadi milik serta hak setiap orang yang dilindungi

  28

  oleh hukum. Dari rumusan tersebut dapat diketahui baik dari pandangan BW maupun dalam perspektif ilmu hukum bahwa yang dimaksud dengan kebendaan adalah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan hak milik, tanpa memperdulikan jenis atau wujudnya. Penguasaan dalam bentuk hak milik dalam hal ini adalah penguasaan yang memiliki nilai ekonomis. Kaitannya dengan Pasal 1131 BW bahwa hanya kebendaan yang mempunyai nilai ekonomis saja yang dapat menjadi jaminan bagi pelaksanaan perikatan, kewajiban, prestasi atau utang

  29 seorang debitor.

  Oleh sebab itu, jika suatu perikatan diikat dengan jaminan khusus kebendaan, kreditor pemegang jaminan kebendaan mempunyai kedudukan yang

  30

  lebih baik karena :                                                                                                                 28 P.N.H. Simajuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2009, h.

  203. 29 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Kebendaan pada Umumnya, Prenada Media, Jakarta, 2003, h.32. 30 J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h.12.

  1. Kreditor didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan atas tagihannya atas hasil penjualan benda tertentu atau sekelompok benda tertentu milik debitor atau milik pihak ketiga; dan/atau

  2. Ada benda tertentu milik debitor atau pihak ketiga yang dipegang oleh kreditor dan terikat kepada hak kreditor, yang berharga bagi debitor dan dapat memberikan suatu tekanan psikologis terhadap debitor untuk memenuhi kewajibannya dengan baik kepada kreditor.

  Jika merujuk pada uraian di atas maka syarat benda yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan kebendaan adalah benda yang dapat dialihkan dan mempunyai nilai ekonomis, nilai ekonomis dalam arti dapat dikonversikan dengan mata uang dan dapat dijual. Dua hal tersebut bersifat kumulatif karena tidak semua benda yang mempunyai nilai ekonomis dapat dialihkan.

  Namun, dalam setiap hak kebendaan harus melihat terlebih dahulu kedudukan hukum dari hak kebendaannya karena terdapat batasan-batasan didalamnya. Di mana batasan-batasan terhadap hak milik sesuai dengan Pasal 570 BW terdapat tiga batasan, yaitu tidak menimbulkan gangguan kepada subjek hukum lain, adanya kepentingan umum dan aturan hukum yang menghapus hak milik. Disamping itu, terdapat privilege-privilege umum dan khusus maupun adanya hukum jaminan yang dapat menyimpangi maupun membatasi kedudukan dari hak kebendaan.

  Dalam BW telah secara tegas membagi jenis-jenis benda. Pembagian jenis benda tersebut yang paling penting dan sangat menonjol adalah pembagian jenis benda bergerak dan benda tidak bergerak. BW sendiri mengatur mengenai pengertian benda bergerak dalam Pasal 506 hingga Pasal 508 BW. Hal-hal yang membuat pembagian jenis benda bergerak dan tidak bergerak menonjol dan penting karena secara empiris di masyarakat, jenis pembagian ini merupakan pembagian yang paling mudah penerapannya dalam hukum jaminan. Pembagian benda bergerak dan tidak bergerak juga erat kaitannya dengan lembaga jaminan apa yang dapat membebani jenis benda tersebut.

  Pada praktik-nya dalam dunia perbankan beserta perkembangannya, terdapat berbagai macam jenis benda yang dijadikan jaminan kredit. Seperti yang dilakukan beberapa guru di Surabaya. Dikarenakan tunjangan profesi guru (TPG) bermasalah dan tidak kunjung cair, sebagian guru memilih nekat “menyekolahkan” (menjaminkan) sertifikat pendidik mereka ke bank demi memperoleh pinjaman uang. Didapati fakta bahwa kebanyakan pengajuan kredit tersebut untuk memenuhi kepentingan pribadi non-prioritas dan yang paling

  31

  banyak adalah pengajuan kredit mobil. Mekanisme penjaminan Sertifikat Pendidik dalam prakteknya adalah ketika debitor mengajukan permohonan kredit kepada bank, maka Sertifikat Pendidik milik debitor dipergunakan sebagai objek jaminan dan ditahan oleh bank selaku kreditor. Metode cicilan pembayarannya adalah pada setiap tunjangan sertifikasi dari debitor tersebut cair, seketika tunjangan tersebut dipotong oleh bank guna membayar cicilan.

  Berdasarkan pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen selanjutnya disingkat UU Guru dan Dosen, Sertifikat Pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan                                                                                                                 31 Jawa Pos, Guru “Sekolahkan” Sertifikat Pendidik, Sabtu 31 Mei 2014 dosen sebagai tenaga professional. Sertifikat Pendidik diberikan kepada guru atau dosen setelah melalui berbagai tahapan sertifikasi dan setelah dinyatakan lolos dari proses tersebut. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah. Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Tujuan sertifikasi sendiri sebenarnya adalah untuk kesejahteraan para tenaga pendidik profesional, karena jika sudah sejahtera, diharapkan guru bisa mengajar dengan profesional.

  Dari uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan Sertifikat Pendidik sebagai objek jaminan dalam perjanjian kredit adalah sebagai berikut : a. Karakteristik Sertifikat Pendidik ditinjau dari hukum jaminan.

b. Perlindungan hukum bagi bank bilamana debitor diberhentikan statusnya sebagai tenaga pendidik profesional.

2. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis karakteristik Sertifikat Pendidik ditinjau dari hukum jaminan.

  b. Untuk menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi bank selaku kreditor atas objek jaminan Sertifikat Pendidik bilamana debitor telah diberhentikan statusnya sebagai tenaga pendidik profesional.

3. Metode Penelitian

  3.1 Pendekatan Masalah

  Penelitian ini merupakan penelitian hukum, dengan metode pendekatan yang berdasar pada ketentuan perundang-undangan dengan memahami hierarki, dan Asas-asas dalam peraturan perundang-undangan

  (statute approach). Berupa antara lain BW, Undang-Undang Nomor 7

  Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan peraturan-peraturan lain yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.

  Selain menggunakan metode pendekatan perundang-undangan

  (statute approach), penelitian ini juga menggunakan metode pendekatan

  konseptual (conceptual approach). Dengan menggunakan pendekatan konseptual yaitu tidak hanya mengidentifikasi suatu permasalahan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada tetapi juga mengacu pada konsep hukum berdasarkan doktrin-doktrin dan pandangan-pandangan para sarjana yang berkembang pada jaminan kebendaan dalam lingkungan perbankan.

  3.2 Sumber Bahan Hukum

  Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan dan ketentuan- ketentuan di bidang hukum perbankan dan dalam aspek kredit dan jaminan, yaitu :

  • Burgerlijk Wetboek (BW);
  • Het Herzeine Indonesich Reglement Indonesia yang diperbarui (HIR/RIB);
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
  • Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan

  Dosen;

  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
  • Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/BI/2007 tentang

  Sistem Informasi Debitur;

  • Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang

  Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum;

  • Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Pebruari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit.

  Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang bersifat menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder terdiri atas pendapat para ahli tentang hukum jaminan yang ada dalam buku-buku, literature, karya ilmiah, catatan kuliah, berbagai media cetak, artikel- artikel di internet, dan jurnal hukum bisnis yang ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dibahas.

3.3 Prosedur Pengumpulan dan Analisa Bahan Hukum

  Setelah bahan hukum, baik primer maupun sekunder dikumpulkan, lalu diinventarisasikan, dikelompok-kelompokkan sesuai dengan masalah yang diteliti. Analisis bahan hukum dalam skripsi ini dilakukan dengan jalan menelaah sistematika perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas, dan juga dikaitkan dengan konsep hukum berdasarkan doktrin-doktrin dan pandangan-pandangan para sarjana sehingga akan diperoleh jawaban dari permasalahan yang dikemukakan yang dapat dipertanggungjawabkan.

4. Pertanggungjawaban Sistematika

  Penulisan skripsi ini diawali dengan penulisan BAB I, yaitu bab pendahuluan yang berisikan tentang uraian secara umum dan gambaran singkat keseluruhan dari isi skripsi ini yang terdiri dari latar belakang dan perumusan masalahnya. Selain itu diuraikan juga tentang tujuan penelitian, metode penelitian serta pertanggungjawaban sistematika penulisan yang dapat dijadikan dasar bagi pemahaman dan pembahasan dalam bab-bab selanjutnya. Dalam bab ini terdiri dari 4 (empat) sub bab yaitu, Latar Belakang dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian yang meliputi Pendekatan Masalah, Sumber Bahan Hukum, Prosedur Pengumpulan dan Analisa Bahan Hukum dan sub bab yang terkahir adalah Sistematika Penulisan.

  BAB II akan membahas tentang Sertifikat pendidik sebagai benda ditinjau dari hukum jaminan yang kemudian untuk pembahasannya dibagi menjadi 2 (dua) bahasan, yaitu : pembahasan pertama mengenai penggolongan sertifikat pendidik berdasarkan macam-macam surat menurut KUHD dan pembahasan kedua karakteristik sertifikat pendidik sebagai objek jaminan.

  BAB III membahas tentang bentuk perlindungan bagi bank atas objek jaminan Sertifikat Pendidik. Untuk menjelaskan bahsan tersebut, dilakukan 2 (dua) pengelompokan pembahasan. Pembahasan pertama membahas tentang perlindungan preventif bagi bank sebelum pemberian kredit dan pembahasan kedua mengenai perlindungan represif bagi bank ketika debitor diberhentikan statusnya sebagai tenaga pendidik profesional dan terjadi gagal bayar.

  BAB IV adalah penutup yang merupakan akhir dari skripsi yang di dalamnya terdiri dari kesimpulan yang menguraikan inti dari hasil pembahasan terhadap permasalahan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya. Selain itu, dalam bab ini dikemukakan juga beberapa saran yang dirasa perlu untuk menambah wawasan tentang hukum jaminan khususnya perkembangan pada objek jaminan perbankan.