BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan - FEBRIANA NURUL S BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan Penelitian mengenai kajian implikatur pernah diteliti oleh Bunga Maratus Sholikhah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto, pada tahun 2013. Penelitian ini berjudul Kajian Implikatur pada Tuturan Penyiar Radio Paduka 100,6 FM Purwokerto Januari 2013, yang bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk

  implikatur yang terkandung dalam tuturan penyiar yang dapat diwujudkan dengan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.

  Penelitian yang dilakukan oleh Bunga Maratus Sholikhah merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitiannya adalah penyiar di radio Paduka 100,6 FM Purwokerto, datanya berupa tuturan penyiar yang mengandung implikatur. Teknik pengumpulan data menggunakan metode simak, yang diawali dengan teknik sadap, dilanjutkan dengan teknik simak bebas libat cakap (SBLC), teknik rekam dan teknik catat. Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan yaitu metode yang alat penentunya di luar terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (language) yang bersangkutan. Adapun teknik yang digunakan berupa metode padan pragmatis. Metode padan pragmatis digunakan untuk menganalisis maksud tuturan yang terkandung pada tuturan penyiar. Metode penyajian hasil analisis data menggunakan penyajian informal, yaitu perumusan dengan kata-kata biasa.

  Penelitian relevan yang selanjutnya ialah penelitian yang dilakukan oleh Aeni Nur Albina mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang penelitiannya berjudul Analisis Implikatur pada Tuturan Kata Bijak Mario Teguh

  

dalam Acara Talk Show Mario Teguh Golden Ways di Metro TV Januari 2015.

  Penelitian yang dilakukan oleh Aeni Nur Albina bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk implikatur yang terkandung pada tuturan kata bijak Mario Teguh di dalam acara talk show mario teguh golden waysyang ditafsirkan melalui konteks tuturan.

  Penelitian di atas merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian di atas berupa tuturan kata bijak Mario Teguh sedangkan sumber datanya adalah tuturan Mario Teguh dalam acara talk show Mario Teguh Golden Ways di Metro TV pada tanggal 4, 11, 18, dan 25 Januari 2015. Pada penelitian di atas, peneliti mengambil data pada bulan tersebut karena tayangannnya banyak mengandung implikatur. Pengumpulan data menggunakan metode simak yang menerapkan teknik dasar berupa teknik sadap dan dilanjutkan dengan teknik simak bebas libat cakap (SBLC), teknik rekam, dan teknik catat. Tahap analisis data menggunakan metode padan yang diterapkan melalui dua teknik, yaitu Teknik Dasar dan Teknik lanjutan.

  Teknik dasar yang digunakan adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP) daya pilah pragmatis. Teknik lanjutan berupa teknik Hubung Banding Samakan (HBS).

  Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode penyajian informal karena perumusan menggunakan kata-kata biasa.

  Berdasarkan kedua hasil penelitiandi atas, maka penelitian mengenai kajian implikatur memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan antara kedua penelitian di atas dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan implikatur sebagai kajiannya. Implikatur dalam penelitian ini berupa implikatur konvensional dan implikatur percakapan.Perbedaan dari penelitian ini terletak pada objek yang diteliti, dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Bunga Maratus Sholikhah menggunakan objek penelitian pada tuturan penyiar radio paduka 100,6 FM Purwokerto Januari 2013, Aeni Nur Albina yang memilih tuturan kata bijak Mario Teguh dalam acara talk show Mario Teguh golden ways di Metro TV Januari 2015 sebagai objek penelitian, sedangkan dalam penelitian ini objek yang digunakan adalah tuturan pembawa acara dan narasumber dalam acara

  “Mata Najwa” di Metro TV. Dalam penelitian ini, akan dijabarkan menganai bentuk-bentuk implikatur yang meliputi implikatur konvensional dan implikatur percakapan yang terdapat pada tuturan pembawa acara dan narasumber dalam acara Mata Najwa serta dikaitkan dengan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. Dengan adanya perbedaan tersebut,maka penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

B. Bahasa 1. Pengertian Bahasa

  Menurut Alwi (2007:88) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Sedangkan menurut Chaer dan Agustina (2004:11) bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Lubis (1991:1) mendefinisikan bahwa bahasa adalah alat untuk menyampaikan pikiran, perasaan seseorang kepada orang lain.

  Dardjowidjojo (2012:16) mengemukakan bahwa bahasa merupakan suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antarasesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi serta menyampaikan ide, gagasan, maupun perasaan kepada orang lain.

2. Fungsi Bahasa

  Secara tradisional jika ditanyakan apakah fungsi bahasa itu, akan dijawab bahwa bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, dan perasaan. Fishman dalam Chaer dan Agustina (2004:15) membagi fungsi bahasa menjadi lima bagian, yaitu fungsi bahasa dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.

  Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya, penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturknnya. Penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi tersebut pada waktu menyampaikan tuturannya. Dalam halini pihak pendengar dapat menduga apakah penutur sedang sedih, marah, atau bahagia.Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, bahasa berfungsi direktif yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Dalam hal ini bahasa tidak hanya membuat pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan keinginan pembicara.

  Dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar, bahasa berfungsi fatik

  

atau interpersonal yaitu fungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan

  perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial. Ungkapan-ugkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa, pamit, membicarakan suasana, atau menanyakan keadaan keluarga. Dilihat dari segi topik ujaran, bahasa berfungsi referensial. Dalam hal ini bahasa berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya.

  Dilihat dari segi kode yang digunakan, bahasa berfungsi metalingual atau yaitu bahasa digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Dilihat

  metalinguistik

  dari segi amanat, bahasa berfungsi imajinatif. Fungsi imajinatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita pendek, lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur, maupun pendengarnya. Sedangkan Keraf (2004: 3-4) membagi fungsi bahasa menjadiempat macam. Keempat fungsi bahasa itu adalah (1) alat untuk menyatakan ekspresi diri, (2) alat komunikasi,(3) alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, (4) alat untuk mengadakan kontrol sosial.

C. Pragmatik

  Ada beberapa pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh para ahli. Yule (2006:5) mengemukakan bahwa pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik danpemakai bentuk-bentuk itu. Wijana (1996:1) mengemukakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi. Cruse dalam Cummings (2007:2) berpendapat bahwa pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan. Dalam hal ini pragmatik muncul secara alamiah dan tergantung pada maksud-maksud yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut. Berdasarkan pengertian pragmatik dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari bahasa secara eksternal dan maksud-maksud yang ingin disampaiakan muncul secara alamiah tergantung pada konteks tuturan yang digunakan.

1. Aspek-aspek Situasi Tutur

  Menurut Sperber dan Wilson dalam Wijana (1996:10) sebuah tuturan tidak senantiasa merupakan representasi langsung elemen makna unsur-unsurnya.

  Sehubungan dengan bermacam-macamnya maksud yang mungkin dikomunikasikan oleh penuturan sebuah tuturan, ada sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek itu adalah: a.

   Penuturdan Lawan Tutur

  Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan lain sebagainya.

b. Konteks Tuturan

  Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks seting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.

  c. Tujuan Tuturan

  Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal

  

oriented activities ). Bentuk-bentuk tuturan Pagi, Selamat pagi, dan Mat Pagi dapat

  digunakan untuk menyatakan maksud yang sama, yakni menyapa lawan bicara (teman, guru, kolega, dan sebagainya) yang dijumpai pada pagi hari. Selain itu,

  

Selamat pagi dengan berbagai variasinya bila diucapkan dengan nada tertentu, dan

  situasi yang berbeda-beda dapat pula digunakan untuk mengejek guru yang terlambat masuk kelas, atau kolega (sahabat) yang terlambat datang ke pertemuan, dsb.

  d. Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Aktivitas

  Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas apabila gramatikal menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dsb. Pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini pragmatik menangani bahasa dalamtingkatannya yang lebih kongkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang kongkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.

  e. Tuturan sebagai Produk Tindak Verbal

  Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai contoh kalimat apakah rambutmu tidak terlalu panjang? dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini dapat ditegaskan ada perbedaan mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang didefinisikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.

2. Implikatur

  Grice dalam Wijana (1996:37-38) melalui artikelnya yang berjudul Logicand

  

Conversation mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan

  proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Karena implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan kedua proposisi itubukan merupakan konsekuensi mutlak (necessary consequence). Untuk jelasnya dapat diperhatikan wacana (A) dan (B) berikut:

  (A) + Ali sekarang memelihara kucing

  • Hati-hati menyimpan daging (B) + Ani dimana, Tom? - Tati di rumah Wawan.

  Tuturan (-) dalam (A) bukan merupakan bagian dari tuturan (+). Tuturan (+) muncul akibat inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang kucing dengan segala sifatnya. Adapun salah satu sifatnya adalah senang makan daging. Demikian pula, tuturan (-) dalam (B) bukan merupakan bagian dari tuturan (+). Tuturan (-) muncul akibat interferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang Ani. Ani adalah teman akrab Tati. Kalau Tati di sana, tentu Ani ada pula di sana.

  Tuturan (-) dalam (A) dan (B) bukan merupakan bagian dari tuturan (+) karena masih dimungkinkan membuat (C) dan (D) seperti terbukti di bawah ini: (C) Walaupun Ali sekarang memelihara kucing, tetapi kita tidak perlu hati- hati menyimpan daging. (D) Walaupun Tati ada di sana, Ani tidak ada di sana. Mungkinnya (C) dan (D) berdiri sebagai kalimat yang gramatikal atau berterima karena secara semantis tuturan (-) dan (+) dalam (A) dan (B) tidak ada keterkaitan.

  Keberterimaan (C) dan (D) bila dihubungkan dengan tuturan (+) dalam (A) dan (B) mungkin karena kucing Ali selalu ada di dalam rumah, atau Ali sangat rajin memberi makan kucingnya; Hubungannya Ani dan Tati tidak seerat dulu lagi, dan sebagainya.

  Implikatur merupakan makna yang terkandung dalam sebuah tuturan (Kushartanti dalam Wachyudi, 2016:153). Menurut Yule (2006:61) Implikatur merupakan informasi yang memiliki makna lebih banyak daripada sekedar kata-kata.

  Seperti pada acara Mata Najwa kata-kata yang diucapkan mempunyai makna yang lebih luas daripada yang diucapkan karenadapat memberikan pengetahuan yang lebih luas. Makna yang terkandung dalam suatu ujaran merupakan makna tambahan yang disampaikan oleh penutur dengan harapan pendengar mampu mengetahui maksud yang tersirat dalam konteks berdasarkan pada apa yang sudah diketahui. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi. Maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi tersebut dapat bertujuan untuk menginformasikan, menyindir, menegaskan, menyarankan, menolak, dan menghimbau. Grice dalam Mulyana (2005:11) berpendapat bahwa implikatur ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Dari beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian implikatur, dapat disimpulkan bahwa implikatur merupakan sebuah ruang lingkup dalam pragmatik yang mempelajari makna dalam suatu tuturan yang diungkapkan secara tersirat atau dengan kata lain makna yang ingin diungkapkan dari sebuah tuturan tidak diungkapkan secara langsung melainkan melalui tuturan yang mempunyai maksud lain.

a. Implikatur Konvensional (Convensional Implicature)

  Implikatur konvensional bersifat nontemporer. Artinya, makna atau pengertian tentang sesuatu bersifat tahan lama. Suatu laksem yang terdapat dalam suatu bentuk ujaran, dapat dikenali implikasinya karena maknanya yang tahan lama dan sudah diketahui secara umum (Mulyana, 2005:12). Yule (2006:78) berpendapat bahwa implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata itu digunakan. Implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan dan tidak bergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya.

  Lyons dalam Mulyana (2005:12) mengatakan bahwa implikatur konvensional adalah pengertian yang bersifat umum dan konvensional. Semua orang umumnya sudah mengetahui tentang maksud atau pengertian sesuatu hal tertentu. Seperti pada contoh di bawah ini:

  (A) Muhammad Ali adalah petarung yang indah. (B) Lestari putri Solo, jadi ia luwes.

  Kata petarung pada (A) berarti „atlit tinju‟. Pemakaian ini dipastikan benar, karena secara umum (konvensional), orang sudah mengetahui bahwa Muhammad Ali adalah atlit tinju yang legendaris. Jadi, dalam konteks wacana tersebut, orang tidak akan memahami kata petarung dengan pengertian yang lain. Demikian juga implikasi umum yang dapat diambil antara putri Solo dengan luwes pada contoh (B). Selama ini kota Solo selalu mendapat predikat sebagai kota kebudayaan yang penuh dengan kehalusan dan keluwesan putri-putrinya. Implikasi yang muncul adalah bahwa perempuan atau wanita Solo umumnya dikenal luwes penampilannya. Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa implikatur konvensional merupakan pengertian tentang sesuatu hal yang bersifat umum dan diketahui kebenarannya serta tidak didasarkan pada prinsip kerjasama maupun prinsip kesopanan.

b. Implikatur Percakapan (Conversation Implicature)

  Apabila implikatur konvensional bersifat nontemporer (maksud tentang sesuatu bersifat tahan lama), maka implikatur percakapan bersifat temporer. Temporer diartikan bahwa terjadinya implikatur saat berlangsungnya tindak percakapan. Selain itu implikatur juga bersifat nonkonvensional yaitu sesuatu yang diimplikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan. Para ahli linguis mendefinisikan beberapa pengertian implikatur percakapan. Gumpers dalam Lubis (1991:68) menyatakan bahwa implikatur percakapan merupakan proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Dengan itu pendengar dalam percakapan mampumenduga kemauan pembicaradan pendengar dapat memberikan responnya. Levinson dalam Mulyana (2005:13) mengatakan bahwa implikatur percakapan hanya muncul dalam suatu tindak percakapan (speech act). Oleh karenanya, implikatur tersebut bersifat temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan), dan nonkonvensional (sesuatu yang diimplikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan).

  Yule (2006:69) mengatakan bahwa asumsi dasar pecakapan adalah jika tidak ditunjukkan sebaliknya, bahwa peserta-pesertanya mengikuti prinsip kerja sama dan maksim-maksim. Dalam contoh di bawah ini, mungkin Dexter terlihat melanggar persyaratan-persyaratan maksim kuantitas.

  Charlene : “Saya harap kamu membawakan roti dan keju.”

  Dexter : “Ah, saya bawakan roti.”

  Setelah mendengar jawaban Dexter di atas, Charlene pasti berasumsi bahwa Dexter melakukan kerja sama dan tidak sadar sepenuhnya tentangmaksim kuantitas, karena dia tidak menyebutkan keju itu. Andaikan ia membawakan keju, dia akan mengatakannya, karena ia ingin memenuhi maksim kuantitas. Dexter mestinya bermaksud supaya Charlene menyimpulkan bahwa apa yang tidak dia sebutkan tidak dibawa.Potts (dalam Laharomi, 2013:52) menyatakan bahwa implikatur percakapan dapat sangat sensitif terhadap hal yang tidak tampak dalam konteks. Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa implikatur percakapan merupakan suatu proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks serta hanya terjadi pada saat percakapan.

1) Prinsip Kerja Sama

  Kegiatan bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila para peserta pertuturan semuanya terlibat aktif di dalam proses bertutur tersebut. Apabila salah satu atau lebih banyak peserta tutur yang tidak aktif dalam kegiatan bertutur maka dapat dipastikan pertuturan tersebut tidak dapat berjalan lancar. Seperti yang diungkapkan oleh Allan (dalam Rahardi, 2005:52) agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan baik dan lancar, mereka haruslah dapat saling bekerja sama. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur itu, salah satunya dapat dilakukan dengan berperilaku sopan kepada pihak lain.

  Supaya pesan dapat tersampaikan dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip kerja sama yang disampaikan oleh Grice dalam Rahardi (2005:53). Prinsip-prinsip tersebut dijelaskan secara rinci di bawah ini:

a) Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)

  Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerja sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Seperti pada contoh berikut:

  (A) “Biarlahkedua pemuas nafsu itu habis berkasih-kasihan!” (B)

  “Biarlah kedua pemuas nafsu yang sedang sama-sama mabuk cinta dan penuh nafsu birahi itu habis berkasih- kasihan!”

  Informasi Indeksal: Tuturan A dan B dituturkan oleh seorang pengelola rumah kos mahasiswa kepada anaknya yang sedang jengkel karena perilaku para penghuni kos yang tidak wajar dan bahkan melanggar aturan yang ada.

  (C) “Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi!”

  (D) “Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi!” Informasi Indeksal: Tuturan C dan D dituturkan oleh seorang pengagum Muhammad Ali kepada rekannya yang juga mengagumi petinju legendaris itu. Tuturan itu dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat salah satu acara tinju di televisi.

  Tuturan A dan C dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti ditunjukkan pada tuturan B dan D justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada B dan D di atas tidak mendukung atau bahkan melanggar prinsip kerja sama Grice.

b) Maksim Kualitas (Maxim of Quality)

  Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur.

  Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan A dan B di bawah ini dapat memperjelas pernyataan di atas: (A) “Silahkan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!” (B)

  “Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti!” Informasi Indeksal: Tuturan Adan B dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang berusaha melakukan penyontekan.

  Tuturan B jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan A dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan seuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilahkan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.

c) Maksim Relevansi (Maxim of Relevance)

  Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antarapenuturdan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Seperti pada tuturan di bawah ini:

  Sang Hyang Tunggal : “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hati!”

  Semar : “Hamba bersedia, ya Dewa.”

  Informasi Indeksal: Tuturan ini dituturkan oleh Sang Hyang Tunggal kepada tokoh Semar dalam sebuah adegan pewayangan.

  Cuplikan pertuturan di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Dikatakan demikian, karena apabila dicermati secara lebih mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh Semar, yakni “Hamba bersedia ya, Dewa” benar- benar merupakantanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal yang dituturkan sebelumnya, yakni “Namun, sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam

  

hati.” Dengan kata lain, tuturan itu patuh dengan maksim relevansi dalam Prinsip

  Kerja Sama Grice. Untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menunjukkan kesantunan tuturan, ketentuan yang ada pada maksim itu seringkali tidak dipenuhi oleh penutur. Berkenaan dengan hal ini, tuturan di bawah ini dapat pula menjadi contoh.

  Direktur : “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”

  Sekretaris : “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu. Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang direktur kepada sekretarisnya pada saat mereka bersama- sama bekerja di sebuah ruang kerja direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.

  Di dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang Sekretaris, yakni “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu” tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperint ahkan sang Direktur, yakni “Bawa sini semua berkasnya

  

akan saya tanda tangani!” Dengan demikian tuturan di atas dapat dipakai sebagai

  salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerja sama tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan, khususnya, apabila tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud- maksud tertentu yang khusus sifatnya.

d) Maksim Pelaksanaan (Maxim of Manner)

  Maksim pelaksanaan ini mengharuskan pesera pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal- hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidakmematuhi maksim pelaksanaan. Berkenaan dengan itu,tuturan berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi.

  (+) “Ayo, cepat dibuka!” (-)

  “Sebentar dulu, masih dingin.” Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang kakak kepada adik perempuannya.

  Cuplikan tuturandi atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi tinggi.

  Tuturan si penutur (+) yang berbunyi “Ayo, cepat dibuka!” sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Kata

  

dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan sangat

  tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Dapat dikatakan demikian, karena kataitu dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam.

  Demikian pula tuturan yang disampaikansi mitra tutur (- ), yakni “Sebentar dulu,

  

masih dingin ” mengandung kadar keraksaan cukup tinggi. Kata dingin pada tuturan

  itu dapat mendatangkan banyak kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang masih dingin itu. Tuturan-tuturan demikian itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam prinsip kerja sama Grice.

  Pada kegiatan bertutur yang sesungguhnya pada masyarakat bahasa Indonesia, ketidakjelasan, kekaburan, dan ketidaklangsungan merupakan hal yang wajar dan sangat lazim terjadi. Sebagai contoh, di dalam masyarakat tutur dan kebudayaan Jawa, ciri-ciri bertutur demikian hampir selalu dapat ditemukan dalam percakapan keseharian. Pada masyarakat tutur ini, justru ketidaklangsungan merupakan salah satu kriteria kesantunan seseorang dalam bertutur. Tuturan di bawah ini dapat digunakan sebagai ilustrasi untuk memperjelas hal ini.

  Anak : “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.”

  Ibu : “Itu sudah saya siapkan di laci meja.”

  Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang anak desa yang masih mahasiswa kepada Ibunya pada saat ia meminta uang saku untuk hidup di sebuah rumah kos di kota. Tuturan itu terjadi pada waktu mereka berdua berada di dapur sedang memasak bersama.

  Daricuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan sang anak, yakni yang berbunyi “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.” relatif kabur maksudnya.

  Maksud yang sebenarnya dari tuturan si anak itu, bukan terutama ingin memberitahu kepada sang Ibu bahwa ia akan segera kembali ke kota, melainkan lebih dari itu, yakni bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan apakah sang ibu sudah siap dengan sejumlah uang yang sudah diminta sebelumnya. Seperti telah disampaikan terdahulu, di dalam masyarakat tutur Jawa, justru kesantunan berbahasa banyak dimarkahi oleh ketidakjelasan, ketidaklangsungan, kekaburan, dan semacamnya. Orang yang terlibat di dalam pertuturan diharapkan dapat membaca maksud tersembunyi dari si mitra tutur. Dengan perkataan lain, peserta tutur di dalam sebuah pertuturan harus dapat membaca

  “sasmita” atau maksud yang terselubung dari si penutur. Dengan demikian, jelas bahwa dalam komunikasi yang sebenarnya, maksim pelaksanaan pada Prinsip Kerja Sama Grice itu seringkali tidak dipatuhi atau bahkan mungkin harus dilanggar.

2) Prinsip Kesantunan

  Dalam bertutur, selain diperlukan prinsip kerja sama yang dikenal dengan Prinsip Kerja Sama Grice juga diperlukan prinsip kesantunan yang dikenal dengan Prinsip Kesantunan Leech. Prinsip kesantunan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri dan orang lain sebagai lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Menurut Leech dalam Rahardi (2005:59), prinsip kesantunan terdiri dari 6 maksim yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermaanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan, dan makasim kesimpatiin.

a) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

  Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikapdengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur. Demikian pula perasaan sakit hati sebagai akibat dari perlakuan yang tidak menguntungkan pihak lain akan dapat diminimalkan apabila maksim kebijaksanaan ini dipegang teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan bertutur.

  Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik. Sebagai pemerjelas atas pelaksnaan maksim kebijaksanaan ini dalam komunikasi yang sesungguhnya dapat dilihat pada contoh tuturan di bawah ini:

  Tuan Rumah : “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami sudah mendahului.” Tamu :

  “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.” Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda. Di dalam tuturan di atas tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang Tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu dapat ditemukan keluarga-keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang- orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya. Bahkan, seringkali ditemukan bahwa minuman atau makanan yang disajikan kepada sang tamu diupayakan sedemikian rupa sehingga layak diterima dan dinikmati oleh sang tamu. Orang dalam masyarakat tutur Jawa mengatakan hal demikian itu dengan istilah “dinak-nakke” yang artinya adalah „diada-adakan‟. Dalam masyarakat tutur Jawa sikap yang demikian sangat sering muncul dan dengan mudah dapat ditemukan dalam pertuturan. Tuturan berikut dapat dicermati dan dipertimbangkan untuk memperjelas hal ini:

  Ibu : “Ayo,dimakan bakminya! Di dalam masih banyak, kok.”

  Rekan Ibu : “Wah, segar sekali. Siapa yang memasak ini tadi, Bu?”

  Informasi Indeksal : Ditutukan oleh seorang ibu kepada teman dekatnya pada saat ia berkunjung ke rumahnya.

  Pemaksimalan keuntungan bagi pihak mitra tutur tampak sekali pada tuturan sang ibu, yakni Ayo, dimakan bakminya! Di dalam masih banyak, kok. Tuturan itu disampaikan kepada sang tamu sekalipun sebenarnya satu-satunya hidangan yang tersedia adalah apa yang disajikan kepada si tamu tersebut. Sekalipun, sebenarnya, di dalam rumah jatah untuk keluarganya sendiri sebanarnya sudah tidak ada, namun sang ibu itu berpura-pura mengatakan bahwa di dalam rumah masih tersedia hidangan lain dalam jumlah yang banyak. Tuturan itu disampaikan dengan maksud agar sang tamu merasa bebas dan dengan senang hati menikmati hidangan yang disajikan itu tanpa ada perasaan tidak enak sedikitpun.

  b) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

  Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapt menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tuturan di bawah ini dapat memperjelas pernyataan ini.

  Anak kos A : “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok yang kotor.

  Anak kos B : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok.” Informasi Indeksal: Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos pada sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang satunya.

  Dari tututan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B. Di dalammasyarakat tutur Jawa, hal demikian itu sangat sering terjadi karena merupakan salah satu wujud nyata dari sebuah kerja sama.

  c) Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)

  Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agarpara peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian, karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Karena merupakan tindakan tidak baik, perbuatan itu harus dihindari dalam pergaulan sesungguhnya. Untuk memperjelas hal itu, perhatikan tutuan di bawah:

  Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas business English.”

  Dosen B : “Oya, tadiaku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”

  Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang dosen kepadatemannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.

  Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen A. Hal itu berbeda dengan cuplikan percakapan pada tuturan berikut ini:

  Bapak A : “Mas, aku jadi beli mobil Daihatsu Charade tahun 1982 tadi pagi.”

  Bapak B : “Profisiat ya, kapan gerobakmu mau dibawa ke sini?” Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga berprofesi sebagai dosen ketika mereka berdua sedang berjalan bersama menuju ruang minum.

  A (mahasiswi) : “Maaf, aku pinjam pekerjaan rumahnya. Aku tidak bisa mengerjakan tugas itu sendiri.” B (mahasiswa) :

  “Tolol... Ini, cepat kembalikan!” Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya ketika mereka baru saja memarkir motor mereka masing-masing di tempat fakultas mereka.

d) Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)

  Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakatbahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Contoh tuturan 1 dan 2 berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini: Tuturan 1

  Ibu A : “Nanti Ibu yang memberikan sambutan ya dalam rapatDasa Wisma!”

  Ibu B : “Waduh....nanti grogi aku.”

  Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang Ibu anggota Dasa Wisma kepada temannya sasama anggota perkumpulan tersebut ketika mereka bersama-sama berangkat ke tempat pertemuan.

  Tuturan 2 Sekretaris A : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya! Anda yang memimpin!” Sekretaris B :

  “Ya, Mbak. Tapi, saya jelek, lho.” Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di rumah kerja mereka.

e) Maksim Permufakatan (Agrement Maxim)

  Maksim permufakatan sering kali disebut dengan maksim kecocokan (Wijaya,1996:59). Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tuturdalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Di dalam masyarakat tutur Jawa, orang tidak diperbolehkan memenggal atau bahkan membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak lain. Hal demikian tampak sangat jelas, terutama apabila umur, jabatan, dan status sosial penutur berbeda dengansi mitra tutur. Pada jaman kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa, orang berjenis kelamin wanita tidak diperkenankan menentang sesuatu yang dikatakan dan diperintahkan sang pria. Kalau kita mencermati orang bertutur pada jaman sekarang ini, seringkali didapatkan bahwa dalam memperhatikan dan menanggapi penutur,si mitra tuur menggunakan anggukan-anggukan tanda setuju, acungan jempol tanda setuju, wajah tanpa kerutan pada dahi tanda setuju, dan beberapa hal lain yang sifatnya paralinguistik kinesik untuk menyatakan maksud tertentu. Tuturan 1 dan 2 berikut ini dapat mengilustrasikan penyataan ini. Tuturan 1

  Guru A : “Ruangannya gelap ya, Bu!”

  Guru B : “He..eh! Saklarnya mana, ya?”

  Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang guru kepada rekannya yang juga seorang guru pada saat mereka berada di ruang guru.

  Tuturan 2 Noni :

  “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!” Yuyun :

  “Boleh. Saya tunggudi Bambu Resto.” Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruang kelas.

f) Maksim Kesimpatian (Sympathy Maxim)

  Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati anatara pihak yang stu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Masyarakat tutur Indonesia, sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap orang lain ini di dalam komunikasi kesehariannya. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat. Kesimpatisan terhadap pihak lain sering ditunjukkan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan dan sebagainya. Contoh tuturan A dan tuturan B berikut perlu dicermati dan dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini. Tuturan A

  Karyasiswa A : “Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.” Karyasiswa B

  : “Wah. Proficiat ya! Kapan pesta?” Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang karyasiswa kepada karyasiswa yang lain pada saat mereka berada di ruang perpustakaan kampus.

  Tuturan B Ani :

  “Tut, nenekku meninggal.” Tuti : “Innalillahiwainailaihi roji‟un. Ikut berduka cita.” Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka.

D. Mata Najwa

  Mata Najwa adalah program talkshow unggulan yang disiarkan di Metro TV

  yang dipandu oleh jurnalis senior, Najwa Shihab. Talkshow ini ditayangkan setiap hari Rabu pukul 20:05 hingga 21:30 WIB. Mata Najwa merupakan acara talkshow yang menghadirkan topik-topik yang menarik. Selain topik yang dihadirkan selalu menarik, narasumber yang dihadirkanpun merupakan narasumber kelas satu. Sejumlah tamu istimewa telah hadir dan berbicara di Mata Najwa, diantaranya Bacharuddin Jusuf Habibie, Megawati Soekarno Putri, Boediono, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Joko Widodo serta tokoh-tokoh penting lainnya.

  Program Mata Najwa mulai ditayangkan di layar kaca televisi pada tahun 2009. Lahirnya program ini pada tanggal 25 November 2009 dimulai ketika Najwa Shihab selaku tuan rumah Mata Najwa baru pulang dari Australia untuk menyelesaikan program pendidikan S2nya di jurusan politik dan Hukum. Sebenarnya sebelum Najwa Shihab berangkat ke Australia pihak Metro TV sudah meminta Najwa Shihab untuk memikirkan program baru, program sendiri, tetapi baru terlaksana setelah Najwa Shihab menyelesaikan studi S2nya di Australia. Program ini dinamakan

  

Mata Najwa karena diharapkan bisa menjadi simbol. Jadi melihat bukan hanya yang

  tampak jelas dengan mata tapi juga dengan hati. Oleh karena itu, topik-topik yang diangkat seringkali topik yang diharapkan bisa menggetarkan hati. Kata mata juga diibaratkan sebagai jendela. Melalui program Mata Najwa diharapkan pemirsa bisa melihat hal-hal lain yang selama ini tidak bisa mereka lihat.

E. Kerangka Berpikir

  Skripsi berjudul “Kajian Implikatur pada Tuturan Pembawa Acara dan Narasumber dalam Acara “Mata Najwa” di Metro TV Februari-Mei 2017” menggunakan teori bahasa, yang terdiri dari pengertian bahasa dan fungsi bahasa.