Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) D 762010701 BAB V

BAB V
GERAKAN AGAMA DI TENGAH KONFLIK SOSIAL

Setelah menguraikan realitas Poso dan Gereja Kristen
Sulawesi Tengah (GKST) sebagai latar belakang historis, maka
bab ini terdiri dari deskripsi dan analisis tentang masyarakat
desa Kele’i. Pada bagian pertama ada tiga pokok perhatian
yaitu sejarah desa Kele’i, keterlibatannya dalam konflik Poso,
dan masalah-masalah yang muncul di dalam masyarakat pasca
konflik Poso. Dengan perspektif historis ini maka bagian kedua
ditampilkan, yaitu kemunculan gerakan Jemaat Eli Salom
Kele’i. Pokok perhatian diarahkan pada sejarah munculnya
gerakan keagamaan di Kele’i dan kepercayaan fundamental
serta nilai-nilai yang menjadi komponen dasar tindakan sosial
mereka.
1. Kele’i: Masyarakat Pemberani yang Bergolak
1.1. Gambaran Umum Desa Kele’i
Jemaat Eli Salom terdapat di desa Kele’i kecamatan
Pamona Timur Kabupaten Poso. Menurut pengetahuan umum
penduduk setempat, penduduk desa Kele’i berasal dari sebuah
wilayah pemukiman yang bernama Sepalemba Ondae. Wilayah

pemukiman ini terdiri dari dua kawasan yaitu Onda’e ri
wawonya dan Onda’e ri aranya. Yang disebut pertama
menunjuk pada kawasan pemukiman di pegunungan,
sedangkan yang terakhir menunjuk pada kawasan pemukiman
lembah Rato nTjoka. Onda’e ri wawonya terdiri dari sejumlah
klan yang masing-masing mendiami satu kawasan menurut
keturunannya, yaitu
Bomba, Wawondoda, Mara’ayo,

145

146 Redefinisi Tindakan Sosial…

Morengku, Tampadede, Paembo, Palawanga, Petirolemba,
Pombaroini, Pantayo, Bategencu, dan Sandele.1
Pada pertengahan tahun 1893 terjadi ketegangan
hubungan antara orang-orang-orang Onda’e di satu pihak
dengan orang-orang Pebato dan Napu di lain pihak. Orangorang Onda’e adalah salah satu sub suku Pamona yang
mendiami dataran sedang mulai dari pantai timur danau Poso
sampai dengan lembah Walati yang berbatasan dengan

wilayah Mori Atas. Orang-orang Pebato adalah juga salah satu
sub suku Pamona yang mendiami dataran rendah mulai dari
sebelah barat aliran sungai Poso hingga ke teluk Tomini.
Sedangkan orang-orang Napu adalah kumpulan suku-suku
Pekurehua yang mendiami dataran tinggi di sebelah barat
daya danau Poso. Sampai dengan akhir tahun tersebut
hubungan makin meruncing karena orang-orang Napu turun
dari dataran tinggi dan memasuki wilayah perladangan di
Onda’e. Akhirnya terjadilah perang antara orang-orang Onda’e
dengan orang-orang Napu di muara sungai Poso yang
merupakan daerah orang-orang Pebato.2 Perang itu
menimbulkan banyak korban jiwa di kedua pihak. Perang
berakhir melalui perjanjian perdamaian di Peladia pada tahun
1906 yang dimediasi oleh seorang tokoh masyarakat Pamona
bernama Magido.3 Akan tetapi sesudah itu orang-orang Onda’e
belum mendapatkan keadaan yang aman. Mereka tetap
terancam oleh dua kerajaan Islam yaitu kerakaan Sigi di utara
dan kerajaan Luwu di selatan. Daerah Onda’e menjadi rebutan
dari kedua kerajaan ini karena letaknya yang strategis di tepi


1

Rantelemba Sipatu, Fenomena di Desa Kele’i (Palu: Untuk Kalangan Sendiri,

2008), 6.
2 J. Tanggerahi, “Albertus Christian Kruyt dan Pelayanannya di Tana Poso”
dalam Majelis Sinode GKST, Wajah GKST (Tentena: Panitia Perayaan 100 tahun Injil
masuk Tana Poso, 1992), 6.
3
M. Tara’u, Rekonsiliasi di Lamongi. Ceramah tertulis di desa
Buyumpondoli, Mei 2010.

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 147

Danau Poso di tengah pulau Sulawesi. Siapa yang menguasai
Onda’e berarti memiliki kemungkinan untuk menyerang
kerajaan saingannya. Dengan demikian Onda’e menjadi
rebutan antara kerajaan Sigi dan Kerajaan Luwu atas alasan
politis.
Menyadari posisinya yang seperti itu, orang-orang

Onda’e memperkuat pertahanan mereka dengan membangun
koalisi antara klan dan membuat pemukiman bersama yang
berkubu. Pada penghujung abad kesembilan belas klan-klan
Onda’e tersebut di atas mencari satu wilayah pemukiman
bersama di sekitar sungai Kalakia yang bernama Kambera. Di
sana mereka membangun pemukiman dan benteng
pertahanan bersama. Selama beberapa tahun keadaan cukup
aman karena Pemerintah Kolonial Belanda sudah mulai
mengawasi dan mengendalikan kekuasaan kedua kerajaan
tersebut di atas. Akan tetapi pemukiman di Kambera ini
kemudian dirasakan terlalu sempit untuk berladang, sehingga
mereka mencari daerah pemukiman baru. Pada tahun 1906
mereka menemukan sebuah dataran yang luas di daerah
sekitar aliran sungai Wimbi. Dataran ini memiliki sumber air
yang cukup dan dikelilingi oleh bukit-bukit batu sehingga
cocok untuk berladang dan menjadi kubu pertahanan.Tempat
inilah yang sekarang disebut sebagai desa Kele’i.4 Untuk
mengenang sejarah ini, di depan kantor desa Kele’i dibangun
sebuah tugu atau monumen yang bertuliskan nama-nama klan
yang bersepakat untuk hidup bersama di desa tersebut.

Monumen ini mengingatkan seluruh warga desa Kele’i
bagaimana mereka bersatu menghadapi ancaman yang datang
dari luar sambil mengusahakan kesejahteraan melalui
pertanian. Latar belakang sejarah ini turut membentuk
karakter orang-orang Kele’i yang pemberani, pantang mundur
4

Sipatu, Fenomena di Desa…., 7.

148 Redefinisi Tindakan Sosial…

dan setia kawan ketika menghadapi bahaya dan ancaman dari
luar.5
Secara administratif desa Kele’i masuk dalam wilayah
pemerintahan kecamatan Pamona Timur yang berpusat di
Taripa.6 Kecamatan Pamona Timur adalah hasil pemekaran
dari kecamatan Pamona Utara yang berpusat di Tentena.
Sampai dengan tahun 2013 desa Kele’i dihuni oleh 456 kepala
keluarga yang terdiri dari 1643 jiwa dengan pembagian 846
jiwa laki-laki dan 796 jiwa perempuan. Mayoritas penduduk

bekerja sebagai petani, baik petani sawah maupun petani
tanaman tahunan seperti kakao dan cengkeh.
Tabel 5: Penduduk Desa Kele’i menurut Usia
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Usia (tahun)
0–4
5–9
10 – 14
15 – 20

21 – 24
25 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59
60 +
Jumlah

Perempuan
59
68
53
96
58
56
119
124
90
65
796


Laki-laki
50
64
85
66
36
41
126
109
94
62
846

Sumber: Laporan Kependudukan Desa Kele’i 2013.
Dari Tabel 5 di atas nampak bahwa 69,5% penduduk
desa Kele’i termasuk dalam kelompok usia kerja. Pekerjaan

Wawancara dengan Bapak Tologana, 25 Maret 2014 di Kele’i
Sebelumnya Kele’i masuk dalam wilayah Kecamatan Pamona Utara. Akan

tetapi ketika kecamatan Pamona Timur dibentuk sebagai pemekaran dari kecamatan
Pamona Utara maka Kele’i masuk dalam wilayah Pamona Timur dengan pusat
kecamatan di desa Taripa.
5

6

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 149

yang menonjol di desa ini adalah pertanian dengan sistem
ladang dan sawah. Terbukanya jalur Trans Sulawesi yang
melintas di ujung desa Kele’i membuat masyarakat melakukan
diversifikasi tanaman pangan dengan tanaman industri
tahunan seperti cengkeh, kakao, dan vanili.7 Selain itu
masyarakat juga mulai mengembangkan peternakan dan
perikanan air tawar. Hasil pertanian dan peternakan tersebut
kemudian di pasarkan di kota kecil Tentena yang hanya
berjarak 5 kilometer dari desa Kele’i. Tentena, yang terletak di
tepi danau Poso dan menjadi daerah tujuan wisata alam, telah
berkembang menjadi sebuah kota perdagangan sejak awal

abad 20. Sejumlah besar pedagang yang berasal dari Bugis
Makasar mendominasi pasar perdagangan di kota Tentena.
Akan tetapi pada tahun 1998-2003, ketika kerusuhan dan
konflik Poso terjadi para pedagang Bugis Makasar ini
meninggalkan kota Tentena demi alasan keamanan dan pindah
ke kota-kota lain di Sulawesi Tengah, seperti Kolonodale, Poso,
dan Palu. Sementara sejumlah besar pengungsi korban
kerusuhan Poso yang berasal dari Poso Kota, Poso Pesisir, dan
Lage membanjiri kota Tentena.
Tabel 5 tersebut menunjukan juga bahwa jumlah
penduduk terbanyak berada pada usia 30–49 tahun, yaitu
sebanyak 478 jiwa atau 29.09% dari seluruh populasi.
Keadaan ini menjadi salah satu faktor penentu keterlibatan
warga Kele’i dalam kerusuhan Poso. Pada waktu kerusuhan
bulan April-Mei 2000, sejumlah orang Kele’i yang merasa
dirinya muda dan kuat turun ke kota Poso untuk
mengamankan beberapa pemukiman Kristen yang terancam
oleh serangan kelompok Islam. Mereka ini berasal dari
golongan usia tersebut di atas.8


7
8

Wawancara dengan Bapak Enos, 28 Maret 2014 di Kele’i
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 27 Maret 2014 di Kele’i.

150 Redefinisi Tindakan Sosial…

Dari segi agama dan kepercayaan mayoritas penduduk
desa Kele’i memeluk agama Kristen, yaitu sebanyak 1641
orang atau 99,8 % dari populasi. Sisanya yang 0.2 % memeluk
agama Islam. Masyarakat yang beragama Kristen tersebut
tersebar dalam empat denominasi, yaitu Gereja Kristen
Sulawesi Tengah (GKST) sebagai yang dominan, Gereja
Pantekosta di Indonesia (GPdI), Gereja Betel, dan Gereja
Pantekosta Tabernakel.
Tabel 6: Penduduk Desa Kele’i menurut Agama
No
Agama
Jumlah Jiwa
1
Buddha
2
Hindu
3
Kristen
1641
4
Katolik
5
Islam
2
6
Lain-lain
Jumlah
1643
Sumber: Laporan Kependudukan Desa Kele’i 2013
Keadaan ini membuat orang-orang di desa Kele’i
kurang memiliki pengalaman pergaulan dengan orang-orang
yang beragama lain, terutama Islam. Mereka tidak mempunyai
pemahaman eksistensial tentang toleransi dan kerukunan
antar umat beragama. Namun demikian kehadiran beberapa
pedagang keliling yang beragama Islam di desa Kele’i dapat
diterima dengan baik oleh warga masyarakat. Penerimaan ini
didasari oleh nilai budaya pekasiwia yang mengharuskan
orang-orang Poso Pamona bersikap terbuka terhadap orang
asing dan menjadikan mereka setara (siwia) dalam pergaulan
sosial. Namun demikian ketika kerusuhan dan konflik Poso
berlangsung, nilai budaya pekasiwia terhadap orang asing atau

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 151

pendatang ini mengalami tantangan. Gangguan keamanan dan
aksi-aksi teror berdarah membuat orang-orang Kele’i sangat
berhati-hati dan bahkan curiga dengan kedatangan orang
asing, apalagi jika ia beragama lain. Sejak kerusuhan itu, setiap
orang yang akan masuk ke dalam desa akan diperiksa dan bila
didapati hal-hal yang mencurigakan maka ia tidak
diperkenankan memasuki desa.9
1.2.

Keterlibatan Kele’i dalam konflik Poso
Episentrum kerusuhan dan konflik Poso yang terjadi
sejak Desember 1998 sampai dengan tahun 2003 terletak di
tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Poso Kota, Kecamatan Poso
Pesisir, dan Kecamatan Lage. Secara demografis ketiga
kecamatan ini memilik penduduk yang berimbang antara yang
beragama Islam dan Kristen.10 Penduduk yang beragama Islam
berasal dari suku Bungku, Tojo, Bugis, Makasar, Gorontalo,
Jawa, dan keturunan Arab. Sebagian besar dari mereka
bekerja sebagai pedagang dan nelayan. Oleh karena itu basis
komunitas mereka terdapat di pusat-pusat perdagangan
seperti pertokoan dan pasar. Sementara penduduk yang
beragama Kristen berasal dari suku Pamona, Mori, Bada,
Pekurehua, Minahasa, Toraja, dan keturunan Tionghoa.
Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani dan
pegawai pemerintah. Keadaan ini menunjukan bahwa sukusuku yang berasal dari luar Sulawesi tengah pada umumnya
memeluk agama Islam sementara suku-suku asli di Poso
memeluk agama Kristen. Selain itu, kesamaan suku berjalan
sejajar dengan kesamaan agama. Fakta ini menjadi salah satu
faktor pemberat menyebarnya aksi-aksi-kekerasan masa yang
melanda kota Poso dan daerah sekitarnya. Solidaritas

9

Wawancara dengan Pdt. Pasambaka, 26 Maret 2014 di Kele’i
Lih. Tabel 5 pada Bab IV.

10

152 Redefinisi Tindakan Sosial…

kesukuan dan sentiment keagamaan yang melebur menjadi
satu membelah masyarakat di dalam dua golongan,
masyarakat asli dan masyarakat pendatang.
Suasana bulan suci Ramadhan yang bersamaan
waktunya dengan masa raya Natal di bulan Desember 1998 di
kota Poso membuat awal kerusuhan Poso bagaikan gempa
bumi yang melahirkan gelombang solidaritas dari daerahdaerah di pulau Sulawesi, bahkan dari pulau Jawa. Kerusuhan
dan konflik Poso sendiri dapat diperiodisasi ke dalam tiga jilid:
a. Konflik Jilid I: Desember 1998
Konflik ini dipicu oleh persoalan pribadi antara
seorang pemuda Kristen dengan seorang pemuda Muslim.
Persoalan pribadi itu berkembang menjadi sebuah perkelahian
yang terjadi pada tanggal 24 Desember 1998. Menurut pihak
keamanan, pemuda Muslim mengalami luka berdarah akibat
perkelahian tersebut. Dalam keadaan seperti itu ia berlari ke
arah Mesjid di kelurahan Sayo dan meminta pertolongan.
Berita ini kemudian beredar dengan cepat ke seluruh kota
Poso dan sekitarnya. Warga Muslim terprovokasi oleh
persoalan pribadi tersebut dan termobilisasi untuk melakukan
aksi kekerasan massa terhadap warga Kristen di kota Poso.11
Provokasi masa Muslim dilakukan melalui isu yang
dikembangkan dan diedarkan secara sengaja bahwa Imam
Masjid di kelurahan Sayo telah dibacok oleh warga Kristiani
hingga harus dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Poso.
Warga kristiani yang membacok itu adalah para pemuda yang
telah mabuk oleh minuman beralkohol.12 Tentu saja isu ini
membakar kemarahan dan sentimen keagamaan warga
Muslim yang sedang melakukan ibadah puasa di bulan Suci
11 M. Tito Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 53.
12Ibid.,54.

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 153

Ramadhan. Maka keesokan harinya, tanggal 25 Desember
1998 terjadi mobilisasi masa muslim di beberapa Masjid di
Poso Kota, seperti di Lawanga, Bonesompe, dan Kayamanya.
Mobilisasi tersebut berlanjut dengan pengerahan massa untuk
melakukan penyerangan dan pengrusakan terhadap rumahrumah warga Kristen yang ada di kelurahan Kasintuwu yang
mereka anggap sebagai komunitas representatif dari pemuda
Kristen yang mabuk tersebut.13 Akumulasi massa terus
meningkat dengan cepat. Dari kelurahan Kasintuwu massa
Muslim bergerak ke kelurahan Lombogia dan Sayo yang
mayoritas penduduknya beragama Kristen.14 Emosi massa
yang tidak terkendali lagi mengakibatkan kerusakan massif di
ketiga kelurahan tersebut. Selanjutnya penyerangan dan
pengrusakan meluas ke seluruh penjuru kota Poso dengan
sasaran rumah-rumah, gereja-gereja, dan usaha-usaha
komunitas Kristen serta tempat-tempat yang dianggap
maksiat.15
Massa Muslim yang terus bertambah dan emosi massa
yang terus dibakar oleh provokasi dan issu sara membuat
aparat keamanan kewalahan dalam mengendalikan situasi
yang kacau dan penuh aksi kekerasan. Penyerangan dan
pengrusakan
massa
ini
mengakibatkan
gelombang
pengungsian warga Kristen dari ketiga kelurahan tersebut ke
desa-desa kecil di sekitar kota Poso. Sementara pada saat yang
sama mobilisasi massa Muslim terus berlanjut dan meluas
sampai ke kota Parigi dan Ampana. Sejumlah besar truk yang

13

Kelurahan Kasintuwu berpenduduk mayoritas Kristen dari suku

Minahasa.
14 Kelurahan Lombogia berpenduduk mayoritas suku Pamona dan Mori.
Penduduk Kelurahan Sayo sebagaian Muslim dari Makasar dan Jawa, sebagian lagi
Kristen dari Pamona, Mori, Bada, dan Minahasa.
15 Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso, … 54.

154 Redefinisi Tindakan Sosial…

dipenuhi pemuda masuk ke kota Poso dari kedua wilayah
tersebut.16
Pengerahan masa Muslim ke kota Poso dari dua
wilayah tersebut di atas memaksa seorang tokoh Kristen yang
bernama Herman Parimo melakukan mobilisasi masa dari
kecamatan yang mayoritas penduduknya beragama Kristen,
yaitu kecamatan Pamona Utara dengan ibu kotanya Tentena.17
Herman Parimo adalah seorang mantan fungsionaris dan
aktivis Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) yang cukup
terkenal keberaniannya dalam melawan pasukan Permesta
dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi
Tengah.18 Pada tahun 1957 – 1960, ketika GPST membentuk
sepuluh divisi militernya, Herman Parimo diangkat menjadi
Komandan Sektor Pamona Utara dan kemudian menjadi
komandan pasukan GPST.19 Herman Parimo berasal daerah
Mangkutana Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Ia menikah
dengan seorang perempuan yang berasal dari desa Kele’i.
Sesudah berakhirnya masa pergolakan politik di tahun lima
puluhan, ia menjadi pengusaha kayu hitam dan tinggal di
kelurahan Sayo kecamatan Poso Kota.20
Pada hari Senin, 28 Desember 1998, sebagai reaksi
spontan terhadap gerakan dan mobilisasi massa Muslim di
Poso, Parimo memobilisasi sejumlah kecil masa Kristen yang
berasal dari Lage dan Tentena sekitarnya lalu memasuki kota

16 Rinaldy Damanik, Tragedi kemanusiaan di Poso (Yogyakarta: PBHI,
Yakoma PGI, CD Bethesda, 2003), 16.
17 Tentena adalah sebuah kota kecil berhawa sejuk yang terletak di tepi
Danau Poso dan menjadi pusat Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah.
18 Tentang gerakan-gerakan politik ini lihat kembali bab IV.
19 Haliadi Sadi, et.al., Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) di Poso
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2007), 115.
20 Karena pengerahan massa yang dilakukannya pada tanggal 27 dan 28
Desember 1998, Herman Parimo ditahan oleh aparat keamanan. Ia diajukan ke
pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara. Ia meninggal di Makasar pada bulan April
2000 ketika masih menjalani masa penahanannya. Lih. Damanik, Tragedi
Kemanusiaan di Poso…, 67.

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 155

Poso serta melakukan unjuk rasa menentang penyerangan
massa Muslim terhadap pemukiman warga Kristen di
kelurahan Lombogia, Kayamanya, Sayo, dan Kasintuwu Poso.21
Aksi ini lebih mengobarkan situasi yang sudah panas di dalam
kota Poso, sehingga keesokan harinya, 29 Desember 1998
kedua kelompok massa, yaitu massa Muslim dan massa
Kristen mengambil posisi untuk saling menyerang. Melihat
keadaan yang genting tersebut dan mempelajari
kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi maka
pada hari itu juga Gubernur Sulawesi Tengah, Bupati dan
Muspida Kabupaten Poso mengundang tokoh-tokoh
masyarakat dan para pemimpin pemuda dari dua kelompok
untuk berunding. Dalam perundingan itu muncul kesadaran
bahwa telah terjadi kesalahpahaman akibat issu yang
dikembangkan dan provokasi massa yang tidak beralasan.
Hari itu juga dibuat kesepakatan bahwa aksi-aksi kekerasan
massa akan dihentikan dan para provokator akan ditangkap
dan diproses secara hukum.22
Salah satu akibat dari kesepakatan itu adalah
ditangkapnya Herman Parimo dan dilaksanakannya proses
hukum kepadanya. Ia diadili di Makasar dan dijatuhi hukuman
14 tahun penjara. Warga Kristen merasa diperlakukan tidak
adil oleh peristiwa ini, karena dari massa Muslim tidak ada
yang mendapat perlakuan seperti itu.23
Pada tanggal 30 Desember 1998 aparat keamanan
dapat mengambil kendali atas keadaan di kota Poso dan
sekitarnya. Masyarakat Muslim melanjutkan ibadah puasa di
bulan suci Ramadhan sementara warga Kristen kembali ke
rumah-rumah mereka dan melanjutkan masa raya Natal dan
Tahun Baru. Peristiwa kerusuhan massa Desember 1998 ini
Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…, 55.
Ibid., 56.
23 Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso…., 21.

21

22

156 Redefinisi Tindakan Sosial…

tidak terselesaikan dengan baik. Rasa marah dan dendam di
kedua belah pihak mengendap dan berkembang menjadi
sentiment sara yang mudah diprovokasi.
b. Konflik Jilid II: April 2000
Stabilitas keamanan di kota Poso pasca kerusuhan
Desember 98 ternyata hanya di permukaan. Aksi-aksi
kekerasan masa seperti pengrusakan dan pembakaran rumahrumah dan kendaraan bermotor, pencurian dan penjarahan,
penganiayaan dan pembunuhan di bulan Desember 98, serta
penegakan hukum yang tidak memberi rasa keadilan bagi
masyarakat meninggalkan kemarahan, dendam, dan trauma
bagi masyarakat. Salah satu gejala yang muncul akibat
keadaan tersebut adalah membekunya hubungan sosial antara
warga Muslim dan Kristen di kota Poso dan sekitarnya.
Suasana damai dan harmoni yang selama bertahun-tahun
sebelumnya dirasakan, berubah menjadi suasana waspada,
curiga, dan intoleran satu terhadap yang lain.24
Pada tahun 1999 warga kabupaten Poso bersiap-siap
akan melakukan pemilihan Bupati. Dalam proses seleksi calon
Bupati muncul beberapa nama sebagai kandidat, yaitu Abdul
Malik Syahadat, Damsyik Ladjalani, Akram Kamarudin, Abdul
Muin Pusadan, Mas’ud Kasim, dan Ismail Kasim dari
masyarakat Muslim. Dari masyarakat Kristen muncul dua
nama yaitu Eddy F. Bungkundapu dan Yahya Patiro.
Persaingan antara kedua kubu itu terseret ke isu sara. Namun
demikian keadaan masih dapat dikendalikan oleh kesepakatan
bahwa akan dilakukan power sharing. Apabila Bupatinya
beragama Islam maka sekretarisnya (sekarang wakil Bupati)
harus beragama Kristen, demikian sebaliknya. Pertimbangan
ini berlaku juga untuk semua jabatan strategis dalam
24

Ibid.,20-21.

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 157

pemerintahan.25 Pada tanggal 30 Oktober 1999 Pusadan
terpilih menjadi Bupati Poso. Warga Kristiani menerima
kenyataan tersebut secara sportif dan lapang dada. Akan tetapi
warga Muslim berkeinginan untuk menempatkan Damsyik
Ladjalani yang beragama Islam untuk menjadi Sekretarisnya.26
Pada umumnya warga Kristen tidak mempersoalkan hal
tersebut selama pemeritah tetap memperhatikan kepentingan
dan kesejahteraan semua golongan masyarakat. Itulah
sebabnya Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah sebagai
representasi masyarakat Kristen di Poso tidak menyatakan
dukungan secara kelembagaan terhadap calon-calon yang ada
dan tidak melakukan intervensi terhadap proses pemilihan
pemimpin wilayah. Pdt. Rinaldy Damanik dalam kapasitas
sebagai Sekretaris Umum Majelis Sinode GKST mengatakan:
Bagi Sinode GKST, seorang pemimpin daerah,
termasuk
jabatan-jabatan
pemerintahan
lainnya, siapapun dia, dari suku dan agama
apapun dia, yang terpenting dan terutama
adalah dapat melaksanakan tugasnya untuk
kepentingan semua warga masyarakat, tanpa
diskriminasi, dan sesuai dengan prinsip yang
dianut oleh Negara Kesatuan Republik
Indonesia.27
Namun demikian keadaan politik di Poso tetap saja
dipengaruhi
oleh
kepentingan-kepentingan
golongan
berdasarkan suku dan agama. Keadaan yang demikian
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok agama radikal yang
telah masuk ke Poso secara ideologis dan organisatoris dan
berbasis di salah satu pondok pesantren di kelurahan Gebang

Ibid., 12.
Ibid., 23. Lih. Harian Mercu Suar, Palu, edisi Sabtu, 15 April 2000.
27 Ibid., 12.

25

26

158 Redefinisi Tindakan Sosial…

Rejo kecamatan Poso Kota. Menurut Laporan Tim Satgas
Investigasi Poso yang dibentuk oleh Kapolri bahwa
keterlibatan jaringan Islam radikal di Poso nampak melalui
kehadiran kelompok-kelompok Al Jamaah Al Islamiyah,
Kompak, Lasykar Jundullah dll. dan menjadikan Poso sebagai
daerah proyek Uhud. Di Poso mereka dikenal dengan
kelompok Tanah Runtuh karena basis mereka ada di sebuah
pondok pesantren di lokasi tanah runtuh Kelurahan Gebang
rejo.28
Perkembangan keadaan sosial, politik, dan keagamaan
tersebut di atas meletus menjadi kerusuhan dan konflik
berdarah pada tanggal 15 April 2000. Pemicunya adalah
perselisihan antara pemuda, masing-masing beragama Islam
dan Kristen di Terminal Bus Kasintuwu Poso. Masyarakat
Kristen menduga insiden ini telah direkayasa oleh kelompok
Islam radikal di Poso. Seorang pemuda Islam bernama Dedy
dari kelurahan Kayamanya dengan mengendarai sepeda motor
datang dan memprovokasi beberapa pemuda Kristen yang
sedang berada di depan Gereja GKST Pniel Lombogia, dekat
terminal bus Poso.29 Para pemuda Kristen menjelaskan bahwa
persoalan perkelahian di terminal bus tersebut adalah
masalah pribadi dan telah ditangani oleh aparat keamanan dan
tidak ada yang terluka dalam perkelahian tersebut. Tidak lama
sesudah peristiwa itu, sejumlah besar pemuda Muslim dari
kelurahan Lawangan dan Kayamanya bergerak ke kelurahan
Lombogia dan langsung melempari rumah-rumah warga
Kristen di sekitar Gereja GKST Peniel. Melihat keadaan
tersebut warga Kristen menghindar, kecuali sekumpulan
pemuda mengambil posisi berjaga-jaga dan siap siaga di depan
Gereja untuk menjaga gereja dari pengrusakan dan

28
29

Karnavian, et.al.,Membongkar Konflik Poso…,177.
Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso…., 24.

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 159

pembakaran. Aparat keamanan dapat mengendalikan situasi
dengan mendesak massa Muslim kembali ke kelurahan
Lawanga dan Kayamanya.30 Keberadaan kelompok pemuda
Kristen di depan gereja Peniel Lombogia ternyata dipandang
oleh kelompok Islam sebagai upaya untuk menggalang massa
dan melakukan perlawanan serta serangan balik.31 Oleh
karena itu pada keesokan harinya, 16 April 2000 terjadi
mobilisasi massa Muslim di kelurahan Lawanga, Kayamanya,
Bonesompe, dan Gebang Rejo. Pada pukul 20.00 WITA
mobilisasi itu berkembang menjadi aksi penyerangan,
pengrusakan, penjarahan, dan pembakaran rumah-rumah
warga Kristen di seluruh kota Poso. Melihat keadaan makin
tidak terkendali oleh aparat keamanan, masa Kristen akhirnya
terpancing untuk melakukan perlindungan diri dan
perlawanan sehingga aksi-aksi pengrusakan berkembang
menjadi bentrok fisik berdarah di kota Poso. Korban
berjatuhan di kedua belah pihak, terutama di pihak massa
Muslim karena mereka melakukan perlawanan terhadap
aparat kepolisian yang hendak mengendalikan situasi.32
Sejak hari itu, bentrok fisik berdarah terus terjadi dan
mengakibatkan sejumlah korban di kedua pihak. Sementara
itu terjadi gelombang pengungsian terutama di kalangan
warga Kristen yang rumah-rumahnya telah dirusak, dijarah,
dan dibakar. Sebagian besar dari mereka mengungsi ke
Tentena, Morowali, dan Palu. Menurut data pada Krisis Senter
GKST jumlah pengungsi warga Kristen yang masuk ke kota
Tentena mencapai dua puluh ribu jiwa atau kurang lebih
empat ribu kepala keluarga.33 Kehadiran jumlah pengungsi
Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…, 58.
Fauzan Al-Anshari & Ahmad Suhardi (Ed.,), Tragedi Poso (Rawabunga:
Departemen Data & Info MMI, 2006), 16.
32 Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…,59.
33 Laporan Krisis Senter GKST kepada Majelis Sinode GKST dalam Sidang
Sinode GKST tahun 2004.
30

31

160 Redefinisi Tindakan Sosial…

korban konflik tersebut mempertebal rasa solidaritas warga
Kristen di Tentena dan sekitarnya. Rasa solidaritas itu
ditunjukan melalui keterbukaan untuk menerima dan
merawat para keluarga pengungsi. Akan tetapi ada
sekelompok pemuda Kristen asal Poso yang melampiaskan
rasa marah dan dendam dengan melakukan penyerangan
terhadap warga Muslim yang ada di Tentena dan sekitarnya.
Akibatnya mereka meninggalkan Tentena dan mencari
perlindungan di Makasar dan Palu, bahkan ada yang kembali
ke Jawa.34
c. Konflik Jilid III: Mei 2000
Setelah Herman Parimo dipenjarakan, munculah
seorang tokoh pemberani baru dari desa Kele’i yang bernama
Ir. Adven L. Lateka. Ia mempunyai hubungan kekeluargaan
yang sangat dekat dengan Herman Parimo, karena saudara
perempuannya menikah dengan Herman Parimo. Ir. Lateka
mengawali aksinya melalui sejumlah tindakan protes terbuka
dan tertulis kepada aparat penegak hukum dan Pemerintah
berkaitan dengan ketidakadilan dalam penegakan hukum di
Poso.35 Menyadari aksi-aksi protesnya tidak mendapat
tanggapan dari aparat keamanan dan pemerintah, Ir. Lateka
membentuk sekelompok kaum militan dari kalangan pemuda
Kristen yang disebutnya sebagai Kelompok Pejuang Pemulihan
Keamanan Poso. Sebagian anggota kelompok ini adalah
kerabatnya yang berasal dari Poso Pesisir dan Pamona Utara,
termasuk desa Kele’i. Mereka melakukan perjuangan
melindungi desa-desa yang didiami oleh warga Kristen dan
34 Di Tentena ada dua desa yang penduduknya berasal dari Jawa, yaitu
Posunga dan Sawidago. Orang-orang Jawa ini adalah transmigran yang ditempatkan di
daerah Mori Atas. Akan tetapi karena mereka mempunyai jiwa dagang, maka mereka
pindah ke Tentena untuk berjualan. Wawancara dengan Sekretaris Kecamatan
Pamona Puselemba, tanggal 24 November 2013 di Tentena.
35 Damanik.,Tragedi Kemanusiaan di Poso…, 29.

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 161

melakukan aksi perlawanan dan penyerangan terhadap
kelompok-kelompok perusuh di kota Poso dengan memakai
senjata-senjata tradisional dan sebagian senjata api.36 Dalam
suratnya kepada Komisi Nasional HAM Republik Indonesia, Ir.
Lateka menulis bahwa tujuan perlawanan bersenjatanya
adalah untuk memulihkan hak asasi masyarakat Poso yang
diporakporandakan
secara
terencana
dan
untuk
membebaskan warga masyarakat Poso dari penindasan para
perusuh. Untuk itu sasarannya adalah menumpas dan
menangkap para perusuh atau provokator kerusuhan dan
konflik Poso yang menurut penilaiannya dilindungi oleh
aparat keamanan dan pemerintah. Hal ini dilakukannya karena
ia menilai bahwa pemerintah dan aparat keamanan tidak
bersikap netral dan telah memihak kelompok muslim yang ada
di Poso.37 Menurut penilaian Rinaldy Damanik, sikap keras Ir.
Lateka disebabkan oleh akumulasi kekecewaannya terhadap
tindakan para perusuh, ketidakpastian sikap Pemerintah, dan
pembiaran yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap
para perusuh yang melakukan aksi pembunuhan, pembakaran,
dan penjarahan terhadap warga kristiani di kota Poso.38
Emosi kerusuhan dan konflik yang terjadi di kota Poso
terasa juga di kota Tentena dan Kele’i. Bukan saja karena
adanya rasa solidaritas kesukuan dan keagamaan, tetapi juga
karena sebagian besar warga gereja yang berasal dari kota
Poso mengungsi di Tentena dan sekitarnya. Akibatnya bila
terjadi aksi kekerasan masa terhadap warga Kristen di kota
Poso maka akan terjadi aksi balasan di Tentena dan
sekitarnya. Pada tanggal 16 Mei 2000 terjadi penyerangan
terhadap warga Muslim di desa Taripa, tidak jauh dari Kele’i.
36 M. Tito Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso… 62-63. Ir. Lateka
tewas secara menggenaskan pada tanggal 2 Juni 2000 dalam sebuah kontak senjata
dengan pasukan Jihad di kota Poso.
37 Damanik, Tragedi kemanusiaan Poso…, 31-32.
38 Ibid.,61-62.

162 Redefinisi Tindakan Sosial…

Satu orang tewas dalam penyerangan itu. Pada tanggal 19 Mei
2000 warga Kristen di daerah Taripa dan Kele’i melakukan
sweeping di jalur Trans Sulawesi yang menghubungkan
Makassar (Sulawesi Selatan) dengan Poso Palu (Sulawesi
Tengah).39 Aksi ini nampaknya adalah aksi balasan terhadap
serangan dan pembakaran perumahan warga kristiani oleh
massa Muslim di kota Poso dan sekitarnya.
Selama kerusuhan dan konflik Poso berlangsung, desa
Kele’i cukup dikenal sebagai basis mobilisasi massa Kristen
untuk melakukan perlawanan terhadap serangan massa
Muslim di Poso dan sekitarnya. Dalam mobilisasi ini semangat
perjuangan masyarakat di tahun limapuluhan ketika
menghadapi PERMESTA dan Darul Islam TII Abdul Kahar
Mazakar bangkit kembali. Ada beberapa orang yang pernah
terlibat dalam kedua pergolakan itu masih ikut dalam
mobilisasi tersebut. Mobilisasi ini melahirkan sebuah
kelompok perlawanan Kristen yang oleh opini publik disebut
Pasukan Merah. Di dalam kelompok ini terbentuk lagi sebuah
kelompok kecil militan yang ofensif dan agresif melakukan
aksi-aksi pembalasan dan penyerangan terhadap basis-basis
pasukan Jihad Islam di kota Poso. Kelompok kecil militan ini
dipimpin oleh Ir. Lateka dan seorang purnawirawan TNI.
Lateka sendiri menamakan kelompoknya sebagai Pejuang
Pemulihan Keamanan Poso. Akan tetapi masyarakat umum
dan aparat keamanan menyebut kelompok ini sebagai Pasukan
Kelelawar karena melakukan operasi gerilya pada waktu
malam dengan memakai pakaian hitam, senjata api, senjata
tradisional, dan ilmu-ilmu hitam. Salah satu aksi mereka yang
tercatat dalam laporan pihak keamanan adalah serangan dini
hari 24 Mei 2000. Puluhan orang dengan memakai pakaian
hitam dan tutup muka berwarna hitam memasuki kota Poso
39

Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…, 60.

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 163

dari arah Barat dan melakukan penyerangan di kelurahan
Kayamanya, salah satu basis mobilisasi pasukan Jihad Islam di
kota Poso. Serangan ini mengakibatkan seorang anggota
kepolisian tewas dan sejumlah warga Muslim menjadi
korban.40
Mendengar bahwa warga Muslim di Poso diserang oleh
Pasukan Kelelawar, maka warga Muslim dari Ampana
dikerahkan untuk memberi bantuan. Mereka datang dengan
menggunakan puluhan kendaraan mobil terbuka. Ketika
melewati daerah Lage yang mayoritas penduduknya beragama
Kristen, massa Muslim dari Ampana ini dicegat oleh massa
Kristen. Bentrokan fisik berdarah tidak terhindarkan. Massa
Muslim dari Ampana tidak dapat melewati massa Kristen yang
berasal dari lage, yaitu dari desa-desa Silanca, Sepe, Bategencu,
dan Tagolu. Melihat massa Muslim mundur, massa Kristen
maju dan menyerang sebuah desa Islam di Lage, yaitu Toyado.
Sebaliknya Masa Muslim di Tojo, daerah perbatasan antara
Lage dengan Ampana, bergerak menyerang beberapa desa
Kristen di sana, seperti Tanamawau, Matako, dan Malei. Pada
hari yang sama, sebuah dusun kecil di daerah Lage yang
bernama Sintuwu Lemba dikepung oleh massa Kristen. Di
dusun ini terdapat penduduk beragama Islam yang berasal
dari Jawa dan terdapat sebuah Pondok pesantren. Penduduk
desa Tagolu dan desa tetangga bernama Tambaro yang telah
menganggap mereka siwia karena hidup bertetangga meminta
mereka untuk segera mengungsi. Sebagian warga dusun itu
mengungsi ke Poso melalui jalur Sungai Poso, tetapi sebagian
lagi tetap tinggal dan bertahan di kompleks Pondok Pesantren.
Keberadaan warga Muslim yang bertahan di Pondok
Pesantren Sintuwu Lemba ini dipandang oleh kelompok
Kristen yang militan bergaris keras sebagai bentuk
40

Ibid., 1.

164 Redefinisi Tindakan Sosial…

perlawanan dan persiapan untuk melakukan serangan. Atas
anggapan itu, kompleks Pondok Pesantren tersebut diserang
dan korban berjatuhan, terutama dari pihak Muslim.41 Pada
saat inilah kerusuhan dan konflik Poso meluas dari kota Poso
ke
daerah-daerah
sekitarnya.
Aksi-aksi
kekerasan,
pengrusakan, penjarahan, pembakaran, penganiayaan, dan
bentrok fisik berdarah tidak hanya terjadi di kota Poso tetapi
dengan cepatnya menyebar ke kecamatan-kecamatan lain di
sekitarnya, terutama kecamatan Lage Tojo, Poso Pesisir, dan
Pamona Utara.
Aksi pembalasan massa Kristen terhadap massa
Muslim berlanjut dengan gerakan dari beberapa desa di
kecamatan Poso Pesisir, yaitu Sangginora, Dewua, Tangkura,
Patiwunga, dan Kasiguncu. Mereka bergerak ke arah desa-desa
berpenduduk Muslim yang ada tepi pantai dan melakukan
pembakaran setelah seluruh warganya diperintahkan untuk
mengungsi. Desa-desa berpenduduk Muslim yang dibakar
adalah Tabalu, Bega, Tiwaa, Tokorondo, Tambarana, Mapane,
dan Toini. Gerakan penyerangan ini berhenti di desa Moengko
yang berbatasan dengan kelurahan Kayamanya Poso Kota.
Upaya untuk memasuki kota Poso dan melakukan
penyerangan berpuncak pada tanggal 2 Juni 2000. Ratusan
massa Kristen yang dipimpin oleh Lateka bergerak hendak
mengambil alih kota Poso dari massa Muslim. Namun massa
Muslim yang sudah bergabung dari berbagai daerah dan
pasukan keamanan dari Satuan Brimob Kelapa Dua Jakarta
dan Pasukan TNI dari Batalyon Zipur Makasar dapat
menghalau gerakan ofensif massa Kristen. Dalam bentrokan
ini Lateka tewas diterjang peluru.42
41 Peristiwa penyerangan Pondok Pesantren ini menjadi issu pembantaian
warga Muslim di Poso. Lih. Al-Anshari & Suhardi (Ed.,) Tragedi Poso (Poso: Majelis
Mujahidin & Forum Perjuangan Umat Islam Poso, 2006).
42 Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…, 64.

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 165

Melihat keadaan yang makin tidak terkendali,
Pemerintah dan aparat keamananan menggelar Operasi
Pemulihan Keamanan dengan menggunakan sandi Operasi
Sadar Maleo dan Operasi Cinta Damai. Sejak saat itu, massa
Kristen mundur dan mengambil sikap pasif. Sementara di
pihak lain, sekelompok massa Muslim mengambil sikap aktif
dengan melakukan aksi-aksi teror berdarah, seperti
penculikan dan pembunuhan, penembakan dan pemboman
angkutan-angkutan umum, pemboman tempat-tempat umum
seperti pasar dan rumah ibadah. Aksi-aksi teror berdarah ini
berlangsung secara tersembunyi dan tidak terduga. Aksi-aksi
itu antara lain, kasus pemenggalan kepala tiga siswa SMU
Kristen Poso, kasus penculikan dan pembunuhan Bendahara
Sinode GKST, Pnt. Oranje Tadjodja, kasus penembakan Pdt.
Susianti Tinulele ketika sedang berkhotbah di Gereja GKST
Efata Palu, kasus Penembakan Sekretaris Umum Sinode GKST,
Pdt. Irianto Kongkoli, kasus penembakan Jaksa Silalahi, kasus
pemboman Gereja GKST Imanuel Palu, kasus pemboman Pasar
Tentena, dan sejumlah kasus-kasus teror berdarah lainnya.
Sampai tahun 2002 tercatat 42 desa yang berpenduduk
Kristen di kecamatan Poso kota, Poso Pesisir, dan Lage Tojo
yang terbakar oleh aksi kerusuhan dan konflik. Kehancuran
fisik bangunan diperkirakan lebih dari 6.523 unit, 17 sekolah,
1 asrama pelajar dan susteran Katolik, 1 pondok pesantren, 8
Puskesmas, 57 Mesjid, 70 gereja, dan 2 Pura.43 Penduduknya
yang beragama Kristen mengungsi ke kecamatan Lore Utara,
Pamona Utara, Morowali, Palu, dan Manado, sementara
penduduk yang beragama Islam mengungsi ke Ampana, Parigi.
Palu, Makasar, dan Jawa. Kecamatan Lage Tojo terletak di
sebelah Timur kota Poso, dengan desa-desa yang menyebar di

43

Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso…, 56.

166 Redefinisi Tindakan Sosial…

sepanjang pesisir teluk Tomini.44 Kecamatan Lage
menghubungkan kota Poso dengan sebuah kota kecil yang
berpenduduk mayoritas muslim, yaitu Ampana yang
merupakan bekas pusat kerajaan Islam Tojo. Kota Ampana ini
sekarang telah menjadi ibu kota kabupaten Touna. Kecamatan
Poso Pesisir terdiri dari desa-desa yang menyebar di
sepanjang pesisir Barat teluk Tomini. Kecamatan ini
menghubungkan kota Poso dengan sebuah kota pelabuhan
yang penduduknya mayoritas muslim, yaitu Parigi. Kota ini
sekarang telah menjadi ibu kota kabupaten Parimo.
Sementara itu sejumlah besar pengungsi korban konflik Poso
memilih tinggal di Tentena dan sekitarnya sehingga sejak
tahun 2000 terjadi peningkatan jumlah penduduk di kota
Tentena dan sekitarnya.45
Keterlibatan warga Kele’i dalam konflik Poso tersebut
di atas tidak saja disebabkan oleh adanya tokoh-tokoh atau
pemimpin-pemimpin perlawanan yang berasal dari Kele’i,
seperti Herman Parimo dan Ir. Lateka, tetapi juga karena
mengingat sejarah Kele’i yang berpengalaman dalam perang
antara suku-suku di Poso sampai dengan akhir abad
kesembilan belas dan perlawanan mereka terhadap dua
kerajaan Islam yang bersaing menguasai teritori mereka, yaitu
kerajaan Luwu dengan pusatnya di Palopo Sulawesi Selatan
dan Kerajaan Sigi dengan pusatnya di Palu Sulawesi Tengah.
Selain itu, warga desa Kele’i memiliki peran strategis pada
masa perjuangan Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST)
dalam melawan Permesta serta Darul Islam /Tentara IsIam
Indonesia yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar di

44

Wawancara dengan Pdt. Ishak Pole, M.Si., tanggal 24 November 2013 di

Tentena.
45 Wawancara dengan Sekretaris Kecamatan Pamona Puselemba, tanggal 24
November 2013 di Tentena.

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 167

Sulawesi Selatan.46 Pengalaman-pengalaman historis dan
eksistensial itu telah membentuk sifat dan karakter orangorang Kele’i sebagai orang-orang yang pemberani, pantang
menyerah, tidak takut menghadapi ancaman, keras, dan setia
kawan dengan orang-orang yang telah dianggap siwia47
dengan mereka. Salah satu identitas sosial yang membuat
seseorang dianggap siwia dengan penduduk setempat adalah
identitas agama. Oleh sebab itu, kekristenan telah menjadi
salah satu alat perekat yang kuat antara orang-orang Pamona
dengan para pendatang dari daerah lain. Di desa Kele’i
terdapat beberapa keluarga yang berasal dari Minahasa,
Morowali, Toraja dan lain-lain, tetapi dalam kehidupan seharihari mereka tidak dapat dapat lagi dibedakan dengan orangorang Kele’i sendiri. Selain itu, pengalaman-pengalaman
perang dan konflik bersenjata di masa lalu telah membuat
orang-orang Kele’i merasa perlu membekali diri dengan ilmuilmu hitam yang dapat dipakai untuk melindungi diri dan
keluarga, seperti ilmu kebal dan ilmu pedukunan.48 Oleh latar
belakang inilah kita dapat memahami keterlibatan orangorang Kele’i dalam kerusuhan dan konflik Poso sejak tahun
1998 hingga 2003. Jiwa pemberani dan setia kawan dengan
orang-orang yang dianggap siwia dengan mereka sendiri telah
membuat mereka tidak bisa berdiam diri ketika melihat orangorang Poso dan warga Kristen di kota Poso menjadi korban
amuk masa dan akhirnya terlibat dalam konflik berdarah.
46 Lih. uraian sejarah sebelumnya dalam Bab IV Pasal 6.2 tentang
Pergolakan Politik di Sulawesi Tengah. Lih. juga Sadi, et.al., Gerakan Pemuda Sulawesi
Tengah (GPST) di Poso…, 109.
47 Dalam budaya Pamona, orang asing atau pendatang yang hendak
diterima menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya Pamona harus melewati
sebuah ritual yang disebut Pekasiwia.Bila seseorang sudah mengikuti ritual tersebut
maka dia sudah dianggap siwia (sama dan setara) dengan orang-orang Pamona.
Kepadanya diberi hak-hak dan kewajiban masyarakat adat, seperti mosintuwu atau
gotong royong. Wawancara dengan Bapak Kalingani, 28 Maret 2014 di Kele’i.
48 Wawancara dengan Ibu Ngkai Janggo, 28 Maret 2014 di Kelei. Wawancara
dengan Bapak Henos, 28 Maret 2014 di Kele’i.

168 Redefinisi Tindakan Sosial…

Dari fakta-fakta dan opini-opini tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa walaupun Kele’i tidak mengalami secara
langsung kerusuhan dan konflik Poso karena letaknya yang
relatif jauh dari Poso, tetapi ia telah terlibat dalam aksi-aksi
kekerasan dan pertikaian bersenjata di kota Poso dan
sekitarnya. Keterlibatan tersebut bersifat langsung melalui
keterlibatan orang-orang Kele’i dalam konflik dan secara tidak
langsung melalui dukungan moril terhadap mereka yang
terlibat. Dukungan itu antara lain nampak melalui penerimaan
penduduk Kele’i terhadap relawan-relawan yang berasal dari
desa lain yang ikut terlibat dalam konflik Poso. Menurut
infomasi yang diperoleh, Fabianus Tibo49, salah seorang tokoh
pemimpin gerakan perlawanan massa Kristen selama
kerusuhan dan konflik Poso, sering melakukan konsolidasi dan
mobilisasi dari desa Kele’i.50 Informasi ini semakin
menegaskan keterlibatan Kele’i dalam kerusuhan dan konflik
Poso.
1.3.

Masalah-Masalah Pasca Konflik
Konflik Poso mulai mereda pada tahun 2003 menyusul
dilakukannya Perjanjian Malino untuk Poso pada tanggal 20
49 Fabianus Tibo adalah warga masyarakat Morowali yang berasal dari
Flores. Pada waktu konflik Poso berlangsung, ia bersama dua rekannya, yaitu
Marianus Riwu dan Dominggus da Silva pergi ke Poso untuk melakukan evakuasi
terhadap siswa-siswa SMA Katolik yang lokasinya berada di tengah pemukiman
Muslim. Sejak saat itu mereka bertiga tidak dapat menghindarkan diri lagi dari aksiaksi perlawanan terhadap massa Islam di kota Poso dan sekitarnya. Keterlibatan
mereka bertiga akhirnya dijadikan alasan untuk ditangkap pada tahun 2001, diadili
dan divonis dengan hukuman mati. Masyarakat kristiani dan organisasi gereja di Poso
melakukan perlawanan legal terhadap putusan hukum yang dianggap tidak adil itu.
Tetapi semua upaya tidak berhasil membebaskan mereka bertiga. Pada dini hari 23
September 2006, mereka bertiga dieksekusi di hadapan regu tembak satuan Brimob
Polda Sulteng di kota Palu. Peristiwa ini meninggalkan kekecewaan dan kemarahan
serta trauma yang dalam bagi seluruh masyarakat Kristiani di kota Poso. Mereka
bertiga dianggap sebagai martir dan korban ketidakadilan yang dilakukan oleh aparat
hukum dan pemerintah. Untuk lengkapnya lih. Yosef Tor Tulis, Kisah Tiga Martir dari
Poso (Jakarta: Jetpress, 2007).
50 Wawancara dengan Ibu Bareta, 28 Maret 2014 di Kele’i. Wawancara
dengan Bapak Tologana, 28 Maret 2014 di Kele’i.

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 169

Desember 2001 di Malino Sulawesi Selatan. Perjanjian dan
deklarasi damai ini dipelopori oleh Yusuf Kalla sebagai
Menteri Koordinator Kesejahateraan Rakyat pada waktu itu.
Pertemuan Malino dihadiri oleh pihak-pihak yang berkonflik
di Poso. Masing-masing pihak diwakili oleh empat belas orang
delegasi. Dari pihak Kristen dihadiri oleh wakil GKST dua
orang, wakil gereja Roma Katolik dua orang, wakil-wakil
kelompok milisi seperti pasukan Kelelawar, Macan, KupuKupu, Amsimar dan Krisis Senter yang masing-masing dua
orang. Dari pihak muslim dihadiri oleh MUI Sulteng dua orang,
MUI Poso dua orang, dan wakil-wakil kelompok Hisbullah,
Ahlussunah Waljamaah, Jundullah, Majelis Dzikir, dan Jamaah
Tablig masing-masing dua orang.
Keadaan yang relatif aman pasca Perjanjian Malino
untuk Poso menyisakan sejumlah masalah bagi warga desa
Kele’i pada umumnya dan mereka yang terlibat dalam
kerusuhan dan konflik pada khususnya. Kehadiran Tentara
dan Brimob di Poso dan Morowali dalam rangka pemulihan
keamanan dan pengejaran serta penangkapan aktor-aktor
kerusuhan menyebabkan masyarakat terintimidasi. Tentara
dan Brimob melakukan rasia-rasia di beberapa desa di
Pamona Utara dan Morowali untuk mengejar Fabianus Tibo,
Marianus Riwu, dan Dominggus da Silva yang dianggap
bertanggung jawab terhadap penyerangan di Pondok
Pesantern Wali Songo di Dusun Sintuwu Lemba Kecamatan
Lage. Salah satu desa yang menjadi target operasi pengejaran
adalah Kele’i karena dianggap menjadi basis mobilisasi massa
Kristen selama konflik. Selain itu Tentara dan Brimob
melakukan razia senjata berapi dan menangkap orang-orang
yang kedapatan memiliki dan menyimpan senjata api. Raziarazia ini dilakukan dengan cara-cara yang keras dan kasar
sehingga menimbulkan rasa marah dikalangan warga

170 Redefinisi Tindakan Sosial…

masyarakat. Oleh sebab itu sering terjadi ketegangan
hubungan antara aparat keamanan dengan warga masyarakat
di beberapa tempat di kecamatan Pamona Utara dan Pamona
Timur, seperti di Tentena, Kele’i, dan Taripa. Keteganganketegangan itu sering berakhir dengan penangkapan warga
masyarakat dan penganiayaan. Keadaan mulai berubah ketika
aparat keamanan berhasil menangkap Fabianus Tibo dan
kedua rekannya di desa Jamur Jaya Kecamatan Lembo
Kabupaten Morowali pada pertengahan Juni 2000.51
Emosi-emosi negatif yang muncul ketika hubunganhubungan sosial dalam masyarakat dipenuhi dengan rasa
curiga, marah, dendam, dan rasa bersalah karena melakukan
aksi kekerasan bahkan pembunuhan serta pemakaian ilmuilmu hitam menghantui warga desa Kele’i. Emosi-emosi negatif
itu mengendap di dalam perasaan mereka sehingga kehidupan
sehari-hari menjadi terganggu oleh kegelisahan dan ketakutan.
Seorang warga Kele’i yang berumur kurang lebih empat puluh
tahun yang ikut secara langsung dalam kerusuhan dan konflik
Poso mengatakan:
Yaku maeka rayaku wawase’i. Bare’e rodo
katuwuku mangaendo-endo poiwali anu mewali
ri Poso. Tempo setu yaku malulu ngkai jela-jela ri
Sangginora. Yaku ndariu sira Om Tibo danaka
yaku mampotompu paincani anu danda pake
moiwali. Roo nda riu, kuepe koroku maroso,
magasi, pai beda tinja wa’a panaguntu ri koroku.
Ince’e painaka maroso rayaku pai bare’e eka
ndayaku mampositomu tau se’e anu lau ri Poso.
Paikanya ri kapusanya poiwali setu, kuepe wa’a
paincani setu marameda ri koroku. Bare’e lintu
kayoreku sambengi-sambengi. Pepokonoku ja
sambela da sengke pai mombeluku.52
Tulis, Kisah Tiga Martir…, 23-22.
Bahasa Pamona, artinya: “Sekarang ini perasaan takut menyelimuti aku.
Tidak tenang hidupku mengingat-ngingat apa yang telah terjadi di Poso. Waktu itu
51

52

Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 171

Apa yang terjadi pada orang ini terdapat juga pada diri
beberapa orang yang lain. Menurut Pendeta Bareta sebagai
Gembala Jemaat Eli Salom Kele’i, sesudah kerusuhan dan
konflik Poso berakhir ada sejumlah besar warga desa Kele’i
dan sekaligus warga jemaatnya yang datang kepadanya
menyerahkan benda-benda jimat yang telah dipakai selama
kerusuhan tersebut. Mereka minta untuk dilepaskan dan
dibebaskan dari kuasa dan pengaruh kekuatan-kekuatan
magis yang pernah mereka pakai, karena kehidupan mereka
tidak tenang dan panas. Pendeta Bareta kemudian
mengumpulkan benda-benda jimat itu dan membakarnya.53
Selain karena pengalaman magis selama kerusuhan
dan konflik Poso, ada juga orang yang terbeban dan merasa
bersalah karena terlibat dalam aksi-aksi berdarah yang
mengakibatkan kematian orang lain. Seorang informan yang
masih muda, kurang lebih berumur 35 tahun membuat
kesaksian sbb:
Saya melihat aksi pengeroyokan di halaman
kantor BRI Tentena. Waktu itu saya sedang
berada di pasar. Tiba-tiba saya lihat orang
banyak lari ke muka BRI. Saya ikut lari ke
sana. Di sana saya lihat seseorang sedang
melawan sejumlah besar orang. Saya kenal dia
karena dia anak Pasar Tentena. Orang-orang
mulai pukul dia pake kayu dan batu. Lalu Ibu
Lumentut datang menghentikan aksi orang
banyak itu dan bawa dia ke Rumah Sakit
GKST. Waktu itu saya punya perasaan biasasaya mengikuti orang tua itu (Maksudnya Lateka) sampai di Sangginora. Sebelumnya
saya dimandikan oleh Om Tibo agar saya memperoleh ilmu kebal yang akan dipakai
dalam peperangan. Setelah dimandikan tubuh saya menjadi kuat, lincah gesit, dan
kebal terhadap senjata tajam dan peluru. Itulah sebabnya saya kuat hati dan tidak ada
perasaan gentar sedikitpun untuk berperang di Poso. Tetapi setelah perang itu
berakhir saya merasa ilmu itu panas membakar tubuhku. Saya tidak bisa tidur
setiapmalam. Saya selalu dikejar oleh keinginan untuk marah dan berkelahi…”
Wawancara dengan saudara “N” (samaran) 27 Maret 2014 di Kel’i.
53 Wawancara dengan Ibu Pendeta Bareta, 27 Maret 2014 di Kele’i.

172 Redefinisi Tindakan Sosial…

biasa saja. Ada sedikit takut waktu Brimob
datang di Tentena. Tapi tidak ada apa-apa.
Nanti waktu ikut-ikut persekutuan doa di
tenda, saya sadar dan merasa berdosa… 54
Peristiwa yang dimaksud di atas adalah peristiwa
pembunuhan oleh massa terhadap seorang warga Muslim asal
Makassar yang pernah tinggal di Tentena dan berjualan di
Pasar. Pada waktu kerusuhan ia meninggalkan Tentena dan
pergi ke Poso. Ada kabar bahwa ia ikut dalam aksi-aksi
pembakaran di Poso. Ketika keadaan relatif aman, ia datang ke
Tentena untuk menarik tabungannya di BRI Kancab Tentena.
Pada saat itu masyarakat mengenalnya dan mengeroyoknya
hingga tewas di tempat.
Pengaruh kuasa-kuasa magis, pengalaman-pengalaman
traumatis, dan emosi-emosi negatif seperti di atas kemudian
tereskpresi baik secara personal maupun kolektif dalam
perilaku, hubungan-hubungan kekeluargaan dan sosial.
Ketertiban dan keamanan di dalam desa sering mengalami
gangguan oleh sikap-sikap keras, kasar, dan mabuk-mabukan
dari warga masyarakat sendiri. Menurut salah seorang tokoh
masyarakat, sesudah kerusuhan dan konflik Poso, warga desa
Kele’i yang memang memiliki karakter pemberani dan keras
sering terlibat dalam perkelahian antar warga di dalam desa.
Orang-orang menjadi mudah tersinggung dan marah lalu
bentrok fisik di dalam kampung, apalagi kalau sudah mabuk