T1 802009145 Full text

1

Hubungan Antara Religiusitas Dengan Kecurangan Akademik
Pada Siswa SMA Negeri 1
Teras Boyolali
PENGANTAR
Pendidikan merupakan usaha orang dewasa secara sadar untuk
membimbing

dan

mengembangkan

kepribadian,

setara

kemampuan dasar anak didik dalam bentuk lembaga formal
maupun informal (Sukaini, 2013). Pemerintah merumuskan dalam
UU RI No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. UU
ini


menjelaskan

bahwa

pendidikan

dilakukan

agar

dapat

tercapainya cita-cita pendidikan nasional yang diharapkan bersama
yaitu, tujuan Pendidikan Nasional berfungsi untuk meningkatkan
kualitas manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa, terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa sebagai sarana berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi

warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, pasal 3 UU
RI NO 20/2003 (dalam Zuriah, 2007).
Dalam pengembangan kemampuan dasar anak didik lembaga
formal dan informal, memiliki ketentuan agar peserta didik
mendapatkan hasil yang memuaskan dalam proses pendidikan.
Menurut Sukaini (2013) diantaranya peserta didik diberikan
pelatihan seperti tugas-tugas, yang harus dikerjakan sebagai
penambah nilai yang nantinya akan digabungkan dengan aspekaspek yang lain, peserta didik diwajibkan mengikuti tatap muka

2

dengan guru, dan mengikuti tes akhir sebagai ketentuan untuk
mendapatkan kelulusan. Dalam proses belajar untuk mencapai
hasil yang diinginkan, peserta didik mengunakan berbagai macam
cara agar memperoleh hasil yang memuaskan. Ada beberapa cara
yang dapat dilakukan yaitu dengan kejujuran atau ketidak jujuran
(kecurangan), Untuk mendapatkan hasil atau nilai yang baik dapat
memicu munculnya kecurangan akademik, selain itu cara ini
dianggap paling mudah dan tidak memerlukan usaha yang sulit
(Dirottsaha, 2009).

Fenomena yang terjadi di kalangan peserta didik, mereka
menginginkan hasil yang baik tanpa harus bersusah payah atau
berusaha. Hal ini yang dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya
kecurangan akademik yang tidak sejalan dengan harapan
pendidikan nasional berdasar pada pancasila sebagai dasar
kepribadian bangsa Indonesia, berkaitan dengan moral, ilmu dan
amal (Wahyudin, 2006).
Rendahnya

moral

di

kalangan

pendidikan

berdampak

munculnya beberapa kasus tentang kecurangan akademik, yang

sangat memprihatinkan. Survei yang dilakukan terhadap 298
mahasiswa kependidikan di salah satu LPTK (Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan) menggambarkan kecurangan akademik
yang terjadi di indonesia (Rangkuti & Deasyanti, 2010). Hasil
survei menunjukkan kecurangan akademik yang dilakukan
mahasiswa saat ujian dan tergolong sering (lebih dari dua kali)
selama setahun terakhir antara lain: menyalin hasil jawaban dari
mahasiswa yang posisinya berdekatan selama ujian tanpa disadari

3

mahasiswa lain tersebut (16,8%); membawa dan menggunakan
bahan yang tidak diijinkan/contekan ke dalam ruang ujian (14,1%);
dan kolusi yang terencana antara dua atau lebih mahasiswa untuk
mengkomunikasikan

jawabannya

selama


ujian

berlangsung

(24,5%). Sementara itu, kecurangan akademik yang dilakukan saat
mengerjakan tugas antara lain: menyajikan data palsu (2,7%);
mengijinkan karyanya dijiplak orang lain (10,1%);

menyalin

bahan untuk karya tulis dari buku atau terbitan lain tanpa
mencantumkan sumbernya (10,4%); dan mengubah/ memanipulasi
datapenelitian(4%).(http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/30/ke
curanganakademikpadamahasiswa kependidikan/467121.html).
Kecurangan akademik dapat diartikan sebagai perilaku yang
dilakukan siswa dengan sengaja meliputi: pelanggaran peraturanperaturan dalam menyelesaikan ujian atau tugas, memberikan
keuntungan pada siswa lain dalam ujian atau tugas dengan cara
yang tidak jujur, pengurangan keakuratan yang diharapkan pada
peformasi siswa (Siti, 2009). Sementara menurut Hendricks (dalam
Siti, 2009) kecurangan akademik didefinisikan sebagai bagian

bentuk perilaku yang mendatangkan keuntungan, secara tidak jujur
termasuk didalamnya mencontek, plagiarisme, mencuri dan
memalsukan sesuatu yang berhubungan dengan akademik.
Callahan

dan

Taylor

(dalam

Money,

2008)

memandang

kecurangan akademik sebagai perilaku yang tidak etis yang
dilakukan secara sengaja.
Sama seperti lembaga pendidikan yang lain pada umumnya

SMA 1 Teras Boyolali berusaha menanamkan nilai-nilai kejujuran

4

dalam proses belajar,

tetapi pada kenyataannya bentuk-bentuk

kecurangan akademik juga dapat ditemukan dalam proses belajar.
Dari hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 23 Juli 2013
pada Bapak Porwadi selaku guru di SMA 1 Teras Boyolali
kecenderungan anak-anak yang melakukan kecurangan akademik
adalah anak laki-laki. Bentuk-bentuk kecurangan itu seperti
mencontek saat ujian, membuat catatan kecil yang di simpan rapi
di tempat kotak pensil, bertanya kepada teman pada saat ujian
berlangsung, bertukar jawaban dengan teman yang duduk di
sebelahnya, dan dengan berbagai macam alasan seperti belum
belajar atau soal ujian yang terlalu sulit. Menurut hasil wawancara
yang peneliti lakukan terhadap salah satu guru di SMA 1 Teras
Boyolali, kecurangan yang terjadi kebanyakan dilakukan oleh

siswa laki-laki, yang tidak pernah mengikuti acara kerohanian
seperti ibadah sholat bersama, sholat jumat bersama, dan
tadarusan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan siswi putri
juga dapat melakukan sebuah kecurangan, dalam proses belajar.
Dalam penelitian yang akan dilakukan peneliti mengkrucutkan
penelitian ini pada siswa yang beragama Islam.
Mulyawati, dkk (2010) berpendapat kecurangan akademik
sendiri, mempunyai dampak negatif terhadap individu yang
melakukannya, baik disadari maupun tidak. Individu yang curang,
akan menjadi tidak paham terhadap inti pendidikannya, tidak
paham terhadap materi-materi yang dipelajarinya, akibatnya bila
perilaku ini diteruskan,individu pada akirnya menjadi tidak
kompeten dan tidak dapat bertanggung jawab terhadap ilmu yang

5

disandangnya. Alhadza (2004) mengemukakan alasan yang
mendasar mengenai mengapa kecurangan akademik terjadi, yaitu
kecurangan akademik karena dilanggarnya nilai-nilai dasar
(fundamental) pendidikan.

Ada beberapa hal yang dapat memicu terjadinya kecurangan
akademik, menurut Handricks (2004) kecurangan akademik
dipengaruhi oleh beberapa hal yang dapat diprediksi diantarannya;
Faktor individual yaitu usia, jenis kelamin, prestasi akademik,
pendidikan orang tua, dan aktifitas ekstrakurikuler. Nilai-nilai
kejujuran, kebenaran dan keadilan merupakan salah satu hal yang
ada dalam suatu ajaran agama (Sukaini, 2013).
Didalam agama yang diyakini ada ajaran yang membahas
tentang kejujuran bertingkahlaku, sehingga ini berpengaruh
terhadap beberapa tindakan yang dilakukan seseorang (Dister,
1988). Religiusitas menurut Thouless (dalam Dister, 2000)
merupakan sikap terhadap dunianya, sikap yang menunjuk pada
suatu lingkungan yang luas dari lingkungan yang bersifat ruang
dan waktu, yaitu lingkungan rohani. Religiusitas merupakan
sesuatu hal yang ada dalam diri kita dan kita yakini sebagai
implementasi kepercayaan kita terhadap Tuhan yang Maha Esa
(Mangunwijaya, 1986).
Religiusitas merupakan implementasi ajaran agama yang di
yakini kedalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses akademik,
dapat terjadi perilaku kecurangan akademik. Hal ini bertentangan

dengan ajaran agama tentang moral dan kejujuran, pelangaran

6

terhadap norma agama akan mendapatkan sanksi yang merugikan
bagi pemeluk agama yang mempercayainya. Contohnya dalam
Agama Islam dijelaskan di Al Quran ketika seseorang dekat dan
ingat kepada-NYA maka akan selalu takut melakukan dosa, seperti
dalam surat AL-Muthaffifin ayat 7-17 menjelaskan bahwa
seseorang yang berbuat curang akan dicatat oleh Allah dan
mendapatkan balasan yang setimpal. Dengan mendirikan shalat
diharapkan mampu mencegah perbuatan yang dilarang oleh agama,
atau perilaku yang menyimpang dalam agama (Sukaini, 2013). Jika
religiusitas seseorang pemeluk agama tinggi akan menekan
terjadinya kecurangan akademik, sehingga religiusitas dapat
menjadi salah satu faktor yang menekan kecurangan akademik
(Dirottsaha, 2009).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukaini (2013)
tentang hubungan antara religiusitas dengan kejujuran akademik
siswa kelas XI SMA Negeri 2 Ngaglik Sleman Yogyakarta,

membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikansi antara
religiusitas dengan kejujuran akademik siswa kelas XI SMA
Negeri 2 Ngaglik Sleman. Jadi ada hubungan negatif yang
signifikansi antara religiusitas dengan kejujuran akademik, artinya
semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah kejujuran
akademik yang berdasarkan bentuk-bentuk perilaku mencontek
siswa ketika ujian. Tetapi survei yang dilakukan oleh Halida
(Litbang Media Group) tahun 2007 menghasilkan kesimpulan
bahwa mayoritas anak didik, baik di bangku sekolah dasar maupun
perguruan tinggi melakukan kecurangan akademik dalam bentuk

7

mencontek. Survei tersebut menemukan, bahwa kecurangan
akademik terjadi atau muncul disebabkan lingkungan sekolah atau
pendidikan.
Dari penelitian sebelumnya religiusitas di hubungkan dengan
salah satu bentuk kecurangan akademik yaitu mencontek dan
mengetahui tingkat kejujuran akademik, namun dalam penelitian
ini lebih membahas kecurangan akademik seperti: Penggunaan
catatan pada saat ujian, menyalin jawaban orang lain ketika ujian,
mengunakan metode-metode yang tidak jujur untuk mengetahui
apa yang akan diujikan, menyalin jawaban ujian dari orang lain
tanpa sepengetahuan yang bersangkutan,

membantu orang lain

berperilaku curang, dan ada beberapa bentuk lainnya (Sukaini,
2013). Akan tetapi kecurangan akademik terjadi bukan hanya
karena pengaruh religiusitas yang

rendah

adannya orientasi

prestasi yang kuat serta peer group sehingga kecurangan akademik
masih sering dilakukan (Dirottsaha, 2009).
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan signifikan antara tingkat religiusitas dengan
kecurangan akademik siswa siswi SMA Negeri 1 Teras Boyolali.

8

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Kecurangan Akademik
Barbara (2006) menyatakan bahwa kecurangan akademik
adalah perilaku-perilaku curang dalam pendidikan yang dapat
merugikan individu, baik perilaku curang tersebut

maupun

individu lain yang dikenakan perilaku curang tersebut. Kecurangan
akademik adalah bentuk ketidak jujuran akademik yang dilakukan
oleh siswa dalam proses belajar (Sukaini, 2013).
McCabe, Trevino dkk (2001) menjelaskan bahwa kecurangan
akademik merupakan suatu tindakan seorang siswa, memanipulasi
atau melakukan pelangaran peraturan yang ditentukan dalam
melaksanakan ujian

atau tugas, yang diberikan secara segaja

ataupu tidak sengaja. Tindakan tersebut bertujuan menguntungkan
dirinya agar mendapatkan keberhasilan dalam melakukan tugas
dan ujian yang diberikan pengajar terhadap siswa. Dalam perilaku
seperti plagiarism, ataupun pelanggaran hak-hak orang lain
kaitannya dalam dunia pendidikan (Dirottsaha, 2009).
Sementara perilaku curang menurut Anthanasou & Olasehinde
(2002) adalah berbuat curang dengan memperoleh, memberikan,
atau menerima informasi dari orang lain; berbuat curang dengan
melanggar norma-norma agama dan

menggunakan material-

material atau informasi yang dilarang; dan berbuat curang dengan
cara mencari kelonggaran dalam proses evaluasi. Taylor (dalam
Money, 2008) memandang kecurangan akademis sebagai perilaku
yang tidak etis yang dilakukan secara sengaja.

9

Dari beberapa bentuk perilaku curang dalam pendidikan yang
telah dijabarkan sebelumnya, dengan mengacu pada bentuk-bentuk
yang dikemukakan oleh Anthanasou & Olasehinde (2002) yaitu
berbuat curang dengan memperoleh, memberikan, atau menerima
informasi dari orang lain; berbuat curang dengan melanggar
norma-norma agama dan menggunakan material-material atau
informasi yang dilarang; dan berbuat curang dengan cara mencari
kelonggaran dalam proses evaluasi.
Bentuk-Bentuk Kecurangan Akademik
Bentuk-bentuk perilaku curang dalam pendidikan menurut
Athanasou & Olasehinde (2002) adalah berbuat curang dengan
memperoleh, memberikan, atau menerima informasi dari orang
lain, berbuat curang dengan melanggar norma-norma agama dan
menggunakan material-material atau informasi dari orang lain, dan
berbuat curang dengan mencari kelonggaran dalam proses evaluasi.
Anthanasou & Olasehinde (2002) mengelompokkan beberapa
kategori perilaku curang dalam pendidikan dengan mengacu pada
penelitian Newstead, dkk (1996). Pengelompokan tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Berbuat curang dengan memperoleh, memberikan, atau
menerima informasi dari orang lain:
1) Mengijinkan pekerjaan atau tugas milik pribadi untuk di-copy
atau disalin oleh orang lain.
2) Menyalin pekerjaan atau tugas milik orang lain dengan seijin
dari pihak yang bersangkutan.

10

3) Menggunakan pekerjaan atau tugas atas nama pribadi ketika
sebenarnya tugas tersebut dikerjakan bersama orang lain.
4) Mengerjakan tugas untuk orang lain.
5) Menyalin pekerjaan orang lain pada saat ujian tanpa diketahui
oleh pihak yang bersangkutan.
6) Kerja sama antara dua orang individu atau lebih selama ujian
berlangsung untuk saling mengkomunikasikan jawaban.
b. Berbuat curang dengan melanggar norma-norma keagamaan
dan menggunakan material-material yang dilarang:
1) Menggunakan kutipan atau kata-kata dari orang lain dengan
bahasa sendiri tanpa menyebutkan sumber atau acuan aslinya.
2) Mencuri data.
3) Memalsukan acuan daftar pustaka (referensi).
4) Meng-copy untuk tugas dari buku atau sumber lain tanpa
menyebutkan sumbernya.
5) Mengubah data (memanipulasi data untuk mendapatkan hasil
yang sesuai).
6) Membawa material-material (contoh: catatan atau buku) yang
dilarang pada saat ujian.
c. Berbuat curang dengan cara mencari kelonggaran dalam
proses evaluasi:
1) Terlibat dalam proses penjokian ( orang lain mengerjakan
tugas milik sendiri ataupun mengerjakan ujian untuk orang
lain).
2) Memaksa untuk mendapatkan perlakuan khusus dengan
menawarkan atau memberi bantuan dengan menyuap atau
membujuk.

11

3) Berbohong mengenai kesehatan atau keadaan lain untuk
mendapatkan perlakuan khusus dari penguji (dengan tujuan
untuk mendapatkan kemudahan; tambahan waktu pengajaran
ujian;

penambahan

waktu

penyelesaian

tugas;

atau

pembebasan ujian).
4) Dengan sengaja menyembunyikan buku, jurnal, atau artikel di
perpustakaan agar orang lain tidak dapat menggunakan; atau
dengan menghilangkan (dengan cara disobek atau digunting)
bagian tertentu dalam buku.
5) Mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk menandai
hasil pekerjaan masing-masing.
6) Memberikan informasi yang salah pada kertas jawaban ujian.
7) Menyembunyikan kesalahan yang dibuat oleh pengajar.
8) Melakukan tindakan pengancaman atau pemerasan.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kecurangan Akademik
Secara garis besar faktor yang memengaruhi perilaku curang
dalam pendidikan ada 2 hal (Mc Cabe, 2001):
a. Faktor-faktor kontekstual
1) Peraturan yang ada di sekolah atau lembaga pendidikan
tersebut. Perilaku curang dalam pendidikan dapat timbul
apabila peraturan dan sanksi yang dikenakan berkaitan dengan
masalah ini longgar atau tidak mengikat secara tegas.
2) Penerimaan individu terhadap kebijakan atau peraturan
sekolah. Individu yang dengan sadar menghormati kebijakankebijakan yang dikeluarkan oleh sekolah akan menjaga

12

integritasnya dalam hal tersebut akan menekan munculnya
perilaku-perilaku curang dalam pendidikan.
3) Sanksi dan hukuman terhadap perilaku curang dalam
pendidikan. Perlakuan yang tidak setimpal dalam pemberian
sanksi pada individual yang diketahui berbuat curang tidak
tegas. Sanksi yang dikenakan sebagai hukuman tidak tegas
sehingga pelaku tidak jera.
4) Adanya konformitas perilaku dengan teman sebaya yang
sekelompok (peer group). Teman yang berbuat curang secara
simbolik juga memberikan sugesti pada individu untuk
memunculkan perilaku curang dalam pendidikan.
b. Faktor-faktor individual
1) Usia
Kecenderungan munculnya perilaku curang dalam pendidikan
lebih banyak dilakukan pada individu-individu junior dari
pada individu-individu senior. Kematangan pola fikir juga
menjadi penyebabnya.
2) Jenis kelamin
Perilaku curang dalam pendidikan lebih banyak ditemukan
pada individu laki-laki dari pada perempuan. Hal ini
disebabkan

individu

perempuan

lebih

banyak

mempertimbangkan citra diri yang akan rusak apabila
perbuatanya diketahui orang lain.
3) Indeks prestasi
Individu dengan indeks prestasi rendah diasosiasikan dengan
individu dengan prestasi akademik rendah. Perilaku curang

13

dalam pendidikan cenderung muncul untuk meningkatkan
nilai-nilai akademik.
4) Religiusitas (nilai-nilai religius yang di anut )
Individu yang memiliki religiusitas yang lemah cenderung
menggangap kecurangan dalam pendidikan itu merupakan
sesuatu yang wajar dan sering dilakukan, mereka mengangap
beberapa

perilaku

curang

dalam

pendidikan

tidak

mendapatkan sanksi yang memberatkan.
Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

munculnya

perilaku

kecurangan akademik dalam pendidikan (Sujanah & wulan,1994)
yaitu:
a. Ketegangan atau kecemasan, seperti :
1) Menganggap bahwa ujian atau tes adalah alat mengevaluasi
kegagalan dan keberhasilan.
2) Adanya tekanan untuk berhasil dalam ujian atau tes.
3) Adanya tekanan untuk mencapai nilai yang tinggi dalam
ujian atau tes.
b. Situasi yang tidak menguntungkan, seperti :
1) Penyelenggaran ujian atau tes yang mendadak.
2) Materi ujian atau tes yang diselenggarakan terlalu banyak
3) Adanya beberapa ujian atau tes yang diujikan pada hari
yang sama.
c. Pengaruh

atau

persetujuan

sekelompok (peer group).
d.

dari

teman

sebaya

yang

14

Religiusitas
Pengertian Religiusitas
Menurut Ancok (2008) religiusitas adalah bagaimana cara
individu menunjukkan aspek-aspek religi yang dihayati dalam
hatinya. Pada umumnya, religi atau agama memiliki aturan-aturan
dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dan semua itu
berfungsi, untuk mengikat serta menguntungkan diri seseorang
atau kelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama
manusia dan alam sekitarnya (Jalaluddin, 2005).
Menurut Nur dan Rini, 2010

religiusitasadalah tingkatan

ketertarikan seorang individu terhadap agamanya. Menurut Dister
(dalam

Sukaini,

2013)

mengartikan

religiusitas

sebagai

keberagaman, yang berarti adanya internalisasi agama ke dalam
diri

seseorang.

ketertarikan

Sedangkan

seseorang

religiusitas
terhadap,

merupakan
agamanya

ukuran
individu

menginternalisasikan ketertarikan dalam agama yang di yakininya
kedalam kehidupannya sehari-hari.
Menurut Thouless (dalam Dister, 1988) mendefinisikan
religiusitas sebagai sikap terhadap dunianya, sikap yang menunjuk
pada pada suatu lingkungan yang luas dari pada lingkungan yang
bersifat ruang dan waktu, merupakan pengambaran lingkungan
lebih luas yaitu lingkungan rohani. Sedangkan menurut Hurlock
(1973) bahwa religiusitas tersusun dalam dua unsur yaitu
keyakinan terhadap ajaran agama dan unsur pelaksanaan ajaranajaran yang dilakukan oleh individu dalam kehidupannya. (Nur dan
Rini , 2010). Religiusitas adalah tingkatan ketertarikan seorang

15

individu terhadap suatu agama yang di tunjukan dalam kehidupan
sehari-harinya.
Dari beberapa pengertian tentang religiusitas yang telah
dijabarkan dan mengacu pada pengertian yang dikemukakan oleh
Nur dan Rini (dalam Glock& Stark, 2010) religiusitas adalah sikap
keberagamaan yang berarti adannya unsur internalisasi agama ke
dalam diri seseorang. Dapat dikatakan religiusitas lebih mengarah
pada keyakinan dan kepercayaan seseorang individu kepada Tuhan
yang bersifat internal.
Aspek – Aspek Religiusitas
Religiusitas dapat diketahui dengan menggunakan skala
religiusitas yang disusun berdasarkan aspek-aspek religiusitas dari
Glock dan Strak (dalam Nur dan Rini, 2010) yang meliputi dimensi
keyakinan, peribadatan, penghayatan, pengetahuan agama dan
pengalaman diantaranya :
a. Dimensi keyakinan (the ideological dimension )

Dimensi keyakinan adalah sejauh mana seseorang menerima
dan mengakui hal-hal yang dogmatik dalam agamanya.
Misalnya keyakinan adanya sifat-sifat Tuhan, adanya malaikat,
surga, para nabi dan sebagainya.
b. Dimensi peribadatan dan praktik agama ( the ritualistik
dimension)

Dimensi ini adalah sejauh mana seseorang menunaikan
kewajiban-kewajiban

ritual

dalam

agamanya.

menunaikan shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya

Misalnya

16

c. Dimensi feeling atau penghayatan (the experiencal dimension)

Dimensi penghayatan adalah perasaan keagamaan yang pernah
dialami dan dirasakan seperti merasa dekat dengan Tuhan,
tentram saat berdoa, tersentuh mendengar ayat kitab suci,
merasa takut berbuat doas, merasa senang doanya terkabulkan,
dan sebagainya.
d. Dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension)

Dimensi ini adalah seberapa jauh seseorang mengetahui dan
memahami ajaran-ajaran agamanya terutama yang ada dalam
kitab suci atau hadis, pengetahuan tentang fikih, dan
sebagainya.
e. Dimensi effect atau pengamalan (the consequential dimension)

Dimensi pengalaman adalah sejauh mana implikasi ajaran
agama mempengaruhi perilaku dalam kehidupan sosial.
Misalnya mendermakan sebagian harta untuk keagamaan dan
sosial, menjenguk orang sakit, mempererat silahturahmi dan
sebagainya.
Efek dari religiusitas.
Menurut Jalalludin (2005) ada efek seseorang memiliki religiusitas
yaitu:
a). Individu yang memiliki tingkat religiusitas yang cukup baik
akan memiliki kepribadian yang baik, karena dalam sebuah
agama mengajarkan apa yang dilarang dan apa yang baik
dilakukan dan tidak bertentangan dengan norma yang ada.

17

b). Individu yang mempunyai religiusitas yang baik, akan
mengontrol semua perbuatan yang dilakukan individu.
Individu percaya dalam setiap perbuatan yang dia lakukan
akanada balasannya nanti setelah dia mati.
c). Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas, karena individu
yang memiliki keyakinan yang sama secara psikologis merasa
memiliki kesamaan dalam satu kesatuan. Rasa iman dan
kepercayaan akan membina rasa solidaritas terhadap sesama
orang yang memeluk agama yang dipercaya
Hubungan Religiusitas dengan Kecurangan Akademik pada
siswa SMA 1 Teras Boyolali
Religiusitas adalah realisasi dari ajaran agama yang di terapkan
ke dalam hidup kita, sebagai bentuk percaya terhadap agama yang
kita yakini. Dister (1988) mengartikan religiusitas sebagai
keberagamaan yang berarti adanya internalisasi agama ke dalam
diri seseorang, religiusitas menunjuk pada kadar keterikatan
individu

terhadap

agamanya,

artinya

individu

telah

menginternalisasikan dan menghayati ajaran agamanya, sehingga
berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya. Hal
ini diselaraskan dengan pendapat (Dister, 1988) yang mengartikan
religiusitas sebagai keberagaman yang berarti adanya unsur
internalisasi agama itu dalam individual.
Menurut Ahyadi (1991) kehidupan beragama dengan perilaku
bermoral sukar dipisahkan. Kehidupan bermoral adalah sikap dan
tingkah laku yang baik, sedangkan tujuan agama yang penting
adalah membentuk manusia bermoral dalam masyarakat. Hampir

18

semua kehidupan bermoral dalam masyarakat berasal dari
moralitas agama, kepercayaan kepada agama yang dianutnya
dengan penghayatan dan pengalaman didalam mengembangkan
hubungannya dengan Tuhan dengan perasaan ikhlas, hormat,
sukarela dan takjub kemudian di praktekkan dalam tindakan
sehari-hari.
Dister (1988) mengatakan bahwa penurunan moral yang terjadi
dalam masyarakat modern adalah karena lengah dan kurang
mengindahkan agama. Jika kemajuan dalam masyarakat disertai
dengan keimanan dan ketentuan dalam beragama, niscaya akan
tercipta kedamaian dalam hidup, karena memberikan ketenangan
batin, sehingga dapat mengatur dan mengendalikan tingkah laku,
sikap dan peraturan-peraturan yang telah di tetapkan oleh agama
yang diyakininya. Saat seseorang melakukan perbuatan curang ada
norma-norma yang dilanggarnya, seperti norma kesusilaan dan
aturan agama, dalam agama kecurangan merupakan suatu tindakan
yang dapat dikatakan sebagai dosa, karena ada beberapa aspek
yang membahas tentang penghayatan dalam menjalankan larangan
dan perintah agama. Kecurangan dianggap ketidak taatan
seseorang terhadap perintah atau larangan yang sudah ditetapkan
agama yang dianutnya.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa religiusitas seseorang
akan memberikan pengaruh terhadap pikiran dan perasaan orang.
Dengan agama, manusia akan mendapatkan kepercayaan diri, rasa
optimis serta perasaan tenang. Manusia akan lebih tahan dalam
menghadapi cobaan jika dia menginternalisasikan ajaran-ajaran
agama dalam kehidupannya. Dengan religiusitas manusia merasa

19

lebih dekat dengan Tuhan, sehingga perilakunya akan lebih sesuai
kepada norma agama yang di anutnya, dan akan lebih bertanggung
jawab serta jujur dengan apa yang dia lakukan (Ahyadi, 1991).
Religiusitas dapat berpengaruh terhadap tindakan yang tidak sesuai
dengan moralitas dalam masyarakat seperti kecurangan akademik

Hipotesis
H0 = rxy