"Manusia Setengah Dewa".
- -----
h:~:"~
Pikiran
o Rabu
o
4
Selasa
20
OMar
21
o
A,)r
Rakyat
,0
8
23
6
5
0
Me;
0
Kamis__
JLoma!
9
10
11
24
25
26
8Jun
I
TULAH sepenggal lagu
kritik sosial dari Iwan Fals
yang masih kontekstual
dengan musim pilpres sekarang ini. Iwan Fals bukanlah
capres, wajar jika untaian kaIimat kritisnya itu dibingkai dalam bahasa indah, makro, dan
tak perlu di6ebani indikator-indikator konkret berbasis data.
Lain halnya dengan para capres yang sedang membangun
pontik citra. Megawati, SBY,dan
JK harus mau dan mampu
menjelaskan formula kepemimpinan mereka untuk lima tahun
ke depan dan mengedepankan
gagasan serta desain kebijakan
yang benar-benar berbasis pe.nyelesaian masalah bagi bangsa
ini. Jika ucapan mereka hanya
berkisar dalam tataran makro,
normatif, dan berbumbu yang
indah-indah saja, lantas untuk
apa merekadicalonkan menjadi
"manusia setengah dewa"?'
Politik harmoni
Meski capres di Pemilu 2009
itu ada tiga, namun yang tampak pada debat capres pertama
Kamis (18/6), justru hanya satu, yakni keseragaman. Benarbenar mengesan~
dramaturgi di panggung depan (front
stage) "tiga untuk satu atau satu untuk semua", suatu penerjemahan dari tradisi politik
harmoni yang seolah telah melembaga dalam mental siapa
pun pemimpin nasional kita
yang telah, sedang, atau pun
akan berkuasa. Debat tidak dimaknai dalam konteks komunikasi transaksional yang seha'rusnya membuka diri untuk
mengkritik dan dikiritik, setuju
dan tidak setuju, sehingga memungkinkan terciptanya dialektika. Melainkan, debat tersebut dibangun di atas fondasi
komunikasi interaksional yang
lebih mempertahankan kualitas
proses daripada kualitas hasil.
$).Iatu poli(ik keselarasan yang
kerap mereduksi nalar dan
orientasi pilihan masyarakat.
Hanya ada dua kata yang bisa
menggambarkan forum debat
capres putaran pertama, yakni
datar dan inembosankan. Anggapan datar merujiik pada situasi forum yang tak menunjukkan kelasnya para "bintang".
Tidak ada gagasan menonjol
dan transformasional tercetus
di forum itu. Sementara anggapan bahwa debat Cilprespertama membosankan, karena
hampir seluruh capres berada
dalam kuadran pemikiran yang
senada. Dengan demikian, acara debat tersebut takakan tercatat dalam sejarah "emiIu negeri ini, sebagai forum yang melahirkan ide, cara pandang, dan
perilaku politik yang menggerakkan minat politik warga.
Ketiga capres itu nyaris sera------
Kliping
Humos
0
12
Sab!u
0 Minggu
13
14
15
27
28
29
30
() .Jul 0 Ags~ --0 Sep
Oleh GUN GUN HERYANTO
"Turunkan harga secepatnya. Tegakkan hukum setegak-tegaknya. Adil dan tegas
tak pandang bulu. Pasti kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa. Wahaipresiden kami yang baru. Kamu
harus dengar suara ini."
- ---
-- -----
Unpoc
0 Ok!
0 Nov
()
gam dan saling setuju, terIebih
pada saat mereka dimintai komentar tentang isu-isu krusial
seperti penyelesaian lumpur
Lapindo, soal kasus HAM, UU
Peradilan Tipikor, perlindungan TKI, dan lain-lain.
Dari fenomena tersebut,
yang mengkhawatirkan sesimgguhnya adalah mental dan pemikiran dari tradisi yang sama.
Dengan begitu, siapa pun presidennya, tetap akan melanggengkan tradisi kekuasaan
yang sudah ada dan biasa berjalan apa adanya. Salah satu
dasar sikap skeptis ini, tentu
saja adalah forum debat capres
pertama, yang tak menghadirkan penanda atau indikator-indikator yang menunjukkan keberbedaan antara satu kandidat
dengan yang lainnya.
Kita bisa menengok betapa
deb at antara Obama dan
McCain menjadi menarik sekaIigus inspiratifkarena mereka
berani berterus terang bahwa
mereka berdua berbeda. McCain setuju melanjutkan operasi
militer di Irak inisalnya, semen tara Obama sebaIiknya,
akan mengurangi secara bertahap pasukan AS di sana. Obama menjanjikan menggunakan
pendekatan dialog dengan Iran,
sementara McCain tidak sarna
sekali. Begituplin di topik-topik
krusial lain, antara lain pemotongan pajak, kebijakan penanganan krisis ekonomi, pengelolaan kesehatan, dan lain-lain.
Rakyatlah yang menilai program mana yang lebih bagus. Kita bisa menilai program seorang kandidat lebih bagus daripada yang lain, tatkala ada pemilahan yangjelas. Politik har-
2009---
16
31
0;;;-
moni bukanlah solusi yang tepat saat khalayak memiliki hak
untuk tahu apa yang membedakan kandidat satu dengan
yang lainnya.
matan (face negotiation) yang
berlebihan. Masing-masing pihak menahan diri untuk menjaga citra karena mereka yakin
itulah mekanisme pertahanan
diri yang efektif. Citra akan terjaga jika tidak mengkritik atau
dikritik pihak lain, meski seCa~
ra substansi bahkari prinsipiel
mereka sangat berbeda. Ini semua tentu saja harns dihindari
dalam kesempatan debat capres pada 25 Juni dan 2 Juli
mendatang. "Manusia Setengah Dewa" yang diharapkan
Iwan Fals dalam liriknya adalah pemimpin yang mampu
mengurai benang kusut permasalahan negeri ini melalui kinerja yangkonkret, jelas, terukur, dan terencana. ***
Negosiasi kehormatan
Bisajadi para kandidat tidak
mau "bertarung" konsep dan
gagasan secara oposisional itu
karena dua al~.
Pertama, karena kuatnya budaya high context culture dalam tradisi politik
para elite. High context culture
merupakan kebalikan low context culture. Stella Ting Toomey (1985) mengidentifikasi diantara ciri m~nonjol dari high
context culture adalah gay
h:~:"~
Pikiran
o Rabu
o
4
Selasa
20
OMar
21
o
A,)r
Rakyat
,0
8
23
6
5
0
Me;
0
Kamis__
JLoma!
9
10
11
24
25
26
8Jun
I
TULAH sepenggal lagu
kritik sosial dari Iwan Fals
yang masih kontekstual
dengan musim pilpres sekarang ini. Iwan Fals bukanlah
capres, wajar jika untaian kaIimat kritisnya itu dibingkai dalam bahasa indah, makro, dan
tak perlu di6ebani indikator-indikator konkret berbasis data.
Lain halnya dengan para capres yang sedang membangun
pontik citra. Megawati, SBY,dan
JK harus mau dan mampu
menjelaskan formula kepemimpinan mereka untuk lima tahun
ke depan dan mengedepankan
gagasan serta desain kebijakan
yang benar-benar berbasis pe.nyelesaian masalah bagi bangsa
ini. Jika ucapan mereka hanya
berkisar dalam tataran makro,
normatif, dan berbumbu yang
indah-indah saja, lantas untuk
apa merekadicalonkan menjadi
"manusia setengah dewa"?'
Politik harmoni
Meski capres di Pemilu 2009
itu ada tiga, namun yang tampak pada debat capres pertama
Kamis (18/6), justru hanya satu, yakni keseragaman. Benarbenar mengesan~
dramaturgi di panggung depan (front
stage) "tiga untuk satu atau satu untuk semua", suatu penerjemahan dari tradisi politik
harmoni yang seolah telah melembaga dalam mental siapa
pun pemimpin nasional kita
yang telah, sedang, atau pun
akan berkuasa. Debat tidak dimaknai dalam konteks komunikasi transaksional yang seha'rusnya membuka diri untuk
mengkritik dan dikiritik, setuju
dan tidak setuju, sehingga memungkinkan terciptanya dialektika. Melainkan, debat tersebut dibangun di atas fondasi
komunikasi interaksional yang
lebih mempertahankan kualitas
proses daripada kualitas hasil.
$).Iatu poli(ik keselarasan yang
kerap mereduksi nalar dan
orientasi pilihan masyarakat.
Hanya ada dua kata yang bisa
menggambarkan forum debat
capres putaran pertama, yakni
datar dan inembosankan. Anggapan datar merujiik pada situasi forum yang tak menunjukkan kelasnya para "bintang".
Tidak ada gagasan menonjol
dan transformasional tercetus
di forum itu. Sementara anggapan bahwa debat Cilprespertama membosankan, karena
hampir seluruh capres berada
dalam kuadran pemikiran yang
senada. Dengan demikian, acara debat tersebut takakan tercatat dalam sejarah "emiIu negeri ini, sebagai forum yang melahirkan ide, cara pandang, dan
perilaku politik yang menggerakkan minat politik warga.
Ketiga capres itu nyaris sera------
Kliping
Humos
0
12
Sab!u
0 Minggu
13
14
15
27
28
29
30
() .Jul 0 Ags~ --0 Sep
Oleh GUN GUN HERYANTO
"Turunkan harga secepatnya. Tegakkan hukum setegak-tegaknya. Adil dan tegas
tak pandang bulu. Pasti kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa. Wahaipresiden kami yang baru. Kamu
harus dengar suara ini."
- ---
-- -----
Unpoc
0 Ok!
0 Nov
()
gam dan saling setuju, terIebih
pada saat mereka dimintai komentar tentang isu-isu krusial
seperti penyelesaian lumpur
Lapindo, soal kasus HAM, UU
Peradilan Tipikor, perlindungan TKI, dan lain-lain.
Dari fenomena tersebut,
yang mengkhawatirkan sesimgguhnya adalah mental dan pemikiran dari tradisi yang sama.
Dengan begitu, siapa pun presidennya, tetap akan melanggengkan tradisi kekuasaan
yang sudah ada dan biasa berjalan apa adanya. Salah satu
dasar sikap skeptis ini, tentu
saja adalah forum debat capres
pertama, yang tak menghadirkan penanda atau indikator-indikator yang menunjukkan keberbedaan antara satu kandidat
dengan yang lainnya.
Kita bisa menengok betapa
deb at antara Obama dan
McCain menjadi menarik sekaIigus inspiratifkarena mereka
berani berterus terang bahwa
mereka berdua berbeda. McCain setuju melanjutkan operasi
militer di Irak inisalnya, semen tara Obama sebaIiknya,
akan mengurangi secara bertahap pasukan AS di sana. Obama menjanjikan menggunakan
pendekatan dialog dengan Iran,
sementara McCain tidak sarna
sekali. Begituplin di topik-topik
krusial lain, antara lain pemotongan pajak, kebijakan penanganan krisis ekonomi, pengelolaan kesehatan, dan lain-lain.
Rakyatlah yang menilai program mana yang lebih bagus. Kita bisa menilai program seorang kandidat lebih bagus daripada yang lain, tatkala ada pemilahan yangjelas. Politik har-
2009---
16
31
0;;;-
moni bukanlah solusi yang tepat saat khalayak memiliki hak
untuk tahu apa yang membedakan kandidat satu dengan
yang lainnya.
matan (face negotiation) yang
berlebihan. Masing-masing pihak menahan diri untuk menjaga citra karena mereka yakin
itulah mekanisme pertahanan
diri yang efektif. Citra akan terjaga jika tidak mengkritik atau
dikritik pihak lain, meski seCa~
ra substansi bahkari prinsipiel
mereka sangat berbeda. Ini semua tentu saja harns dihindari
dalam kesempatan debat capres pada 25 Juni dan 2 Juli
mendatang. "Manusia Setengah Dewa" yang diharapkan
Iwan Fals dalam liriknya adalah pemimpin yang mampu
mengurai benang kusut permasalahan negeri ini melalui kinerja yangkonkret, jelas, terukur, dan terencana. ***
Negosiasi kehormatan
Bisajadi para kandidat tidak
mau "bertarung" konsep dan
gagasan secara oposisional itu
karena dua al~.
Pertama, karena kuatnya budaya high context culture dalam tradisi politik
para elite. High context culture
merupakan kebalikan low context culture. Stella Ting Toomey (1985) mengidentifikasi diantara ciri m~nonjol dari high
context culture adalah gay