Penyelesaian Sengketa Hadhanah Menurut Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam

ABSTRAK
Perkawinan tidak selamanya berjalan seperti apa yang diharapkan menjadi
keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah karena harus putus sebabkan
perceraian sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan.
Perceraian menimbulkan berbagai akibat hukum terhadap suami istri dan tidak
terkecuali terhadap anak, yakni terkait masalah pemeliharaan anak (hadhanah)
setelah terjadinya perceraian. Masing-masing orang tua menganggap diri mereka
sebagai pihak yang lebih pantas melaksanakan tugas hadhanah anak-anak yang telah
lahir dari perkawinan tersebut hingga menimbulkan sengketa diantara keduanya.
Agartercapai suatu penyelesaian diantara mereka maka harus dilakukan suatu upaya
penyelesaiannya baik itu menurut perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI).Permasalahan yang timbul dalam penyelesaian sengketa hadhanahini adalah
terkait pihak mana yang lebih berhakmengasuh anak pada saat tenggang waktu
penentuan hak hadhanah anak belum diputuskan, bagaimana penyelesaian sengketa
hadhanah menurut perspektif fiqih dan KHI, bagaimana hak dan tanggung jawab
orang tua yang hak hadhanah tidak jatuh kepadanya.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yakni suatu
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan dan data sekunder
seperti Al-Qur’an, hadist, peraturan perundang-undangan, putusan hakim dan
pendapat praktisi hukum yang berkaitan dengan hadhanah.
Pihak yang berhak mengasuh anak pada saat tenggang waktu penentuan hak

hadhanah anak belum diputuskan adalah ibu, hal ini sejalan dengan urutan pertama
bagi orang-orang yang berhak melaksanakan tugas hadhanah atas anak. Apalagi jika
anak tersebut masih belum mumayizz (Pasal 105 KHI) akan tetapi bila anak tersebut
telah mumayyiz maka anak dapat menentukan sendiri untuk sementara berada dalam
pengasuhan pihak yang dikehendakinya baik itu ayah, ibu, nenek, kakek maupun
kerabat lainnya. Penyelesaian sengketa hadhanah menurut perspektif fiqih dapat
ditempuh dengan dua cara yaitu:1. Di luar pengadilan dengan cara melakukan
perdamaian(al-islah/shulh) dengan mengunakan metode at-tahkim, 2. Melalui
lembaga peradilan Islam. Sedangkan penyelesaian sengketa hadhanah menurut KHI
dapat dilakukan dengan cara mediasi dan dengan mengajukan gugat di pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah. Hak orang tua yang hak hadhanahnya tidak jatuh
kepadanya, diantaranya adalah hak untuk melihat/ mengujungi anak, hak mendapat
penghormatan, hak menjadi wali nikah (bila anak tersebut perempuan), hak menjadi
ahli waris dari anak-anaknya, sementara kewajibannya terhadap anak diantaranya
kewajiban menafkahi anak (bila tugas hadhanah berada pada ibu), memberikan kasih
sayang kepada anak.
Kata Kunci: Hadhanah, Fiqih Islam,KHI

i


Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
A marriage does not run as we have expected to be sakinah (peaceful),
mawaddah (safe and peaceful), and warahmah (love and affection) since it can be
broken off because of divorce as it is stipulated in Article 38 of Law on Marriage. A
divorce causes various legal consequences on husband and wife, including their
children, related to hadhanah (child custody) after a divorce occurs. Each of the
parents claims that he/she has the right to carry out the hadhanah on the children
who are born from the marriage so that there will a dispute between them. The
resolution must be made, either by following the fiqih perspective or by following the
Compilation of Islamic Law (KHI). The problem which arises in the resolution of
dispute in hadhanah is which one has the right to take care of the children before the
decision who will be give the custody of the children is made, how about the
resolution of hadhanah according to fiqih perspective and to the Compilation of
Islamic Law, and how about the right and obligation of the parent whose right to
obtain hadhanah is lost.
The research used judicial normative approach by studying literature
materials and secondary data such as the Koran, hadist, legal provisions, laws, and
regulations, judge’s verdicts, and the opinions of legal practitioners, all of which

were related to hadhanah.
The party who will take care of the children before the decision of who will be
given the custody of the children has not yet been made is the mother. This is in line
with the rank for the person who has the right to be given the custody, let alone if
they are still before mummayiz (Article 105 of the Civil Code). If they are already
mummayiz (having arrived at the age of discretion), they will decide themselves who
will take care of them, their father, mother, grandparents, or any other relative. The
resolution of hadhanah from the fiqih perspective can be made with two alternatives:
1) by making peaceful resolution (al-ishlah or shulh), using at-tahkim method outside
the Court, 2) through Islamic Judicature Body. The resolution of the dispute in
hadhanah, according to KHI, can be done by mediation and filing a claim to
Religious Court/Sharia Court. The parent who is not given hadhanah right such as
the right to see or to visit the children, the right to be respected, the right to be wali
nikah (if the child is female), and the right to be the heir of the children; while his
obligation toward the children is, among others, the obligation to allowance to the
children (if the mother who is given the custody) and give love and affection to the
children.

Keywords: Hadhanah, Islamic Fiqih, KHI


ii

Universitas Sumatera Utara