Jasa Rujukan Di Perpustakaan Pada Era Digitalisasi

JASA RUJUKAN DI PERPUSTAKAAN
PADA ERA DIGITALISASI
Oleh Drs. Jonner Hasugian, M. Si
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Perpustakaan
Fakultas Sastra USU

1.Pendahuluan
Informasi berbasis kertas (paper-based), yang selama ini menjadi primadona
perpustakaan, sekarang semakin banyak yang tersedia dalam bentuk digital atau edisi
elektronik. Bahkan sebagian dari produk informasi yang dihasilkan, telah ada yang hanya
tersedia dalam bentuk elektronik saja. Dokumen-dokumen lama telah banyak yang
digitalisasi agar dapat diakses secara elektronik. Dengan digitalisasi informasi, maka
terjadilah penggandaan informasi dari bentuk tercetak ke bentuk elektronik. Salah satu
contoh dari penggandaan infornmasi ialah, Library and information Science Abstract
(LISA), yang dulunya hanya berbentuk tercetak (hard copy), kini telah terbit dalam dua

bentuk yaitu tercetak dan CD-ROM.
Format elektronik pada media magnetik mulai mendampingi format cetak pada
media kertas ketika sejumlah pangkalan data online mulai didirikan pada pertengahan
tahun enampuluhan, kemudian media optik menyusul pada pertengahan tahun
delapanpuluhan (McDonel, 1993 : 7). Pendapat ini senada dengan apa yang dikemukakan

oleh William A. Katz (1997 : 34), bahwa sebelum tahun 1960-an rujukan standar dalam
layanan referensi hanyalah menggunakan bahan rujukan tercetak, mulai dari indeks
sampai kepada bibbliografi, kemudian menggunakan elektronik database, dan pada
pertengahan tahun 1980-an menggunakan compact disc yang disebut CD-ROM. Kedua
pendapat tersebut menunjukkan proses digitalisasi informasi yang berkembang dari masa
ke masa. Digitalisasi informasi semakin laju berkembang pada akhir tahun
delapanpuluhan, dan berlanjut hingga saat ini. Secara berangsur-angsur perkembangan
format elektronik semakin populer dan koeksis dengan format cetak.
Pada tahap awal perkembangannya, format magnetik, dan optik umumnya
digunakan untuk menyimpan informasi sekunder seperti bilbiografi dan indeks. Baru pada
perkembangan selanjutnya format elektronik mencakup teks penuh (full text) dari
1

informasi primer, seperti artikel majalah ilmiah, laporan penelitian, dan sebagainya. Pada
perkembangan selanjutnya, format elektronik memuat citra penuh (full image), sehingga
tampilannya di layar komputer terlihat percis seperti versi cetaknya, dan hasil print outnya terlihat seperti dokumen aslinya.
Perkembangan digitalisasi informasi dipengaruhi oleh laju pertumbuhan informasi
yang ekponensial di satu sisi, serta meningkatnya kemampuan teknologi informasi
khususnya komputer di sisi lain. Kemampuan media digital menyimpan informasi dalam
kapasitas yang sangat besar, mendorong pendigitalisasian informasi cenderung semakin

meningkat.
Salah satu dampak dari pendigitalisasian informasi ialah terjadinya berbagai
perubahan cara mengelola informasi di berbagai pusat informasi, termasuk pada
perpustakaan. Kemapanan kertas sebagai media informasi yang selama ribuan tahun
menjadi primadonna koleksi perpustakaan, kini ditantang oleh media digital, yang
menawarkan cara yang berbeda dalam menyimpan dan menemukan kembali informasi.
Oleh karena itu, berbagai perpustakaan dan pusat informasi, telah memperkaya
koleksinya dengan berbagai sumber informasi digital. Beberapa perpustakaan di negara
maju, bahkan mempunyai lebih banyak sumber informasi dalam media digital daripada
sumber informasi media cetak. Digitalisasi informasi diperkirakan akan semakin
meningkat, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Digitalisasi informasi didukung oleh ketersediaan teknologi, baik untuk proses
pengalihan, maupun untuk mengakses atau temu kembali. Teknologi yang dimaksud
adalah teknologi informasi, terutama di bidang teknologi komputer dan telekomunikasi.
Dengan peranan kedua teknologi tersebut, informasi menjadi sesuatu yang bersifat maya,
yang dapat diakses dari seantero dunia ini melalui jaringan global yaitu internet.
Internet telah mengubah cara manusia bekerja, dan dapat dipastikan akan
mengubah cara manusia berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Berkenan dengan
digitalisasi informasi dan kehadiran internet, ada sejumlah pradigma baru yang muncul
pada jasa rujukan di perpustakaan. Misalnya, layanan rujukan konvensional yang dulunya

hanya merujuk kepada sumber informasi tercetak (paper-based), kini telah mulai merujuk
kepada sumber informasi digital. Penelusuran informasi yang selama ini hanya terfokus
2

kepada koleksi yang dimiliki, kini telah dapat dilakukan ke sumber-sumber lain diluar
perpustakaan, seperti akses ke berbagai pangkalan data di website internet. Prototipe
pustakawan rujukan yang dulunya hanya familier dengan koleksi kamus, ensiklopedia,
direktori dan sebagainya, kini dituntut harus mulai familier dengan bahan-bahan digital
seperti CD-ROM, Multimedia, disk komputer, dan mengenal beberapa website di
internet.
Melihat perkembangan digitalisasi informasi dan website internet, serta
kemudahan-kemudahan

yang

disumbangkannya

dalam

penyediaan


maupun

penyebarluasan informasi, maka sering memunculkan kekhawatiran pada jadi diri
pustakawan khususnya pustakawan rujukan. Ada pihak yang berprasangka bahwa dengan
era digital, jasa rujukan semakin tidak dibutuhkan, dengan demikian keberadaannya
diprediksi akan terancam. Ada juga pihak yang lebih ekstrim lagi memprediksi bahwa
pada kurun waktu tertentu, orang tidak akan datang lagi ke perpustakaan karena merasa
cukup melakukan akses melalui internet dari rumah atau kantornya untuk mencari
informasi yang dinginkannya, dengan demikian masa depan perpustakaan dan
pustakawan diasumsikan akan buruk, bahkan mungkin akan hilang.
Di lain pihak, ada juga yang menyatakan bahwa peran pustakawan rujukan
semakin diperlukan di era digital, karena dengan ledakan informasi yang sangat besar dan
tersebar di berbagai tempat termasuk di berjuta-juta website internet, mengakibatkan
pengguna semakin sulit mendapatkan informasi yang relevan dengan kebutuhannya. Oleh
karena itu, pengguna memerlukan jasa intermediary untuk bisa mencari informasi yang
dibutuhkannya. Jasa intermediary adalah salah satu produk layanan rujukan, dengan
demikian jasa rujukan semakin dibutuhkan pada era digital.
Uraian di atas menggambarkan adanya perbedaan persepsi atau semacam opini
terhadap jasa rujukan di era digitalisasi informasi. Untuk menuntaskan opini-opini seperti

disebut di atas, tulisan ini mencoba meresponya, dengan mengemukakan argumen melalui
pembahasan pada sub-sub topik yang ditentukan. Akan dikemukakan sejumlah argumen
untuk menyoroti keberadaan jasa rujukan di era digital. Sebelumnya, akan diuraikan
protipe atau karakteristik perpustakaan di era digital.

3

2. Prototipe Perpustakaan Di Era Digital
2.1.Perpustakaan Digital dan Virtual
Perpustakaan digital adalah suatu lingkungan perpustakaan dimana berbagai objek
informasi (dokumen, images, suara, video-clips) disimpan dan diakses dalam bentuk
elektronik (Creth, Sheila,1996). Objek dimaksud terekam dalam berbagai jenis media
komputer seperti hard disk dan CD-ROM. Pengertian perpustakaan digital juga dapat
dilihat dari beberapa sisi. Dari perspektif database dan temu kembali, perpustakaan
digital dapat diartikan sebagai federasi atau kumpulan database. Dari perspektif
hypertext, perpustakaan digital dapat dipandang sebagai aplikasi khusus dari teknologi
hypertext. Dari perspektif layanan informasi wide-are, perpustakaan digital dapat dilihat

sebagai penggunaan World Wide Web. Sedangkan dari perspektif ilmu perpustakaan,
perpustakaan digital bisa dipandang sebagai kelanjutan dari trend automasi perpustakaan

(Hasting, 1996).
Berdasar kepada pengertian tersebut, tersirat isu sentral yang berkaitan dengan
perpustakaan digital itu, antara lain bagaimana mengelola informasi digital tersebut
dengan prinsip ilmu perpustakaan, serta bagaimana mendigitalisasikan objek informasi
yang ada agar dapat diakses melalui komputer stand alone, jaringan lokal, maupun
melalui internet. Dengan internet, mungkin puluhan ribu perpustakaan atau pusat
informasi yang berisi sumber informasi yang tak terhingga banyaknya dapat saling
terhubung, dan dapat dimanfaatkan oleh ratusan juta pemakai yang terdiri dari individu
atau organisasi(Garret, John R.1995). Ketersambungan berbagai perpustakaan melalui
internet, membentuk suatu sistem informasi yang maha besar, yang sering disebut
perpustakaan virtual.
Konsep perpustakaan virtual pada dasarnya adalah akses jarak jauh ke isi dan
layanan perpustakaan, serta sumber-sumber informasi lain. Berbagai jenis perpustakaan
tersambung ke internet, hal itu memungkinkan akses dapat dilakukan, dan kemudian bisa
mengambil informasi dari perpustakaan tersebut. Dengan demikian jarak, batas, dan
waktu, bukan lagi faktor penghalang dalam pencarian informasi.
Digitalisasi informasi dan kegiatan menghubungkan perpustakaan melalui internet
telah mulai dan terus berlangsung dilakukan, dan diperkirakan kegiatan ini akan semakin
4


banyak dilakukan di masa mendatang. Sebagai gambaran, Kazt (1997 : 20)
mengemukakan, hasil survei tahun 1995 menunjukkan bahwa 5,8 juta orang dewasa di
Amerika dihubungkan secara langsung ke internet, 3,5 juta hanya menggunakan layanan
online komersial seperti American Online. Dinyatakan juga bahwa pengguna dan

pertumbuhan website di internet setiap waktu terus meningkat.
Pertumbuhan internet dirasakan begitu cepat, sehingga berbagai lapisan
masyarakat, termasuk pustakawan tidak asing lagi dengan istilah internet, sekalipun
banyak diantara mereka yang belum pernah menggunakannya. Rata-rata pertumbuhan
internet pada tahun 1993 adalah sekitar 160 %, dimana pertumbuhan internet di luar
Amerika Serikat mencapai 183 %. Pada akhir tahun 1994, internet telah menghubungkan
sekitar 5 juta komputer melalui 45.000 jaringan yang tersebar di lebih dari 90 negara
(Bambang, Setiarso, 1995 ). Indonesia sendiri baru bergabung dengan

NSFNET

(National Science Foundation Network ) pada tahun 1994, bersama dengan Bulgaria,
Costa Rica, Mesir, Fiji, Ghana, Guam, Khzakhstan, Kenya, Liechtenstein, Peru, Rumania,
Federasi Rusia, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, dan Virgin Islands. Perkembangan
selanjutnya menjadi sangat luar biasa sehingga jumlah host yang bergabung dengan

internet mencapai angka 12.881.000 pada bulan Juli 1996, dengan jumlah jaringan yang
tergabung mencapai 134.365 jaringan,dan domain sebanyak 488.000 (Zakon, Robert
H’obbes, 1996)
Para ahli terus mengembangkan berbagai standar dan teknologi internet termasuk
yang berkaitan dengan kecepatan, sekuriti dan peralatan akses dengan tujuan untuk
menjadikan internet sebagai sesuatu yang universal bagi semua orang untuk berbagai
keperluan, terutama dalam penyediaan, penyebarluasan dan pemanfaatan informasi.
Pertumbuhan jumlah informasi setiap saat semakin meningkat, setiap orang atau
korporasi berlomba-lomba melontarkan informasi yang dimilikinya melalui internet,
sehingga menimbulkan terjadinya ledakan atau banjir informasi. Di satu sisi, ledakan
informasi itu mendorong para produsen informasi untuk mencari media lain selain buku,
menjadi media dan saluran informasi alternatif. Hal ini pulalah salah satu faktor yang
memunculkan perpustakaan digital dan virtual.

5

2.2. Perpustakaan Kecil Dengan Akses Besar
Persepsi tentang besar kecilnya perpustakaan selalu diukur berdasarkan dimensi
fisik yaitu gedung dan koleksi. Makin banyak bahan pustaka buku dan majalah yang
dimiliki suatu perpustakaan, cenderung menunjukkan kehebatan perpustakaan itu, karena

makin besar dan kemungkinan koleksinya lebih lengkap. Perpustakaan besar selalu
diasumsikan sebagai suatu perpustakaan yang mempunyai jumlah buku dan majalah yang
banyak, kursi baca yang banyak, gedung yang besar dan jumlah pustakawan yang banyak
pula. Sebaliknya, perpustakaan yang hanya memiliki 10 atau 15 ribu eksemplar koleksi,
sering dianggab sebagai perpustakaan kecil.
Persepsi pustakawan tentang besar kecilnya perpustakaan berdasarkan dimensi
fisik seperti di atas, dapat menjadi kendala untuk menerima kehadiran teknologi
informasi, karena pustakawan telah terobsesi untuk membesarkan perpustakaannya secara
fisik. Akan tetapi bila disadari secara mendalam, persepsi itu adalah kurang proporsional.
Sebagai contoh, satu set General Periodical Ondisk Proquest dari UMI yang terdiri atas
kurang lebih 700 CD-ROM, yang jika ditumpukkan akan membentuk slinder 12 cm,
maka tingginya mungkin hanya 1 sampai 2 meter saja, yang bila disimpan cukup
menggunakan satu atau dua laci file kabinet saja. Padahal, CD-ROM ini memuat citra
penuh (fulltext) kurang lebih dari 1500 judul majalah ilmiah yang terus menerus di-update
setiap bulannya sejak tahun 1994 sampai sekarang. Jika kita menyimpan seluruh versi
cetak yang dikandung oleh 700 CD-ROM itu, mungkin akan menghabiskan ruangan
antara 150 sampai 200 meter persegi. Jika dibandingkan dari sudut penyimpananya, maka
bahan digital seperti CD-ROM tersebut, jauh lebih menguntungkan dari pada menyimpan
hard copy-nya


Pada era perpustakaan virtual sebagaimana disebut di atas, perpustakaan akan
tersambung ke internet, dengan demikian akan dapat melakukan akses ke berbagai jenis
perpustakaan di mancanegara. Dengan konsep ini, perpustakaan tidak lagi harus
memaksakan diri untuk melakukan pembelian bahan pustaka semata, akan tetapi harus
memperhatikan kemungkinan menyediakan akses ke berbagai perpustakaan atau ke pusatpusat informasi lainnya. Sebab, ada kalanya biaya mengakses suatu informasi melalui
internet jauh lebih murah jika dibanding dengan membeli bentuk cetakannya. Oleh karena
6

itu perpustakan di masa mendatang akan memberi keseimbangan pembelian pisik bahan
pustaka dengan penyediaan akses. Dengan demikian, bahwa salah satu prototipe
perpustakaan di era digital ialah perpustakaan modern yang secara dimensi fisik relatif
kecil, akan tetapi aksesnya sangat besar.

3. Dampak Era Digital Terhadap Jasa Rujukan
3.1. Sumber Rujukan Semakin Luas dan Kompleks
William A. Katz (1997 : 21) menyatakan, “sumber informasi pada satu dekade
yang lalu identik dengan buku cetakan. Saat ini definisi tersebut dirubah, mengarah
kepada bahan elektronik. Sumber rujukan yang utama adalah online yang tersedia, atau
seperti CD-ROM”. Pendapat ini bukan berarti mengabaikan peranan dari sumber rujukan
tercetak, akan tetapi lebih menunjukkan bahwa sumber rujukan pada era digital semakin

luas, terutama dengan rujukan online. Sumber-sumber rujukan konvensional semakin
diperluas dan dilengkapi dengan kehadiran sumber rujukan digital. Konsep jasa layanan
rujukan di perpustakaan yang konvensional hanya menekankan penyediaan akses ke
informasi yang dimiliki, kini dengan internet harus berubah ke arah konsep tanpa harus
memilikinya. Konsep perpustakaan yang selama berabad-abad menjadi pengelola
informasi berbasis cetak, kini dengan kehadiran media digital dapat menjadi pengelola
informasi elektronik.
Selain itu, fungsi dan peran perpustakaan yang secara tradisional hanya memberi
layanan peminjaman koleksi kepada pengguna, akan berubah menjadi perantara atau
intermediary antara pengguna dengan berbagai jenis dan bentuk informasi yang terdapat

di berbagai tempat, atau website internet. Dengan internet pustakawan rujukan dapat
menghubungkan pengguna ke berbagai site database di mancanegara. Dengan
memanfaatkan fasilitas www di internet, akan memungkinkan banyak perpustakaan
menjadi online. Internet telah membuka dunia baru bagi perpustakaan. Perpustakaan yang
secara konvensional berinteraksi secara pasif kepada pengguna melalui layanan buku ,
maupun jurnal semata, akan lebih agresif dengan internet.
Banyak perpustakaan yang telah menyediakan fasilitas online, beberapa
diantaranya adalah:
7

 Library of Congress : http://www.loc.gov

 Clinton Public Library : http://www.holli.com/-clinpl/

 Cornell University-Enggineering Library:
http://www.englib.cornell.ed/

 National Library of Medicine : http://www.nlm.nih.gov/

 Linda Hall Library : http://www.lhl.lib.mo.us/. dsb.

Perpustakaan-perpustakaan yang telah tersambung ke internet menyediakan
fasilitas search yang dapat digunakan untuk mencari atau menelusuri koleksi yang
dimilikinya. Dengan demikian koleksi suatu perpustakan akan dapat diakses oleh
perpustakaan lainnya, sekalipun jaraknya berjauhan. Oleh karena itu, jika seorang
pengguna yang tidak menemukan informasi yang diinginkannya di perpustakaan kita,
maka pengguna tersebut dapat kita hubungkan ke perpustakaan lain yang memiliki
informasi itu dengan bantuan internet.
Dengan menggunakan fasilitas www di internet, kita juga dapat memasuki
berbagai ensiklopedia yang menyimpan informasi tentang banyak hal. Misalnya,
ensiklopedia Britanica telah dapat diakses di internet (http://www.eb.com/eb.html). Jurnal
ilmiah pun dapat diakses di internet. Saat ini ribuan jurnal ilmiah berada di internet.
Misalnya, beberapa jurnal untuk ilmu perpustakaan dan informasi yang dapat diakses
melalui lokasi berikut:
http://bubl.ac.uk/journals/,
http://www-libr.org/pl/,
http://www.dlib.org/back.html,
http://www.idrc.ca/library/document/netpac, dsb.

Banyaknya sumber informasi yang tersedia di internet, mengakibatkan informasi
semakin kompleks, oleh karena itu dibutuhkan keahlian untuk memilih informasi yang
relevan dengan kebutuhan, dari sekian banyak informasi yang tersedia. Pertumbuhan
digitalisasi informasi, dan website di internet yang sangat pesat tidak hanya berdampak
kepada bertambahnya sumber rujukan, melainkan menimbulkan kompleksitas dalam
penelusuran (complexcity of searching). Katz (1997 : 43) menyatakan bahwa konsekuensi
dari penggunaan database ialah bahwa pustakawan harus senantiasa mempelajari terlebih
8

dahulu struktur perintah (command) dari setiap tipe CD-ROM atau penelusuran secara
online, sebelum melakukan penelusuran. Kemampuan untuk menguasai penelusuran yang

kompleks pada media digital, tentunya menjadi suatu tantangan yang harus dihadapi oleh
pustakawan rujukan untuk dapat capable dan acceptable di era digital.
3.2. Metode Layanan Rujukan Mengalami Perubahan
Kehadiran media digital dan teknologi informasi seperti internet tidaklah merubah
filosofi dasar jasa rujukan di perpustakaan, akan tetapi dapat merubah cara atau metode
mengelola sumber-sumber informasi yang ada. Teknologi informasi membawa
perubahan-perubahan penting di perpustakaan dalam mengelola informasi dan
memberikan pelayanan. Jasa rujukan yang selama ini hanya berupa layanan menggunakan
sumber tercetak, kini bertambah dengan layanan digital. Jasa rujukan yang selama ini
mengandalkan kepemilikan koleksi, kini tidak dapat dipertahankan lagi, melainkan bisa
mengandalkan akses ke luar perpustakaan. Internet telah membuka akses informasi
kepada berbagai site atau lokasi informasi di mancanegara. Hal ini tentunya berbeda
dengan prinsip perpustakaan konvensional.
Perpustakaan konvensional menitik beratkan pelayanan informasi kepada
dokumen yang dimilikinya, yaitu berupa bahan tercetak seperti buku, jurnal, laporan
penelitian, bibliografi, indeks dan sebagainya. Sedangkan perpustakaan modern di era
digital, adalah perpustakaan yang dapat menyediakan layanan produk informasi dalam
bentuk cetak maupun elektronik secara sejajar, yang disertai dengan kemampuan untuk
mengatur strategi penelusuran informasi secara cepat dan tepat melalui penggunaan
teknologi informasi.
3.3. Peluang Menjadikan Jasa Rujukan yang Profit
Sekalipun perpustakaan selalu digolongkan kepada organisasi nonprofit atau
nirlaba, bukan berarti luput dari imbalan jasa. Jasa rujukan di era digital mau tidak mau
harus memerlukan biaya terutama bila memanfaatkan sumber informasi dari luar
perpustakaan, atau melalui penelusuran di internet. Penelusuran di internet misalnya,
memerlukan biaya untuk beban penggunaan sambungan telepon, dan biaya listrik
komputer. Oleh perpustakaan, semua biaya itu akan diperkirakan menjadi tarif pemakian
yang dibebankan kepada pengguna. Produk penelusuran informasi dari bahan digital baik
9

dari CD-ROM maupun internet harus dicetak atau didownload, untuk itu diperlukan biaya
yang biasanya juga dibebankan kepada pengguna. Tarif atau biaya yang dibebankan
dimaksudkan untuk menghasilkan mutu layanan yang baik, melalui layanan yang cepat
dan tepat, demi kepuasan pengguna.
Bila pengguna merasa puas karena kebutuhan informasinya senantiasa terpenuhi
di perpustakaan, maka dirinya tentu bersedia memberi imbalan terhadap layanan jasa
informasi yang diterimanya. Sebaliknya, bila perpustakaan mampu menyediakan produk
layanan yang lengkap dan profesional, maka wajar memperoleh imbalan atas layanan jasa
yang disediakannya. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa di era digital, tidak
tertutup kemungkinan bagi layanan jasa rujukan di suatu perpustakaan, bergerak dari
layanan jasa rujukan yang nonprofit atau nirlaba, menjadi layanan jasa rujukan yang profit
di kemudian hari.

4. Tantangan yang Dihadapi di Era Digital
4.1. Munculnya Pesaing dari Profesi Lain
Ketenangan pustakwan rujukan yang selama berabad-abad menjadi pelaku utama
pengelola informasi mulai diusik oleh kehadiran media digital. Profesi pustakawan
rujukan yang dulunya tidak pernah mengalami persaingan, kini mulai didatangi para
pesaing. Pesaing mulai datang dari profesi lain, terutama dari kalangan produsen
informasi yang menguasai teknologi elektronik, komputer dan telekomunikasi. Mereka
pintar membaca kebutuhan informasi dari berbagai kalangan masyarakat yang cenderung
semakin meningkat. Informasi yang oleh pustakawan rujukan dipandang hanya sebagai
materi jasa layanan rujukan yang nonprofit, mulai dialihkan kepada suatu nilai baru yaitu
informasi sebagai komoditi.
Bisnis informasi mulai menjadi daya tarik bagi profesi lain untuk lebih mendalami
masalah penghimpunan, pengolahan, penyimpanan, penyebaran maupun penciptaan
informasi baru. Berkat keahlian yang mereka miliki di bidang teknologi informasi,
memungkinkan mereka dapat menyajikan informasi dengan kemasan yang lebih menarik,
lebih akurat dan relevan. Mereka mampu menawarkan jasa penelusuran yang efektif dan

10

efisien di internet. Sementara di lain pihak, pustakawan rujukan masih tetap terlena dalam
pelayannya yang konvensional.
Uraian di atas menggambarkan bahwa profesi pustakawan rujukan akan terancam,
bila tidak mampu bersikap responsif terhadap fenomena perubahan yang terjadi. Proses
marginalisasi akan berlangsung terus menerus sebagai akibat dari perkembangan
teknologi informasi yang tidak mungkin berhenti, terutama jika pustakawan tidak
memahami perubahan yang terjadi dalam kepustakawanan dan menyesuaikan praktek
kepustakawanan dengan perkembangan teknologi informasi. Oleh karena itu, pustakawan
rujukan di era digital harus siap bersaing secara kompetitif dengan profesi lain, dengan
membuka diri untuk siap menggunakan teknologi informasi dalam pelayanannya.
4.2. Visi Pustakawan yang Sempit
Pustakawan yang berperan sebagai mediator antara pencari informasi dengan
sumber informasi yang hanya tersedia di perpustakaan saja, akan semakin kurang penting
seiring dengan bertambahnya pusat informasi online yang dapat diakses di berbagai
database. Tantangan bagi pustakawan adalah untuk memahami dan menentukan kembali

posisinya dan beralih dari pemikiran perpustakaan sebagai ruang fisik semata ke suatu
kenyataan baru yaitu perpustakaan sebagai suatu organisasi yang harus mengembangkan
dan meyediakan berbagai jenis layanan termasuk diantaranya akses informasi dari
berbagai media digital. Hal ini berarti menuntut perubahan visi pada diri pustakawan
rujukan ke visi melek jaringan.
Visi melek jaringan bukan berarti harus menguasai teknologi informasi dari segi
pendekatan teknologinya, akan tetapi menguasainya dari segi pendekatan informasinya.
Melek jaringan berarti memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, mengakses, dan
menggunakan informasi dari jaringan. Misalnya, seorang pustakawan rujukan harus
mampu menentukan, dari puluhan ribu pusat informasi yang tersambung ke internet,
pusat informasi mana yang paling mungkin mempunyai informasi yang dibutuhkan.
Pustakawan yang tetap konservatif dengan pola konvensional, tentu akan
ketinggalan. Pengguna akan meninggalkan layanannya dan beralih kepada pelayanan
pustakawan modern yaitu, pustakawan yang dapat menyediakan layanan produk informasi
dalam bentuk cetakan maupun elektronik, yang disertai dengan sarana penelusuran yang
11

lengkap. Oleh karena itu, kehadiran teknologi informasi seperti internet akan merupakan
suatu ancaman bagi pustakawan yang tetap hanya bertahan dengan pola pengelolaan
perpustakaan yang konvensional.
Bagi pustakawan rujukan yang peka terhadap perubahan yang terjadi, berarti
memiliki visi dan kemampuan untuk melihat dengan jelas apa yang sesungguhnya yang
dapat berubah dan apa yang tetap sama. Misi melayani yang menjadi dasar profesi
pustakawan rujukan kelihatannya akan tetap sama, akan tetapi cara menerjemahkan misi
itu ke dalam kegiatan dan operasi perpustakaan mengalami perubahan mendasar. Tugas
perpustakaan untuk mengumpulkan, mengorganisasikan dan menyediakan akses terhadap
sumber daya informasi tetap relevan, akan tetapi cara dan teknologi yang dipakai untuk
melakukan tugas itu mengalami perubahan.
Pustakawan rujukan yang dapat memahami kondisi perubahan seperti disebut di
atas, tentunya akan tetap bertahan dan berkembang seiring dengan perkembangan media
digital. Mereka akan merasakan bahwa kehadiran media digital seperti, CD-ROM dan
internet bukanlah suatu ancaman, melainkan suatu media yang dapat membantu mereka
dalam melakukan tugas pelayanannya. Dengan demikian era digital memberi dampak
yang positif bagi jasa rujukan yang mereka sediakan.
4.3.Kualitas Sumber Daya Manusia (Pustakawan) dan Dana
Untuk mengelola layanan digital diperlukan kualifikasi sumber daya manusia atau
pustakawan yang profesional. Koleksi digital harus diseleksi, diadakan, diorganisasikan,
dan

dibuat

tersedia

serta

dipelihara.

Pelayanan

digital

harus

direncanakan,

diimplementasikan, dan didukung. Komputer adalah sebagai peralatan utama dimana
media

digital

dioperasikan,

tetapi

sumber

daya

manusia

diperlukan

untuk

mengintegrasikan seluruhnya dan membuatnya berjalan. Sumber daya manusia atau
pustakawan yang diperlukan tentunya adalah mereka yang benar-benar memahami dan
menguasai karakteristik dari media digital yang dikelolanya. Dengan demikian ia dapat
memberikan layanan yang optimal kepada pengguna.
Pendidikan perpustakaan yang khusus untuk layanan digital memang masih
tergolong langka. Pustakawan rujukan yang melaksanakan layanan digital saat ini,
umumnya menemukan bahwa apa yang mereka lakukan hampir tidak pernah dipelajari
12

sebelumnya di sekolah. Saat ini, kemampuan pustakawan untuk melakukan layanan
digital, umumnya diperoleh secara otodidak, maupun melalui pelatihan singkat, dan amat
jarang yang memperolehnya lewat pendidikan formal. Kondisi ini tentunya sangat
berpengaruh kepada mutu layanan. Disamping itu, teknologi informasi berkembang
dengan pesat, sehingga menyebabkan apa yang dipelajari saat ini akan segera ketinggalan
zaman. Oleh karena itu, pemberian materi media digital sangat diperlukan dalam
pendidikan perpustakaan agar bisa menghasilkan pustakawan digital yang memiliki
kualitas yang baik.
Pustakawan digital harus berkembang dalam perubahan. Hasting (1996)
menyebutkan beberapa persyaratan untuk menjadi pustakawan digital. Mereka harus
membaca secara terus-menerus tetapi selektif dan bereksperimen tanpa akhir. Mereka
harus mencintai belajar, mampu belajar sendiri, dan berani mengambil resiko, dan mereka
harus memiliki keuletan terhadap teknologi informasi baik potensinya maupun
kesukarannya. Diperlukan sejumlah persyaratan kemampuan yang harus dimiliki oleh
pustakawan agar dapat memberi layanan digital yang memuaskan.
Layanan rujukan menggunakan media digital memerlukan dana yang sangat besar,
baik untuk pengadaan bahan, seperti CD-ROM, pengadaan dan pemeliharaan sarana
prasarana, hardware, software, maupun biaya telkomunikasi dalam akses. Sekalipun jasa
rujukan di era digital memberikan beban biaya kepada pengguna, namun untuk
menjadikannya menjadi sesuatu yang profit masih memerlukan waktu. Hal itu sangat
bergantung kepada kondisi masyarakat yang dilayani, dan kebijakan lembaga induk
dimana perpustakaan berada. Oleh karena itu, dana masih akan tetap menjadi tantangan
utama dalam layanan rujukan di era digital.

5. Kesimpulan
Kehadiran media digital di lingkungan perpustakaan, memunculkan berbagai
perubahan dalam hal pengelolaan informasi, khususnya pada jasa rujukan. Perubahan itu
bisa menyenangkan dan bisa pula mencemaskan pustakawan rujukan. Perubahan itu akan
menyenangkan, bila pustakawan rujukan mampu merenungkan bagaimana cara
menangani berbagai informasi dan inovasi teknologi informasi yang membanjiri
13

perpustakaan dewasa ini. Sebaliknya, perubahan itu akan mencemaskan, bila pustakawan
rujukan tetap bersifat konservatif dengan pola pengelolaan yang konvensional.
Walaupun kelihatannya perkembangan baru tersebut merupakan tantangan di
bidang teknologi informasi, tetapi tantangan yang dihadapi pustakawan bukan sesuatu
yang bersifat teknis semata, melainkan suatu tuntutan untuk menghayati dan melakukan
perubahan dengan menerjemahkan nilai-nilai tradisional ke dalam dunia informasi
berbasis digital dan jaringan masa depan yaitu internet. Untuk itu, pustakawan harus
mengubah visi dan selanjutnya menambah pengetahuan, dan mengubah sudut pandang
serta sikap.
Media digital telah memberi paradigma baru dalam pengelolaan perpustakaan.
Layanan perpustakaan semakin luas, khususnya layanan jasa rujukan akan semakin kaya
karena banyaknya sumber-sumber rujukan di berbagai database yang online. Media
digital seperti internet tidak akan menghilangkan keberadaan jasa rujukan, melainkan
sebaliknya akan membantu, memperkaya dan memperkokoh. Dengan demikian masa
depan jasa rujukan di era digital akan semakin kuat, eksis dan cerah.

Daftar Bacaan
Creth, Sheila.“Creating a Virtual Information Organization Collaborative Relationships
Between Libraries and Computing Centers”. Journal of Library Administration.
Vol. 19. No3/4, 1993. p. 111-132.
Creth, Sheila.“The Electronic Library: slouching toward the future or creating a new
information environment. Follet Lecture Series.
Http://www.ukoln.ac.uk/follet/creth/paper.html. 1996.
Foskett, A.C.“Digital Libraries: The subject Approach to Information”. London : Library
Association Publishing, 1996.
Garret, John R.“What is a digital library”. Digital Libraries Conference : Moving
forward into the information era. 1995.
Hasting, Kirk. [et.al]. “How to Build a Digital Librarian”. D-Lib Megazine, Nopember,
1996.
Katz, William. “Introduction to Reference Work: basic information sources”. New York:
The McGraw-Hill, 1997.
Lim, Edward. “The Internet and its impact on libraries and national development in
Southeast Asia”. LASIE, 1997. March,13-32.
Lipow, Anne. “Serving the Remote User: reference service in the digital environment”.
Http:/www.esu.au/special/online99/proceedings99/200.htm
14

Marcum, Deanna B. “Digital libraries: for Whom ? for What ?”. The Journal of
Academic Librarianship. March. 1997. p. 81 - 84
McDonell,Edwin D. “Document Imaging Technology”. Chicago : Probus Publishing,
1993.
Setiarso, Bambang.“Kecepatan layanan informasi melalui komunikasi multimedia dan
teknologi serat optik”. Prosiding Kongres VII Ikatan Pustakawan Indonesia dan
Seminar Ilmiah. Jakarta : Ikatan Pustakawan Indonesia, 1996
Zakon, Robert H’obbes. “Hobbes Internet Timeline V 2,5.”
Http://info.isoc.org/guest/zakon/Internet/History/HIT.html., 1993-1996

15