T1 802011077 Full text

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL
SUAMI ISTRI TERHADAP KOPING DENGAN STRES PADA
PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK

OLEH
UNITITA SAHARA
802011077

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL
SUAMI ISTRI TERHADAP KOPING DENGAN STRESPADA
PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK


Unitita Sahara
Aloysius L. S. Soesilo

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017

Abstrak

Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama. Biasanya pasangan yang
menderita penyakit kronis seperti gagal ginjal, merasa bahwa dirinya tidak dapat
berfungsi secara maksimal sebagai suami ataupun istri. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk melihat korelasi atau hubungan antara komunikasi interpersonal suami
istri terhadap koping dengan stress pada penderita gagal ginjal kronik GGK di RSUD
Kota Salatiga. Sampel (N= 35), diambil dengan menggunakan purposive sampling.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua skala yaitu skala komunikasi
interpersonal suami istri dan skala koping dengan stress pada penderita GGK. Hasil
penelitian menggunakan Uji Korelasi Pearson Product Moment dengan koefisien
korelasi (Rxy) = 0,632 dan R² = 0,243 atau hanya 24,3% yang artinya komunikasi
interpersonal suami istri memiiki hubungan terhadap koping dengan stress pada
penderita GGK di RSUD Kota Salatiga.
Kata kunci : komunikasi interpersonal suami istri, koping dengan stress,
penderita gagal ginjal kronik.

i

Abstract
Kidney disease is a disease in which kidney function has decreased until finally no
longer able to work together. Usually, couples who suffer from chronic diseases such
as kidney failure felt that they could not function optimally as husband or wife. The
purpose of this study was to look at the correlation or relationship between
interpersonal communication married couple to coping with stress in patients with
chronic renal failure CRF in Salatiga City Hospital. Sample (N = 35), were taken by
using purposive sampling. The data collection is done by using two scale that is scale
interpersonal communication married and scale of coping with stress in patients with

CRF. The results using Pearson Product Moment Correlation with the correlation
coefficient (rxy) = 0,632 and R ² = 0,243 or 24,3%, which means there is correlatte
between interpersonal communication married to coping with stress in patients with
CRF in Salatiga City Hospital.
Keywords :Interpersonal communication married couple, coping with stress,
Chronic Renal Failure (CRF).

ii

PENDAHULUAN
Komunikasi adalah unsur dasar kehidupan sosial. Komunikasi adalah proses
sistemis dimana orang berinteraksi dengan dan melalui simbol untuk menciptakan
dan menafsirkan makna. Komunikasi merupakan proses, yang artinya sedang
berlangsung, selalu bergerak, bergerak semakin maju, dan berubah secara terusmenerus. Komunikasi juga merupakan hal yang sistemis, yang berarti bahwa itu
terjadi dalam suatu sistem pada bagian yang saling berhubungan yang mempengaruhi
satu sama lain. Dalam komunikasi keluarga, misalnya, setiap anggota keluarga adalah
bagian dari sistem (Galvin, Dickson, Marrow, 2006, dalam Wood, 2013).
Sebuah hubungan terbentuk ketika terjadi proses pengiriman dan penerimaan
pesan secara timbal balik, yaitu ketika dua atau lebih individu saling
mempertimbangkan dan saling menyesuaikan perilaku verbal dan nonverbal mereka

satu sama lain. Pengelolaan timbal balik seperti ini, kita sebut sebagai komunikasi
interpersonal dimana di dalamnya terdapat proses hubungan diawali, berkembang,
tumbuh, dan kadang memburuk.
Komunikasi interpersonal memainkan peranan sangat penting untuk
kehidupan manusia terutama kehidupan berumah tangga. Komunikasi interpersonal
antara suami dan istri dibentuk sebelum dan setelah menikah, serta akan lebih intensif
ketika komunikasi dilakukan setelah menikah. Komunikasi antar pasangan dalam
perkawinan sangatlah penting bagi kesejahteraan dan saling membangun harmoni.
Seperti yang dikatakan para penasihat pernikahan pentingnya komunikasi demi

1

2

hubungan yang sehat dan tahan lama (Wood, 2013). Walaupun berumah tangga
tidaklah berjalan selalu baik, ada kalanya pasangan suami istri mengalami pedebatan
atau konflik kecil, misalnya pasangan menghabiskan waktu terlalu banyak untuk
bekerja, pasangan yang teralu hemat atau boros, pasangan selalu komplain, dan
pasangan yang mempermasalahkan soal kesehatan, seperti ketika pasangan kita
menderita sakit yang tidak kunjung sembuh seperti gagal ginjal. (Merdeka.com).

Gagal ginjal merupakan salah satu penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
dan kita hanya dapat mengurangi intensitas keparahannya melalui hemodialisis atau
bantuan terapi mengeluargan zat–zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan didalamnya.
Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam
hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat
kimia tubuh seperti sodium dan kalium dalam darah atau produksi urin. Penyakit
gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal
sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia
kedokteran dikenal dua macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan gagal
ginjal kronis (Mansjoer, 2002).
Gagal ginjal akut (GGA) atau Acute Renal Failure (ARF) terjadi ketika ginjal
tiba-tiba berhenti menyaring produk limbah dari darah. Sedangkan penyakit Gagal
Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang bersifat

3

kronik, progresif dan menetap berlangsung beberapa tahun. Pada keadaan ini ginjal
kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan cairan tubuh dalam

keadaan asupan diet normal (Wilson & Price, 1994 dalam Rindiastuti, 2008).
Penderita yang berada pada stadium akhir untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya diperlukan terapi penganti yaitu hemodialisis (HD), peritoneal dialysis
mandiri berkesinambungan (Continuos Ambulatory Peritoneal dialysis (CAPD)) atau
transplantasi ginjal (Wilson & Price, 1994 dalam Rindiastuti, 2006). Penyakit
ginjal tahap akhir biasanya ditandai dengan tes klirens kreatinin rendah. Penderita
dengan tes klirens kreatinin mencapai 9 ml per 15 menit dianjurkan untuk menjalani
terapi pengganti, salah satunya adalah dengan dialisis. Tindakan dialisis merupakan
salah satu cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasien bertujuan
menurunkan kadar ureum, kreatinin dan zat toksik lainnya dalam darah.
Biasanya pasangan yang menderita penyakit kronis seperti gagal ginjal,
merasa bahwa dirinya tidak dapat berfungsi secara maksimal sebagai suami ataupun
istri. Perubahan penampilan peran yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dari
sehat ke sakit yaitu kehilangan pekerjaan, perubahan peran dalam keluarga, dan
perubahan peran pada masyarakat sekitar merupakan beberapa faktor penyebab stres.
Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang
disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal ataupun eksternal.
Keadaan stress muncul apabila individu tidak dapat memenuhi tuntutan yang luar
biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan dan integritas seseorang.


4

Dari hal ini peneliti mengangap bahwa penelitian ini penting karena penderita
gagal ginjal akan mengalami stress karena penyakit yang dideritanya. Maka dari itu
penderita membutuhkan dukungan dari keluarga terutama pasangannya. Komunikasi
interpersonal sangat berperan untuk mengurangi atau sebagai koping dengan stres
pasien penderita gagal ginjal dan mempererat hubungan suami istri. Seperti pada
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sandra, Dewi, dan Dewi (2012)
berdasarkan hasil dari tingkat stres psikologis pada pasien yangmenjalani terapi
hemodialisa didapatkan hasil sesuai aspek stres psikologis berat dan sedang. Pasien
merasakan stres psikologis sedang sebesar 47%, dan stres psikologis berat sebesar
39%. Sejalan dengan penelitian Bare & Smeltzer (2002), bahwa pasien yang
menjalani

terapi

hemodialisa

biasanya


menghadapi

masalah

kesulitan

dalammempertahankan apa yang telah menjadi miliknya, seperti pekerjaan,
perkawinan, dan keuangan. Sebagian besar pasien yang berpartisipasi dalam
penelitian mengeluhkan masalah ini. Kecemasan akan terapi yang dijalani serta
kekhawatiran terhadap penyakit yang diderita hanya 8,3%yang tidak mengatakannya.
GAGAL GINJAL KRONIK
Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang
umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Bare & Smeltzer, 2002).
Gagal Ginjal Kronis (GGK) adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi
ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta bersifat
persisten dan irreversible (Mansjoer, 2000). Hampir setiap tahunnya sekitar 70.000
orang di Amerika Serikat meninggal dunia disebabkan oleh gagal ginjal (Lewis,

5


Heitkemper, & Dirksen, 2004). Di Indonesia, menurut Rayadi pada tahun 2010
berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry, pada tahun 2007 penderita GGK
adalah 4038 orang.
Pasien yang mengalami GGK akan menunjukkan gejala seperti terjadinya
penurunan lemak tubuh, retensi air dalam jaringan, perubahan warna kulit tubuh,
gerakan yang melambat serta adanya penumpukan zat yang tidak diperlukan lagi oleh
tubuh (Lemone & Burke, 2004). Pada pasien GGK terdapat tiga pilihan untuk
mengatasi masalah yang ada yaitu; tidak diobati, dialisis kronis (dialisis peritoneal/
hemodialisa), serta transplantasi. Kebanyakan orang memilih untuk mendapatkan
pengobatan

dengan

hemodialisa

atau

transplantasi

dengan


harapan

dapat

mempertahankan hidupnya (Hudak, Gallo, Fontaine, & Morton, 2006).
Menurut Sinaga (2007), bila pasien telah mengalami GGK stadium berat,
untuk mempertahankan hidupnya diperlukan terapi sementara berupa cuci darah
(hemodialisa). Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa
hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan GGK yang memerlukan terapi
jangka panjang atau permanen. Fungsi proses hemodialisis adalah mengeluargan zat–
zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan.
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.
Menurut Sinaga (2007), pada tahun 2006 ada sekitar 100.000 orang lebih
penderita gagal ginjal di Indonesia. Di Jakarta, khususnya di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, menurut Sinaga (2007) ada sebanyak 120 orang pasien gagal ginjal

6


menjalani pengobatan hemodialisa. Sedangkan di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru, berdasarkan data Rekam Medik, sampai bulan
Oktober tahun 2009 terdapat 100 orang pasien gagal ginjal yang menjalani
pengobatan hemodialisa secara rutin. Pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa,
membutuhkan waktu 12-15 jam untuk dialisa setiap minggunya, atau paling sedikit 34 jam per kali terapi. Kegiatan ini akan berlangsung terus-menerus sepanjang
hidupnya (Bare & Smeltzer, 2002).
Perubahan yang Terjadi pada Pasien Ginjal yang Menjalani Hemodialisis
Perubahan fisik yang terjadi pada pasien gaga ginjal adalah kecemasan,
penurunan konsentrasi, tremor, kelemahan pada lengan, nyeri ditelapak kaki,
perubahan warna kulit, spenipisan rambut, dsb. Penderita juga memiliki gangguan
reproduksi seperti: amenorhea, atropi, dan penurunan libido yang mengganggu dalam
kehidupan suami istri (Warianto, 2011).
Perubahan psikologis yang dialami pasien terjadi selain pasien harus
melakukan kunjungan rutin ke rumah sakit yang menghabiskan biaya dan waktu
pasien (Sandra, Dewi & Dewi 2012), pasien juga terancam terkena malpraktik dan
ancaman kematian (Sandra, Dewi & Dewi 2012). Kondisi psikologis terparah yang
dialami pasien adalah pasien merasa tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis untuk
pasangannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Asri, 2006 (dalam Sandra, Dewi & Dewi
2012) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan sosial
dan tingkat depresi pasein yang menjalani hemodialisis. Penelitian lain menunjukkan
bahwa pada pasien gagal ginjal kronis yang mengalami depresi memiliki kualitas

7

hidup yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami
depresi (dalam Sandra, Dewi & Dewi 2012).
Perubahan peran pada kehidupan sosial sangat mempengaruhi kehidupan
pasien. Peran sosial lain yang berubah pada pasien GGK adalah perubahan pekerjaan.
Pasien dengan keterbatasan fisik akan mengalami penurunan kemampuan kerja.
Sedangkan perubahan ekonomi akibat dari penyakit ginjal dan dialysis tidak
hanya terjadi pada individu dan keluarga pasien. Biaya dialisis yang mahal akan
membuat pengeluaran di sektor kesehatan akan meningkat. Menurut data dari
Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2016 biaya yang harus dikeluarkan
pertahunnya untuk hemodialisa adalah 96.000.000 rupiah, sedangkan untuk biaya
konsultasi dokter pertahunnya adalah 1.920.000 rupiah. Maka asuransi kesehatan
yang dimiliki akan sangat membantu mengurangi pengeluaran finansial mereka.
Penurunan pengeluaran finansial ini dapat

sedikit mengurangi stress psikologis

pasien.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui apakah komunikasi
interpersonal suami istri memiliki hubungan terhadap koping dengan stres pasangan
yang mengalami penyakit gagal ginjal kronik?

8

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat praktis dan teoritis, agar
kedepannya dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi dan pengembangan dibidang psikologi klinis, psikologi
keluarga, dan psikologi kesehatan tentang dampak penyakit yang membuat seseorang
terkena stress atau tekanan mental. Dibidang kedokteran dapat menyembuhkan secara
fisik maupun psikologis dari pasien penderita gagal ginjal atau penyakit lainnya.
Dari penelitian ini diharapkan agar para suami atau istri yang memiliki
pasangan yang menderita suatu penyakit agar lebih sabar dalam merawat
pasangannya dan lebih mengetahui lebih lanjut tentang penyakit yang diderita pasien
penderita serta lebih bisa mendukung agar kesembuhan pasien dapat meningkat.
Karena pada dasarnya penyakit fisik dapat menimbulkan penyakit mental, begitu juga
sebaliknya dan akan bertambah parah jika tidak didukung oleh keluarga besar
terutama pasangan. Sedangkan manfaat bagi peneliti adalah agar peneliti dapat
memiliki peran dalam mendukung kesembuhan baik fisik maupun mental pasien,
baik pasien hemodialisa atau pasien dengan penyakit lainnya di lingkungan peneliti.

9

Komunikasi Interpersonal Suami Istri
Definisi
Di dalam situasi dan konteks yang sangat luas, komunikasi memainkan peran
utama (basic) dan pokok (fundamental). Begitu mendasarnya sehingga dengan
gampangnya komunikasi dipandang sebagai suatu kebenaran dan begitu saja diterima
oleh akal sehat. Menurut Tubbs dan Moss (dalam Mulyana, 2008) komunikasi adalah
proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Jadi dari definisi secara
umum, komunikasi memiliki peran mendasar dalam pembentukan makna verbal
maupun nonverbal antara dua orang atau lebih dalam suatu hubungan.
Bentuk khusus dari komunikasi interpersonal adalah komunikasi diadik yang
melibatkan hanya dua orang, seperti suami-istri, sepasang sahabat, dua sejawat dan
lainya. Peristiwa komunikasi dua orang mencakup semua komunikasi informal dan
basa-basi, percakapan sehari-hari yang kita lakukan sejak saat kita bangun pagi
sampai kembali ke tempat tidur.
Oleh karena keampuhan dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini dan
perilaku komunikan itulah maka bentuk komunikasi interpersonal serngkali
digunakan untuk menyampaikan komunikasi persuasif (persuasive communication)
yakni suatu teknik komunikasi searah psikologis manusiawi yang sifatnya halus,
luwes berupa ajakan, bujukan atau rayuan. Dengan demikian maka setiap pelaku
komunikasi akan melakukan empat tindakan yaitu membentuk, menyampaikan,
menerima dan mengolah pesan. Keempat tindakan tersebut lazimnya berlangung
secara berurutan dan membentuk pesan diartikan sebagai menciptakan ide atau
gagasan dengan tujuan tertentu.

10

Aspek-aspek Komunikasi Interpersonal
Aspek-aspek kemampuan komunikasi tersebut bertolak dari pendapat De Vito
(1995) yaitu keterbukaan (openness) yang berkualitas dari komunikasi interpersonal
meliputi beberapa aspek yaitu kesediaan untuk mengungkap diri (self-disclosure)
pada orang lain yang berinteraksi dengan lingkungannya, kesediaan untuk
menanggapi serta jujur pada setiap stimuli yang diterima serta mengalami dan
bertanggung jawab atas segala pikiran dan perasaan yang diungkapkannya.
Empati yaitu kemampuan untuk merasakan dan mengalami apa yang
dirasakan orang lain yaitu mencoba merasakan dalam cara yang sama dengan
perasaan orang lain. Keakuratan berempati meliputi sensitifitas untuk merasakan
kejadian-kejadian saat ini dan mampu mengerti kata-kata yang diucapkan ketika
komunikasi interpersonal berlangsung.
Dukungan (suportiveness) yang diperlukan dalam komunikasi interpersonal,
meliputi empat aspek yaitu descriptiveness, lingkungan yang deskriptif yaitu
lingkungan yang tidak mengevaluasi orang secara evaluatif sehingga membuat orang
cenderung menjadi defisit. Spontaneity, individu yang berkomunikasi secara spontan
yaitu yang memiliki pandangan ke depan dan terbaik dalam mengungkapkan
pemikirannya, provisionalism, menjadi professional berarti memiliki pemikiran yang
terbuka (open mindedeness), bersedia menerima pandangan orang lain dan bersedia
merubah pandangannya jika memang diperlukan, dan dukungan yang tidak
terucapkan berupa gerakan-gerakan menganggukkan kepala, mengedipkan mata,
tersenyum.

11

Kepositifan (positiveness) terdiri dari tiga hal yaitu: perhatian yang positif
terhadap orang lain sangat mendukung keberhasilan komunikasi interpersonal,
perasaan yang positif sangat bermanfaat untuk mengefektifkan kerjasama, perhatian
dan perasaan yang positif itu harus dikomunikasikan sehingga komunikasi
interpersonal dapat terpelihara dengan baik, mencakup sikap positif terhadap diri
sendiri, orang lain, dan situasi komunikasi.
Kesamaan (equality), komunikasi akan lebih efektif dalam suasana kesamaan
walaupun tidak ada orang yang secara absolut sama dengan orang lain dalam segala
hal. Adapun dalam kesamaan terkandung unsur keinginan untuk saling bekerjasama
dalam memecahkan masalah, hal ini terwujud dalam memandang ketidaksetujuan dan
perselisihan di antara individu yang berkomunikasi, lebih sebagai usaha untuk
memahami perbedaan yang ada.
Keyakinan (confidence), seorang komunikator yang efektif menunjukkan
keyakinan atau kemantapan dalam berkomunikasi diwujudkan dalam bentuk rasa
rileks, tidak canggung, sikap badan dan suara yang fleksibel, tidak terpaku pada
gerakan atau nada suara tertentu.
Kesiapan (immediacy), menunjukkan pada kesiapan melakukan komunikasi
lewat penciptaan rasa tertarik dan perhatian terhadap lawan bicara berupa pemberian
respon atau umpan balik dengan segera, menciptakan kebersamaan antara pembicara
dan pendengar secara verbal maupun non verbal.
Dari teori diatas disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal adalah suatu
proses sosial di mana di dalamnya mengandung unsur keterbukaan, empati,
dukungan, kepositifan, kesamaan, keyakinan, dan kesiapan, dalam suatu hubungan.

12

Stres
Definisi Stres
Menurut Lazarus (1976) stress adalah suatu keadaan psikologis individu yang
disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal ataupun eksternal. Selye
(dalam Rice, 1992) menggolongkan stress menjadi dua, didasarkan atas persepsi
individu terhadap stress yang dialaminya, yaitu: distress (stres negatif) dan eustress
(stres positif).
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) kondisi fisik,
lingkungan dan sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stress disebut dengan
stressor.Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (Rice, 1992). Situasi,
kejadian, atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab
reaksi psikologis ini disebut stressor (Berry, 1998).
Koping dengan Stres
Pada saat mengalami stress, seseorang akan mencari dan menggunakan
berbagai cara untuk mengurangi atau menghilangkan stresnya atau biasa disebut
dengan koping dengan stres (Sarafino, 2006).
Aspek-aspek Koping dengan stres
Studi yang dilakukan oleh Moos dan Schaefer (1984, dalam Ogden, 2007)
menggambarkan tiga proses yang merupakan proses koping: (1) Apraisal Kognitif;
(2) Tugas Adaptif; dan (3) Keterampilan Koping. Apraisal Kognitif adalah tahap
ketidakseimbangan yang dipicu oleh penyakit, individu awalnya menilai keseriusan
dan signifikansi dari penyakit (misalnya gagal ginjal saya serius? Bagaimana

13

pengaruh gagal ginjal saya hidup saya dalam jangka panjang?). Faktor-faktor seperti
pengetahuan, pengalaman sebelumnya dan dukungan sosial dapat mempengaruhi
proses penilaian kognitif ini.
Moos dan Schaefer (dalam Ogden, 2007) menjelaskan tujuh tugas adaptif
(adaptive tasks) yang digunakan sebagai bagian dari proses koping. Ini dapat dibagi
menjadi tiga tugas yang berkaitan secara spesifik dengan suatu penyakit dan empat
umum tugas. Tiga tugas yang berkaitan secara spesifik dengan suatu penyakit dapat
digambarkan sebagai: Berurusan dengan rasa sakit yaitu menderita cacat dan gejala
lainnya, berurusan dengan lingkungan rumah sakit dan prosedur perawatan khusus,
mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang memadai dengan staf
perawatan kesehatan. Empat tugas umum dapat digambarkan sebagai: Melestarikan
keseimbangan emosional yang wajar dan memuaskan citra diri, mempertahankan rasa
kompetensi dan penguasaan, mempertahankan hubungan dengan keluarga dan temanteman, serta mempersiapkan masa depan yang pasti. Penyakit sering dapat
mengakibatkan hilangnya (misalnya: penglihatan, gaya hidup, mobilitas, hidup).
Tugas ini melibatkan datang untuk berdamai dengan kerugian tersebut dan
mendefinisikan ulang masa depan.
Moos dan Schaefers (dalam Ogden, 2007) mengemukakan serangkaian
keterampilan koping yang diakses untuk menangani krisis penyakit fisik.
Keterampilan koping bisa dikategorikan ke dalam tiga bentuk: a) koping berfokus
penilaian seperti; analisis logis dan persiapan mental, redefinisi kognitif,
penghindaran kognitif dan penolakan. b) koping terfokus masalah seperti: Mencari

14

informasi dan dukungan, mengambil tindakan pemecahan masalah, mengidentifikasi
imbalan alternatif. dan c) koping terfokus emosi yaitu; afektif, emotional discharge,
resigned acceptance.
Stress pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Unit Hemodialis dan Hubungannya
dengan Komunikasi Interpersonal Suami Istri
Moos dan Schaefer, 1984 (dalam Ogden, 2007), mengemukakan bahwa
penyakit fisik seperti gagal ginjal kronik dapat dianggap krisis karena merupakan titik
balik dalam kehidupan individu. Mereka menyarankan bahwa penyakit fisik
menyebabkan perubahan, yang dapat dikonseptualisasikan sebagai krisis seperti
perubahan identitas yaitu penyakit dapat membuat pergeseran identitas, seperti dari
pengasuh untuk pasien, atau dari pencari nafkah untuk orang dengan penyakit.
Perubahan lokasi: penyakit dapat menyebabkan langkah untuk lingkungan baru
seperti menjadi tidur-tak berdaya atau dirawat di rumah sakit. Perubahan peran:
perubahan dari orang dewasa independen untuk bergantung pasif dapat terjadi setelah
penyakit, sehingga peran berubah. Perubahan dukungan sosial: penyakit dapat
menghasilkan isolasi dari teman dan keluarga, mempengaruhi perubahan dukungan
sosial. Perubahan di masa depan: sebuah masa depan yang melibatkan anak-anak,
karier atau perjalanan dapat menjadi tidak pasti.
Selain itu, sifat krisis penyakit dapat diperburuk oleh faktor-faktor yang sering
khusus untuk penyakit seperti: penyakit ini sering tak terduga dan jika penyakit tidak
diharapkan maka individu tidak akan memiliki kesempatan untuk mempertimbangkan
kemungkinan strategi bertahan. Informasi tentang penyakit ini tidak jelas, banyak

15

informasi tentang penyakit ini ambigu dan tidak jelas, terutama dalam hal kausalitas
dan hasil. Makna ambigu, karena ketidakpastian tentang kausalitas dan hasil, arti
penyakit bagi seorang individu akan sering ambigu (misalnya, hal itu serius? Berapa
lama itu mempengaruhi saya?). Keputusan diperlukan dengan cepat: penyakit yang
sering membutuhkan keputusan tentang tindakan yang harus dilakukan cepat
(misalnya, harus kami menjalani hemodialisis, kita harus mengambil obat-obatan,
harus kita mengambil cuti dari kerja, kita harus memberitahu teman-teman kita).
Terbatas pengalaman sebelumnya: kebanyakan individu yang sehat sebagian besar
waktu. Oleh karena itu penyakit ini jarang terjadi dan mungkin terjadi untuk individu
dengan pengalaman sebelumnya terbatas. Kurangnya Pengalaman memiliki implikasi
untuk pengembangan strategi mengatasi dan kemanjuran berdasarkan situasi lain
yang sejenis (misalnya, 'Aku tidak pernah punya penyakit kronis apapun sebelumnya,
apa yang harus saya lakukan selanjutnya?') (Moos dan Schaefer, 1984 dalam Ogden,
2007).
Perubahan-perubahan seseorang yang mengalami penyakit khususnya gagal
ginjal berpotensi besar untuk terkena stress. Keadaan ketergantungan pada mesin
dialisa seumur hidupnya serta penyesuaian diri terhadap kondisi sakit mengakibatkan
terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien. Perubahan dalam kehidupan,
merupakan salah satu pemicu terjadinya stress. Perubahan tersebut dapat menjadi
dialisis yang diidentifikasikan sebagai stressor (Rasmun, 2004).
Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Yosep (2007), bahwa
dialisis diawali dengan adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya

16

yang dimiliki individu. Semakin tinggi kesenjangan terjadi semakin tinggi pula
tingkat dialisis yang dialami individu.
Hawari (2008) mengatakan bahwa keadaan dialisis dapat menimbulkan
perubahan secara fisiologis, psikologis, dan perilaku pada individu yang
mengakibatkan berkembangnya suatu penyakit. Perilaku lain yang sering terjadi pada
pasien yang menjalani hemodialisa adalah ketidakpatuhan terhadap modifikasi diet,
pengobatan, uji dialisis, dan pembatasan asupan cairan (Baradero, Dayrit, & Siswadi,
2009). Hal ini jelas menunjukkan bahwa dampak dialisis lainnya pada pasien yang
menjalani hemodialisa adalah dapat memperburuk kesehatan pasien dan menurunkan
kualitas hidupnya.
Walaupun pasien bisa bertahan hidup dengan bantuan mesin hemodialisis,
namun masih menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai dampak dari penyakit
dan terapi hemodialisis (Ibrahim, 2009). Dampak terapi hemodialisis berpengaruh
pada keterbatasan pasien untuk bekerja, sehingga meskipun biaya dialysis dibantu,
akan menimbulkan masalah besar dalam hal keuangan dipihak pasien dan
keluarganya.
Komunikasi yang dibangun sejalan dengan status perkawinan antara suami
dan istri sangat menentukan sejauh mana penderita dapat mengatasi stresnya. Hal ini
dikuatkan oleh pendapat Bare & Smeltzer (2002), tentang pasien gagal ginjal kronik
yang menghadapi berbagai permasalahan keuangan, kesulitan mempertahankan
pekerjaan, diringan seksual yang menghilang serta terjadi impotensi, kekhawatiran
terhadap perkawinan dan ketakutan terhadap kematian dapat menjadi stressor
penderita gagal ginjal kronik.

17

Keluarga serta sahabat pasien yang memandang pasien sebagai orang yang
mempunyai keterbatasan dalam melakukan aktivitas sosial yang dapat menimbulkan
konflik, frustasi serta rasa bersalah dalam keluarga (Bare & Smeltzer, 2002). Stressor
seperti itu dapat sedikit berkurang dengan adanya komunikasi interpersonal suami
istri.
Hipotesis Penelitian


Hipotesis Nol (Ho)
Komunikasi interpersonal suami istri tidak memiliki hubungan dengan

koping dengan stres penderita gagal ginjal kronik.


Hipotesis alternatif (Ha)
Komunikasi interpersonal suami istri berhubungan dengan koping dengan

stres penderita gagal ginjal kronik.

18

METODE
Partisipan
Peneliti menggunakan purposive sampling yang merupakan metode
penetapan parisipan untuk dijadikan sampel berdasarkan kriteria tertentu, yaitu
seluruh pasien hemodialisis di RSUD Kota Salatiga yang sudah diobservasi pada
bulan Maret 2016. Jumlah pasien yang menjalani terapi di unit hemodialisa diperoleh
35 orang dalam periode tersebut rentang usia 30-60 tahun dan dipilih mereka yang
telah menikah dengan rentang usia pernikahan minimal 10 tahun.
Alasan peneliti memilih rentang usia pernikahan karena menurutStrong dan
De Vault (1989), masa ini meliputi fase perkenalan awal diikuti oleh fase menetap.
Selama fase perkenalan, satu sama lain saling mengenal kebiasaan sehari-hari.
Pada fase menetap, pasangan masih mengejar karir, memutuskan memiliki
anak dan mengatur peran masing-masing. Mereka saling menyesuaikan harapan
sesuai dengan peran yang atas dasar gender, hukum, dan pengalaman pribadi yang
dipelajarinya. Satu sama lain saling memberikan pendapatnya tentang pembagian
peran yang akan dijalankan sebagai pasangan suami istri.
Skala Pengukuran Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti memodifikasidua skala penelitian yaitu: skala
komunikasi interpersonal suami istri dan skala koping dengan stress penderita gagal
ginjal kronik. Instrumen pertama yaitu komunikasi interpersonal suami istri, peneliti
menggunakan aspek-aspek dalam skala psikologis dalam teori DeVito (2002) yaitu
keterbukaan, empati, dukungan, kepositifan, kesamaan, keyakinan, dan kesiapan.

19

Skala ini mempunyai 50 pernyataan, dalam bentuk skala likert dengan 4 alternatif
jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Sedangkan pada instrumen kedua, peneliti menggunakan teori koping dengan
stress dari Moos dan Schaefer (1984, dalam Ogden, 2007) dengan aspek yang
menggambarkan tiga proses yang merupakan proses koping: (1) cognitive appraisal;
(2) adaptive tasks; dan (3) coping skill. Peneliti menggunakan skala yang sudah
dibuat dan diuji coba oleh Wulandari (2016) pada penelitian sebelumnya dalam
bentuk skala Likert dengan design 4 alternatif jawaban yaitu sangat setuju, setuju,
tidak setuju, dan sangat tidak setuju dengan α = 0.962.
HASIL
Uji Reliabilitas dan Seleksi Item
Uji reliabilitas komunikasi interpersonal suami istri dengan menggunakan
Alpha Cronbach dilakukan sebanyak dua kali putaran. Pada putaran pertama dari 50
pernyataan ditemukan 23 item dengan koefisien reliabilitas 0.775.
Pada skala koping dengan stress hasil uji reliabilitas dan daya diskriminasi
item pada tahap uji coba diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0.962, berarti alat
ukur yang dipakai tergolong sangat reliabel.

20

Analisis Deskriptif
Peneliti mengelompokkan skor dari setiap skala menjadi 5 kategori skor dari
mulai “sangat rendah” sampai “sangat tinggi” (Hadi, 2000, dalam Wulandari, 2016).
Table 1 dan 2 menunjukkan skor dari setiap variabel.
Tabel 1. Kriteria skor untuk komunikasi interpersonal suami istri

No
1
2
3
4

Interval
66,125 ≤ X
57,5 ≤ X < 66,125
48,87 ≤ X ≤ 57,5
X < 48,87
Total :
Min : 58

Kategori

F

Presentase

Mean

Sangat tinggi
Tinggi
Rendah
Sangat rendah

24
11

68,571%
31,42%

68,74

35
Std: 17,67

Max: 83

Tabel 2. Kriteria skor untuk koping dengan stress

No
1
2
3
4

Interval
120,75 ≤ X
105 ≤ X < 120,75
89,25 ≤ X < 105
X ≤ 89,25
Total :
Min : 131

Kategori
Sangat tinggi
Tinggi
Rendah
Sangat rendah
Max :168

F
35

Presentase
100%

Mean
144,6

35
Std : 26,163

21

Uji Asumsi
1. Uji Normalitas
Uji normalitas penelitian ini menggunakan Uji Kolmogrov-Smirnov (K-S).

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Tabel 3. Uji Normaitas Kolmogorov-Smirnov
komunikasi
interpersonal
N
a
Normal Parameters
Most Extreme Differences

Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative

Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)

35
68.74
5.458
.134
.132
-.134
.792
.556

koping dengan
stres
35
144.60
13.070
.236
.236
-.157
1.396
.041

a. Test distribution is Normal.

Hasil Uji Kolmogrov-Smirnov pada komunikasi interpersonal suami istri
dengan hasil probabilitas 0,792 (0.792 > 0.05), dan koping dengan stress 1,396 yang
artinya data penelitian ini berdistribusi normal.
2. Uji Linieritas
Hasil uji linieritas variabel komunikasi interpersonal terhadap koping dengan
stres. Berdasarkan nilai signifikansi dari output spps pada Tabel. 4 menghasilkan nilai
signifikansi= 0,995 lebih besar dari 0,05, artinya terdapat hubungan linier secara
signifikan antara variable komunikasi interpersonal (X) terhadap koping dengan
stress (Y).

22

Tabel 4. Uji Linieritas Anova
Sum of
Squares
Koping
Between
(Combined)
dengan stres Groups
Linearity
*
Deviation from
komunikasi
Linearity
interpersona
l
Within Groups
Total

Mean
df Square

F

1175.852

17 69.168

.254 .996

40.853

1

40.853

.150 .703

1134.999

16 70.937

.260 .995

4632.548

17 272.503

5808.400

34

Sig.

Berdasarkan output spss, diperoleh nilai Fhitung = 0,254, sedang Ftable pada
distribusi tabel nilai 0,05, Ftabel = (1,16) = 4,49. Karena Fhitung lebih kecil daripada
Ftable maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan linier yang signifikan antara
komunikasi interpersonal suami istri terhadap koping dengan stress penderita gagal
ginjal kronik.
Hasil Uji Hipotesis
Berdasarkan uji korelasi komunikasi interpersonal suami istri terhadap koping
dengan stress, menunjukkan hubungan kuat antar variabel dengan r = 0,632 (p>0,05).
Seperti yang ditujukkan Tabel 5. pada uji korelasi.
Tabel 5. Uji Korelasi Pearson Product Moment
komunikasi
interpersonal
komunikasi interpersonal

Pearson Correlation

koping dengan
stres
1

Sig. (2-tailed)
N
koping dengan stres

.084
.632

35

35

Pearson Correlation

.084

1

Sig. (2-tailed)

.632

N

35

35

23

Dari hasil perhitungan diatas menunjukkan hubungan yang rendah dengan
koefisien korelasi (Rxy) = 0,632. Sedangkan kontribusi atau sumbangan secara
simultan variabel komunikasi interpersonal suami istri terhadap koping dengan stres
R² = 0,243. Artinya komunikasi interpersonal suami istri memiliki hubungan yang
cukup kuat terhadap koping dengan stress pasien GGK yaitu sebesar 24,3%.
Sedangkan sisanya disumbangkan dari faktor lain pada penelitian Mutoharoh (2009),
yaitu mekanisme koping maladaptif dari pasien GGK, lalu pada penelitian Armiyati
dan Rahayu (2014), mekanisme koping yang adaptif berhubungan dengan berapa
lama pasien menderita GGK.
PEMBAHASAN
Hasil analisa deskriptif kriteria skor yang diperoleh dari komunikasi
interpersonal suami istri masuk kedalam kategori sedang hingga sangat tinggi, dan
kriteria skor untuk koping dengan stress pernderita GGK menghasilkan kategorisasi
skor tinggi hingga sangat tinggi. Oleh karena perolehan skor antara komunikasi
interpersonal suami istri dan koping dengan stress penderita GGK sangat tinggi hal
itu berarti komunikasi interpersonal suami istri memiliki hubungan terhadap koping
dengan stres dari pasien penderita GGK RSUD Kota Salatiga.
Hasil dari teori komunikasi interpersonal suami istri yang dikemukakan oleh
De Vito (1995) 6 dari 7 aspek memiliki hubungan dengan koping dari stress penderita
gagal ginjal kronik. Aspek-aspek yang berhubungan antara lain seperti: keterbukaan
(openness), empati, dukungan (suportiveness), kepositifan, keyakinan (confidence),

24

dan kesiapan. Sedangkan aspek kesamaan (equality) tidak berhubungan terhadap
koping dengan stres penderita GGK karena pernyataan dari aspek tersebut seluruhnya
gugur pada saat pengolahan data.
Berdasarkan uji korelasi pada komunikasi interpersonal terhadap koping
dengan stress penderita GGK ditemukan bahwa R² = 0,243, yang berarti hanya 24,3%
sumbangan dari komunikasi interpersonal suami istri. Sedangkan sisanya 75,7%
ditentukan oleh faktor-faktor lain yang ditemukan pada kajian kepustakaan, yaitu
hubungan mekanisme koping maladaptif oleh pasien GGK yang memiliki harapan
akan efikasi diri rendah pada kemampuan yang dimiliki untuk melaksanakan tugas
dengan sukses (Mutoharoh, 2009), lalu hubungan antara lamanya pasien menderita
GGK dengan mekanisme koping adaptif dalam penelitian ini pasien memiliki upaya
untuk mengantisipasi keadaan yang menjadi stressor, sehingga pasien dapat lebih
mudah beradaptasi dengan keadaan dilingkungannya (Armiyati & Rahayu, 2014).

25

KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil uji hipotesis penelitian Ha diterima atau dapat dikatakan bahwa
komunikasi interpersonal memiliki hubungan yang kuat dengan koping penderita
gagal ginjal kronik. Faktor yang terkait dengan koping menurut beberapa penelitian
sebelumnya yaitu koping maladaptif yang berhubungan dengan efikasi diri rendah,
aktivitas spiritual yang juga berhubungandengan koping penderita, serta mekanisme
koping adaptif yang berhubungan dengan lamanya pasien menderita GGK di RSUD
Kota Salatiga.
Peran keluarga, dokter dan perawat disekitar pasien sudah banyak membantu.
Berkaca pada keterbatasan peneliti saat melakukan penelitian, peneliti menemukan
banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan penelitian yaitu tentang
keadaan pasien saat menjalani hemodialisis yang lebih mudah lelah dan lebih banyak
tertidur, oleh karena itu observasi tentang keadaan pasien menjadi penting sebelum
melakukan penelitiaan. Perolehan responden dari pasien GGK di RSUD Kota
Salatiga hanya terbatas 30 orang pasien dewasa dari total responden 35 orang yang
sisianya diperoleh peneliti dari lingkungan tempat tinggal peneliti,akan lebih baik lagi
jika memperluas ruang penelitian, misalnya bekerja sama dengan rumah sakit lain,
atau mencari responden di luar rumah sakit. Reliabilitas dan validitas alat ukur adalah
hal yang juga perlu di perhatikan, serta akan lebih baik lagi jika alat ukur yang akan
digunakan diuji coba pada banyak responden.

26

DAFTAR PUSTAKA

Ananda. W. K. (2009). Coping with stress pelayanan pada pendeta Gereja Kristen
Jawa di Salatiga. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Universitas Kristen Satya
Wacana.
Armiyati.Y. & Rahayu.Y. (2014). Faktor yang berkorelasi terhadap mekanisme
koping pasien CKD yang menjalani hemodialisis di RSUD Kota Semarang.
Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Universitas Muhammadiyah.
Baradero, M., Dayrit, M.W., Siswadi, Y. (2009).Seri asuhan keperawatan: Klien
gangguan ginjal.Jakarta: EGC.
Bare, B.G. & Smeltzer, S.C. (2002). Buku ajar: Keperawatan medikal bedah.
Brunner &Suddarth. (Edisi ke-8), (H.Y.Kuncara., dkk, Terj.).Jakarta: EGC.
(Naskah asli dipublikasikan tahun1996).
Berry, L.M. (1998). Psychology at work: An introduction to organization
psychology.(2nd ed). New York: McGraw Hill.
Carlson, D. (2004). Mengatasi keletihan dan stress. Yogyakarta: ANDI Offset.
Carpenter, B. (1992). Personal coping: Theory, research, and application. London:
Greenwood Publishin Group.
De Vito, J. (1997). Komunikasi antar manusia. Jakarta : Professional Books.
Faradilla.N. (2009).Gagal ginjal kronik. Pekanbaru, Riau: Universitas Riau.Diakses
tanggal 10 januari 2016 darihttp://www.Files-of-DrsMed.tk.
Hawari, D. (2008). Manajemen stres cemas dan depresi. Jakarta: FKUI.
Hudak, C.M., Gallo, B.M., Fontaine, D.K., & Morton, P.G. (2006).Critical care
nursing: Aholistic approach. (8thed). Lippincott:Williams& Wilkins.
http://www.depkes.go.id/article/print/16013000003/rsup-sanglah-siap-layanicangkok-ginjal.html. (Diakses tanggal 2 November 2016).
http://margonoskep.blogspot.co.id/2010/03/hemodialisa.html (diakses tanggal 10
Januari 2016).
Ibrahim, K. (2009). Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis.Diakses tanggal 12 Januari 2016 dari http://www.mkb-online.org.

27

Indrawati, S.W., Maslihan.S.,& Wulandari, A. (2010). Study tentang religiusitas,
drajat stres dan strategi penanggulangan stres (coping with stress) pada
pasangan hidup pasien gagal ginjal kronik yang mengalami terapi
hemodialisa. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Lazarus, S &Folkman. (1984). Stress, appraisal, dan coping. New York-Springer
Publishing Company.
Lemone, P. & Burke, K. (2004). Medical surgical nursing. (3rd ed).Newjersey:
Pearson Education,Inc.
Lewis, S.M., Heitkemper, M.M., & Dirksen, S.R. (2004).Medical surgical nursing:
assessmentand management of clinical problems(6th ed). Mosby: Elsevier,
Inc.
Mansjoer, A. (2002). Gagal ginjal kronik. kapita selekta kedokteran. (Jilid II edisi 3).
Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Mulyana, D. (2008). Komunikasi efektif: Suatu pendekatan lintas budaya. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyani. (2011). Hubungan antara dukungan sosial dengan stress pada mahasiswa
jurusan psikologi Binus University yang sedang menyelesaikan skripsi.
Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Bina Nusantara.
Mutoharoh, I. (2009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan mekanisme koping
klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di RSUP
Fatmawati tahun 2009. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah.
Morgan, C.T. King, R.A. Wesz, J.R. & Schopler, J. (1989).Introduction to
psychology.(7thed). Singapore: McGraw-Hill.
Ogden, J. (2007). Health psychology a textbook.(4thed). British: McGraw-Hill.
Rakhmat, J. (2008). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Rice. (1992). Stress & Health. (2nded). California: Brooks/Cole Publishing Company.
Rindiastuti, Y. (2008). Deteksi dini dan pencegahan penyakit gagal ginjal kronis.
Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta: Universitas Negri Surakarta.
Ruben, B, & Stewart, L. (2013).Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

28

Sandra, W., Dewi.N., & Dewi. Y. (2012).Gambaran stress pada pasien gagal ginjal
terminal yang menjalani terapi hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah
Arifin Achmad Pekanbaru. Jurnal keperawatan, 2(2). Riau: Universitas Riau.
Sarafino, E.P. (1994). Health psychology.(2nded). New York: John Wiley and Sons.
Solichatun, Y. (2011). Stres dan staretegi coping pada anak didik di Lembaga
Pemasyarakatan Anak. Jurnal Psikologi Islam. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Sinaga, U.M. (28 Juli 2007). Peran dan tanggung jawab masyarakat dalam masalah
pengadaan donor organ manusia. Diakses tanggal 12 Januari 2016 dari
http://www.usulmajadisinaga.pdf.
Siregar, S. (2014). Statistik parametik untuk penelitian kuantitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Taylor, S.E. (2003). Health psychology (5thed). New York: McGraw Hill
Timiswla, J. (2012). Coping with stress remaja pasca abortus Provocatus
Criminalise. Skripsi diterbitkan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
Warianto.C. (2011).Gagal ginjal. Artikel Publikasi.
West, R, & Turner, L.(2008). Teori komunikasi: Analisis dan aplikasi (6thed). Jakarta:
Salemba Humanika.
Wood, J. (2013). Komunikasi interpersonal: Interaksi keseharian. Jakarta: Salemba
Humanika.
Wulandari, R. (2016). Koping dengan stres dan dukungan social keluarga sebagai
prediktor motivasi sembuh pada penderita kanker serviks. Skripsi tidak
diterbitkan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
Yosep, I. (2007). Keperawatan jiwa. Bandung: Refika Aditama.