Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Menggunakan Temperatur Termofilik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS)
Prospek perkembangan industri kelapa sawit saat ini sangat pesat, dimana

terjadi peningkatan jumlah produksi kelapa sawit seiring meningkatnya kebutuhan
masyarakat. Hal ini terlihat dari total luas areal perkebunan kelapa sawit yang terus
bertambah yaitu menjadi 10.956.231 hektar pada tahun 2014 dan terus meningkat
pada tahun 2015. Berikut adalah tabel luas areal perkebunan kelapa sawit di
Indonesia [20]
Tabel 2.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
Tahun

Luas Areal (Ha)

Laju
Pertumbuhan (%)


PR

PBN

PBS

Jumlah

2004

2.220.338

605.865

2.458.520

5.284.723

2005


2.356.895

529.854

2.567.068

5.453.817

3,20

2006

2.549.572

687.428

3.357.914

6.594.914


20,92

2007

2.752.172

606.248

3.408.416

6.766.836

2,61

2008

2.881.898

602.963


3.878.986

7.363.847

8,82

2009

3.061.413

630.512

4.181.369

7.873.294

6,92

2010


3.387.257

631.520

4.366.617

8.385.394

6,50

2011

3.752.480

678.378

4.561.966

8.992.824


7,24

2012

4.137.620

683.227

4.751.868

9.572.715

6,45

2013

4.356.087

727.767


5.381.166

10.465.020

9,32

2014

4.551.854

748.772

5.656.105

10.956.231

4,69

Rata-Rata Laju Pertumbuhan


7,67

Dengan meningkatnya produksi kelapa sawit, maka tentu akan berdampak
pada peningkatan jumlah limbah yang dihasilkan. Limbah yang dihasilkan dari
proses pengolahan minyak kelapa sawit adalah limbah cair, limbah padat dan limbah
gas.
Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan kombinasi dari air
buangan yang diproduksi dan dikeluarkan dari tiga sumber utama yaitu stasiun

Universitas Sumatera Utara

klarifikasi (60%), sterilisasi (36%) dan hidrosiklon (4%). Hasil pengukuran
menunjukkan bahwa dari produksi satu ton tandan buah segar dihasilkan hampir 0,50,75 ton LCPKS [2]. Karakteristik LCPKS dapat bervariasi dalam kualitas dan
kuantitas untuk operasi yang berbeda setiap harinya dari pabrik-pabrik industri
kelapa sawit, hal ini tergantung pada jenis dan usia panen kelapa sawit serta kondisi
pengolahan dalam pabrik [21].
Jika LCPKS langsung dibuang ke perairan, maka sebagian limbah akan
mengendap, terurai secara perlahan, mengkonsumsi oksigen terlarut, menimbulkan
kekeruhan, mengeluarkan bau yang tajam dan dapat merusak ekosistem perairan.
Untuk itu LCPKS harus diolah terlebih dahulu sesuai dengan baku mutu limbah yang

ditetapkan sebelum dibuang ke lingkungan [22]. LCPKS mentah memiliki
kandungan senyawa organik yang sangat tinggi sehingga dapat dimanfaatkan
menjadi bahan baku pembuatan biogas [23].

2.2

BIOGAS
Biogas merupakan energi terbarukan yang dihasilkan melalui proses

dekomposisi senyawa organik oleh bakteri dalam kondisi anaerob. Biogas dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar maupun pembangkit tenaga listrik [24]. Menurut
Meynell dalam Erikson [25] pada biogas dengan kisaran normal yaitu 60-70%
metana dan 30-40% karbon dioksida. Nilai volume biogas dinyatakan dengan
“normal meter kubik” (Nm3) dimana kondisi volume gas pada oC dan tekanan
atmosfer. Gas metana murni memiliki nilai energi 9,81 kWh/Nm3. Jika biogas terdiri
dari 97% metana maka jumlah energi yang dihasilkan mendekati 9,67 kWh/Nm3.
Kesetaraan biogas dengan sumber energi lainnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Kesetaraan biogas dengan sumber energi lain (1 Nm3 biogas)
Sumber Energi
Daya yang dihasilkan

Kesetaraan
Gas Alam 1 Nm3
11,0 kWh
0,88 Nm3
Bensin 1 L
9,06 kWh
1,07 L
Minyak solar 1 L
9,8 kWh
0,98 L
E8 1 L
6,6 kWh
1,47 L
Bahan baku pembuatan biogas dapat berasal dari limbah organik perkotaan,
limbah pertanian dan peternakan, limbah perairan, serta limbah organik industri [26].
Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) mengandung senyawa organik berupa
karbohidrat, protein dan lemak serta sejumlah mineral sehingga dapat dimanfaatkan

Universitas Sumatera Utara


sebagai substrat dalam digestasi anaerobik untuk pembentukan biogas [27]. Tingkat
produksi biogas bervariasi tergantung kondisi dan parameter seperti suhu, kecepatan
pengadukan, konsentrasi umpan, katalis, dan sebagainya [28]
.
2.3

PROSES DIGESTASI ANAEROBIK DUA TAHAP
Proses digestasi anaerobik merupakan proses penguraian bahan organik oleh

aktivitas

bakteri

pada

kondisi

tanpa

oksigen

dan

merubahnya

dari

bentuk

tersuspensi menjadi terlarut dan biogas [29]. Pengolahan anaerob mengkonsumsi lebih

sedikit energi dan ruang dibandingkan dengan pengolahan aerobik yang umumnya
memerlukan input energi yang tinggi untuk tujuan aerasi [30]. Proses biodegradasi
senyawa organik terjadi dalam empat tahapan yaitu hidrolisis, asidogenesis,
asetogenesis dan metanogenesis [31].
Senyawa Partikel Organik :
Karbohidrat, Protein dan Lemak
Hidrolisis
Asam Amino, Gula, Alkohol,
Asam Lemak
Asidogenesis
Produk Intermediet :
Asam Asetat, Asam Propionat, Etanol, Asam Laktat
Asetogenesis
Oksidasi
homoasetogenesis
H2
CO2

Asam Asetat
Reduksi
homoasetogenesis
Metanogenesis
CH4 + CO2

Gambar 2.1 Tahapan Proses Digestasi Anaerobik [31]

Universitas Sumatera Utara

Hidrolisis merupakan tahap awal dimana protein, karbohidrat dan lemak
diuraikan menjadi turunan sederhana melalui degradasi fisikokimia dan reaksi
enzimatik. Tahap selanjutnya, asidogenesis dilaksanakan oleh mikroorganisme
chemoorganotrophic yang memperoleh energi melalui fermentasi atau respirasi.
Mikroba ini memanfaatkan asam amino, sakarida, LCFAs, gliserol atau spesies yang
berbeda dari VFA sebagai donor elektron. Bakteri metanogen kemudian
memanfaatkan asam asetat dan hidrogen sebagai donor elektron utama untuk
produksi metana dan karbon dioksida. Pada proses digestasi anaerobik satu tahap,
konsentrasi VFA yang tinggi dapat terakumulasi selama tahap asidogenesis akibat
organic loading rate (OLR) yang tinggi atau hydraulic retention time (HRT) yang
singkat. Akumulasi VFA akan menurunkan pH sistem, dan akhirnya menyebabkan
kegagalan proses. Proses asidogenesis dan metanogenesis yang dilaksanakan dalam
reaktor yang terpisah dapat mengatasi masalah ini [32]. Penggunaan digester dua
tahap merupakan suatu strategi untuk meningkatkan kinerja proses secara
keseluruhan dalam hal stabilitas dan efisiensi degradasi tiap-tiap tahap baik tahap
asidogenesis maupun tahap metanogenesis. Pengendalian konversi VFA pada tahap
asidogenesis memungkinkan produksi bio-hidrogen yang lebih efisien, sehingga
meningkatkan proses metanogenesis [33].

Gambar 2.2 Digestasi Anaerobik Dua Tahap [32]
Pada digestasi anaerob dua tahap, substrat dimasukkan ke dalam reaktor tahap
pertama, yaitu tahap hidrolisis-asidogenesis. Selanjutnya hasil dari reaktor pertama
berupa cairan yang mengandung senyawa antara (terutama VFA) secara kontinu
dialirkan ke reaktor tahap kedua yaitu tahap metanogen. Dengan cara ini, kondisi
masing-masing tahap dapat dioptimalkan, senyawa antara seperti VFA yang dapat
menghambat

kelompok

mikroorganisme

dalam

konsentrasi

tinggi,

dapat

dikendalikan pada reaktor tahap pertama [32]. Reaktor asidogenesis akan selalu lebih
kecil dibanding reaktor metanogenesis, hal ini terkait dengan tingkat pertumbuhan

Universitas Sumatera Utara

dan aktivitas mikroorgansme yang tinggi pada tahap pertama. [31]. Tujuan dari
proses digestasi anaerobik dua tahap tidak hanya untuk lebih mendegradasi limbah,
tetapi juga untuk mengekstrak energi yang lebih bersih dari sistem [33].
Penelitian Ventura et al, 2014 [34] membandingkan kinerja proses digestasi
anaerobik satu tahap (SP) dan dua tahap menggunakan reaktor CSTR dengan bahan
baku limbah minyak nabati (OW) dan kotoran babi (PM) yang dilakukan adalah
dengan rasio OW/PM pakan yang berbeda (1:0, 1:1 dan 1: 3 v/v) dan pada tingkat
beban organik berkisar 0,25-3,1 kg VS m-3 hari-1. Pencampuran OW dengan PM
menetralkan efek negatif dari akumulasi lipid dan efisiensi penghilangan VS dalam
sistem lebih tinggi (63 dan 71% dalam sistem satu tahap dan 69 dan 72% dalam
sistem dua tahap, pada 1: 1 dan 1: 3 campuran OW/PM, masing-masing). Di bawah
kondisi operasional yang sama, yield metan adalah 0,30 dan 0,22 m3 CH4 kg-1
penghilangan VS untuk digestasi anaerob satu tahap dan 0,30 dan 0,27 m3 CH4 kg-1
penghilangan VS untuk digestasi anaerob dua tahap. Diperoleh kesimpulan bahwa
digestasi anaerob dua tahap lebih stabil dan memiliki kapasitas pengolahan yang
lebih tinggi dibanding digestasi anaerob satu tahap.
Penelitian Kongjan et al, 2013 [35] mengkaji proses anaerobik dua tahap
untuk memproduksi hidrogen dan metana secara kontinu dari desugared molasses
menggunakan reaktor UASB yang dioperasikan pada kondisi termofilik. Reaktor
pertama yang didominasi dengan bakteri yang memproduksi hidrogen dari
Thermoanaerobacterium

thermosaccharolyticum

dan

Thermoanaerobacterium

aciditolerans menghasilkan tingkat produksi hidrogen 5600 mL H2/hari/L, sesuai
dengan yield 132 mL H2/g volatile solid (VS). Efluen dari reaktor hidrogen
selanjutnya dikonversi menjadi metana dalam reaktor kedua dengan tingkat produksi
yang optimal dari 3380 mL CH4/hari/L, sesuai dengan yield 239 mL CH4/g VS.
Aceticlastic Methanosarcina mazei adalah metanogen yang dominan dalam tahap
metanogenesis. Dari penelitian diperoleh campuran gas dengan kandungan
volumetrik 16,5% H2, 38,7% CO2, dan 44,8% CH4. Penelitian ini menunjukkan
bahan bakar gas bernilai tinggi dalam bentuk biohidrogen dan metana dapat
berpotensi dihasilkan dari desugared molasses dengan menggunakan proses
anaerobik dua tahap .

Universitas Sumatera Utara

2.3.1

Hidrolisis
Pada tahap hidrolisis, senyawa organik kompleks tidak terlarut dengan berat

molekul tinggi akan dihidrolisa menjadi senyawa organik lebih sederhana dengan
melibatkan enzim ekstraseluler [36]. Pada tahap ini, bahan-bahan organik seperti
lemak, karbohidrat dan protein didegradasi menjadi senyawa dengan rantai pendek,
seperti asam lemak, gula sederhana, dan asam amino [37]. Adapun reaksinya adalah
sebagai berikut [38] :
a)

enzim lipase
Lemak    → asam lemak, gliserol

enzim selulosa, selobiase, xilanase, amilase
b) Polisakarida                
→ monosakarida

c)

enzim protease
Protein     → asam amino

Organisme yang aktif selama hidrolisis polisakarida termasuk berbagai
kelompok bakteri dalam, misalnya, Bacteriodes genera, Clostridium, dan
Acetivibrio. Organisme proteolitik dalam proses biogas antara lain, genera
Clostridium, Peptostreptococcus, dan Bifidbacterium. Sedangkan mikroorganisme
anaerobik yang menghasilkan lipase antara lain, genus Clostridium [39]

2.3.2

Asidogenesis
Asidogenesis adalah proses yang kompleks dimana mikroba anaerob

mengurai senyawa organik menjadi asam organik molekul rendah [16]. Gula
sederhana, asam amino dan asam lemak terdegradasi menjadi asetat, karbon dioksida
dan hidrogen (70%) serta menjadi VFA (asam asetat, asam propionat, asam butirat,
asam laktat, dll) dan alkohol (30%) [38]. Senyawa yang akan terbentuk tergantung
pada jenis substrat yang digunakan, kondisi lingkungan proses, serta jenis
mikroorganisme yang ada. Meskipun berasal dari substrat yang sama, produk yang
dihasilkan akan berbeda jika mikroorganisme yang bekerja berbeda [39].
Proses asidogenesis ini juga sangat dipengaruhi oleh faktor temperatur yang
didasarkan pada Hukum Arrhenius. Namun begitu, temperatur yang kurang dari
temperatur maksimal termofilik sering digunakan. Hal ini dikarenakan temperatur
termofilik membutuhkan biaya energi yang lebih tinggi, dan dapat menyebabkan
denaturasi sel jika temperatur yang digunakan terlalu tinggi [40]. Mikoorganisme
pada tahap ini sama dengan tahap hidrolisis, namun organisme lain juga aktif,

Universitas Sumatera Utara

misalnya Enterobacterium, Bacteriodes, Acetobacterium, Eubacterium, Clostridium,
Ruminococcus, Butyribacterium, Propionibacterium, Lactobacillus, Streptococcus,
Pseudomonas, Desulfobacter, Micrococcus, Bacillus dan Escherichia [39].

2.3.3

Asetogenesis
Pada tahap asetogenesis, produk hasil asidogenesis diuraikan oleh bantuan

bakteri asetogenik menjadi asam asetat, hidrogen dan karbondioksida. Asam asetat
yang terbentuk sebagian besar berasal dari asam propionat dan asam butirat [41].
Berikut adalah reaksi pembentukan asam asetat dari asam propionat dan asam butirat
[42]:
CH3CH2COOH

CH3COOH + CO2 + 3 H2

(asam propionat)

(asam asetat)

CH3CH2CH2COOH

2CH3COOH + 2 H2

(asam butirat)

(asam asetat)

Beberapa genus mikroorganisme yang terlibat dalam proses asetogenesis ini
adalah Syntrophomonas, Syntrophus, Clostridium, dan Syntrobacter yang mana
mikroorganisme ini didapati bersintropi dengan mikroorganisme yang mengurai H2
[39].

2.3.4 Metanogenesis
Metanogenesis merupakan tahap akhir dari proses biogas dimana terjadi
pembentukan gas metan (CH4) dari tahapan sebelumnya. Terdapat dua kelompok
mikroba metanogen dalam produksi metana yaitu aceticlastic methanogens yang
berfungsi untuk mengkonversi asetat menjadi gas metan dan karbondioksida, dan
hydrogenotrophic methanogen yang menggunakan hidrogen sebagai donor elektron
dan karbondioksida sebagai penerima elektron untuk menghasilkan gas metan [43].
Reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut [44]:
CH3COOH
CO2 + 4H2

Metanogenesis
Reduksi

CH4 + CO2
CH4 + 3H2O

Saat ini hanya ada dua kelompok yang diketahui dari metanogen yang
memecah asetat yaitu Methanosaeta dan Methanosarcina, sementara yang memecah

Universitas Sumatera Utara

gas hidrogen yaitu Methanobacterium, Methanococcus, Methanogenium dan
Methanobrevibacter [39].

2.4

PARAMETER YANG PENTING DALAM PROSES DIGESTASI
ANAEROBIK
Proses digestasi anaerobik harus dipantau untuk memastikan keberhasilan

operasi [43]. Beberapa parameter yang penting dalam proses digestasi anaerobik
yaitu:

2.4.1

pH
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor lingkungan yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri. Aktivitas bakteri akan
maksimum pada kondisi pH optimum. Seiring dengan diproduksinya asam volatil,
nilai pH akan mengalami penurunan dan akan meningkat dengan dikonsumsinya
asam volatil oleh bakteri pembentuk metana [44]. Tingkat pH optimal untuk
kelompok fungsional biokimia pada proses anaerob yaitu [45]:
1) Hidrolisis, optimal di atas pH 6 tetapi memungkinkan hingga pH 5.
2) Asidogenesis, optimal antara pH 5,5 dan 8, tetapi memungkinkan hingga pH 4.
3) Asetogenesis, optimal antara pH 6,5 dan 8 tetapi memungkinkan hingga pH 5.
4) Metanogenenesis, optimal antara pH 7 dan 8 tetapi memungkinkan hingga pH 6.
Nilai pH di dalam digester tergantung pada tekanan parsial CO2 dan konsentrasi
komponen alkali-asam dalam fasa cairannya. Nilai pH pada digester termofilik akan
lebih tinggi dibanding digester mesofilik. Hal ini dikarenakan kelarutan CO2 di
dalam air akan menurun seiring dengan meningkatnya temperatur. Nilai pH juga
akan meningkat dengan dihasilkannya ammonia dari degradasi protein atau melalui
kehadiran ammonia di aliran umpan. Jika terjadi penurunan pH, ion ammonium akan
dibentuk disertai pelepasan ion hidroksil. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut
[38]:
NH3 + H2O ↔ NH4 + + OHNH3 + H+ ↔ NH4 +
Dalam penelitiannya, Veeken et al. (2000) [46] mengkaji pengaruh pH dan VFA
terhadap laju hidrolisis limbah padatan organik. Prosesnya berlangsung dalam

Universitas Sumatera Utara

anaerobic solid waste reactor (ASWR). Pada penelitian ini tidak dilakukan
penambahan inokulum. Pengaturan pH dilakukan dengan mengunakan pH controller
yang diatur untuk deviasi positif dan negatif dari titik setnya yang mana
menggunakan asam (HCl) atau basa (campuran NaOH dan KOH). Pengaturan VFA
dilakukan dengan menggantikan cairan di dalam reaktor dengan umpan baru untuk
menjaga kandungan VFA. Pada penelitian ini terbukti bahwa proses hidrolisis limbah
padat organik sesuai dengan kinetika reaksi orde satu. Dari analisa statistik yang
dilakukan, diperoleh bahwa konstanta laju hidrolisis tergantung pada pH tetapi
konsentrasi VFA tidak tergantung pada pH.

2.4.2

Alkalinitas

Nilai alkalinitas menyatakan jumlah total asam yang dapat dinetralkan oleh basa
yang ditambahkan ke dalam sistem. Alkalinitas membantu mempertahankan pH agar
tidak mudah berubah yang disebabkan oleh penambahan asam [47]. Alkalinitas
terutama terdiri dari ion bikarbonat yang berada dalam keseimbangan dengan karbon
dioksida. Proses asidifikasi yang terlalu kuat akan diantisipasi oleh karbon
dioksida/hidrogen karbonat/karbonat. Selama fermentasi, CO2 secara kontinu
dihasilkan dan dilepas ke udara. Pada kondisi pH yang semakin menurun, semakin
banyak CO2 diserap ke dalam substrat sebagai molekul bebas. Jika nilai pH
meningkat, CO2 yang terlarut tersebut akan membentuk asam karbonat yang mana
akan terionisasi dan menghasilkan ion hidrogen. Adapun reaksinya adalah sebagai
berikut [48]:
CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ HCO3- + H+ ↔ CO32- + 2H+
2.4.3

Temperatur
Tingkat metabolisme dan pertumbuhan reaksi kimia dan biokimia cenderung

meningkat dengan kenaikan suhu, sampai toleransi suhu mikroorganisme terpenuhi.
Jika temperature terlalu ekstrim, denaturasi sel akan terjadi dan mengakhiri
kehidupan efektif sel [49]. Terdapat tiga kondisi temperatur yang memungkinkan
mikroorganisme anaerobik berkembang, yaitu mesofilik dengan temperatur optimum
pada 30-37°C, termofilik dengan temperatur optimum 55-60°C dan psikropilik
dengan temperatur optimum pada 15-20°C [39].

Universitas Sumatera Utara

Temperatur operasi dipilih dengan mempertimbangkan bahan baku yang
digunakan dan temperatur proses yang diperlukan dapat disediakan oleh ruangan
atau menggunakan sistem pemanas pada digester [38]. Dalam penelitiannya, Moset
et al (2015) [49] membandingkan produksi metana yang dihasilkan dari proses
digestasi anaerobik dengan bahan baku kotoran ternak pada temperatur mesofilik dan
termofilik. Diperoleh hasil bahwa pada temperatur termofilik, digestasi anaerobik
menunjukkan degradasi bahan organik yang lebih tinggi, pH dan yield metana (CH4)
yang lebih tinggi, serta emisi CH4 yang lebih rendah dibandingkan dengan kondisi
mesofilik. Selain itu, keragaman mikroba yang lebih rendah ditemukan di reaktor
termofilik, terutama untuk kelas Clostridia.
Umumnya, digestasi anaerobik berlangsung lebih cepat pada temperatur
termofilik. Hal ini dikarenakan mikroorganisme lebih aktif pada temperatur yang
lebih tinggi. Selain itu temperatur yang lebih tinggi juga dapat meningkatkan
ketersediaan senyawa organik tertentu karena kelarutan umumnya meningkat dengan
meningkatnya suhu. Sebagai akibat dari peningkatan kelarutan, viskositas bahan
tertentu mungkin lebih rendah dalam kondisi termofilik. Keuntungan lain
penggunaan temperatur termofilik adalah berkurangnya mikroorganisme patogen
yang tidak diinginkan seperti Salmonella [39].

2.4.4

Pengadukan
Pengadukan merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai

keberhasilan digestasi anaerobik limbah cair organik. Pengadukan bertujuan untuk
mendapatkan campuran substrat yang homogen dan temperatur yang merata. Dengan
adanya pengadukan, intensitas kontak antara organisme-substrat akan semakin
meningkat dan potensi material yang mengendap di dasar akan semakin kecil [34].

2.4.5

Kebutuhan Nutrisi
Seperti semua operasi biokimia lainnya, nutrisi dibutuhkan dalam proses

anaerobik. Makro-nutrisi, seperti nitrogen, fosfor, magnesium dan kalium diperlukan
untuk aktivasi mikroorganisme, sementara mikro-nutrisi seperti kobalt, nikel dan besi
berperan dalam produksi metana. Nitrogen, fosfor dan kalium yang berlebihan dapat
menghambat efek shock loading dan mencegah flotasi butiran. Akumulasi logam

Universitas Sumatera Utara

dalam lumpur tergantung pada banyak faktor seperti sifat mineral dan konstituen
organik, pH dan sifat logam [50]. Penambahan nutrisi diperlukan ketika limbah
organik yang diolah kekurangan unsur hara makro seperti nitrogen dan fosfor.
Umumnya kebutuhan nutrisi untuk nitrogen, fosfor, dan sulfur masing-masing berada
di kisaran 10-13; 2-2,6; dan 1-2 mg per 100 mg biomassa [51]
Nutrisi yang paling penting bagi mikroba adalah karbon dan nitrogen, namun
dua elemen ini harus disediakan dalam rasio yang tepat. Jika rasio C/N sangat tinggi,
nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh mikroba, sehingga produksi metan
menjadi rendah. Namun sebaliknya, jika rasio C/N sangat rendah, maka akan
terbentuk ammonia ketingkat yang dapat berakibat racun bagi mikroba yang ada
[50].

2.4.6

Volatile Fatty Acid (VFA)
VFA merupakan senyawa intermediet yang dihasilkan selama tahap

asidogenesis [52]. Akumulasi VFA menggambarkan kinetika hubungan antara
produsen dan konsumen asam serta pengaruh overloading, variasi suhu tiba-tiba,
adanya senyawa toksik atau penghambat dan beberapa faktor lainnya. Selama proses
digestasi anaerobik, konsentrasi asam asetat dalam VFA biasanya relatif lebih tinggi
[53]. Berikut ini adalah kandungan VFA yang umum terdapat pada proses digestasi
anaerobik [54]:
Tabel 2.3 Kandungan VFA yang Umum terdapat pada Proses Digestasi Anaerobik
Asam Format
Asam Asetat
Asam Propionat
Asam Butirat
Asam Valerat
Asam Heksanoik
Asam Heptanoik
Asam Oktanoik

2.4.7

HCOOH
CH3COOH
CH3CH2COOH
CH3CH2CH2COOH
CH3CH2CH2CH2COOH
CH3CH2CH2CH2 CH2COOH
CH3CH2CH2CH2 CH2CH2COOH
CH3CH2CH2CH2CH2CH2 CH2COOH

Beban Organik (Organic Loading Rate)
Beban organik merupakan parameter operasional yang penting dipelajari

secara ekstensif untuk menyelidiki efek dari berbagai beban substrat. Beban organik
menunjukkan seberapa banyak bahan organik yang dapat dimasukkan ke dalam
digester, per volume dan satuan waktu, sesuai dengan persamaan [38]:

Universitas Sumatera Utara

BR = m × c / VR
Keterangan:

(2.1)

BR = Beban organik (kg/hari·m3)
m = Massa substrat umpan per satuan waktu (kg/hari)
c

= Konsentrasi bahan organik (%)

VR = Volume digester (m3)
Beban organik yang tinggi akan mengurangi efisiensi penyisihan COD dalam
sistem pengolahan air limbah, namun memberikan dampak positif pada produksi gas
metan hingga tahap mikroba metanogenesis tidak dapat bekerja cukup cepat untuk
mengkonversi asam asetat menjadi metana [54, 55].

2.4.8

Hydraulic Retention Time (HRT)

HRT adalah rata-rata interval waktu ketika substrat disimpan di dalam tangki
digester. HRT berkorelasi dengan volume digester dan volume substrat umpan per
satuan waktu, sesuai dengan persamaan:
HRT = VR / V
Keterangan:

(2.2)

HRT = Hydraulic Retention Time (hari)
VR

= Volume digester (m3)

V

= Volume substrat umpan per satuan waktu (m3/hari)

Berdasarkan persamaan diatas dapat dilihat bahwa peningkatan beban
organik akan mengurangi HRT. HRT ini penting karena menentukan jangka waktu
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme dan konversi senyawa organik
menjadi gas. Waktu HRT ini haruslah cukup lama untuk memastikan jumlah
mikroorganisme

yang

terbuang

bersama

effluent

lebih

rendah

dibanding

mikroorganisme yang direproduksi. HRT yang rendah akan menyebabkan
pembentukan gas yang rendah namun laju alir substrat yang baik. Oleh karena itu
adalah sangat penting untuk mengaplikasikan HRT yang sesuai dengan laju
penguraikan substrat yang digunakan [17, 18].

2.5

POTENSI EKONOMI
Pada penelitian ini dilakukan analisa ekonomi yang sederhana terhadap

proses asidogenesis LCPKS menggunakan temperatur termofilik dengan produk
yang diharapkan berupa VFA, yang dapat dikonversi menjadi biogas pada tahap

Universitas Sumatera Utara

selanjutnya. Dari hasil analisa, dapat diketahui potensi ekonomi pemanfaatan LCPKS
sebagai bahan baku biogas pada temperatur termofilik dalam skala industri. Beberapa
penelitian yang berhasil menghitung volume pembentukan biogas dari VFA
ditunjukkan pada Tabel 2.4
Tabel 2.4 Volume Pembentukan Biogas dari VFA yang Terbentuk [56, 57, 58]
Peneliti
Total VFA
Volume Biogas
(mg/L)
(L/L hari)
A.K. Kivaisi et al
2.058,85
1,70
Rongpin Li et al
4.020,00
3,97
Cavinato et al
6.896,48
6,00
Pada penelitian ini, pH terbaik yaitu 5, menghasilkan total pembentukan VFA
sebesar 9.724 mg/L. Menurut A.K. Kivaisi et al [56], konversi VFA menjadi biogas
adalah 100%. Melalui Tabel 2.4 dapat digambarkan grafik linear seperti ditunjukkan

Produksi Biogas (L/hari)

pada Gambar 2.3 berikut.
7
y = 0,0009x + 0,1043

6
5
4
3

Produksi Biogas
Linear (Produksi Biogas)

2
1
0
0

2000

4000
Total VFA (mg/L)

6000

8000

Gambar 2.3 Konversi Total VFA menjadi Biogas [56, 57, 58]
Gambar 2.3 menunjukkan grafik linearisasi pembentukan biogas dari VFA
dengan persamaan garis lurus: y = 0,062 x + 907 dengan y merupakan produksi
biogas dan x merupakan VFA yang terbentuk. Berdasarkan persamaan tersebut maka
jumlah biogas yang dapat dihasilkan dari total VFA pH terbaik pada penelitian ini
adalah:

y

= 0,0009x + 0.1043
= (0,0009) (9.724) + 0.1043
= 8,85 liter biogas/ liter LCPKS hari
= 8,85 m3 biogas/ m3 LCPKS hari

Universitas Sumatera Utara

Ekivalensi 1 m3 biogas terhadap Liquefied Petroleum Gas (LPG) sebesar 0,465 kg,
sehingga
=

8,85 m3 biogas
3

1 m LCPKS

x

0,465 kg LPG
1 m3 biogas

= 4,115 kg LPG/m3 LCPKS
Harga LPG industri adalah Rp 7.355/kg [59], sehingga untuk biogas yang dihasilkan
pada proses pembuatan biogas dua tahap diperoleh keuntungan sebesar:
Keuntungan produksi biogas dua tahap

=

4,115 kg LPG
3

1 m LCPKS

x

Rp 7.335
1kg LPG

= Rp 30.183,5/m3 LCPKS

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan Ambient

4 122 113

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Temperatur 45oC

4 65 95

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Menggunakan Temperatur Termofilik

0 9 107

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Menggunakan Temperatur Termofilik

0 0 20

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Menggunakan Temperatur Termofilik

0 0 2

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Menggunakan Temperatur Termofilik

0 0 7

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Menggunakan Temperatur Termofilik

0 0 9

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Menggunakan Temperatur Termofilik

0 0 26

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Temperatur 45oC

0 0 6

PENGARUH HYDRAULIC RETENTION TIME (HRT) DAN pH PADA PROSES ASIDOGENESIS LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS) MENGGUNAKAN TEMPERATUR 45 C

0 0 16