T1 802007083 Full text
Perbedaan Self-Regulated Learning Pada Siswa yang Mengikuti
Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler Di SMP N 2 Semarang
Oleh:
RAGIL PICASIA DEWI ESTUNING TYAS
802007083
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi : Psikologi, Fakultas : Psikologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar
Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2013
i
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Perbedaan Self-Regulated Learning Pada Siswa yang Mengikuti
Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler Di SMP N 2 Semarang
Ragil Picasia Dewi Estuning Tyas
Dr. Ch. Hari S
Rudangta A. S
Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana
2013
Self Regulated Learning (SRL) pada siswa dapat digambarkan
melalui tingkatan atau derajat yang meliputi keaktifan berpartisipasi
baik itu secara kognitif, motivasional, maupun perilaku dalam proses
belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan SRL
pada siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas regular.
Hipotesis penelitian ini adalah adanya perbedaan SRL pada siswa
yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas regular di SMP Negeri 2
Semarang, dimana siswa kelas akselerasi mempunyai SRL lebih tinggi
daripada siswa kelas reguler. Sampel (N=47) diambil dengan
menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data
menggunakan satu skala yaitu Skala SRL yang berdasarkan pada
karakteristik siswa yang mempunyai SRL oleh Zimmerman (2001,
2002). Skala ini terdiri dari 32 item valid. Analisis dalam penelitian ini
menggunakan uji-t. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh nilai
thitung sebesar -0,778 dan p= 0,095 ( p > 0.05). dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan SRL pada siswa yang
mengikuti kelas akselerasi dan kelas regular di SMP Negeri 2
Semarang.
Kata Kunci: self-regulated learning, SRL, kelas akselerasi, kelas
regular
vi
ABSTRACT
Differences in Self-Regulated Learning in students who Attend
Regular Classes and Accelerated Classes in junior high Country 2
Semarang
Ragil Picasia Dewi Estuning Tyas
Dr. Ch. Hari S
Rudangta A. S
Faculty Of Psychology
Satya Wacana Christian University
2013
Self Regulated Learning (SRL) on students can be described
through levels or degrees which include the liveliness of the
participating in the cognitive, motivational, and behavior in the learning
process. This research aims to know the difference in students who
follow SRL class acceleration and regular classes. The hypothesis of
this research is the existence of differences in students who follow SRL
class acceleration and regular classes in junior high Country 2
Semarang, where students have accelerated classes SRL is higher than
regular class students. Sample (N = 47) taken using a purposive
sampling technique. Data collection using a single scale is a scale SRL
which is based on the characteristics of the students who have the SRL
by Zimmerman (2001, 2002). This scale consists of 32 items. The
analysis in this study uses the t-test. Based on the results of data
analysis, retrieved thitung value of-0,778 and p = 0,095 (> p 0.05).
from the results it can be concluded that there was no difference in
students who follow SRL class acceleration and regular classes in
junior high Country 2 Semarang.
Keywords: self-regulated learning, SRL, class accelerated, regular
class
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu kunci pokok untuk mewujudkan
dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, terutama
disini yang menjadi target atau sasarannya adalah generasi muda.
Permasalahan yang cukup mendapat perhatian serius dalam dunia
pendidikan dewasa ini adalah persoalan hasil belajar dan kualitas siswa.
Winkel (Munandar, 2009) menyatakan kemampuan intelektual
memegang peranan besar terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar
yang dicapai siswa terutama dalam pelajaran yang menuntut banyak
berpikir (bidang pemahaman dan kognitif). Dalam proses belajar akan
sangat banyak hal yang harus dipelajari, karena siswa akan berlombalomba untuk lebih bisa berprestasi secara akademik maupun non
akademik, maka mereka akan mempunyi aktivitas belajar yang padat,
aktivitas inilah yang mampu meningkatkan regulasi diri siswa dalam
belajar, sehingga mereka lebih memiliki daya juang dalam belajar
(Alsa, 2007).
Berdasarkan pemikiran inilah maka banyak ditemukan bahwa
modal potensi kecerdasan dan bakat saja tidaklah cukup untuk
mendorong sukses anak, perlu ada strategi yang lebih bisa
mengembangkan potensi anak berbakat ini. Salah satunya adalah
dengan
mengembangkan
self
regulation
pada
para
siswa.
Mengembangkan self regulation adalah salah satu strategi yang penting
agar anak berbakat dapat menentukan sendiri pilihan-pilihan kegiatan
belajarnya, target dan cara mencapai target yang telah ditetapkan
(Nugroho, 2007).
1
2
Konsep self regulation itu sendiri berakar dari teori kognitif sosial
yang dikemukakan oleh Bandura. Menurut Bandura (Feist & Feist,
2006) tindakan seseorang adalah sebuah hasil interaksi antara tiga
variabel yaitu individu, perilaku dan lingkungan. Secara umum,
Bandura mengatakan bahwa individu memiliki kemampuan kognitif
(ingatan, antisipasi, perencanaan dan penilaian), dimana seseorang
menggunakan kapasitas kognitifnya untuk melakukan suatu proses
tingkah laku. Selain itu individu juga memiliki kapasitas untuk memilih
atau mengatur kembali lingkungannya. Berdasarkan penjelasan diatas,
proses self-regulation yang dilakukan oleh siswa ini untuk dapat
mengatasi permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi dalam
kehidupannya baik dalam masa studinya ataupun masa mendatang
adalah hasil dari interaksi antara tingkah laku, pribadi individu dan
lingkungan (Feist & Feist, 2006).
Self-regulation yang diterapkan dalam proses belajar dikenal
dengan Self Regulated Learning (SRL). Menurut Zimmerman (1989),
SRL pada siswa dapat digambarkan melalui tingkatan atau derajat yang
meliputi keaktifan berpartisipasi baik itu secara kognitif, motivasional,
maupun perilaku dalam proses belajar. Menurut Pintrich dan De Groot
(Sukadji, Singgih & Evita, 2001) siswa membutuhkan suatu metode
agar dapat mengelola dan mengontrol usaha mereka dalam tugas-tugas
akademik dan juga dapat merencanakan, memantau, dan memodifikasi
kognisi mereka yang disebut dengan Self-Regulated Learning (SRL).
Menurut Colangelo (Hawadi, 2006) program akselerasi adalah
program pendidikan yang memberikan kesempatan bagi siswa yang
berkapasitas intelektual tinggi untuk meloncat kelas atau mempercepat
bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai pada saat itu. Menurut Meier
3
(Alsa, 2007) asumsi yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan
kelas akselerasi adalah lingkungan belajar yang positif, melibatkan
siswa secara total, kolaborasi antar siswa, kaya akan gaya belajar, dan
belajar kontekstual.
Kelas akselerasi mempunyai waktu studi yg lebih cepat dibanding
dengan kelas reguler, aktivitas belajar siswa kelas akselerasi menjadi
padat, jumlah jam belajar di sekolah lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah jam belajar siswa kelas reguler, untuk itu aktivitas dan tugas
belajar yang padat membuat siswa menggunakan banyak waktunya
untuk belajar, melakukan kegiatan belajar bersama, menggunakan
banyak sumber belajar, dan menggunakan berbagai strategi belajar,
baik strategi kognitif maupun strategi mengelola lingkungan dan
sumber daya. Aktivitas belajar yang padat menjadikan siswa kelas
akselerasi mampu melakukan regulasi diri dalam belajar (Alsa, 2007).
Beberapa penelitian mengenai SRL telah dilakukan oleh
Natakusuma (2003) dikatakan bahwa mahasiswa yang kuliah sambil
bekerja memiliki regulasi yang baik. Mereka benar-benar mengatur
waktu belajar mereka sendiri sesuai dengan kemampuan dan
kesibukannya.
Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ahmad Dhuhri dan Mujidin, (2006), tentang perbedaan SRL antara
siswa underachievers dan siswa overachievers pada kelas 3 smp negeri
6 yogyakarta, mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan yang signifikan
SRL antara siswa underachievers dan siswa overachievers. Begitu juga
dengan penelitian oleh Febrilia Kusumaningtyas (2011) di UKSW,
mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan SRL pada mahasiswa yang
bekerja part time dan tidak bekerja.
4
Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
aktivitas yang padat akan dapat memunculkan kemampuan untuk
mengatur diri (Alsa, 2007), begitu juga dengan Winkel (Munandar,
2009) menyatakan kemampuan intelektual memegang peranan besar
terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa terutama
dalam pelajaran yang menuntut banyak berpikir (bidang pemahaman
dan kognitif), dalam hal ini siswa kelas akselerasi akan lebih
mempunyai SRL yang tinggi dibanding dengan kelas reguler.
Kemudian tingkat intelegensi akan turut memengaruhi SRL, seperti
yang dikatakan dalam penelitian sebelumnya Ahmad Dhuhri dan
Mujidin (2006) menyatakan bahwa siswa yg overachievers akan
mempunyai SRL lebih tinggi dibanding dengan siswa
yang
underachievers, maka dengan hasil yang diungkapkan, siswa kelas
akselerasi mempunyai SRL lebih tinggi dibanding dengan kelas
reguler.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, penulis tertarik untuk
mengkaji apakah ada perbedaan SRL pada siswa yang mengikuti kelas
akselerasi dan kelas reguler.
LANDASAN TEORI
Self-Regulated Learning (SRL)
Zimmerman (1989) mengatakan bahwa individu yang memiliki
SRL merupakan individu yang aktif secara metakognisi, motivasi, dan
perilaku di dalam proses belajarnya. Pendapat tersebut sejalan dengan
pemikiran
Schunk
dan
Zimmerman
(Winne,
1997),
yang
mengkategorikan SRL sebagai dasar kesuksesan belajar, problem
solving, transfer belajar, dan kesuksesan akademis secara umum. SRL
5
menyangkut penerapan dari model umum regulasi dan regulasi diri
(self-regulation) dalam proses belajar. Ada empat asumsi mengenai
SRL yang dipakai Wolters, Pintrich dan Karabenick (2003). Pertama,
asumsi aktif dan konstruktif. Siswa sebagai partisipan yang aktif
konstruktif dalam proses belajar. Kedua, SRL sebagai potensi untuk
mengontrol. Siswa sanggup memonitor, mengontrol, meregulasi aspek
tertentu dari kognitif, motivasi dan perilaku sesuai karakteristik
lingkungan. Ketiga, asumsi tujuan, kriteria, atau standar. Asumsi
tersebut digunakan untuk menilai apakah proses harus dilanjutkan jika
beberapa criteria atau standar berubah. Keempat, asumsi bahwa
aktivitas dalam SRL merupakan penengah (mediator) antara personal
dan
karakteristik
konteks
dan
prestasi
atau
performa
yang
sesungguhnya.
Zimmerman (2001, 2002) mengungkap karakteristik siswa yang
mempunyai self regulation dalam belajar, yaitu sebagai berikut:
1.
Mereka mengenal dan tahu bagaimana menggunakan
serangkaian strategi kognitif (pengulangan, elaborasi, dan
organisasi), yang membantu mereka untuk mengurus,
mengubah, mengatur, mengelaborasi, dan memulihkan
informasi.
2.
Mereka tahu bagaimana merencanakan, mengontrol dan
mengarahkan proses mental mereka terhadap pencapaian
tujuan pribadi (metacognition).
3.
Mereka menunjukkan keyakinan motivasi dan emosi yang
adaptif, seperti mempunyai rasa tinggi akademik selfefficacy, mengadopsi tujuan pembelajaran, pengembangan
emosi positif terhadap tugas (misalnya sukacita, kepuasan,
6
antusiasme), serta kontrol dan memodifikasi, menyesuaikan
semua itu untuk persyaratan tugas dan pada situasi belajar
yang tertentu.
4.
Mereka merencanakan dan mengendalikan waktu dan usaha
untuk digunakan pada tugas, dan mereka tahu cara
membuat dan menstruktur lingkungan belajar
yang
menguntungkan, seperti menemukan sebuah tempat belajar
yang cocok, dan membantu mencari dari bantuan dari guru
dan teman sekelas saat mereka mengalami kesulitan.
5.
Dalam konteks ini, mereka menunjukkan upaya yang lebih
besar
untuk
berpartisipasi
dalam
mengontrol
dan
meregulasi tugas akademik, iklim kelas dan struktur
(misalnya bagaimana seseorang akan dievaluasi persyaratan
tugas, desain tugas kelas, organisasi tim kerja).
6.
Mereka mampu dimasukkan kedalam serangkaian upaya
strategi, bertujuan untuk menghindari gangguan eksternal
dan internal, untuk menjaga konsentrasi mereka, usaha dan
motivasi ketika melakukan tugas akademik.
Zimerman (1989) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
self-regulated learning sebagai berikut:
a. Faktor personal
Termasuk dalam hal ini adalah pengetahuan peserta didik,
proses metakognisi, tujuan yang hendak dicapai, dan afeksi.
Paris dan Winograd membagi pengetahuan menjadi tiga yakni
pengetahuan
deklaratif,
pengetahuan
prosedural,
dan
pengetahuan kondisional (Paris & Winograd, 2002). Menurut
7
Zimmerman (1986), dari ketiga jenis pengetahuan itu yang
merupakan pengetahuan bagi peserta didik yang melaksanakan
self-regulated learning adalah pengetahuan prosedural dan
pengetahuan kondisional, sedangkan pengetahuan deklaratif dan
pengelolaan diri bersifat interaktif. Ini artinya, dengan semakin
baiknya pengetahuan prosedural (yakni mengkomposisikan
tugas untuk mencapai tujuan jangka pendek) dan pengetahuan
kondisional (yakni menggunakan strategi yang tepat untuk
memfasilitasi penyelesaian tugas), maka peserta didik yang
melaksanakan self-regulated learning akan dapat mencapai
tujuanya.
b. Faktor perilaku
Hal yang termasuk dalam faktor perilaku meliputi:
1. Observasi diri (self observation) yaitu respon-respon yang
meliputi pengawasan sistematis terhadap penampilan
mereka sendiri.
2. Penilaian diri (self judgement) yaitu respon-respon yang
meliputi
pembandingan
secara
sistematis
antara
penampilan mereka dengan suatu standar atau tujuan yang
telah ditetapkan. Standar atau tujuan tersebut dapat berupa
norma-norma sosial, kriteria sementara atau kriteria absolut
yang telah ditetapkan.
3. Reaksi
diri
(self
reaction)
adalah
tanggapan
atau
pemaknaan siswa terhadap evaluasi atas penampilan yang
ditunjukannya. Berdasarkan social cognitive theory, reaksi
diri
(self
reaction)
dibedakan
atas
tiga
bentuk:
(a) behavioral self reaction, yaitu siswa berusaha untuk
8
mengoptimalkan respon-respon spesifik mereka ketika
belajar; (b) personal self reaction, yaitu siswa berusaha
untuk meningkatkan proses diri mereka ketika belajar,
misalnya
dengan
melakukan
proses
pengulangan
(rehearsing); (c) environmental self reaction, yaitu siswa
berusaha memperbaiki atau membenahi lingkungan belajar
mereka, seperti menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk belajar, atau meminta bantuan kepada orang lain
c. Faktor lingkungan
Lingkungan berpengaruh terhadap kegiatan belajar
seseorang. Lingkungan belajar yang kondusif akan
membuat peserta didik yang melaksanakan self-regulated
learning, dan sebaliknya pada lingkungan yang kurang
kondusif akan membuat kesulitan berkonsentrasi dalam
mengerjakan tugas-tugasnya.
Jenis Kelas (Kelas Akselerasi & Kelas Reguler)
a. Kelas Akselerasi
Menurut Colangelo (Alsa, 2007) menyebutkan bahwa istilah
akselerasi menunjuk pada pelayanan yang diberikan (service
delivery), dan kurikulum yang disampaikan (curriculum delivery).
Secara konseptual, pengertian akselerasi diberikan oleh Pressey
(Alsa, 2007) sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program
pengajaran, pada waktu yang lebih cepat atau usia yang lebih muda
daripada yang konvensional. Definisi ini menunjukkan bahwa
akselerasi meliputi persyaratan untuk menghindari hambatan
pemenuhan permintaan dalam pengajaran dan juga mengusulkan
9
proses-proses yang memungkinkan siswa melalui pemberian materi
yang lebih cepat dibanding dengan kemajuan rata-rata siswa.
Menurut Hartono 2006 (dalam Alsa, 2007) prasyarat
memadai
untuk
mengidentifikasi
siswa
yang
dapat
diikutsertakan dalam program akselerasi sebaiknya mengikuti
panduan yang diberikan oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa
Dinas Pendidikan Nasional sebagai berikut:
1. Melakukan evaluasi psikologis dalam hal intelektual dan
kepribadian, disamping tingkat penguasaan akademik.
2. Dibutuhkan IQ diatas 130 bagi siswa yang kurang
menunjukkan prestasi akademiknya.
3. Bebas
dari
problem
emosional
dan
sosial,
yang
ditunjukkan dengan adanya presistensi dalam derajat yang
tinggi.
4. Memiliki fisik yang sehat.
5. Tidak ada tekanan dari orang tua, tetapi atas kemauan
anak sendiri.
b. Kelas Reguler
Siswa kelas reguler adalah siswa yang menyelesaikan studi
selama tiga tahun. Siswa ini memiliki kemampuan rata-rata, dan
tidak memperoleh pelayanan secara khusus, pelayanan yang
diperoleh sama dengan siswa yang lain. Kurikulum yang diterapkan
adalah kurikulum standar nasional yang berlaku bagi semua siswa
yang menempuh
pendidikan menengah atas. Materi
yang
disampaikan disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku yakni
materi yang harus diselesaikan oleh siswa selama tiga tahun.
(Hawadi, 2001).
10
Hubungan Antara Jenis Kelas (Kelas Akselerasi & Kelas Reguler)
dengan SRL
Seorang siswa hendaknya mempunyai kemampuan untuk
menyerap materi pelajaran yang baik, mereka akan mengupayakan
berbagi cara untuk memfasilitasi kemampuan itu. Kemampuan
siswa dalam menyerap materi pelajaran harus diimbangi dengan
keadaan yang optimal juga, misalnya saja keadaan siswa itu sendiri,
terkait dengan kemampuan kognitif. Menurut Bandura (Feist &
Feist, 2006) tindakan seseorang adalah sebuah hasil interaksi antara
tiga variabel yaitu individu, perilaku dan lingkungan. Secara umum,
Bandura mengatakan
bahwa individu memiliki kemampuan
kognitif (ingatan, antisipasi, perencanaan dan penilaian), dimana
seseorang menggunakan kapasitas kognitifnya untuk melakukan
suatu proses tingkah laku. Selain itu individu juga memiliki
kapasitas untuk memilih atau mengatur kembali lingkungannya.
Temuan-temuan yang ada menegaskan bahwa modal potensi
kecerdasan dan bakat saja tidaklah cukup untuk mendorong sukses
anak. Akan tetapi tingkat intelegensi yang tinggi akan sangat
berpengaruh terhadap kemampuan siswa untuk mengatur dirinya.
Mengembangkan SRL adalah salah satu strategi yang penting agar
anak berbakat dapat menentukan sendiri pilihan-pilihan kegiatan
belajarnya, target dan cara mencapai target yang telah ditetapkan
(Nugroho, 2007). SRL merupakan wujud dari kemandirian siswa
untuk mengatur dirinya sendiri dalam mencapai tujuan. Hasil
interkasi antara individu, perilaku dan lingkungan ini diharapkan
dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapai dalam
11
proses masa studi. Dalam hal ini kelas akselerasi dan kelas reguler
akan sangat berbeda dalam hal iklim kelas. Dalam kelas akselerasi
siswa dituntut untuk menjadi proaktif dalam setiap kegiatan, karena
situasi yang seperti ini, maka iklim yang terjadi adalah siswa akan
berlomba untuk menjadi yang terbaik dan itu akan memengaruhi
lingkungan didalam kelas akselerasi itu sendiri. Berdasarkan
penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa aktivitas yang
padat akan dapat memunculkan kemampuan untuk mengatur diri
(Alsa, 2007), begitu juga dengan Winkel (Munandar, 2009)
menyatakan kemampuan intelektual memegang peranan besar
terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa
terutama dalam pelajaran yang menuntut banyak berpikir (bidang
pemahaman dan kognitif), dalam hal ini siswa kelas akselerasi akan
lebih mempunyai SRL yang tinggi dibanding dengan kelas reguler
Dari semua hal yang sudah diungkap diatas, maka kelas
akselerasi akan mempunyai SRL lebih tinggi dibanding dengan
kelas reguler, ini disebabkan karena perbedaan intelegensi dan
lingkungan antara kedua kelas ini.
METODE PENELITIAN
Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan
menggunakan teknik purposive sampling. Sample yang digunakan
dalam penelitian ini adalah siswa SMP N 2 Semarang berjumlah 47
siswa yang terdiri dari 20 siswa kelas akselerasi dan 27 siswa kelas
reguler.
12
Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa
satu skala psikologi yaitu Skala Self-Regulated Learning. Skala ini
berdasarkan pada karakteristik siswa yang mempunyai SRL. Item
dalam skala tersebut dikelompokkan dalam pernyataan favorable
dan unfavorable dengan menggunakan 5 alternatif jawaban yaitu,
Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak dapat menentukan dengan
pasti (N), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).
Keseluruhan data diperoleh dari skala psikologi yang telah
dibagikan kepada subjek.
Seleksi Item dan Reliabilitas Uji Coba Alat Ukur
Dalam seleksi item Skala Self-Regulated Learning terdapat 12
item yang gugur dari total 44 soal yang diujikan, karena memiliki
nilai koefisien korelasi yang lebih rendah dari 0,25 (Azwar, 2003).
Berdasarkan pengujian yang dilakukan sebanyak 2 kali didapatkan
koefisien seleksi item yang bergerak antara 0,282 sampai dengan
0,674, sehingga jumlah item valid yang akan digunakan dalam
skala pada penelitian yang sebenarnya adalah 32 item dengan nilai
reliabilitas sebesar 0,896.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis perbedaan SRL pada siswa yang
mengikuti kelas akselerasi dan kelas reguler diperoleh nilai thitung
sebesar -0,778 dengan nilai signifikansi 0,095. Karena nilai
signifikansi lebih besar dari 0,05 maka hal ini menunjukkan bahwa
Ho diterima dan Ha ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
13
tidak ada perbedaan SRL siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan
kelas reguler di SMP Negeri 2 Semarang.
Menurut Widhiarso (2012), sebelum melakukan pengujian,
peneliti harus memutuskan terlebih dahulu taraf signifikansi yang
dipakai untuk menolak atau menerima H0, misalnya ditetapkan taraf
signifikansi yang kita pakai adalah 5%, meskipun komputer
menghasilkan nilai p=0,001, kita tetap mengatakan signifikan.
Demikian juga ketika menetapkan 10% dan nilai uji sebesar p=0,08
tetap kita katakan signifikan.
Batas nilai alpha yang dipakai untuk menolak Ho adalah
alpha=0,05 atau 5%. Nama lainnya adalah tingkat kesalahan/resiko
sebesar 5% atau taraf signifikansi 5%. Selain faktor di atas peneliti
mencoba menjelaskan bahwa perbedaan rata-rata SRL dari kedua
kelompok tersebut dikarenakan penulis tidak memperoleh izin
untuk langsung menemui responden sehingga penulis tidak bisa
mengontrol dan menjelaskan langsung kepada responden mengenai
hal-hal yang tidak mereka mengerti. Hasil ini disebabkan oleh
karena rata-rata IQ antara siswa akselerasi dan reguler tidak jauh
berbeda. Dalam faktor-faktor yang memengaruhi SRL oleh
Zimmerman (1989), ada tiga faktor yaitu faktor personal, faktor
perilaku dan yang terakhir faktor lingkungan. Dalam hal ini faktor
lingkungan mendapat sorotan lebih karena sarana dan prasarana
yang diberikan, dari mulai tata letak dan suasana kelas juga tidak
jauh berbeda, hanya berbeda pada faktor pengajar yang secara
khusus mengajar kelas akselerasi. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan penulis pada tanggal 30 April 2013, terkadang siswa
yang tidak masuk kelas akselerasi mempunyai prestasi yang sama
14
dengan siswa akselerasi, ini terbukti untuk kelas olympiade terdiri
dari siswa kelas reguler dan akselerasi. Menurut direktur kelas
akselerasi, siswa yang mempunyai IQ tinggi juga terkadang enggan
untuk masuk kelas akselerasi, alasan mereka bermacam-macam,
mulai dari tidak ada waktu belajar dan biaya yang cukup mahal.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
siswa dan pihak sekolah, bahwa untuk masuk kelas akselerasi harus
memenuhi salah satu syarat yaitu tanpa paksaan dan mendapat ijin
dari orang tua. Siswa terkadang juga enggan untuk masuk kelas
akselerasi, karena tidak masuk kelas akselerasipun mereka bisa
bersaing secara akademis untuk masuk kelas olympiade.
Menurut wawancara yang penulis dapatkan, bahwa siswa kelas
akselerasi hanya memiliki waktu luang yang lebih sedikit
dibandingkan dengan kelompok siswa kelas reguler, siswa kelas
reguler memiliki banyak waktu untuk belajar, istirahat dan
melakukan aktivitas lainnya. Dalam Zimmerman (Wolters, dkk,
2003), menjelaskan bahwa dengan adanya self regulation, individu
mempunyai perasaan yakin pada dirinya sendiri untuk menentukan
cita-cita (goal setting), mengevaluasi diri (self evaluation),
memonitor diri sendiri (self monitoring), serta mengatur dan
merencanakan waktu (time planning) and management. Siswa kelas
reguler mempunyai waktu lebih banyak waktu untuk mengatur
kegiatannya, akan tetapi pada kenyataannya adalah siswa kelas
reguler tetap mempunyai kegiatan seperti berdiskusi dengan teman,
mencari informasi tentang tugas mereka, dan mengikuti kegitan
sekolah lainnya misalnya ekstrakurikuler. Menurut Alsa (2007)
aktivitas yang padat inilah yang mampu meningkatkan regulasi diri
15
siswa dalam belajar, sehingga mereka lebih memiliki daya juang
dalam belajar.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan SRL pada
siswa yg mengikuti kelas akselerasi dan kelas reguler, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa:
1.
Tidak ada perbedaan SRL pada siswa SMP N 2 Semarang
yang mengikuti kelas akselerasi dan reguler.
2.
Sebagian besar (75%) siswa kelas akselerasi mempunyai
SRL dalam kategori sangat tinggi, dan sebagian kelas
regular (77,78%) mempunyai SRL dalam kategori sangat
tinggi.
Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas maka
peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi
pendidikan, diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan mengenai Self Regulated Learing (SRL).
2. Bagi pengajar agar lebih memfokuskan pada siswa-siswanya
sehingga dapat terampil meregulasi dirinya. Memberikan
motivasi kepada siswanya supaya mereka tetap dapat
mengatur waktunya sebaik mungkin untuk mencapai
prestasi akademik yang memuaskan, baik untuk kelas
akselerasi dan reguler.
16
3. Kepada peneliti selanjutnya supaya mempertimbangkan
SRL sebagai faktor yang penting bagi siswa dan dalam
proses belajarnya, sehingga siswa mampu mengatur waktu,
mengontrol perilaku, dan memotivasi diri sendiri untuk
mencapai prestasi akademik yang memuaskan.
Daftar Pustaka
Alsa, A. (2007). Keunggulan dan kelemahan program akselerasi di
SMA: Tinjauan psikologi pendidikan. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada
Azwar, S. (2007). Reliabilitas dan validitas alat ukur. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2009). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan validitas: edisi 4. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Faktor-faktor yang memengaruhi self regulated learning. (2011).
http://id.shvoong.com/social-ciences/counseling/2205704faktor-faktor-yang mempengaruhi-self.
Febrilia, K. (2012). Perbedaan self-regulated learning pada mahasiswa
universitas kristen satya wacana yang bekerja part-time dan
tidak bekerja. Skripsi. Salatiga: Fakultas Psikologi. Universitas
Kristen Satya Wacana.
Feist, & Feist, J.G. (2006). Theory of personality: six edition.
Singapore: McGraw-Hill.
Fermin, T.M & Carmen Maria, G.T. (2004). Self regulated learning:
Current and future direction. Journal of Educational
Psychology, 2(1).
Hadi, S. (2004). Statistik. Jilid 2. Yogyakarta. Andi Ofset.
17
Haryu. (2004). Hubungan antara pengasuhan Islami dengan selfregulated learning, motivasi berprestasi dan prestasi belajar.
Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada.
Hawadi, R. A. (2001). Psikologi perkembangan anak: Mengenal sifat,
bakat, dan kemampuan anak. Jakarta: PT. Grasindo.
Hawadi, R. A. (2006). Akselerasi, a-z informasi program percepatan
belajar dan anak berbakat intelektual. Jakarta: PT Grasindo.
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan
sepanjang rentang kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Joana, A. (2011). Hubungan self regulation dengan prestasi belajar
pada mahasiswa fakultas psikologi universitas kristen satya
wacana. Skripsi. Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas kristen
Satya Wacana.
Kompas. (2002). Kelas akselerasi baru tahap uji coba. URL:
http:/www.kompas.com/kompascetas/0205/27/DIKBUD/kelas0
9.htm.
Landasan dan pengembangan sistem pembelajaran program akselerasi.
(2004). http://smpn1bpn.sch.id/images/stories/sekolah2.jpg.
Munandar, U. (2009). Pengembangan kreativitas anak berbakat.
Jakarta: Rineka Cipta.
Natakusuma, A. (2003). Perbedaan Model Self Regulated Learning
Mahasiswa yang Kuliah Sambil Bekerja dengan Mahasiswa
yang Kuliah Saja dan Pengaruhnya terhadap Prestasi Belajar
(IPK). Skripsi. Jakarta : Unika Atma Jaya
Nugroho, Y. (2007). Self-regulated learning anak berbakat. Diakses di
[email protected] pada tanggal 1 April 2011.
Nurshidiq, A. D., & Mujidin. (2006). Perbedaan self regulated learning
antara siswa underachievers dan siswa overachievers pada kelas
3 SMP Negeri 6 Yogyakarta: Fakultas Psikologi.
18
Papalia, D.E, , S.W., & Feldman, R.D. (2001). Human Development
(8th ed). New York : McGraw Hill.
Paulus,
M (2004, Maret 29). Persoalan kelas akselerasi.
http;//www.suaramerdeka.com/harian/0403/29/kha1.htm.
Pusdiklat Depdiknas. (2006). ”Strategi kognitif”. Tersedia
pada: http://www. Pusdiklatdepdiknas.net. (Diakses : 27 Maret
2008).
Pusdiklat
Depdiknas
www.pudiklatdepdiknas.net/dmdocuments/Akselerasi
Hartati.Pdf.
pada
Santrock, J.W. (2003). Educational psychology. 2nd Canadian ed.
Canada: McGraw Hill Ryerson Limited.
Schunk, D.H. (1986). Verbalization and children’s self-regulated
learning. Contemporary Educational Pshychology, 11, 347-369.
Schunk, D.H., & Zimmerman, B.J. (1997). Social origins of self
regulatory competence. Educational psychologist, 32, 195-208.
Sugiarto. (2003). Teknik sampling. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Sugiyono. (2006). Statistika untuk penelitian. Bandung. CV Alfabeta.
Sukadji., Singgih, S. & Evita, E. (2001). Sukses di perguruan tinggi.
Depok : Indonesia University Press.
Widhiarso, W. (2012). Hipotesis : Antara ilmu sosial dan eksakta.
Fakultas Psikologi UGM. [email protected].
Wima, B. (2006). Hubungan konsep diri dengan penyesuaian sosial
kelas akselerasi di SMP negeri 2 dan SMP PL domenico savio
semarang. Tesis. Semarang: Fakultas Psikologi. Universitas
Diponegoro.
Winne, P. H. (1997). Experimenting to bootstrap Self-Regulation
Learning. Journal of Education Psychology. Vol 89. No. 3. 397410. 199.
19
Wirawan, S. (1991). Psikologi remaja, Jakarta: Rajawali Press.
Wolters, C.A. Pintrich, P.R. & Karabenick, S.A. (2003). Assessing
academic self regulated learning. Paper prepared for the
Conference on Indicator of Positive Development: Definitions,
Measures, and Prospective Validity, National Institutes of Healt,
March 2003.
Yusuf, S. (2009). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya.
Zimmerman, B.J. (1989). A social cognitive view of self-regulated
academic learning. Journal of Educational Psychology. Vol 81
(3), 329-339.
Zimmerman, B.J. (2000). Attaining self-regulation: A social cognitive
perspective. In M. Boekaerts, P.R. Pintrich, & M. Zeidner
(Eds.), Handbook of self-regulation: Theory, research, and
applications (pp. 13-39). San Diego, CA: Academic Press.
Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler Di SMP N 2 Semarang
Oleh:
RAGIL PICASIA DEWI ESTUNING TYAS
802007083
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi : Psikologi, Fakultas : Psikologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar
Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2013
i
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Perbedaan Self-Regulated Learning Pada Siswa yang Mengikuti
Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler Di SMP N 2 Semarang
Ragil Picasia Dewi Estuning Tyas
Dr. Ch. Hari S
Rudangta A. S
Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana
2013
Self Regulated Learning (SRL) pada siswa dapat digambarkan
melalui tingkatan atau derajat yang meliputi keaktifan berpartisipasi
baik itu secara kognitif, motivasional, maupun perilaku dalam proses
belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan SRL
pada siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas regular.
Hipotesis penelitian ini adalah adanya perbedaan SRL pada siswa
yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas regular di SMP Negeri 2
Semarang, dimana siswa kelas akselerasi mempunyai SRL lebih tinggi
daripada siswa kelas reguler. Sampel (N=47) diambil dengan
menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data
menggunakan satu skala yaitu Skala SRL yang berdasarkan pada
karakteristik siswa yang mempunyai SRL oleh Zimmerman (2001,
2002). Skala ini terdiri dari 32 item valid. Analisis dalam penelitian ini
menggunakan uji-t. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh nilai
thitung sebesar -0,778 dan p= 0,095 ( p > 0.05). dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan SRL pada siswa yang
mengikuti kelas akselerasi dan kelas regular di SMP Negeri 2
Semarang.
Kata Kunci: self-regulated learning, SRL, kelas akselerasi, kelas
regular
vi
ABSTRACT
Differences in Self-Regulated Learning in students who Attend
Regular Classes and Accelerated Classes in junior high Country 2
Semarang
Ragil Picasia Dewi Estuning Tyas
Dr. Ch. Hari S
Rudangta A. S
Faculty Of Psychology
Satya Wacana Christian University
2013
Self Regulated Learning (SRL) on students can be described
through levels or degrees which include the liveliness of the
participating in the cognitive, motivational, and behavior in the learning
process. This research aims to know the difference in students who
follow SRL class acceleration and regular classes. The hypothesis of
this research is the existence of differences in students who follow SRL
class acceleration and regular classes in junior high Country 2
Semarang, where students have accelerated classes SRL is higher than
regular class students. Sample (N = 47) taken using a purposive
sampling technique. Data collection using a single scale is a scale SRL
which is based on the characteristics of the students who have the SRL
by Zimmerman (2001, 2002). This scale consists of 32 items. The
analysis in this study uses the t-test. Based on the results of data
analysis, retrieved thitung value of-0,778 and p = 0,095 (> p 0.05).
from the results it can be concluded that there was no difference in
students who follow SRL class acceleration and regular classes in
junior high Country 2 Semarang.
Keywords: self-regulated learning, SRL, class accelerated, regular
class
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu kunci pokok untuk mewujudkan
dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, terutama
disini yang menjadi target atau sasarannya adalah generasi muda.
Permasalahan yang cukup mendapat perhatian serius dalam dunia
pendidikan dewasa ini adalah persoalan hasil belajar dan kualitas siswa.
Winkel (Munandar, 2009) menyatakan kemampuan intelektual
memegang peranan besar terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar
yang dicapai siswa terutama dalam pelajaran yang menuntut banyak
berpikir (bidang pemahaman dan kognitif). Dalam proses belajar akan
sangat banyak hal yang harus dipelajari, karena siswa akan berlombalomba untuk lebih bisa berprestasi secara akademik maupun non
akademik, maka mereka akan mempunyi aktivitas belajar yang padat,
aktivitas inilah yang mampu meningkatkan regulasi diri siswa dalam
belajar, sehingga mereka lebih memiliki daya juang dalam belajar
(Alsa, 2007).
Berdasarkan pemikiran inilah maka banyak ditemukan bahwa
modal potensi kecerdasan dan bakat saja tidaklah cukup untuk
mendorong sukses anak, perlu ada strategi yang lebih bisa
mengembangkan potensi anak berbakat ini. Salah satunya adalah
dengan
mengembangkan
self
regulation
pada
para
siswa.
Mengembangkan self regulation adalah salah satu strategi yang penting
agar anak berbakat dapat menentukan sendiri pilihan-pilihan kegiatan
belajarnya, target dan cara mencapai target yang telah ditetapkan
(Nugroho, 2007).
1
2
Konsep self regulation itu sendiri berakar dari teori kognitif sosial
yang dikemukakan oleh Bandura. Menurut Bandura (Feist & Feist,
2006) tindakan seseorang adalah sebuah hasil interaksi antara tiga
variabel yaitu individu, perilaku dan lingkungan. Secara umum,
Bandura mengatakan bahwa individu memiliki kemampuan kognitif
(ingatan, antisipasi, perencanaan dan penilaian), dimana seseorang
menggunakan kapasitas kognitifnya untuk melakukan suatu proses
tingkah laku. Selain itu individu juga memiliki kapasitas untuk memilih
atau mengatur kembali lingkungannya. Berdasarkan penjelasan diatas,
proses self-regulation yang dilakukan oleh siswa ini untuk dapat
mengatasi permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi dalam
kehidupannya baik dalam masa studinya ataupun masa mendatang
adalah hasil dari interaksi antara tingkah laku, pribadi individu dan
lingkungan (Feist & Feist, 2006).
Self-regulation yang diterapkan dalam proses belajar dikenal
dengan Self Regulated Learning (SRL). Menurut Zimmerman (1989),
SRL pada siswa dapat digambarkan melalui tingkatan atau derajat yang
meliputi keaktifan berpartisipasi baik itu secara kognitif, motivasional,
maupun perilaku dalam proses belajar. Menurut Pintrich dan De Groot
(Sukadji, Singgih & Evita, 2001) siswa membutuhkan suatu metode
agar dapat mengelola dan mengontrol usaha mereka dalam tugas-tugas
akademik dan juga dapat merencanakan, memantau, dan memodifikasi
kognisi mereka yang disebut dengan Self-Regulated Learning (SRL).
Menurut Colangelo (Hawadi, 2006) program akselerasi adalah
program pendidikan yang memberikan kesempatan bagi siswa yang
berkapasitas intelektual tinggi untuk meloncat kelas atau mempercepat
bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai pada saat itu. Menurut Meier
3
(Alsa, 2007) asumsi yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan
kelas akselerasi adalah lingkungan belajar yang positif, melibatkan
siswa secara total, kolaborasi antar siswa, kaya akan gaya belajar, dan
belajar kontekstual.
Kelas akselerasi mempunyai waktu studi yg lebih cepat dibanding
dengan kelas reguler, aktivitas belajar siswa kelas akselerasi menjadi
padat, jumlah jam belajar di sekolah lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah jam belajar siswa kelas reguler, untuk itu aktivitas dan tugas
belajar yang padat membuat siswa menggunakan banyak waktunya
untuk belajar, melakukan kegiatan belajar bersama, menggunakan
banyak sumber belajar, dan menggunakan berbagai strategi belajar,
baik strategi kognitif maupun strategi mengelola lingkungan dan
sumber daya. Aktivitas belajar yang padat menjadikan siswa kelas
akselerasi mampu melakukan regulasi diri dalam belajar (Alsa, 2007).
Beberapa penelitian mengenai SRL telah dilakukan oleh
Natakusuma (2003) dikatakan bahwa mahasiswa yang kuliah sambil
bekerja memiliki regulasi yang baik. Mereka benar-benar mengatur
waktu belajar mereka sendiri sesuai dengan kemampuan dan
kesibukannya.
Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ahmad Dhuhri dan Mujidin, (2006), tentang perbedaan SRL antara
siswa underachievers dan siswa overachievers pada kelas 3 smp negeri
6 yogyakarta, mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan yang signifikan
SRL antara siswa underachievers dan siswa overachievers. Begitu juga
dengan penelitian oleh Febrilia Kusumaningtyas (2011) di UKSW,
mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan SRL pada mahasiswa yang
bekerja part time dan tidak bekerja.
4
Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
aktivitas yang padat akan dapat memunculkan kemampuan untuk
mengatur diri (Alsa, 2007), begitu juga dengan Winkel (Munandar,
2009) menyatakan kemampuan intelektual memegang peranan besar
terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa terutama
dalam pelajaran yang menuntut banyak berpikir (bidang pemahaman
dan kognitif), dalam hal ini siswa kelas akselerasi akan lebih
mempunyai SRL yang tinggi dibanding dengan kelas reguler.
Kemudian tingkat intelegensi akan turut memengaruhi SRL, seperti
yang dikatakan dalam penelitian sebelumnya Ahmad Dhuhri dan
Mujidin (2006) menyatakan bahwa siswa yg overachievers akan
mempunyai SRL lebih tinggi dibanding dengan siswa
yang
underachievers, maka dengan hasil yang diungkapkan, siswa kelas
akselerasi mempunyai SRL lebih tinggi dibanding dengan kelas
reguler.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, penulis tertarik untuk
mengkaji apakah ada perbedaan SRL pada siswa yang mengikuti kelas
akselerasi dan kelas reguler.
LANDASAN TEORI
Self-Regulated Learning (SRL)
Zimmerman (1989) mengatakan bahwa individu yang memiliki
SRL merupakan individu yang aktif secara metakognisi, motivasi, dan
perilaku di dalam proses belajarnya. Pendapat tersebut sejalan dengan
pemikiran
Schunk
dan
Zimmerman
(Winne,
1997),
yang
mengkategorikan SRL sebagai dasar kesuksesan belajar, problem
solving, transfer belajar, dan kesuksesan akademis secara umum. SRL
5
menyangkut penerapan dari model umum regulasi dan regulasi diri
(self-regulation) dalam proses belajar. Ada empat asumsi mengenai
SRL yang dipakai Wolters, Pintrich dan Karabenick (2003). Pertama,
asumsi aktif dan konstruktif. Siswa sebagai partisipan yang aktif
konstruktif dalam proses belajar. Kedua, SRL sebagai potensi untuk
mengontrol. Siswa sanggup memonitor, mengontrol, meregulasi aspek
tertentu dari kognitif, motivasi dan perilaku sesuai karakteristik
lingkungan. Ketiga, asumsi tujuan, kriteria, atau standar. Asumsi
tersebut digunakan untuk menilai apakah proses harus dilanjutkan jika
beberapa criteria atau standar berubah. Keempat, asumsi bahwa
aktivitas dalam SRL merupakan penengah (mediator) antara personal
dan
karakteristik
konteks
dan
prestasi
atau
performa
yang
sesungguhnya.
Zimmerman (2001, 2002) mengungkap karakteristik siswa yang
mempunyai self regulation dalam belajar, yaitu sebagai berikut:
1.
Mereka mengenal dan tahu bagaimana menggunakan
serangkaian strategi kognitif (pengulangan, elaborasi, dan
organisasi), yang membantu mereka untuk mengurus,
mengubah, mengatur, mengelaborasi, dan memulihkan
informasi.
2.
Mereka tahu bagaimana merencanakan, mengontrol dan
mengarahkan proses mental mereka terhadap pencapaian
tujuan pribadi (metacognition).
3.
Mereka menunjukkan keyakinan motivasi dan emosi yang
adaptif, seperti mempunyai rasa tinggi akademik selfefficacy, mengadopsi tujuan pembelajaran, pengembangan
emosi positif terhadap tugas (misalnya sukacita, kepuasan,
6
antusiasme), serta kontrol dan memodifikasi, menyesuaikan
semua itu untuk persyaratan tugas dan pada situasi belajar
yang tertentu.
4.
Mereka merencanakan dan mengendalikan waktu dan usaha
untuk digunakan pada tugas, dan mereka tahu cara
membuat dan menstruktur lingkungan belajar
yang
menguntungkan, seperti menemukan sebuah tempat belajar
yang cocok, dan membantu mencari dari bantuan dari guru
dan teman sekelas saat mereka mengalami kesulitan.
5.
Dalam konteks ini, mereka menunjukkan upaya yang lebih
besar
untuk
berpartisipasi
dalam
mengontrol
dan
meregulasi tugas akademik, iklim kelas dan struktur
(misalnya bagaimana seseorang akan dievaluasi persyaratan
tugas, desain tugas kelas, organisasi tim kerja).
6.
Mereka mampu dimasukkan kedalam serangkaian upaya
strategi, bertujuan untuk menghindari gangguan eksternal
dan internal, untuk menjaga konsentrasi mereka, usaha dan
motivasi ketika melakukan tugas akademik.
Zimerman (1989) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
self-regulated learning sebagai berikut:
a. Faktor personal
Termasuk dalam hal ini adalah pengetahuan peserta didik,
proses metakognisi, tujuan yang hendak dicapai, dan afeksi.
Paris dan Winograd membagi pengetahuan menjadi tiga yakni
pengetahuan
deklaratif,
pengetahuan
prosedural,
dan
pengetahuan kondisional (Paris & Winograd, 2002). Menurut
7
Zimmerman (1986), dari ketiga jenis pengetahuan itu yang
merupakan pengetahuan bagi peserta didik yang melaksanakan
self-regulated learning adalah pengetahuan prosedural dan
pengetahuan kondisional, sedangkan pengetahuan deklaratif dan
pengelolaan diri bersifat interaktif. Ini artinya, dengan semakin
baiknya pengetahuan prosedural (yakni mengkomposisikan
tugas untuk mencapai tujuan jangka pendek) dan pengetahuan
kondisional (yakni menggunakan strategi yang tepat untuk
memfasilitasi penyelesaian tugas), maka peserta didik yang
melaksanakan self-regulated learning akan dapat mencapai
tujuanya.
b. Faktor perilaku
Hal yang termasuk dalam faktor perilaku meliputi:
1. Observasi diri (self observation) yaitu respon-respon yang
meliputi pengawasan sistematis terhadap penampilan
mereka sendiri.
2. Penilaian diri (self judgement) yaitu respon-respon yang
meliputi
pembandingan
secara
sistematis
antara
penampilan mereka dengan suatu standar atau tujuan yang
telah ditetapkan. Standar atau tujuan tersebut dapat berupa
norma-norma sosial, kriteria sementara atau kriteria absolut
yang telah ditetapkan.
3. Reaksi
diri
(self
reaction)
adalah
tanggapan
atau
pemaknaan siswa terhadap evaluasi atas penampilan yang
ditunjukannya. Berdasarkan social cognitive theory, reaksi
diri
(self
reaction)
dibedakan
atas
tiga
bentuk:
(a) behavioral self reaction, yaitu siswa berusaha untuk
8
mengoptimalkan respon-respon spesifik mereka ketika
belajar; (b) personal self reaction, yaitu siswa berusaha
untuk meningkatkan proses diri mereka ketika belajar,
misalnya
dengan
melakukan
proses
pengulangan
(rehearsing); (c) environmental self reaction, yaitu siswa
berusaha memperbaiki atau membenahi lingkungan belajar
mereka, seperti menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk belajar, atau meminta bantuan kepada orang lain
c. Faktor lingkungan
Lingkungan berpengaruh terhadap kegiatan belajar
seseorang. Lingkungan belajar yang kondusif akan
membuat peserta didik yang melaksanakan self-regulated
learning, dan sebaliknya pada lingkungan yang kurang
kondusif akan membuat kesulitan berkonsentrasi dalam
mengerjakan tugas-tugasnya.
Jenis Kelas (Kelas Akselerasi & Kelas Reguler)
a. Kelas Akselerasi
Menurut Colangelo (Alsa, 2007) menyebutkan bahwa istilah
akselerasi menunjuk pada pelayanan yang diberikan (service
delivery), dan kurikulum yang disampaikan (curriculum delivery).
Secara konseptual, pengertian akselerasi diberikan oleh Pressey
(Alsa, 2007) sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program
pengajaran, pada waktu yang lebih cepat atau usia yang lebih muda
daripada yang konvensional. Definisi ini menunjukkan bahwa
akselerasi meliputi persyaratan untuk menghindari hambatan
pemenuhan permintaan dalam pengajaran dan juga mengusulkan
9
proses-proses yang memungkinkan siswa melalui pemberian materi
yang lebih cepat dibanding dengan kemajuan rata-rata siswa.
Menurut Hartono 2006 (dalam Alsa, 2007) prasyarat
memadai
untuk
mengidentifikasi
siswa
yang
dapat
diikutsertakan dalam program akselerasi sebaiknya mengikuti
panduan yang diberikan oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa
Dinas Pendidikan Nasional sebagai berikut:
1. Melakukan evaluasi psikologis dalam hal intelektual dan
kepribadian, disamping tingkat penguasaan akademik.
2. Dibutuhkan IQ diatas 130 bagi siswa yang kurang
menunjukkan prestasi akademiknya.
3. Bebas
dari
problem
emosional
dan
sosial,
yang
ditunjukkan dengan adanya presistensi dalam derajat yang
tinggi.
4. Memiliki fisik yang sehat.
5. Tidak ada tekanan dari orang tua, tetapi atas kemauan
anak sendiri.
b. Kelas Reguler
Siswa kelas reguler adalah siswa yang menyelesaikan studi
selama tiga tahun. Siswa ini memiliki kemampuan rata-rata, dan
tidak memperoleh pelayanan secara khusus, pelayanan yang
diperoleh sama dengan siswa yang lain. Kurikulum yang diterapkan
adalah kurikulum standar nasional yang berlaku bagi semua siswa
yang menempuh
pendidikan menengah atas. Materi
yang
disampaikan disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku yakni
materi yang harus diselesaikan oleh siswa selama tiga tahun.
(Hawadi, 2001).
10
Hubungan Antara Jenis Kelas (Kelas Akselerasi & Kelas Reguler)
dengan SRL
Seorang siswa hendaknya mempunyai kemampuan untuk
menyerap materi pelajaran yang baik, mereka akan mengupayakan
berbagi cara untuk memfasilitasi kemampuan itu. Kemampuan
siswa dalam menyerap materi pelajaran harus diimbangi dengan
keadaan yang optimal juga, misalnya saja keadaan siswa itu sendiri,
terkait dengan kemampuan kognitif. Menurut Bandura (Feist &
Feist, 2006) tindakan seseorang adalah sebuah hasil interaksi antara
tiga variabel yaitu individu, perilaku dan lingkungan. Secara umum,
Bandura mengatakan
bahwa individu memiliki kemampuan
kognitif (ingatan, antisipasi, perencanaan dan penilaian), dimana
seseorang menggunakan kapasitas kognitifnya untuk melakukan
suatu proses tingkah laku. Selain itu individu juga memiliki
kapasitas untuk memilih atau mengatur kembali lingkungannya.
Temuan-temuan yang ada menegaskan bahwa modal potensi
kecerdasan dan bakat saja tidaklah cukup untuk mendorong sukses
anak. Akan tetapi tingkat intelegensi yang tinggi akan sangat
berpengaruh terhadap kemampuan siswa untuk mengatur dirinya.
Mengembangkan SRL adalah salah satu strategi yang penting agar
anak berbakat dapat menentukan sendiri pilihan-pilihan kegiatan
belajarnya, target dan cara mencapai target yang telah ditetapkan
(Nugroho, 2007). SRL merupakan wujud dari kemandirian siswa
untuk mengatur dirinya sendiri dalam mencapai tujuan. Hasil
interkasi antara individu, perilaku dan lingkungan ini diharapkan
dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapai dalam
11
proses masa studi. Dalam hal ini kelas akselerasi dan kelas reguler
akan sangat berbeda dalam hal iklim kelas. Dalam kelas akselerasi
siswa dituntut untuk menjadi proaktif dalam setiap kegiatan, karena
situasi yang seperti ini, maka iklim yang terjadi adalah siswa akan
berlomba untuk menjadi yang terbaik dan itu akan memengaruhi
lingkungan didalam kelas akselerasi itu sendiri. Berdasarkan
penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa aktivitas yang
padat akan dapat memunculkan kemampuan untuk mengatur diri
(Alsa, 2007), begitu juga dengan Winkel (Munandar, 2009)
menyatakan kemampuan intelektual memegang peranan besar
terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa
terutama dalam pelajaran yang menuntut banyak berpikir (bidang
pemahaman dan kognitif), dalam hal ini siswa kelas akselerasi akan
lebih mempunyai SRL yang tinggi dibanding dengan kelas reguler
Dari semua hal yang sudah diungkap diatas, maka kelas
akselerasi akan mempunyai SRL lebih tinggi dibanding dengan
kelas reguler, ini disebabkan karena perbedaan intelegensi dan
lingkungan antara kedua kelas ini.
METODE PENELITIAN
Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan
menggunakan teknik purposive sampling. Sample yang digunakan
dalam penelitian ini adalah siswa SMP N 2 Semarang berjumlah 47
siswa yang terdiri dari 20 siswa kelas akselerasi dan 27 siswa kelas
reguler.
12
Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa
satu skala psikologi yaitu Skala Self-Regulated Learning. Skala ini
berdasarkan pada karakteristik siswa yang mempunyai SRL. Item
dalam skala tersebut dikelompokkan dalam pernyataan favorable
dan unfavorable dengan menggunakan 5 alternatif jawaban yaitu,
Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak dapat menentukan dengan
pasti (N), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).
Keseluruhan data diperoleh dari skala psikologi yang telah
dibagikan kepada subjek.
Seleksi Item dan Reliabilitas Uji Coba Alat Ukur
Dalam seleksi item Skala Self-Regulated Learning terdapat 12
item yang gugur dari total 44 soal yang diujikan, karena memiliki
nilai koefisien korelasi yang lebih rendah dari 0,25 (Azwar, 2003).
Berdasarkan pengujian yang dilakukan sebanyak 2 kali didapatkan
koefisien seleksi item yang bergerak antara 0,282 sampai dengan
0,674, sehingga jumlah item valid yang akan digunakan dalam
skala pada penelitian yang sebenarnya adalah 32 item dengan nilai
reliabilitas sebesar 0,896.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis perbedaan SRL pada siswa yang
mengikuti kelas akselerasi dan kelas reguler diperoleh nilai thitung
sebesar -0,778 dengan nilai signifikansi 0,095. Karena nilai
signifikansi lebih besar dari 0,05 maka hal ini menunjukkan bahwa
Ho diterima dan Ha ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
13
tidak ada perbedaan SRL siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan
kelas reguler di SMP Negeri 2 Semarang.
Menurut Widhiarso (2012), sebelum melakukan pengujian,
peneliti harus memutuskan terlebih dahulu taraf signifikansi yang
dipakai untuk menolak atau menerima H0, misalnya ditetapkan taraf
signifikansi yang kita pakai adalah 5%, meskipun komputer
menghasilkan nilai p=0,001, kita tetap mengatakan signifikan.
Demikian juga ketika menetapkan 10% dan nilai uji sebesar p=0,08
tetap kita katakan signifikan.
Batas nilai alpha yang dipakai untuk menolak Ho adalah
alpha=0,05 atau 5%. Nama lainnya adalah tingkat kesalahan/resiko
sebesar 5% atau taraf signifikansi 5%. Selain faktor di atas peneliti
mencoba menjelaskan bahwa perbedaan rata-rata SRL dari kedua
kelompok tersebut dikarenakan penulis tidak memperoleh izin
untuk langsung menemui responden sehingga penulis tidak bisa
mengontrol dan menjelaskan langsung kepada responden mengenai
hal-hal yang tidak mereka mengerti. Hasil ini disebabkan oleh
karena rata-rata IQ antara siswa akselerasi dan reguler tidak jauh
berbeda. Dalam faktor-faktor yang memengaruhi SRL oleh
Zimmerman (1989), ada tiga faktor yaitu faktor personal, faktor
perilaku dan yang terakhir faktor lingkungan. Dalam hal ini faktor
lingkungan mendapat sorotan lebih karena sarana dan prasarana
yang diberikan, dari mulai tata letak dan suasana kelas juga tidak
jauh berbeda, hanya berbeda pada faktor pengajar yang secara
khusus mengajar kelas akselerasi. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan penulis pada tanggal 30 April 2013, terkadang siswa
yang tidak masuk kelas akselerasi mempunyai prestasi yang sama
14
dengan siswa akselerasi, ini terbukti untuk kelas olympiade terdiri
dari siswa kelas reguler dan akselerasi. Menurut direktur kelas
akselerasi, siswa yang mempunyai IQ tinggi juga terkadang enggan
untuk masuk kelas akselerasi, alasan mereka bermacam-macam,
mulai dari tidak ada waktu belajar dan biaya yang cukup mahal.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
siswa dan pihak sekolah, bahwa untuk masuk kelas akselerasi harus
memenuhi salah satu syarat yaitu tanpa paksaan dan mendapat ijin
dari orang tua. Siswa terkadang juga enggan untuk masuk kelas
akselerasi, karena tidak masuk kelas akselerasipun mereka bisa
bersaing secara akademis untuk masuk kelas olympiade.
Menurut wawancara yang penulis dapatkan, bahwa siswa kelas
akselerasi hanya memiliki waktu luang yang lebih sedikit
dibandingkan dengan kelompok siswa kelas reguler, siswa kelas
reguler memiliki banyak waktu untuk belajar, istirahat dan
melakukan aktivitas lainnya. Dalam Zimmerman (Wolters, dkk,
2003), menjelaskan bahwa dengan adanya self regulation, individu
mempunyai perasaan yakin pada dirinya sendiri untuk menentukan
cita-cita (goal setting), mengevaluasi diri (self evaluation),
memonitor diri sendiri (self monitoring), serta mengatur dan
merencanakan waktu (time planning) and management. Siswa kelas
reguler mempunyai waktu lebih banyak waktu untuk mengatur
kegiatannya, akan tetapi pada kenyataannya adalah siswa kelas
reguler tetap mempunyai kegiatan seperti berdiskusi dengan teman,
mencari informasi tentang tugas mereka, dan mengikuti kegitan
sekolah lainnya misalnya ekstrakurikuler. Menurut Alsa (2007)
aktivitas yang padat inilah yang mampu meningkatkan regulasi diri
15
siswa dalam belajar, sehingga mereka lebih memiliki daya juang
dalam belajar.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan SRL pada
siswa yg mengikuti kelas akselerasi dan kelas reguler, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa:
1.
Tidak ada perbedaan SRL pada siswa SMP N 2 Semarang
yang mengikuti kelas akselerasi dan reguler.
2.
Sebagian besar (75%) siswa kelas akselerasi mempunyai
SRL dalam kategori sangat tinggi, dan sebagian kelas
regular (77,78%) mempunyai SRL dalam kategori sangat
tinggi.
Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas maka
peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi
pendidikan, diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan mengenai Self Regulated Learing (SRL).
2. Bagi pengajar agar lebih memfokuskan pada siswa-siswanya
sehingga dapat terampil meregulasi dirinya. Memberikan
motivasi kepada siswanya supaya mereka tetap dapat
mengatur waktunya sebaik mungkin untuk mencapai
prestasi akademik yang memuaskan, baik untuk kelas
akselerasi dan reguler.
16
3. Kepada peneliti selanjutnya supaya mempertimbangkan
SRL sebagai faktor yang penting bagi siswa dan dalam
proses belajarnya, sehingga siswa mampu mengatur waktu,
mengontrol perilaku, dan memotivasi diri sendiri untuk
mencapai prestasi akademik yang memuaskan.
Daftar Pustaka
Alsa, A. (2007). Keunggulan dan kelemahan program akselerasi di
SMA: Tinjauan psikologi pendidikan. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada
Azwar, S. (2007). Reliabilitas dan validitas alat ukur. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2009). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan validitas: edisi 4. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Faktor-faktor yang memengaruhi self regulated learning. (2011).
http://id.shvoong.com/social-ciences/counseling/2205704faktor-faktor-yang mempengaruhi-self.
Febrilia, K. (2012). Perbedaan self-regulated learning pada mahasiswa
universitas kristen satya wacana yang bekerja part-time dan
tidak bekerja. Skripsi. Salatiga: Fakultas Psikologi. Universitas
Kristen Satya Wacana.
Feist, & Feist, J.G. (2006). Theory of personality: six edition.
Singapore: McGraw-Hill.
Fermin, T.M & Carmen Maria, G.T. (2004). Self regulated learning:
Current and future direction. Journal of Educational
Psychology, 2(1).
Hadi, S. (2004). Statistik. Jilid 2. Yogyakarta. Andi Ofset.
17
Haryu. (2004). Hubungan antara pengasuhan Islami dengan selfregulated learning, motivasi berprestasi dan prestasi belajar.
Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada.
Hawadi, R. A. (2001). Psikologi perkembangan anak: Mengenal sifat,
bakat, dan kemampuan anak. Jakarta: PT. Grasindo.
Hawadi, R. A. (2006). Akselerasi, a-z informasi program percepatan
belajar dan anak berbakat intelektual. Jakarta: PT Grasindo.
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan
sepanjang rentang kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Joana, A. (2011). Hubungan self regulation dengan prestasi belajar
pada mahasiswa fakultas psikologi universitas kristen satya
wacana. Skripsi. Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas kristen
Satya Wacana.
Kompas. (2002). Kelas akselerasi baru tahap uji coba. URL:
http:/www.kompas.com/kompascetas/0205/27/DIKBUD/kelas0
9.htm.
Landasan dan pengembangan sistem pembelajaran program akselerasi.
(2004). http://smpn1bpn.sch.id/images/stories/sekolah2.jpg.
Munandar, U. (2009). Pengembangan kreativitas anak berbakat.
Jakarta: Rineka Cipta.
Natakusuma, A. (2003). Perbedaan Model Self Regulated Learning
Mahasiswa yang Kuliah Sambil Bekerja dengan Mahasiswa
yang Kuliah Saja dan Pengaruhnya terhadap Prestasi Belajar
(IPK). Skripsi. Jakarta : Unika Atma Jaya
Nugroho, Y. (2007). Self-regulated learning anak berbakat. Diakses di
[email protected] pada tanggal 1 April 2011.
Nurshidiq, A. D., & Mujidin. (2006). Perbedaan self regulated learning
antara siswa underachievers dan siswa overachievers pada kelas
3 SMP Negeri 6 Yogyakarta: Fakultas Psikologi.
18
Papalia, D.E, , S.W., & Feldman, R.D. (2001). Human Development
(8th ed). New York : McGraw Hill.
Paulus,
M (2004, Maret 29). Persoalan kelas akselerasi.
http;//www.suaramerdeka.com/harian/0403/29/kha1.htm.
Pusdiklat Depdiknas. (2006). ”Strategi kognitif”. Tersedia
pada: http://www. Pusdiklatdepdiknas.net. (Diakses : 27 Maret
2008).
Pusdiklat
Depdiknas
www.pudiklatdepdiknas.net/dmdocuments/Akselerasi
Hartati.Pdf.
pada
Santrock, J.W. (2003). Educational psychology. 2nd Canadian ed.
Canada: McGraw Hill Ryerson Limited.
Schunk, D.H. (1986). Verbalization and children’s self-regulated
learning. Contemporary Educational Pshychology, 11, 347-369.
Schunk, D.H., & Zimmerman, B.J. (1997). Social origins of self
regulatory competence. Educational psychologist, 32, 195-208.
Sugiarto. (2003). Teknik sampling. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Sugiyono. (2006). Statistika untuk penelitian. Bandung. CV Alfabeta.
Sukadji., Singgih, S. & Evita, E. (2001). Sukses di perguruan tinggi.
Depok : Indonesia University Press.
Widhiarso, W. (2012). Hipotesis : Antara ilmu sosial dan eksakta.
Fakultas Psikologi UGM. [email protected].
Wima, B. (2006). Hubungan konsep diri dengan penyesuaian sosial
kelas akselerasi di SMP negeri 2 dan SMP PL domenico savio
semarang. Tesis. Semarang: Fakultas Psikologi. Universitas
Diponegoro.
Winne, P. H. (1997). Experimenting to bootstrap Self-Regulation
Learning. Journal of Education Psychology. Vol 89. No. 3. 397410. 199.
19
Wirawan, S. (1991). Psikologi remaja, Jakarta: Rajawali Press.
Wolters, C.A. Pintrich, P.R. & Karabenick, S.A. (2003). Assessing
academic self regulated learning. Paper prepared for the
Conference on Indicator of Positive Development: Definitions,
Measures, and Prospective Validity, National Institutes of Healt,
March 2003.
Yusuf, S. (2009). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya.
Zimmerman, B.J. (1989). A social cognitive view of self-regulated
academic learning. Journal of Educational Psychology. Vol 81
(3), 329-339.
Zimmerman, B.J. (2000). Attaining self-regulation: A social cognitive
perspective. In M. Boekaerts, P.R. Pintrich, & M. Zeidner
(Eds.), Handbook of self-regulation: Theory, research, and
applications (pp. 13-39). San Diego, CA: Academic Press.