Epistema Climate Change Update Vol 3 2016

CLIMATE CHANGE UPDATE
Volume 03/2016

Muhammad Yusuf

REDD+, Ancaman atau Peluang: Refleksi Implementasi
Sertifikasi Plan Vivo di Wilayah Sistem Hutan Kerakyatan

Ratna Nataliani

COP 21: Menangkap Kesempatan Menuju Indonesia
yang Berkelanjutan

Epistema Climate Change Update merupakan publikasi berkala dwi-bahasa
Indonesia dan Inggris yang diterbitkan oleh Epistema Institute. Publikasi ini
menyajkan secara ringkas dan bernas perkembangan terkini kebijakan dan
wacana perubahan iklim di Indonesia.
Dewan redaksi: Yance Arizona, Luluk Uliyah, Muki T. Wicaksono, Desi Martika V,
Yustina Murdiningrum
Tata letak: Andi Sandhi
Foto: Berbagai sumber


Jalan Jati Padang Raya No. 25,
Jakarta Selatan, 12540.
Telepon: +62 21 7883 2167
Fax: +62 21 7883 0500
Email: epistema@epistema.or.id
Website: epistema.or.id

REDD+, Ancaman atau Peluang: Refleksi Implementasi Sertifikasi Plan Vivo
di Wilayah Sistem Hutan Kerakyatan
Muhammad Yusuf1
1

Manajer Pengelolaan Pengetahuan Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK). Penulis dapat dihubungi melalui email
moeh.yusuf@kpshk.org / moeh.yusuf@gmail.com

Pendahuluan
Sejauh ini, proyek pengaturan sumberdaya alam dan
perbaikan lingkungan (ekologi) oleh pelbagai institusi
global di Indonesia menyiratkan bahwa seluruh proyekproyek perbaikan lingkungan dan ekologis tersebut bukan

suatu hal netral, tetapi meniscayakan pengaturanpengaturan sosial politik dan ekonomi di tingkat komunitas.
Di antara mega proyek tersebut adalah mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim berbasis lahan dan hutan (REDD+).
Pemilihan kata “mega” bukanlah hal yang berlebihan atau
tanpa alasan bila melihat pengerahan dana publik berikut
kebijakan pendukung di tingkat global, nasional hingga lokal
dalam mendukung proyek REDD+. Laporan tim studi yang
diprakarsai oleh Climate Policy Initiative bekerjasama
dengan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
Republik Indonesia (2014) menyebutkan, pada tahun 2011,
setidaknya sebesar Rp 8,4 triliun (USD 951 juta) dana untuk
perubahan iklim berasal dari sumber-sumber pendanaan
publik, baik dari dalam negeri (Rp 5,5 triliun) maupun
pendanaan yang bersumber dari dana publik internasional
(Rp 2,9 triliun). Bahkan direncanakan, Pemerintah Kerajaan
Norwegia bersama Global Green Growth Institute (GGGI)
akan memberi hibah kepada Indonesia sebesar 19 juta dollar
AS (setara dengan Rp 250 miliar) untuk mendukung
investasi hijau di sektor energi terbarukan Indonesia, zona
ek onomi k hus us, keh utan an da n s ektor-s ektor

pemanfaatan lahan lainnya (kompas.com, 27 November
2015).

sertifikasi Plan Vivo yang diinisiasi oleh Konsorsium
pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) bersama
lembaga mitra di regional.
Melampaui debat dan diskursus narasi-narasi besar
terhadap proyek global REDD+, memandang kehidupan
rakyat di sekitar hutan sebagai komunitas yang terisolir dari
lingkungan luar (global) adalah cara pandang romantis yang
menuntut cara pandang kritis terhadapnya, terlepas ada
tidaknya REDD+. Di beberapa lokasi proyek dan wilayah
kelola sistem hutan kerakyatan (SHK), selain kayu,
pemanfaatan hutan oleh komunitas adalah budidaya
perkebunan melalui sistem agroforestri yang pasarnya tidak
hanya lokal namun merupakan komoditas ekspor seperti
kopi, kakao, kayu manis dan sebagainya. Aktivitas
perdagangan komoditi global ini telah terbangun sejak era
kolonial yang pada gilirannya menentukan pola-pola
hubungan lokal dan global. Mengikuti pandangan Chayanov

(1966: 258), “melalui kaitan-kaitan ini (hubungan
perdagangan, penulis), setiap petani kecil menjadi bagian
organik dari ekonomi dunia, mengalami dampaknya
kehidupan ekonomi dunia, menjadi dikendalikan dalam
pengelolaannya oleh tuntutan-tuntutan ekonomi
kapitalistis global, dan pada gilirannya, bersama jutaan
s es a ma p eta n i, m em pe n ga ru h i s e lu ru h si st em
perekonomian global.”

Layaknya sebuah gelombang besar yang sulit dihindari
muncul pertanyaan mendasar, bagaimana komunitas
sekitar hutan (selanjutnya disebut komunitas Sistem Hutan
Kerakyatan/SHK) yang memiliki keterikatan kuat terhadap
sumberdaya hutan dan para pendukung SHK merespon
proyek-proyek perbaikan lingkungan dan REDD+ tersebut?
Sejauh mana proyek-proyek tersebut dimaknai dan
ditempatkan dalam aktivitas komunitas dan pendukung
SHK? Akhirnya, sejauhmana kendala dan peluang (jika ada)
kebijakan dan praktek perbaikan tata kelola hutan di tingkat
tapak?

Menjawab pertanyaan di atas, tulisan ini mencoba
merefleksikan pengalaman keterlibatan penulis dalam
mengembangkan model imbal jasa lingkungan (Payment
Environmental Services/PES) karbon komunitas melalui

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Seorang Petani Hutan Kemasyarakatan Bukit Regis Lampung
sedang mengukur diameter pohon di dalam plot ukur stok karbon di
wilayah usulan sertifikasi Plan Vivo (dok. Watala Lampung)

1

Kenapa Plan Vivo?
Di kalangan pemerintah, pemerhati dan praktisi lingkungan,
REDD+ merupakan wacana yang mengundang debat yang
tak kunjung usai. Astuti (2013) mengutarakan, terbukanya
ruang partisipasi oleh pemerintah dalam proyek REDD+
telah mendorong aktivis mengadopsi “subjektivitas baru”
yang menempatkan mereka sebagai konsultan atau

birokrat, tanpa terburu-buru melihatnya sebagai
depolitisasi gerakan lingkungan. Perdebatan lainnya adalah
bagaimana prinsip ekuitas atau kesetaraan harus
didefinisikan, kepada siapa seharusnya manfaat ini
dibagikan dan bagaimana mekanisme pembagian manfaat
(benefit sharing). Namun, perubahan iklim global dan makin
merosotnya fungsi layanan ekosistem hutan adalah
kenyataan saat ini yang kerap kali justru diabaikan dalam
substansi perdebatan yang bertolak dari petani hutan
sebagai pelaku sekaligus korban dari praktik pembangunan
kehutanan selama ini. Pertanyaannya, siapa yang akan
bertanggung jawab atas persoalan ini? Adakah mekanisme
yang menjamin pelibatan komunitas dalam
mengkomunikasikan dan mengkampanyekan praktik-praktik
pengelolaan hutan pada proyek-proyek global perbaikan
hutan dan lingkungan?
Komitmen pemerintah Indonesia terhadap adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim di sektor lahan dan hutan terbilang
responsif bila dilihat dari sisi produk kebijakan. Tanpa
terkecuali Konsorsium pendukung Sistem Hutan

Kerakyatan (KpSHK) bersama lembaga mitra sejak 2013
telah menginisiasi praktik imbal jasa lingkungan karbon
komunitas melalui sertifikasi Plan Vivo sebagai bentuk
2
keterlibatan aktif merespon REDD+. Seperti diketahui,
imbal jasa lingkungan karbon atau keberadaan pasar karbon
saat ini umumnya berupa pasar sukarela (voluntary market)
yang membutuhkan sebuah standar, Plan Vivo satu
diantaranya yang diakui di Indonesia. Menurut Lampiran II
Permenhut No. P.36/Menhut – II/2009 tentang Tata Cara
Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau
Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan
Lindung, terdapat Standar CCB, Standar Carbon Fix, Standar
Plan Vivo dan Voluntary Standard (lihat Tabel 1). Di antara
standar (protokol) tersebut, Plan Vivo merupakan standar
yang difokuskan bagi komunitas pengelola hutan di
pedesaan. Plan Vivo sendiri adalah sebuah yayasan yang
didirikan pada tahun 2008 berkedudukan di Edinburgh,
Inggris. Pendirian lembaga ini berawal dari kegiatan risetaksi yang dilakukan di pedesaan Meksiko pada tahun 1994,
dan bertujuan mengembangkan skema pendanaan

alternatif bagi masyarakat pedesaan yang bergantung dari
pengelolaan sumberdaya hutan.
Keterpilihan skema Plan Vivo bukan tanpa melewati
diskusi kritis di jejaring advokasi gerakan SHK. Disadari

2

skema tersebut masih mengandung "polemik", penuh
kendala, dan mengundang debat seputar keadilan ekologis
dan keberlanjutan sumber penghidupan rakyat di sekitar
hutan. Satu dari perdebatan klasik itu adalah posisi gerakan
SHK dalam menuntut komitmen negara-negara Utara
(industri) dan korporasi global mengurangi emisi karbon
dan perbaikan lingkungan akibat praktik industri ekploitasi
sumberdaya alam baik di wilayah-wilayah tujuan investasi
mereka termasuk Indonesia.
Dari semua pro-kontra, skema Plan Vivo secara prinsip
dipandang masih sejalan dengan sembilan prinsip SHK
yakni, pelaku utama adalah rakyat; lembaga pengelola
hutan dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol oleh rakyat;

memiliki wilayah kelola (hutan) dan sistem hukum yang
berlaku di komunitas; interaksi antara komunitas dan
wilayah kelola (hutan) bersifat langsung dan erat;
pengetahuan dan teknologi lokal/kerakyatan melandasi
pengelolaan dan pemanfaatan hutan; skala produksi
sumberdaya hutan dibatasi prinsip kelestarian dan
keberlanjutan; keanekaragaman hayati menjadi dasar dalam
pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya; dan
mengedepankan kesetaraan sosial (gender) dalam
4
pengelolaan wilayah SHK. Tepatnya pada Mei 2014,
beberapa l embaga dan pe man gku kepentin gan
berkomitmen mendirikan konsorsium PES Indonesia.
Beberapa lembaga tersebut antara lain: LSM (pendamping
masyarakat) yakni LATIN, SSS, WARSI, ICS, LTA, WATALA,
KAIL, KBCF, Teropong, Transform, SCF, Wallacea; dan

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

lembaga donor: KEMITRAAN, Samdhana Institute, Ford

Foundation, ICCO, dan Organisasi pendukung untuk aspek
teknis : KpSHK, FFI, CFI, WRI, Yayasan Perspektif Baru

Wilayah Uji Coba
Terhitung sejak tahun 2013 hingga Nopember 2015,
beberapa wilayah yang menjadi proyek percontohan
program PES Carbon Komunitas KpSHK - ICCO Cooperation
tersebar di wilayah Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa Timur,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara. Dari seluruh
lokasi proyek percontohan yang sedang berjalan, beberapa
lokasi telah masuk ke tahap review Project Idea Note (PIN)
Plan Vivo yakni: empat hutan adat di Kabupaten Kerinci,
Jambi; dua Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten
Kepahiang, Bengkulu; dua Hutan Kemasyarakatan di
Kabupaten Lampung Barat, Lampung; satu Hutan
Kemitraan Jember, Jatim; empat LPHD (Lembaga Pengelola
Hutan Desa) di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng; satu
Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Sekadau, Kalimantan
Barat; dan satu LPHD di Kabupaten Hulu Sungai Tengah,

Kalimantan Selatan. Sementara di wilayah lain masih dalam
tahap penulisan PIN (Tabel 2).

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Pengelolaan SHK dan Tantangan PES di Tingkat
Tapak
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, memandang
komunitas dan tata kelola SHK sebagai sesuatu yang terisolir
dari intervensi luar adalah pandangan romantis yang
menuntut cara pandang objektif melihat pengelolaan hutan
di unit-unit SHK. Pembatasan akses dan pengingkaran
penguasaan faktual dan historis komunitas di pinggir hutan,
proyek intervensi perbaikan lingkungan baik dari
pemerintah, badan pembangunan internasional maupun
LSM lingkungan, dinamika demografis (migrasi penduduk
antar wilayah) hingga ekspansi bisnis ekstraktif skala besar
berbasis lahan secara langsung menuntut komunitas
berinteraksi dengan beragam agenda pembangunan
tersebut.
Beberapa komunitas lokal turut memanfaatkan peluang
kebijakan yang menyediakan saluran penguasaan dan
pengelolaan hutan melalui skema perhutanan sosial (HKm
dan HD/Hutan Desa) maupun skema kemitraan Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Perhutani dan Taman
Nasional (khas Jawa). Dalam hal ini, seluruh model
penguasaan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat di
kawasan hutan negara secara praktis mengenalkan tata
kelola lahan (land governance) yang baru kepada komunitas

3

setempat yang diklaim mengadopsi pengelolaan hutan
6
secara ilmiah ( forestry science).
Padahal beberapa
masyarakat adat/komunitas lokal masih memiliki
pengetahuan tersendiri terhadap konsep ruang/wilayah
mereka termasuk antara lain, pengelolaan hutan oleh
komunitas adat Kerinci yang masih mempraktikkan konsep
lokal Ajun Arah dalam menata ruang, dan pengelolaan HKm
oleh komunitas Rejang Kapahiang Bengkulu yang masih
mengenal kearifan lokal dalam budidaya Kabau.
Tidak dipungkiri, dalam hal ini pengetahuan asli
komunitas telah berinteraksi dengan intervensi
pengelolaan hutan dari luar yang turut mengenalkan
prosedur, pengetahuan teknik-teknik pengelolaan hutan
dan kelembagaan baru. Pada konteks ini, interaksi
pengetahuan asli komunitas dengan beragam pengetahuan
yang didesakkan dari luar menyisakan pertanyaan uji
bersama, apakah interaksi pengetahuan tersebut
berdampak kepada arah perubahan yang lebih baik? Dan
yang terpenting, perlu dikoreksi bersama anggapan bahwa
pengetahuan asli komunitas
dalam mengelola hutan telah
lama sirna sejak pemberlakuan
UU Kehutanan dan perluasan
bisnis kehutanan berbasis kayu
skala besar.

Sejauh ini, pembahasan penurunan emisi karbon masih
berkisar pada seberapa besar karbon dapat mendatangkan
manfaat ekonomi, tetapi luput mempertimbangkan
bagaimana karbon dapat dijual dengan skema yang tersedia
sehingga manfaat ekonomi karbon tersebut dapat
terwujud. Tidak mengherankan, pembayaran jasa
ekosistem karbon dari pengguna kepada penyedia
umumnya belum terjadi khususnya di Indonesia yakni pasar
karbon (carbon credit) komunitas di tingkat nasional yang
belum terbangun. Terkecuali beberapa uji coba melalui
pendekatan proyek. Sementara permintaan pasar karbon
global saat ini di dorong oleh komitmen negara- negara maju
terhadap Protokol Kyoto. Target negara maju inilah yang
menciptakan permintaan pada pasar karbon. Dalam skema
Protokol Kyoto, sesama negara maju bisa saling
memperdagangkan emisinya atau bisa dengan mekanisme
carbon offset melalui CDM (Clean Development Mechanism),
7
yaitu hak emisinya berasal dari negara-negara berkembang.
Kondisi pasar karbon saat ini cukup lesu. Menurunnya
perekonomian dunia
meng akibatka n aktivitas
negara-negara maju juga
menurun yang kemudian
berdampak pada turunnya
emisi mereka. Hal ini
menyebabkan permintaan
(demand) untuk karbon juga
menurun.

Imbal jasa l in gkung an
sendiri bukan hal baru di
beberapa lokasi SHK.
Kerumitan lain yang
Kelompok HKm di Register 45B
dihadapi
pada pelaksanaan
Lampung Barat misal, telah
sertifikasi
Plan Vivo yakni
membangun mekanisme imbal
pengukuran
karbon stok atau
jasa lingkungan antara
baseline
di
wilayah usulan
kelompok HKm yang berada di
pro yek . Telah diutarakan
hulu dengan komunitas desa
sebelumnya, salah satu prinsip
yang berada di hilir. Sejak
p e r e n c a n a a n a w a l Alat untuk plot ukur stok karbon di wilayah usulan sertifikasi Plan penerapan sertifikasi Plan
Vivo adalah kualitas vegetasi,
pe mben tuka n H Km y an g Vivo (dok. Watala Lampung)
kea nekaragaman hayati,
didampingi oleh LSM Watala
tutupan lahan dan perbaikan
Lampung, kesepakatan
tata
kelola
hutan
harus
dapat
diukur dan dipantau secara
tentang pentingnya keberadaan hutan di wilayah hulu
kuantitatif. Karbon stok merupakan ukuran pokok yang
(lokasi HKm) terhadap kehidupan masyarakat di daerah hilir
diakui di pasar karbon; karbon stok ekuivalen jumlah
telah dibangun tidak hanya di tingkat kelompok, namun
tutupan lahan (pohon) ekuivalen nominal uang.
antar desa.
Perhitungan stok karbon mensyaratkan penerapan sains
Imbal jasa lingkungan karbon komunitas sendiri adalah
kehutanan yang ketat ,antara lain syarat adanya verifikasi
istilah yang relatif baru. Tidak mengherankan jika dalam
(pengakuan) oleh para validator yang "asing" bagi
sosialisasi hingga pelaksanaan sertifikasi Plan Vivo di level
komunitas bahkan bagi lembaga pendamping sendiri.
komunitas memunculkan berbagai tantangan. Bagaimana
Dalam menghitung stok karbon, pemilihan metode sangat
menjelaskan transaksi karbon, pembagian manfaat, hingga
penting dalam menentukan stok karbon atau baseline
pengukuran stok karbon di wilayah pro yek adalah
project serta jenis kegiatan yang akan dilakukan oleh
sederetan tantangan yang dihadapi lembaga mitra
komunitas. Terdapat dua jenis metode utama yang saat ini
pendamping.
dikenal dalam pelaksanaan sertifikasi Plan Vivo, yakni (1)

4

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

avoid deforestation; dan (2) ecosystem rehabilitation. Pada
avoid deforestation, yang dimunculkan adalah skenario
pengendalian tingkat deforestasi atau setara dengan
berapa banyak pohon dan luasan lahan yang dapat dijaga
untuk tidak ditebang dalam 10 tahun. Sementara ecosystem
rehabilitation lebih fokus pada seberapa banyak pohon dan
luasan yang dapat ditumbuhkan dalam 10 tahun
mendatang. Masing-masing metode tersebut berdiri sendiri
karena sangat berimplikasi pada kegiatan pemantauan
(monitoring) tahunan. Pada kenyataannya, inventory atau
pendokumentasian jenis vegetasi saat ini merupakan
kekayaan pengetahuan yang masih hidup di komunitas. Hal
lainnya, introduksi skema perhutanan sosial negara (HKm
dan HD) mensyaratkan pemantauan reguler per lima tahun
sebagai dasar perpanjangan ijin kelola, sehingga bagi
pendamping dan komunitas yang wilayah proyeknya
merupakan HKm dan HD, kegiatan sertifikasi Plan Vivo bisa
digunakan dalam mempersiapkan laporan pemantauan
rutin HKm dan HD yang dilakukan oleh instansi terkait yakni
Dinas Kehutanan.

agenda perbaikan bersama sebagai penutup tulisan ringkas
ini, yakni:
Ÿ

Kepastian hak rakyat atas hutan. Selama ini rakyat
pinggiran dan di dalam kawasan hutan selalu menjadi
korban opini atau bahkan kriminalitas atas perusakan
hutan. Padahal di beberapa lokasi, rakyat justru terlibat
aktif dalam penjagaan hutan, baik dalam skema proyek
maupun karena pengetahuan asli yang masih hidup di
tengah-tengah komunitas. Pengakuan negara terhadap
wilayah kelola rakyat dalam kawasan hutan merupakan
prasyarat bagaimana rakyat dapat merencanakan
pengelolaan hutan dan kehidupan mereka sendiri,
termasuk hak imbal jasa lingkungan.

Ÿ

Pasar domestik bukan sekadar pasar. Menyerahkan
kekayaan karbon stok yang tersimpan dalam hutan
komunitas pada mekanisme pasar karbon atau skema
imbal jasa lingkungan secara voluntary/sukarela justru
menjadikannya tidak ekonomis (kompetitif). Padahal di
balik nilai potensi stok karbon dan luasan yang relatif
sangat kecil dibandingkan konsesi korporasi-korporasi
restorasi ekosistem, terdapat praktik kehidupan rakyat
yang sangat bergantung dari layanan ekosistem hutan
seperti air, sumber bahan pangan dan sebagainya. Oleh
karenanya, kebijakan negara yang mewajibkan korporasi
nasional mengurangi emisi, responsif terhadap perbaikan
lingkungan serta kewajiban kompensasi (bukan CSR)
terhadap rakyat yang hidup di sekitar hutan adalah
keniscayaan dalam perbaikan tata kelola hutan.

Ÿ

Prosedur yang fleksibel. Salah satu tantangan sertifikasi
imbal jasa lingkungan karbon komunitas adalah kerumitan
perhitungan potensi stok karbon dalam wilayah proyek.
Asumsi terukur dan dapat diverifikasi secara sains
kehutanan seringkali justru mengaburkan proses-proses
interaksi komunitas dengan hutan berdasarkan
pengetahuan asli mereka. Oleh karenanya, mengakui
ukuran-ukuran subjektif dan teknik-teknik berbasis
komunitas perlu diakui oleh para pihak. Dengan kata lain,
pengakuan terhadap wilayah kelola rakyat secara

Agenda Perbaikan
Penjagaan hutan bukanlah hal yang baru bagi komunitas di
pinggir dan dalam kawasan hutan. Bahkan komunitas di
pinggir dan dalam kawasan hutan merupakan arena
diperkenalkan dan diujicobakannya beragam rezim tata
kelola oleh negara, LSM lingkungan dan agensi
pembangunan internasional. Tanpa terkecuali proyekproyek REDD+ yang sedang marak saat ini termasuk ujicoba
imbal jasa lingkungan karbon komunitas. Apakah proyek
imbal jasa lingkungan karbon komunitas ini justru
membawa ke arah penguatan dan pengakuan tata kelola
hutan oleh komunitas, masih perlu dicari jawabannya secara
empiris melampaui perdebatan kajian wacana-wacana
besar yang juga saat ini mengemuka di lingkungan aktivis
pro-demokratisasi dan perbaikan lingkungan. Namun,
memilih ikut campur secara praktis bersama komunitas
memunculkan pemaknaan tersendiri yang hanya bisa
didapatkan dalam keseharian rutinitas proyek.
Memandang kekayaan hutan komunitas yang diukur
melalui karbon stok sebagai dasar imbal jasa lingkungan
atau sebagai peluang "bisnis hijau" baru justru
mengaburkan proses keseharian rakyat dalam menjaga
hutan. Seperti diketahui, seluruh luasan ujicoba karbon
komunitas baik yang diinisiasi oleh KpSHK maupun lembaga
lainnya baru mencapai kurang lebih 20.000 Ha. Luasan
tersebut masih relatif kecil dibandingkan satu konsesi
korporasi restorasi ekosistem yang mencapai ratusan ribu
hektar, dan bahkan dibandingkan unit-unit rehabilitasi
ekosistem dalam korporasi ektraktif seperti HTI (Hutan
Tanaman Industri). Dari pengalaman bergelut dalam ujicoba
sertifikasi Plan Vivo, beberapa isu krusial yang perlu menjadi

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Proses penentuan plot ukur stok karbon di wilayah
usulan sertifikasi Plan Vivo (dok. Watala Lampung)

5

langsung juga merupakan pengakuan terhadap
pengetahuan mereka dalam mengelola wilayah mereka
sendiri.

Daftar Bacaan
Buku
Ampri, Irfa, et al. 2014. The Landscape of Public Climate
Finance in Indonesia. An Indonesian Ministry of Finance
and CPI Report, Indonesia.
Arwida, Shintia D. 2014. Mekanisme Pembagian Manfaat
REDD+ dalam Konteks Hutan Kemasyarakatan. Seri
Kajian SHK Volume I/Tahun I/2014, November 2014.
KpSHK
Astuti, Rini. 2013. REDD+ sebagai Strategi-Strategi
Kepengaturan dalam Tata Kelola Hutan di Indonesia:
Sebuah Perspektif Foucauldian. Wacana, Jurnal
Transformasi Sosial, No. 30, Tahun XV, 2013. Yogjakarta:
Insist
Bryant, Raymond L. and Sinead Bailey. 1997. Third World
Political Ecology. Routledge, London.
Chayanov, A. 1966. The Theory of Peasant Economy. In Daniel
Thorner, Basile Kerblay, and R.E.F. Smith (eds). The

American Economic Association, Illinois.
Hernowo, Basah. 2015. Kontribusi Ekonomi Jasa
Lingkungan/Ekosistem Kehutanan: Status dan Arah
Kebijakan. Prosiding Workshop Mekanisme Pendanaan
Perubahan Iklim: Imbal Jasa Lingkungan Berbasis Hutan
dan Lahan. Jakarta: Ditjen PPI KLHK - KpSHK (akan
segera diterbitkan)
Samyanugraha, Andi. 2015. Pasar Karbon dan Pendanaan
Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. Prosiding
Workshop Mekanisme Pendanaan Perubahan Iklim:
Imbal Jasa Lingkungan Berbasis Hutan dan Lahan.
Jakarta: Ditjen PPI KLHK - KpSHK (akan segera
diterbitkan)
Yusuf, Muhammad. 2014. Prawacana: REDD+ dan Perebutan
Kawasan Hutan. Seri Kajian SHK Volume I/Tahun I/2014,
November 2014. KpSHK
Website
“Dorong Ekonomi Hijau Norwegia Hibahkan Rp 250 Miliar ke
RI”. Diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/
read/2015/11/27/144837426/Dorong.Ekonomi.Hijau.Norw
egia.Hibahkan.Rp.250.Miliar.ke.RI

2

Istilah jasa lingkungan di Indonesia sendiri belum memiliki pengertian yang tetap dan diatur dalam undang-undang. UNEP (United Nations Environment
Programs) mempergunakan istilah 'ecosystem services' sebagai ganti dari 'environmental services'. Beberapa institusi lain mendefinisikan ecosystem services
sebagai the benefits provided by ecosystems that contribute to making human life both possible and worth living. Di Indonesia, produk layanan/jasa ekosistem
hutan terdiri dari empat produk utama yaitu jasa pemanfaatan air dan energi air, jasa penyimpanan dan penyerapan karbon, jasa wisata alam-keindahan alam,
dan jasa keanekaragaman hayati (Hernowo 2015).

3

Paul Butar-Butar 2015, South Pole Carbon. Bahan presentasi pada acara Serial Workshop Program Penurunan Emisi Berbasis Masyarakat yang dilaksanakan
oleh Konsorsium PES Indonesia pada Maret 2015 di Jakarta

4

Bandingkan dengan prinsip (praktis) skema Plan Vivo yakni, (1) project wajib melibatkan dan memberikan manfaat secara langsung kepada komunitas
pengelola hutan; (2) project dapat memberikan manfaat terhadap layanan ekosistem dan menjaga/meningkatkan keanekaragaman hayati; (3) project dikelola
secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, melibat para pihak serta memenuhi aturan hukum yang berlaku; (4) desain dan implementasi rencana
pengelolaan lahan melibatkan dan dimiliki sepenuhnya oleh komunitas berdasarkan prioritas kebutuhan setempat; (5) project dapat meningkatkan manfaat
layanan ekosistem dan dapat dimonitoring secara kuantitatif; (6) pengelolaan risiko termuat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek; (7) project dapat
memberikan manfaat terhadap penghidupan sosial ekonomi komunitas; dan (8) pembagian manfaat dan transaksi imbal jasa lingkungan melalui kerjasama
PES berdasarkan performance-based incentives. (The Plan Vivo Standard for Community Payments for Ecosystem Services Programmes 2013,
http://www.planvivo.org/our-approach/)

5

Mengisi PIN atau Project Idea Note (Kertas usulan proyek) adalah salah satu persyaratan awal dalam proses sertifikasi Plan Vivo. PIN berisikan pokok yakni
informasi mengenai lokasi usulan yang akan diregistrasi penerima manfaat, jenis intervensi yang akan dilakukan apakah penjagaan hutan (menjaga stock
karbon) atau rehabilitasi (menambah stok karbon). Sementara PDD berisikan informasi yang lebih detail khususnya perhitungan stok karbon hasil pengukuran
dan tambahannya.

6

Putusan MK No. 35 Tahun 2012 yang menganulir sebagian dari UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan terobosan di mana negara mengakui
keberadaan hutan Hak/Adat yang bukan kawasan hutan negara. Meski pada praktiknya, pengakuan dan pengukuhan hutan adat masih menemui kendala
prosedur yang lebih bersifat politis.

7

Carbon offset adalah alat/sarana untuk mengkompensasi emisi yang dikeluarkan oleh perusahaan ataupun pribadi. Dengan membayar orang lain (ditempat
lain) untuk melakukan usaha penyerapan karbon atau menghindari emisi karbon, pembeli offset karbon bermaksud mengganti emisi karbon yang telah
mereka lakukan.

6

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

COP 21: Menangkap Kesempatan
Menuju Indonesia yang Berkelanjutan
Ratna Nataliani
1

1

Konsultan bidang energi dan lingkungan yang bekerja pada proyek bangunan dan perkotaan yang berkelanjutan di Indonesia. Penulis juga
bersertifikat Greenship Professional dari Green Building Council Indonesia, dan memiliki perhatian pada isu energi secara umum.
(rnataliani@yahoo.fr)

Baru-baru ini, sebuah konferensi tingkat tinggi baru saja
dilaksanakan di salah satu kota paling atraktif di dunia.
Konferensi itu disebut-sebut sebagai Konferensi Abad ini,
dengan memperhatikan isu yang diangkat dalam
pertemuan tersebut, utusan delegasi menghabiskan waktu
dua minggu penuh untuk menyetujui capaian bersama di
masa depan yang kemudian disebut Perjanjian Paris (Paris
Agreement).
Indonesia sebagai peserta di dalam pertemuan juga
membawa misi ke meja perundingan yang keberlanjutan
misinya diharapkan bersesuaian dengan turunan topik
penting dalam perjanjian bersama. Tulisan ini disusun untuk
memberikan pemahaman bagi pembaca mengenai posisi
Indonesia dan dampak dari partisipasi Negara Indonesia di
dalam COP21. Bagian akhir tulisan akan berfokus pada aksiaksi yang perlu dilaksanakan sebagai tindak lanjut strategis
untuk menangkap kesempatan dari COP21 menuju
Indonesia yang berkelanjutan berdasarkan pandangan ahli
perubahan iklim.

Protokol Kyoto pada COP3 di tahun 1997 mengatur
target pengurangan emisi untuk negara maju, tetapi
Amerika Serikat mencabut dukungan dan hal ini
menggagalkan sisa capaian yang ingin diperoleh dalam
perjanjian tersebut. Begitu juga kegagalan pada COP15 di
Kopenhagen pada tahun 2009 yang berakhir dengan sebuah
draf perjanjian yang disusun pada menit-menit terakhir oleh
Amerika Serikat dan negara-negara BASIC (Brazil, Afrika
Selatan, India, dan Cina) di balik layar pertemuan karena
terjadi kebuntuan. Pun mengingat kembali hasil COP13 dua
tahun lalu dalam Roadmap Bali yang komitmennya tak
berbuah hasil.
Bermulai dari tanggal 30 November sampai dengan 11
Desember 2015, sekitar 40.000 diplomat, pakar ahli,
ilmuwan, aktivis, begitu juga para pemimpin pemerintahan
negara-negara di dunia terlibat di dalam Konferensi
Perubahan Iklim, COP21 di Le Bourget, Paris Utara.
COP21 dilaksanakan untuk melibatkan sejumlah peserta
yang merupakan delegasi negara-negara, ditambah sebuah
blok ekonomi (Uni-Eropa) untuk bersepakat dan menyetujui
mengenai rencana masa depan yang berkelanjutan dengan
meluncurkan tindakan dan investasi ke arah kehidupan yang
lebih rendah karbon. Rencana tindakan ini akan
menghasilkan sebuah perjanjian bernama Perjanjian Paris
untuk Perubahan Iklim.

Misi Bersama
COP (Conference of the Parties) atau Konferensi Para Pihak
sekali lagi diselenggarakan untuk menyatukan pemimpin
dunia dalam rangka menempatkan perhatian mereka pada
isu perubahan iklim. Di bawah UNFCCC (UN Framework
Convention on Climate Change) Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), 195 negara delegasi hadir pada pertemuan di Paris
untuk misi kemanusiaan yang sama untuk melawan
perubahan iklim dengan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca
yang mengacu pada hasil konferensi sebelumnya.

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Sudut Pandang Indonesia
Delegasi Indonesia yang dipimpin langsung oleh Presiden
Joko Widodo menghadiri pertemuan yang disebut
konferensi perubahan iklim abad ini. Pada kesempatan
tersebut, Joko Widodo menyampaikan bahwa Indonesia

7

berkomitmen untuk mendukung pengurangan emisi karbon
sebanyak 29% dengan target pada tahun 2020 untuk
mengontrol kenaikan suhu global di bawah 20C.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam dokumen kontribusi
nasional atau yang disingkat INDC (Intended Nationally
Determined Contribution) Indonesia, bahwa Indonesia
merupakan negara demokrasi baru, namun belum stabil, dan
negara terpadat keempat di dunia. Meskipun pertumbuhan
ekonomi multi-dekade terjadi terus menerus, kurang lebih 11%
dari populasi Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.
Untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan, pemerintah
Indonesia mempromosikan pembangunan ekonomi yang
diproyeksikan rata-rata minimal 5% per tahun dalam rangka
mengurangi angka kemiskinan hingga di bawah 4% hingga
tahun 2025.
Sasaran pembangunan strategis Indonesia yang dikenal
sebagi Nawacita (atau Sembilan Agenda Prioritas),
memetakan jalur transisi ke arah realisasi perubahan jangka
panjang, yang menyejajarkan visi Indonesia secara kedaulatan
politik, kemandirian ekonomi bangsa dengan identitas
budaya yang mengakar. Prioritas ini konsisten dengan
komitmen nasional terhadap ketahanan perubahan iklim, di
mana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terpadu dalam
prioritas Perencanaan Pembangunan Nasional Jangka
Menengah.
Intended Nationally Determined Contributions (INDC)
Indonesia menggarisbawahi bahwa transisi negara ke arah
masa depan yang rendah karbon digambarkan dengan
peningkatan aksi dan lingkungan yang kondusif selama
periode 2015-2019 yang akan meletakkan dasar untuk tujuan
yang lebih ambisius setelah tahun 2020, berkontribusi
terhadap usaha bersama mencegah peningkatan suhu global
0
2 C. Untuk tahun 2020 dan setelahnya, visi Indonesia akan
merealisasikan ketahanan iklim nusantara sebagai hasil dari
program-program adaptasi dan mitigasi yang komprehensif,
serta strategi pengurangan risiko bencana.
Berdasarkan dokumen Country Brief yang disediakan
oleh sekretariat UNFCCC untuk COP21 dapat dilihat
sebagaimana grafik di bawah ini bahwa emisi CO2 meningkat
baik menurut bahan bakar (grafik 1) maupun sektor (grafik
2) seiring waktu di Indonesia.
Grafik 1. Emisi CO2 Berdasarkan Jenis Bahan Bakar di
Indonesia

8

Grafik 2. Emisi CO2 Berdasarkan Sektor Penting di Indonesia

Grafik di atas menggambarkan kenaikan secara stabil
yang dapat menjadi ancaman jika langkah perubahan
mendasar tidak segera dilakukan. Apabila pengurangan
emisi karbon di setiap negara menunjukkan suatu stagnasi,
suhu global pada tahun 2030 diprediksi meningkat sebesar
0
3 C. Seperti yang dijelaskan oleh komisi dalam pertemuan
0
COP21, “Hal itu dapat berarti kenaikan (suhu) antara 2.7 C
0
dan 3.5 C di akhir abad (ini)”.
Dalam rangka mencegah peningkatan suhu global,
Indonesia akan memasukkan sejumlah strategi jangka
pendek, jangka menengah, dan jangka panjang untuk
mengurangi emisi karbon sebagaimana yang telah
dilakukan oleh negara-negara lainnya. Tindakan realisasi
pengurangan karbon tentu saja tidak murah, mengingat
juga tantangan terbesar Indonesia adalah pada sektor
hutan, energi, industri, dan pertanahan.
Kepala Proyek Perkotaan Kampus Valley, Kota
Bordeaux, Prancis, Julien Birgi yang juga menaruh perhatian
pada pembangunan kota berkelanjutan di Jawa Tengah,
memiliki opini atas isu perubahan iklim tersebut. Ia
mengatakan, “Memerhatikan kondisi kepulauan Indonesia
sebanyak lebih dari 17.000 pulau kecil, ini (Indonesia)
mungkin cenderung menjadi korban perubahan iklim,
terutama melalui peningkatan permukaan air laut. Di
samping itu, Indonesia mungkin dapat dilihat sebagai salah
satu 'siswa nakal di kelas' dengan berhutang pada kasus
kebakaran hutan, dan pemanfaatan energi berbasis batu
bara yang berkembang sangat cepat. Sehingga sebagai
negara berkembang, pertaruhan sangat tinggi bagi delegasi
Indonesia yang menegosiasikan transfer teknologi, dan
pendanaan untuk mengembangkan cara (pembangunan)
yang lebih bersih bagi lingkungan dengan mendorong
skema pendanaan untuk realisasi teknis program.”
(komunikasi pribadi, 5 Desember 2015)
Sayangnya, pertanyaan sulit dihadapi oleh Indonesia
saat COP21 mengenai salah satu isu utama perubahan iklim,
yakni kebakaran hutan. Foto di bawah menggambarkan
kondisi lahan yang terbakar di Nyaru Menteng,
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang memicu keluhan
dari sejumlah negara tetangga, terutama Malaysia dan
Singapura. Isu lainnya mengenai rencana membangun
proyek pembangkit listrik tenaga batu bara. Isu-isu ini jelas
bertentangan dengan target nasional untuk mengurangi

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

yang lalu. Hasil tersebut adalah sebuah loncatan bagi
kebanyakan negara kepulauan kecil seperti Filipina dan
Tuvalu yang secara penuh mendukung ide tersebut.
Sementara negara-negara seperti Cina, India, dan Uni Emirat
0
Arab masih meyakinkan bahwa kenaikan suhu 3 C akan
tetap layak.
John Schellnhuber, ilmuwan dan penasihat untuk
Pasal 2
Metode tebang dan bakar dalam membuka lahan di Palangkaraya,
Kalimantan Tengah
(Sumber: Jakarta Post)

secara mandiri emisi karbon sebanyak 26% pada 2030, atau
41% dengan dukungan internasional
Namun, pemerintah Indonesia masih dapat menunjukan
bahwa secara bertahap melawan perubahan iklim, sebagai
contoh dengan komitmennya pada pengurangan emisi gas
rumah kaca, dan sejumlah aksi-aksi yang akan dijalankan.
Jokowi mengatakan “Masalah sebenarnya akan
disampaikan; semua hal yang telah kami mulai termasuk soal
restorasi gambut, mengkaji ulang izin-izin lama, dan
moratorium pada periode tertentu.”

L'Accord de Paris (Perjanjian Paris)
Kurang lebih selama dua minggu delegasi yang hadir
menghabiskan waktu untuk diskusi dan negosiasi panjang,
dan akhirnya setelah tambahan waktu satu hari dari jadwal
awal, pemimpin-pemimpin pada pertemuan PBB untuk
keberlanjutan masa depan dunia di Paris mengadopsi hasil
pakta perubahan iklim dalam pertemuan tersebut.
“Saya sekarang mengundang (peserta) COP untuk
mengadopsi keputusan yang berjudul Perjanjian Paris yang
dirangkum ke dalam dokumen,” tutur Presiden sektor Iklim
PBB di COP, Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius. Dia
melanjutkan, “Melihat keluar ruangan, saya melihat reaksi
positif, dan saya tidak melihat bantahan atas diadopsinya
Perjanjian Paris. Perjanjian Paris dapat diterapkan.” Fabius
berpendapat bahwa naskah final dari Perjanjian Paris
dikeluarkan untuk menyeimbangkan kesempatan yang adil
bagi setiap pihak yang ambisius, dan realistis.
Di bawah ini adalah beberapa butir penting dari
Perjanjian Paris (L'Accord de Paris).
1. Mitigasi: Membatasi kenaikan suhu global pada angka
0
1,5 C
Perjanjian Paris menyatakan komitmen untuk tetap
menjaga kenaikan suhu global hingga 1,50C di atas level praindustri. Hal ini melebihi yang diantisipasi oleh para peserta
0
dengan membandingkan level suhu 2 C yang disetujui oleh
hampir 200 negara di pertemuan Kopenhagen enam tahun
EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

1. Perjanjian ini, dalam rangka meningkatkan implementasi Konvensi,
termasuk tujuannya, ingin memperkuat respon global terhadap
ancaman perubahan iklim, dalam konteks pembangunan
berkelanjutan dan usaha untuk mengentaskan kemiskinan,
termasuk dengan:
(a) Menahan angka peningkatan rata-rata suhu dunia di bawah 20C di
atas level pra-industri dan mengejar usaha untuk membatasi
peningkatan suhu pada angka 1,50C di atas level pra-industri,
mengakui bahwa hal ini secara signifikan akan mengurangi risiko
dan dampak perubahan iklim;

Jerman dan Vatikan, menyatakan bahwa bahaya serius
0
ditandai dengan 1,5 C sebagai titik balik iklim dunia. Perlu
diingat bahwa hari ini kenaikan suhu dunia telah mencapai
0
0,85 C sejak masa pra-industri, dan data terakhir belum
menunjukan kemungkinan turunnya emisi global yang
dapat mengakibatkan pemanasan global. Ilmuwan lain juga
mempertimbangkan bahwa ketika peningkatan menyentuh
0
angka 2 C, hal itu dapat berarti bahwa bencana perubahan
iklim akan segera terjadi.
Pada kondisi setelah tahun 2050, seperti disebutkan
dalam perjanjian, bahwa emisi yang dihasilkan oleh manusia
harus dikurangi ke tingkat yang dapat diserap oleh hutan
dan laut. Bagaimanapun, adanya instrumen penting untuk
menghasilkan sistem kontrol yang terpercaya adalah
sebuah pengukuran yang memadai untuk mencapai target,
sebagaimana telah dicatat oleh aktivis lingkungan di Paris.
2. Transparansi: Peninjauan perkembangan setiap lima
tahun
Terdapat 188 negara yang telah memasukan rencananya
untuk melanjutkan komitmen yang telah dibuat dalam
mengurangi dan membatasi emisi pasca tahun 2020, dan
hingga tahun 2030. Rencana ini tentu tidak cukup untuk
menjamin bahwa dampak bencana dari peningkatan pesuhu
global tidak akan terjadi.
Hal tersebut kemudian menjadi alasan dibuatnya suatu
mekanisme peninjauan ulang per lima tahun terhadap
perjanjian-perjanjian, dalam rangka mencapai ambisi yang
disepakati. Tinjauan pertama akan diselenggarkan pada
tahun 2018, namun berdasarkan perjanjian, peninjauan
global pertama akan dilakukan di tahun 2023 sebagaimana
dinyatakan dalam Ayat 14 di bawah ini.

9

2.

3.

Konferensi para pihak yang terlibat di dalam Perjanjian Paris
akan melakukan peninjauan di tahun 2023, dan setiap lima tahun
sesudahnya, kecuali dinyatakan oleh Konferensi para pihak yang
berfungsi sebagai pertemuan para pihak untuk Perjanjian Paris.
Hasil dari peninjauan global akan diinformasikan kepada para
pihak dalam memperbarui dan meningkatkan pada cara yang
ditentukan secara nasional, aksi dan dukungan mereka sesuai
dengan ketentuan yang relevan dalam Perjanjian Paris, serta
dalam meningkatkan kerjasama internasional untuk aksi iklim.

3. Adaptasi: Memperkuat Kemampuan Negara-Negara
Target mitigasi membutuhkan upaya adaptasi dari negaranegara dalam mengambil tindakan untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Pemberitaan pada isu adaptasi yang
diajukan oleh semua negara akan memperinci prioritasprioritas adaptasi, dukungan kebutuhan, dan perencanaan.
Berdasarkan hal tersebut, dukungan untuk aksi adaptasi
diharapkan untuk meningkatkan dukungan untuk negaranegara berkembang akan dinilai dalam memastikan bahwa
hal itu telah memadai.

Pasal 5
1. Para pihak yang terlibat harus mengambil tindakan untuk
melestarikan dan meningkatkan upaya, mengurangi dan
menampung Gas Rumah Kaca sebagaimana yang tercantum pada
Pasal 4, Paragraf 1(d) dari Konvensi, termasuk hutan.
2. Para pihak didorong untuk mengambil tindakan implementasi dan
dukungan termasuk melalui pembayaran berbasis hasil, kerangka
kerja yang berlaku sebagaimana terkait dalam petunjuk dan
keputusan yang telah disepakati di bawah Konvensi untuk:
pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk aktivitas yang
berhubungan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan, dan peran konservasi, pengelolaan hutan
berkelanjutan, serta peningkatan karbon hutan.

Komitmen ini didasarkan pada pandangan bahwa
adaptasi adalah tahapan utama dalam berkolaborasi dan
berkontribusi untuk respons global jangka panjang
terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, beberapa upaya
teknis telah dimasukan termasuk transfer teknologi dan
pengembangan kapasitas.

Dari kiri ke kanan, Christiana Figueres, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Sekretaris Jenderal PBB – Ban Ki-moon, Menteri Luar
Negeri Prancis –Laurent Fabius, Presiden COP21 dan Presiden Prancis – Francois Hollande merespons selama sesi sidang pleno
final pada Konfrensi Perubahan Iklim Dunia 2015 (COP21) di Le Bourget, dekat Paris. Photo: Reuters/Stephane Mahe

10

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Pasal 7
1. Para pihak membangun sasaran global pada adaptasi dan
peningkatan kapasitas adaptif, memperkuat risiliensi dan
mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim, dengan
pandangan untuk kontribusi pembangunan berkelanjutan dan
memastikan respons adaptasi yang memadai dalam konteks target
suhu yang disebutkan dalam Pasal 2.
2. Para pihak mengakui bahwa adaptasi adalah tantangan global yang
dihadapi oleh semua pihak dalam level lokal, sub-nasional,
nasional, regional, dan dimensi internasional, dan hal itu menjadi
komponen kunci, dan membuat kontribusi respons global jangka
panjang terhadap perubahan iklim untuk melindungi penduduk,
mata pencaharian, ekosistem, mengambil perhitungan penting dan
kebutuhan mendesak pada Para Pihak dari negara berkembang
yang rentan terhadap kerugian dampak dari perubahan iklim.
3. Para Pihak dari negara berkembang yang rentan terhadap kerugian
dampak dari perubahan iklim.Upaya adaptasi Para Pihak dari
negara berkembang harus diakui sesuai dengan modalitas yang
diterapkan oleh para pihak Konferensi dalam Perjanjian Paris pada
sesi pertama.
4. Para pihak mengakui kebutuhan sekarang untuk adaptasi adalah
hal yang signifikan, dan level yang lebih besar pada mitigasi dapat
mengurangi kebutuhan untuk upaya adaptasi tambahan,dan
kebutuhan adaptasi yang lebih besar dapat melibatkan besarnya
biaya adaptasi. hutan berkelanjutan, serta peningkatan karbon
hutan.

4. Kerugian dan Kerusakan : Mengatasi Korban
Negara-negara kepulauan adalah pihak yang paling rentan
terhadap perubahan iklim. Pada bagian baru untuk
mengakui “Kerugian dan Kerusakan” (Loss and Damage)
telah dibawa dalam meja diskusi yang terdiri dari sejumlah
mekanisme untuk mengidentifikasi kerugian finansial dan
kerentanan negara-negara sebagai akibat dari cuaca
ekstrim.
Amerika Serikat mengkhawatirkan bahwa mekanisme
“Kerugian dan Kerusakan” akan membawa pada klaim
kompensasi kerusakan yang sering dialami oleh negaranegara rentan bencana. Namun, berita baiknya adalah
mekanisme tersebut akhirnya memasukkan klausul
tambahan yang menenangkan Amerika Serikat dengan
menyatakan bahwa tidak ada kewajiban atau kompensasi
yang terjadi dalam mekanisme.

Pasal 8
1. Pihak-pihak mengakui pentingnya pencegahan, meminimalisir dan
menangani kerugian dan kerusakan yang terkait dengan dampak
perubahan iklim, termasuk peristiwa cuaca ekstrim, dan peristiwa
bencana yang berlangsung-langsung menjadi semakin tinggi
(dampaknya), dan peran pembangunan berkelanjutan dalam
mengurangi risiko kerugian dan kerusakan.

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

5. Dukungan : Skema Pendanaan untuk Pembangunan
Sebagai bagian dari upaya dunia, negara maju menyetujui
untuk melanjutkan dukungan kepada negara-negara yang
lebih miskin untuk membantu mereka dalam membangun
masa depan yang lebih tangguh dan memelihara ekonomi
hijau (green economy) dengan memerhatikan prioritas dan
kebutuhan negara penerima dalam perhitungan. Sebagai
catatan, skema finansial ini telah dipindah ke dalam teks
keputusan tanpa ikatan hukum.
Beberapa kontribusi kesukarelaan juga disertakan dalam
perjanjian. Hal ini mendorong negara berkembang dengan
kemunculan ekonomi baru, seperti Cina, untuk mengambil
bagian dalam investasi perubahan iklim di negara lainnya,
meskipun sifatnya tidak diwajibkan.
Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi
(OEC D/Or ga ni za ti o n fo r Ec o nom i c C o - op era ti o n
Development) melaporkan bahwa perkembangan skema
keuangan iklim menunjukan negara-negara maju telah
sukses menggalang dana sebesar $62 miliar di tahun 2014,
sebagai komitmen untuk mencapai target yang telah
dibangun di Kopenhagen untuk meningkatkan bantuan
hingga $100 miliar per tahun pada periode 2020. Target
mobilisasi kolektif ini telah diperpanjang hingga tahun 2025
melalui Perjanjian Paris.
54. Keputusan lebih lanjut tersebut berdasarkan Pasal 9, paragraf 3
dalam perjanjian, bahwa negara-negara maju bermaksud untuk
melanjutkan target mobilisasi kolektif hingga 2025 dalam konteks
aksi mitigasi dan transparansi pada tahap implementasi; sebelum
2025 para pihak yang terlibat dalam Konferensi Perjanjian Paris
akan menetapkan target kolektif baru dari dasar 100 miliar USD
per tahun dengan perhitungan kebutuhan dan prioritas negara
berkembang.

Dampak pada Orientasi Peraturan Perubahan
Iklim Indonesia
Penting untuk mengingat lima butir penting dalam
Perjanjian Paris yang telah diulas sebelumnya, yakni:
Mitigasi, Transparansi, Adaptasi, Kerugian dan Kerusakan,
serta Bantuan Dukungan, yang saling berkaitan. Komitmen
Indonesia di dalam dokumen INDC dan Perjanjian Paris
dapat secara kuat mengabsahkan orientasi peraturan
perubahan iklim di Indonesia.
Keunggulan dari Perjanjian Paris adalah membuat semua
negara sepakat pada pembatasan peningkatan suhu dunia
pada angka 1.50C. yang awalnya memunculkan penolakan
dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Cina, atau India
yang memiliki level emisi karbon tinggi. Namun, setelah
tambahan waktu satu hari untuk mendiskusikan target
tersebut, dengan penghitungan ulang, dan pendekatan

11

antarpihak, akhirnya semua pihak menyepakati hasil
tersebut.
0

Sebenarnya pembatasan 1.5 C adalah angka yang
mendukung Indonesia sebagai negara kepulauan, yang
potensi peningkatan permukaan laut dapat saja
menenggelamkan kepulauan yang ada. Berdasarkan
penjelasan Direktur Pusat Penelitian Perubahan Iklim
Universitas Indonesia (RCCCUI/ Research Centre of Climate
Change University of Indonesia), Jatna Supriatna, Ph.D,
bahwa Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan
mengurangi emisi karbon hingga angka 30-40% pada tahun
2020 (komunikasi pribadi, 11 Januari 2016). Namun, konversi
lahan tetap menjadi masalah kritis di Indonesia.
Diperkirakan 60% dari total emisi karbon Indonesia
disebabkan oleh konversi lahan. Konversi lahan tersebut
termasuk konversi kawasan hutan, pembalakan liar,
kebakaran hutan, pengeringan kawasan gambut yang
meningkatkan dengan cepat level emisi Indonesia. Isu
tersebut sangat berkaitan dengan otoritas tata kelola lahan.
Hal ini menunjukkan pentingnya bagi pemerintah pusat dan
pemerintah daerah untuk memiliki kesamaan visi sebagai
sebagai pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan
lahan.
Satu faktor penting dalam konversi lahan adalah
pertumbuhan nasional melalui pembangunan secara fisik.
Pembangunan telah dipercepat di Indonesia selama
beberapa dekade ini yang membuat peningkatan konsumsi
energi dan secara bertahap meningkatkan emisi karbon.
Berdasarkan Global Footprint Network, jejak karbon
Indonesia menyentuh angka 1,4 di tahun 2010 yang berarti
aktivitas konsumsi nasional setara dengan 1,4 bagian bumi.
Oleh karena itu, percepatan pembangunan dari Presiden
Jokowi yang bersemangat mendukung pembangunan
infrastruktur juga perlu diperhitungkan.
Grafik di bawah ini menggambarkan Indonesia telah
hampir dua kali menghasilkan emisi karbon dari periode
1990 hingga 2020, Emisi karbon dioksida (CO2) Indonesia
bahkan lebih buruk di tahun 2005 yang secara dramatis
meningkat hampir tiga kali besarnya dalam 15 tahun.

Emisi CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs, dan SF6 Indonesia
(Sumber: UNFCCC)

12

Semua emisi perlu dikurangi dan semua elemen yang
menyerap emisi tersebut harus dipulihkan. Hal itu diprediksi
pada periode 2020—2025, emisi karbon dari bahan bakar
fosil akan melebihi dari emisi yang dihasilkan dari konversi
lahan sebagaimana yang diilustrasikan pada grafik di bawah
ini (J. Supriatna, komunikasi pribadi, 11 Januari 2016). Dalam
mengantisipasi hal tersebut, sejumlah tindakan harus
didesak dan dipercepat sesegera mungkin, sebagai contoh,
melalui implementasi energi terbarukan dan semua
pembangunan berkelanjutan secara umum. Mengenai
permasalahan tersebut, sejumlah sumberdaya penting
dibutuhkan, seperti manusia, teknologi, dan pendanaan.
Indonesia seharusnya lebih mendorong untuk lebih
memperoleh dukungan atau fasilitasi melalui COP21.
Ilustrasi Sumber Emisi Karbon di Indonesia

Masalah mendesak saat ini adalah tidak ada skema yang
jelas tentang penggalangan dana. Hal ini penting untuk
menindaklanjuti dana perwalian yang akan mendanai
kebutuhan untuk mendukung pada negara-negara kecil dan
berkembang dalam pengembangan kapasitas, transfer
teknologi, dan dukungan finasial baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Selama COP21, negara-negara kecil dan berkembang
memperdebatkan bahwa mereka tidak mampu mengatasi
sendiri dengan bencana yang disebabkan oleh perubahan
iklim. Oleh karena itu, sejumlah sumber dana harus
dipersiapkan untuk membantu mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim. Hal ini adalah saat inisiatif pengumpulan
dana $100 miliar hingga tahun 2025 dimulai.
Direktur RCCCUI meyakini bahwa diskusi lebih lanjut
pada skema keuangan harus dilakukan saat pertemuan
teknis selanjutnya untuk mempersiapkan pertemuan COP
mendatang. Namun, ia tetap optimis bahwa negara
berkembang akan memiliki setidaknya $100 miliar dalam
periode 10 tahun sebagaimana yang dijanjikan, berdasarkan
pengalaman mereka dalam menggalang dana dan
memerhatikan peningkatan kepedulian dunia pada isu
lingkungan. Selain itu, sumber keuangan dari militer dan
persenjataan yang sangat besar, dengan demikian tidak

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

menjadi alasan bahwa dana perwalian tidak dapat diangkat
untuk memenangkan ‘perang’ melawan perubahan iklim
untuk kemanusiaan dan perdamaian dunia.

Bagaimana menangkap kesempatan dan
keuntungan: Rencana Strategi di Masa Depan
Indonesia harus mampu mengambil kesempatan untuk
mengembangkan Negara dalam hal berkelanjutan dan
komitmennya, serta komitmen dari negara-negara lainnya.
Untuk menjawab kesempatan yang ditawarkan dari
Perjanjian Paris, begitu juga tantangan dari konversi lahan,
dan percepatan pembangunan di Indonesia, setidaknya
terdapat tiga tindakan aksi strategis yang perlu diambil,
berdasarkan pendapat Direktur RCCCUI, Jatna Supriatna,
Ph.D.
1. Penguata