J00873

MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Oleh
Dr. Wasitohadi, M.Pd
Dosen PGSD-FKIP UKSW Salatiga

ABSTRAK
Dalam konteks Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah ( PBS), dan dalam
kerangka pengembangan Pendidikan berbasis Masyarakat (PBM), harapan untuk
meningkatkan mutu sekolah dan peran serta masyarakat dalam peningkatan
mutu tersebut, memerlukan tindakan manajerial tertentu. Yang dimaksud adalah
bagaimana mengelola sistem pembelajaran di sekolah sedemikian rupa sehingga
pembelajaran tersebut dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Dalam hal
itu, pihak sekolah perlu membuat desain pembelajaran mulai dari perencanaan,
pengorganisasian dan koordinasi, pelaksanaan, serta evaluasi, dengan
mendasarkan pada konsep dan teri yang berkenaan dengan hal itu. Dalam
konteks inilah sekolah perlu mengidentifikasi “stakeholdernya” untuk mau
berperan dalam tiap tahapan pembuatan dan pelaksanaan fungsi-fungsi
manajemen di atas. Tanpa kemauan, kemampuan dan kesungguhan pihak
sekolah untuk membangun jaringan stakeholder tersebut, sangat sulit bagi
sekolah untuk mengemban visi dan misinya.
Kata kunci: Manajemen, sistem, sistem pembelajaran, sekolah

PENDAHULUAN
Salah satu implikasi otonomi daerah bidang pendidikan pada tingkat sekolah
adalah terjadinya pergeseran pendekatan manajemen pendidikan dari manajemen
berbasis pusat menuju manajemen berbasis sekolah. Bila pada era sentralistik,
pemerintah pusat memiliki peranan yang sangat besar mulai dari perencanaan,
penetapan program sampai pada implenmentasi dan pengawasan program pendidikan
secara nasional, maka sejalan dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999 dan Peraturan
Pemerintah No. 25 tahun 2000, peran tersebut semakin kecil. Kabupaten/Kota diberi
wewenang besar untuk mengelola dan mengatur daerahnya, termasuk di dalamnya
sektor pendidikan. Dengan demikian, Kabupaten/Kota mempunyai otonomi pengelolaan
pendidikan. Dalam kerangka otonomi pengelolaan pendidikan itu, manajemen
pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat ditawarkan sebagai satu jenis pendekatan
yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas jenis dan relevansi pendidikan di setiap
daerah.
Esensi dari manajeman pendidikan berbasis sekolah adalah pemberian otonomi
yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif

yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah,
karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2001: 5). Berkaitan itu,

Winarno Surakhmad (2000:2) menambahkan bahwa dalam

konteks reformasi

pendidikan di Indonesia, “ Pendidikan berbasis sekolah tersebut lebih tepat dilihat
dalam kerangka perbaikan yang lebih luas, yakni di dalam kerangka pendidikan berbasis
masyarakat, yang senantiasa berkembang dengan kekuatan dari, oleh dan untuk
kepentingan masyarakat itu sendiri, agar akhirnya hidup masyarakat belajar yang
dinamis”. Dengan demikian, semangatnya adalah usaha untuk menumbuhkan
pendidikan dari bawah, agar pendidikan berakar di masyarakat, dengan inisiatif dari
masyarakat, dikelola oleh masyarakat, dan untuk kepentingan masyarakat.
Agar peningkatan mutu sekolah dan semangat semacam itu benar-benar
terwujud, maka banyak hal yang harus dibenahi. Satu di antara banyak hal yang harus
dilakukan adalah membenahi sekolah, karena sekolahlah muara dari upaya peningkatan
mutu pendidikan. Dalam hal ini sekolah dituntut untuk lebih mandiri. Lebih efektif dan
efisien, lebih akountabel dan harus dikelola secara lebih professional. Meskipun
demikian, studi desentralisasi ( a studi of desentralization) yang dilakukan oleh Alison
Bullock dan Hywel Thomas (1997) berhasil menunjukkan bahwa baik secara teoritis
maupun empirik, desentralisasi” ... not only to develop policies for school system or to
improve the practice of school management, but also to secure improvement in the

quality of teaching and learning in schools.” Bagi mereka, kualitas pembelajaran adalah
“ at the heart and centre of education” makanya, kata mereka, it must be central to
discussions of decentraslization”.
PEMAHAMAN KONSEPTUAL
Konsep adalah pemahaman tentang sesuatu secara menyeluruh dan mendasar.
Konsep “sistem pembelajaran” dan “ bagaimana hal itu harus dimanage”, dengan
demikian, berarti upaya memahami “segala sesuatu” yang berkaitan dengan kedua hal
itu secara menyeluruh tapi sekaligus mendasar. Hasilnya adalah konsepsi, isi atau
substansi dari hal tersebut, apa substansinya?
Secara etimologis, istilah sistem (bahasa Inggris “system”: bahasa yunani
“systema”) berarti keseluruhan yang tersusun dari bagian-bagian. Istilah itu berasal akar
kata bahasa Yunani “syn”, artinya dengan dan “istanai” yang berarti menempatkan.
Berdasarkan pemahanman etimologis ini, Lorens Bagus (1996) mengemukakan
beberapa pengertian sistem sebagai berikut:

(a) Kumpulan hal-hal yang disatukan ke dalam suatu keseluruhan yang konsisten
karena saling terkait (intreaksi, interdependensi, salaing keterkaitan yang teratur
dari bagiannya).
(b) Kumpulan hal-hal (objek- objek, ide-ide, kaidah-kaidah, atau kesimpulan,
generalitas, dll.) yang koheren menurut suatu prinsip (atau rencana, atau skema,

atau metode) rasional atau yang dapat dimengerti.
(c) Prinsip atau metode kegiatan/ operasi yang memungkinkan a dan b dapat dicapai
dan atau dijelaskan ( sebagaiman dalam ungkapan “ sistem logika”, “sistem
hukum”, “sistem klasifikasi”).
Sementara

itu,

Kast

dan

Rosenzweig

(Endang

Soenarya,2000:12)

mendefinisikan sistem sebagai suatu tatanan yang menyeluruh dan terpadu terdiri atas
dua bagian atau lebih yag saling tergantung dan ditandai oleh batas-batas yang tegas

dari lingkungan suprasistemnya. Sedangkan Middelton dan Wedmeyer, sebagaimana
juga dikutip oleh endang Soenarya, mengartikan sistem sebagai kumpulan dari berbagai
bagian unsur yang saling tergantung yang bekerja sama sebagai suatu keseluruhan untuk
mencapai suatu tujuan, diman hasil keseluruhan lebih berarti daripada hasil sejumlah
bagian.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat dianalisis untuk menemukan
titik-titik persamaanya, disamping perbedaan-perbedaanya yang ada, paling tidak
perbedaan dari segi aksentuasinya. Persamaanya adalah (a) bahwa setiap sistem selalu
menunjuk kesatuan menyeluruh dan terpadu segenap komponen-komponenya, (b) antar
komponen-komponen tersebut mempunyai hubungan fungsional, dan (c) hubungan
fungsional itu diperlukan dalam rangka mencapai suatau tujuan. Sementara dari segi
aksentuasi, dan ini bersifat (saling) melengkapi, nampak bahwa Kast dan Rosenzweig
menekankan unsur “ ketegasan batas-batas sistem dengan lingkungan suprasistemnya”,
sedangkan Middleton dan Wedemeyer menekankan bahwa hasil berfungsinya unsur
sistem secara keseluruhan, lebih berarti daripada hasil sejumlah unsur saja dalam sistem
itu. Lain lagi Lorens Bagus, ia lebih menegaskan mengenai ‘teba” atau “cakupan” dari
sistem.
Didalam suatu sistem yang kompleks sepeti sistem sosial termasuk didalamnya
sistem pendidikan, kejelasan hierarki atau struktur sistem amat penting. Kejelasan
istilah-istilah yang digunakan dalam suatu sistem perlu disepakati oleh sekelompok

orang yang menyusun suatu hierarki atau struktur suatu sistem. Dalam menyusun
hierarki atau struktur sistem, kelompok penyusun atau tim harus menyepakati dahulu

kerangka hierarki sistem, kemudian diputuskan bersama-sama mana yang disebut
sistem, sub sistem, komponen, dimensi dan lain-lain.
Pada dasarnya, sistem hanya terdiri atas dua jenis, yaitu sistem tertutup dan
sistem terbuka. Sistem tertutup dalam proses kerjanya tidak dipengaruhi oleh
lingkungannya, sedangkan sistem terbuka dalam proses kegiatannya memperoleh
masukan atau berhubungan secara dinamik dengan sistem yang lain diluar lingkungan
sistemnya. Dengan demikian, sistem tertutup tidak memperoleh masukan dari
lingkungan sistemnya, sedangkan sistem terbuka memperoleh masukan dari luar sistem.
Pada sistem yang terbuka terjadi suatu proses yang dinamis, karenasistem dipengaruhi
oleh sistem yang berada diluarnya dan pada gradasi tertentu keluaran suatu sistem
terbuka dapat mempengaruhi sistem terbuka yang lainnya.
Disamping itu, sebagai sistem sosial, sekolah juga merupakan sistem terbuka (
Wahjosumidjo, 2001:158). Sebab, didalamnya berkumpul manusia yang saling
berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, sekolah terbuka untuk
memperoleh inpu dan selanjutnya mentransformasikan sebagai produksi. Sifat
keterbukaan sekolah itu mengandung dua hal, yaitu (a) melakukan berbagai perubahan
secara internal dengan maksud untuk menyesuaikan dengan lingkunganya, dan (b)

sistem terbuka itu tidak hanya bagi lingkungannya melaionkan bagi dirinya sendiri.
Sifat keterbukaan dalam makna yang demikian, juga berlaku bagi “ pembelajaran”
sebagai sub sistem pendidikan di sekolah.
Memahami Kedudukan dan Ruang Lingkup Sistem Pembelajaran
Disamping sebagai sub sistm pendidikan di sekolah, dalam gradasi dan dari
sudut pandang tertentu “pembelajaran” juga dapat dipahami sebagai sistem tersendiri
yang dapat dibedakan dari suprasistemnya. Untuk memahami posisi dan ruang lingkup
sistem pembelajaran, salah satu caranya adalah dengan belajar dari model yang dibuat
oleh para ahli. Davis A. Squires, William G. Huitt, dan John K. Segars (200:4), dalam
buku mereka berjudul: Effective Schools and Classrooms; A Research-Based
Perspective, mengemukakan model untuk memperbaiki keefektifan sekolah dan kelas.
Model tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 1.A Model for Improving School and Classrom Effectiveness
Leadership
Modelling
Feedback
Consensus

School Climate
Academic emphasis

Orderly environment
Expectation for success

Supervision
Entrance
Diagnosis
Technical Success
Personal and
Professional

Teacher Behavior
Planning
Management
Instuction

Student
behaviors
Involment
Covverage
Succes


Student
Achievment

Pada dasarnya, model tersebut menjawab satu pertanyaan, yaitu “Apa yang
dapat dikerjakan sekolah untuk memperbaiki prestasi siswa?” model ini terdiri dari dua
bagian. Bagian pertama, adalah model kelas yang efektif. Dimensi-dimensi keefektifan
kelas meliputi; (1) dimensi prestasi siswa, (2) dimensi perilaku murid, (3) dimensi
perilaku guru. Perilaku siswa, ayitu apa yang dikerjakan siswa dikelas, adalah faktor
yang paling langsung berkaitan dengan prestasi siswa. Dalam hal itu ada tiga aspekyang
paling potensial mempengaruhi prestasi siswa yaitu: (1) Involvemen, yaitu “ the amount
of time a student actively works on academic content, (2) Covverage, yaitu “the amount
of content covered by a student during a year, especially content tested by a standarized
instrument, dan (3) succes, how well student perform on daily assigent and unit test
indicating mastery of academic content.
Faktor berikutnya dalah perilaku guru. Para guru mempunyai pengaruh paling
tinggi terahdap perilaku siswa mendukung prestasi siswa melalui : (1) planning or redy
for classroom activities: (2) management, which has to do with controlling student
behaviors, and (3) instruction, which concern providing for guidining student learning.
Dengan kata lain, guru merencanakan, mengelola dan mengajar dengan cara

memfasilitasi “ student involvement, coverag, dan succes” kemungkinan besar akan
menjadi lebih efektif.
Bagian kedua, yang berkaitan dengan bagian pertama, menjelaskan tentang
sekolah yang efektif (effective schools) dalam hal ini, ada beberapa faktor. Pertama,
faktor supervisi. Sebagiaman perilaku guru mendukung perilaku siswa, begitu juga
supervisi Kepala Sekolah dapat mempengaruhi perilaku guru. Supervisi juga memberi
kesempatan untuk meningkatkan keterampilan para guru dalam merencanakan,
mengelola dan menyampaikan pengajaran. Didalam proses supervisi, supervisor dan
guru saling mengungkapkan makna pola perilaku profesional mereka. Tujuan supervisi
positif adalah untuk meningkatkan profesionalisme, sehingga baik supervisor maupun
guru menjadi semakin kompeten di dalam menampilkan peran mereka.jika guru dan
supervisor sepakat bahwa prestasi siswa adalah penting, maka pola-pola perilaku siswa
dan guru merupakan fokus yang tepat yang tepat untuk supervisi.

Faktor lainnya adalah kepemimpinan (leadership). Dalam sekolah yang amat
efektif, kepemimpinan kepala sekolah menciptakan iklim sekolah yang menjunjung
tinggi nilai keberhasilan, akademik dan lingkungan yang eratur. Dalam hal itu, kepala
sekolah dapat berperan sebagai model, memberikan feedback atas penampilan guru dan
siswa, serta membangun konsensus yang berguna untuk membangun sekolah yang
efektif.

Berdasarkan model itu, dapat dipahami bahwa sistem pembelajaran disekolah
lebih berkaitan dengan ketiga dimensi “classroom effectiveness” diatas, meskipun tidak
dapat dipisahkan dari suprasistemnya. Sistem pembelajaran disekolah “ujung-ujungnya”
juga prstasi siswa, dan untuk tercapainya hal itu perilaku guru dan siswa sebagai
komponen sistemnya, serta kualitas interaksi di antara mereka amat menentukan.
Model yang dikemukanan oleh Peter F Oliva (1992: 172) barang kali akan lebih
mempejelas mengenai posisi dan ruang lingkup sistem pemberlajaran di sekolah,
termasuk rincian komponenn dan hubungan fungsional antar komponen itu. Berbeda
dengan model yang pertama yang lebih menempatkan kedalam sistem “effective
schools” model oliva menempatkannya sebagai sub sistem “ the model for curriculum
development”. Model oliva adalah sebagai berikut :

Model

oliva

memuat

12

komponen

(the

twelve).

Model

tersebut

mengilustrasikan proses yang komprehensif, tahap demi tahap yang menuntun perncang
kurikulum dari sumber dibuatnya kurikulum heingga evaluasi. Pada dasarnya, model
tersebut mengintegrasikan sebuah model umum pengembangan kurikulum dengan mdel
umum pengajaran. Karenanya, model tersebut sebenarnya terdiri daridua bagian, yaitu “
the curriculum submodel”, dan “ the insructional submodel”. Berkaitan dengan maksud
tulisan ini, yaitu memahami posisi dan lingkup sistem pemberlajaran, tampak lebih
berkaitan dengan bagian kedua.
Bila bagan oliva diatas dicermati, dapat dikatakan bahwa model pengajaran
merupakan satu kesatuan dengan model kurikulum. Model pengajaran adalah
implementasi dan kurikulum. Adapun komponen- komponen dari model pengajaran
adalah (1) specifiaction of instructional goals, (2) specification of instructional
objective, (3) selection of strategies, (4) preliminary selection of evaluation techniques,
(5) implementations of strategies, (4b) final selection of evaluation techniques, dan (6)
evaluation of instruction. Menurut oliva, komponen 1 sampai dengan 4 (4b) termasuk “
planning phases” untuk model pengajaran. Sedangkan komponen 5 sampai dengan 6
merupakan “ operational phases” .
Berdasarkan uraian singkat terhadap model pengajaran tersebut, dapat dibahas
lebih lanjut kaitannya dengan model “ effective clssroom” sebagaiman sudah diuraikan
diatas. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa “ planning phases” dalam model oliva
dapat diletakkan ke dalam aspek perencanaan pada dimensi “ teacher behaviors”. Oleh
karena itu dapat disusun sebuah model sebagai berikut:

Model di atas mengungkapkan beberapa hal, antara lain: (a) bahwa sistem
pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan prestasi siswa, (b) bahwa untuk mencapai
tujuannya, pembelajaran disekolah membutuhkan interaksi guru dan siswa, (c) agar
kualitas interaksi guru dan siswa dapat tercipta dengan baik, maka guru perlu membuat
perencanaan pengajaran, (d) pelaksanaan perencanaan pengajaran diharapkan dapat
mencapai tujuan pengajaran. Sejauh mana pengajaran itu mencapai tujuannya, dapat
diketahui dengan melakukan evaluasi, (e) hasil evaluasi dapat menunjukkan tingkat
pencapaian siswa, dan itu menjadi feedback untuk memperbaiki proses pembelajaran,
(f) dalam melaksanakan pengajaran, guru harus menguasai dan mampu untuk mengelola
kelas, dan (g) pembelajaran disekolah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor luar.
Memahami Ragam dan Karakteristik Sistem Pembelajaran
Sesudah posisi dan lingkupnya diketahui, ada baiknya dipahami jug atentang
berbagai pendapat para ahli mengenai karakteristik sistem pembelajaran. Bloom
berpendapat bahwa dalam belajar faktor yang sangat penting adalah lingkungan dalam
kelas. Dalam kaitan dengan ini, tugas guru adalah mengelola lingkungan belajar anak,
bukan mengelola anak, sehingga tercipta lingkungan yang mendorong siswa aktif
belajar. Strategi pembelajaran dibuat untuk mengelola lingkungan belajar sehingga
dapat mempengaruhi lingkungan belajar siswa, dan lebih jauh akan mempengaruhi hasil
belajar siswa.
Sementara itu, menurut Gagne, pembelajaran dilakukan untuk menolong orang
belajar.. karenanya, dalam proses pembelajaran guru harus memperlakukan siswa
sebagai pribadi yang memiliki kedirian dan keunikannya sendiri. Guru harus
menghindari memperlakukan siswa secara semaunya sebagai objec yang tidak memiliki
kedirian. Ini berarti dalam proses pembelajaran guru harus menghargai anak sebagai
pribadi yang memiliki ide, sikap, kebutuhan, cita-cita dan kemampuan.
Sejalan dengan pemikiran di atas, buber dalam konsepnya mengenai pendidikan
lebih menekankan adanya perjumpaan (contact) antara guru dan siswa, yaitu
perjumpaan guru dan siswa sebagai totalitas manusia, sebab menurut dia, esensi dari
pembelajaran ialah adanya kontak antara guru dan siswa. Dia bilang : “Good teacher” ..
must be really existing man and he must be really present to his pupils, he educates
through contact. Contact is the primary word of education.”
Guru hanya dapat mendidik murid jika dapat membangun kerhja sama nyata
antara dirinya dengan siswa. Kerjasama semacam ini dapat terwujud hanya jika murid

mempercayai guru dan mereka mengetahui bahwa keberadaan guru betul-betul untuk
mereka. Ini berarti bahwa dalam pembelajaran Buber tidak menekankan teknik atau
metode tetapi lebih menekankan hubungan kerjasama yang saling mempercayai antara
guru dan siswa. Atau dapat dikatakan, bahwa strategi pembelajaran diartikan sebagai
proses menjalin hubungan kerjasama yang saling mempercayai antara guru dengan
siswa untuk mencari pengetahuan.
Sementara itu, Carl Rogers, kurang menyetujui untuk meletakkan peranan guru
sebagai pemeberi pengetahuan dan keterampilan siswa, teutama dalam masyarakat yang
modern. Menurutnya dalam masyarakat yang cepat berubah yang lebih penting dalam
belajar bagimana belajar ( learn how to learn). Peranan guru bukan pemberi
pengetahuan dan keterampilan, tetapi memberi kemudahan ( to faciliate) aktivitas
belajar anak. Rogers menekankan tujuan pembelajaran adalah proses mencari
pengetahuan sebagimana dia memandang pendidikan sebagai proses menjadi ( process
of becoming) pribadi. Pembelajarean yang sebenarnya adalahproses yang dapat
menumbuhkan anak menjadiself-directed (mengarahkan diri sendiri) dalam mencari dan
menemukan pengetahuan. Pembelajaran yang menekankan pemberian pengetahuan dari
guru kepada siswa akan mematikan potensi kreatif siswa, dan mematikan kemampuan
mereka untuk menjadi self-directed persong (pribadi yang mengarahkan diri sendiri).
Dalam strategi pembelajaran Rogers lebih menekankan faktor sikap yang
dimunculkan guru dalam hubungan personalnya dengan siwa, bukan kepada faktor
teknik atau metode. Faktor sikap ini menjadi kunci dalam strategi pembelajaran.
Terdapat tiga sikap dasar yang dapat mendorong belajaraa, yaitu, (1)

keaslian

(realness), (2) menghargai, menerima, mempercayai, dan (3) pengertian yang empatik
(emphatic understanding). Yang pertama adalah sikap paling dasar esensia. Jika guru
datang dalam hubungan dengan siswa dengan keaslian, tanpa tutup muka (berpura-pura)
dia akan lebih efektif. Ini berarti bahwa dia datang dalam pertemuan dengan siswa
dengan basis hubungan personal.
Kedua, guru menghargai siswa baik perasaanya, pendapatnya, dan juga dirinya.
Ini merupakan penerimaan individu lain sebagai person lain yang memiliki kebaikan
untuk dirinya sendiri. Ketiga, bersikap empatik dalam arti “ anak dimengerti dengan
tidak dinilai, siswa dimengerti dari sudut pandang siswa sendiri, bukan sudut pandang
guru. Iklim belajar yang ditimbulkan oleh hubungan guru dan murid semaacam itu
adnya keterbukaan dalam aktivitas belajar.

Jadi,

Carl

Rogers

menganjurkan

suatu

strategi

pembelajaran

yang

mengembangkan iklim beljar yang menjamin rasa aman dan kepercayaan pada siswa
untuk melakukan aktivitas belajar yang diorganisir oleh anak sendiri (self directed
learning). Dengan penekanan peranan guru sebagai fasilitator. Dengan strategi
pembelajaran semacam itu diharapkan anak akan berkembang menjadi orang yangdapat
mengarahkan diri sendiri dalam aktivitas kehidupannya dan dapat mencapai secara
optimal kapasitas dirinya (the fully functioning person).
Strategi pembelajaran semacam itu memiliki kesamaan dengan teori Maslow.
Kesamaanya adalah menjamin iklim belajar yang aman bagi anak untuk mencapai
aktualisasi dirinya atau perluasan dirinya. Ini tentu saja berbeda dengan strategi
pembelajaran konvensional yang cenderung menekankan peranan guru yang secara
otoritatif memebri pengetahuan yang dipilihnya pada siswa.
Lain lagi pendpat Paulo Freire. Mereka menentang praktik pendidikan yang
menindas.

Konsep

pendidikan

“banking”

(konvensional)

dikatakan

telah

menjerumuskan siswa dalam posisi sebagai penerima pasif, seolah-olah sebagai tempat
menyimpan barang. Hanya guru yang memerankan peranan aktif, yang mengisi dan
memberi pengetahuan kepada siswa. Dalam sistem semacam itu, dapat dikatakan tidak
terjadi komunikasi antara guu dan siswa. Yang terjadi adalah perintah dimana murid
sebagai penerima dimana murid harus sabar menerima, mengingat dan mengulang
kembali apa yang diberikan oleh pemberi. Pengetahuan dipandang sebagai pemberian,
yang diberikan oleh mereka yang memandang dirinya memiliki banyak pengetahuan
kepada mereka yang dianggap tidak tahu. Konsep semacam itu menurut dia
mengandung konsep penindasan sebab mengingkari pengetahuan sebagai proses
pencarian dan penemuan yang dilakukan oleh siswa. Guru didalam kehadirannya
dihadapan siswa menampilkan keberadaan dirinya sendiri, dan mendorong siswa untuk
menjadi penerima keberadaan guru saja. Oleh karena itu, siswa menjadi terasing dengan
dirinya sendiri, sebab, mereka harus menyesuaikan dirinya dengan guru.
Untuk mengembangkan derajat kemanusiaan maka pendidikan harus bersifat
membebaskan. Dalam konsep ini anak dipandang sebagai pencari pengetahuan, dan
belajar merupakan aktifitas kognisi bukan proses pemindahan pengetahuan. Aktivitas
kognisi adalah aktifitas mencari dan menemukan yang dilakukan oleh siswa bersama
dengan guru. Oleh kareana itu pengetahuan hanya dapat diperoleh dari proses mencari
dan menemukan secara bersama, maka hubungan guru dan siswa harus merupakan
proses dialog.

Sementara itu, Pestalozzi mengharapkan sekolah menjadi tempat diman aminat
dan energi anak harus didorong, bukan sebaliknya dimatikan. Guru, karena itu harus
menghindarai memaksakan sikap dan idenya pada siswa tetapi harus mendorong sikap
dan ide siswa. Ini berarti bahwa sekolah harus menjadi tempat persemaian dan
perkembangan pertumbuhan anak dari dalam, atau bukan pembatasan dari luar, tetapi
perluasan darai dalam.
Dari berbagai pendapat para ahli di atas, tampak ada persamaan dan perbedaan,
meskipun hanya tekananya. Namun sebenarnya, secara kualitatif strategi pembelajaran
yang digunakan guru bergerak dari cara-cara konvensional dengan iklim belajar
otoritatif dan tertutup menuju strategi pengajaran dengan iklim belajar yang demokratik
dan terbuka dipandang lebih baik daripada strategi pengajaran dengan iklim otoritatif
tertutup.
Selanjutnya, Gary D Borich (1996:507), menyatakan bahwa pendekatan
manajemen kelas dapat dikelompokkan kedalam tiga tradisi. Tradisi pertama adalah “
humanist tradition” tradisi ini menekankan pada peran komunikasi yang kritis dan
pemecahan masalah antara guru dan siswa. Kedua, tradisi “ applied behavior analysys”.
Pendekatan 9ini menekankan teknik-teknik modifikasi perilaku teori dan penguiatan
yang dipraktikkan di dalam kelas. Sedangkan tradisi yang ketida disebut “ classroom
management tradition”. Tradisi ini menekankan pada berbagai keterampian pengajaran,
termasuk didalamnya mengorganisir dan mengelola berbagai aktifitas pengajaran dan
dalam menyampaiakan materi. Menurutnya, ketiga tradisi tesebut dapat dikombinasikan
menjadi pendekatan yang dinamakan

an integrated approach to classroom

management”. Dia mengidentifikasi ada 6 kriteria rencana managemen kelas yang
efektif yaitu:
1. Estabilsh positive relationship among all classrooms participants;
2. Prevent attention seeking and work avoidance behavior;
3. Quickly and unobtrusively redirect misbehavior once it occur;
4. Stop presistent and chronic misbehavior with strategies that are simple enough to
be used consistenly;
5. Teach self control
6. Respec cultural diferences.
Sedangkan James Levin dan James F Nolan (1996:89) mengemukakan tiga
management kelas ( theories of classroom management), yang dalam bentuk rangkuman
tampak dalam tabel sebagai berikut:

No
1

Primary Responsibility for

Nonintervionist

interactionalis

interventionis

student

Student and

Teacher

control
2

3

teacher

Development of rules

Primary focus

Student with

Teacher with some

Teacher

teacher guidance

student input

Major focus on

Initialfocus on

Majo focus on

inner fellings and

behavior,

behavior

thought

secondary focus
onfelling and
thoughts

4

Importance of individual

Major emphasis

Moderate

Minor

emphasis

empasis

Allow time for

Allow some time

Teacher move

student to control

for studen to

quicly to

own behavior

control own

redirect

behavior but

behavior

differences
5

Time until intervention

protect group
6

7

Types of intervention used

Most

compatible

power

Non verbal

Coping skills,

Rewards,

moves, private

consequences,

punnishments,

conferences,

goup meetings,

token

communication,

annecdotcal

economy,

skill, message

records

contracting

Referent, expert

Expert, legitimate

Reward/

bases
8

proponents

coercive
Gordon, ginott,
beme, harris

Dreikurs, glasser

Canter,
dobson a
xelrod

Manajemen sistem pembelajaran di sekolah
Dari segi urutan fungsi- fungsi managemen, sistem pembelajarannya disekolah
berlangsung menurut tahapan sebagai berikut:
1. Perencanaan Pengajaran
Perencanaan pengajaran (planning for instuction) menunjuk kepada keputusankeputusan yang dibuat tentang pengorganisasian, implentasi dan evaluasi pengajaran (
Paul R Burden dan David M Byrd, 1991:19). Tujuannya adalah “ to ensure studen
learning”. Perencanaan, oleh karena itu, dapat menolong menciptakan, menyusun dan
mengorganisasikan peristiwa-peristiwa pengajaran sehinggan memungkinkan proses

belajar mengajar dapat terjadi. Disamping itu, perencanaan juga menolong dalam
menyusun aliran dan urutan kegiatan pengajaran serta dalam mengelola waktu secara
tepat.
Apa yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan perencanaan? Ketika membuat
perencanaan perlu dipertimabngkan misalnya, siapa mengerjakan apa, kapan dan dalam
pengajran yang bagaimana akan terjadi, dimana akan terjadi, berapa jumlahy waktu
yang digunakan dan sumber serta materi yang digunakan. Keputusan perencanaan juga
berkaitan dengan is- isi, seperti isi pengajaran, strategi pengajaran,perilaku
menyampaikan pengajran, media pengajaran, manajemen kelas, iklim kelas dan evaluasi
siwa.
Pada tingkat yang lebih umum, perencanaan pengajaran disekola tidak hanya
dilakukan oleh guru, dalam pbentuk pembuatan perancangan pengajaran. Sebelum guru
membuat rencana pengajaran, sudah ada perencanaan. Hal-hal yang sudah harus
direncanakan sebelumnya adalah:
1. Menjabarkan GBPP menjadi Analisis Mata Pelajaran ( AMP) yang paling pokok
dalam tahap ini adalah mengkaji mana pokok bahasan/ sub pokok bahasan yang
esesnsial atau yang biasanya sukar oleh siswa. Pokok bahasab semacam itu
diprioritaskan untuk dibahas secara tatap muka di kelas/ laboratorium. Pokok
bahasan yang kurang esensial atau mudah dipahami oleh siswa dapat dijadikan
tugas/ pekerjaan rumah.
2. Berdasarkan Kalender Pndidikan dari Depdiknas, sekolah harus menghitung hari
kerja efektif dan jam pelajaran efektif untuk setiap mata pelajaran,
memperhitungkan hari libur, hari untuk ulangan dan hari-hari tidak efektif.
Disamping itu, setiap warga sekolah semestinya memahami dan menghayati
benar- benar tujuan institusionalnya dan standar kompetensi yang diharapkan
dicapai oelh setiap jenjang sekolah, dan ketentuan- ketentuan lain. Yang dapat
dibaca dalam standar pelayanan minimal yang dikeluarkan oleh Depdiknas.
3. Menyusun progam tahunan (Prota). Dalam mengisi prota yang penting adalah
membandingkan jumlah jam efektif dengan alokasi waktu tatap muka dalam
format AMP. Jika ternyata jam efektiflebih sedikit dibandingkan alokasi waktu
tatap muka, maka harus dirancang tambahan jam pelajaran atau pokok bahasan/
sub pokok bahasan yang dijadikan tugas/ pekerjaan rumah. Dengan demikian
sejak awal telah diketahui akan adanya jam pelajaran tambahan atau pokok
bahasan esensial, tetapi diberikan sebagai tugas/ pekerjaan rumah. Dalam hal- hal

khusus, yang dilematis, pihak sekolah dapat meminta pertyimbangan, pendapat
dari pihak orang tua siswa.
4. Menyusun program catur wulan (Proca). Sebenarnya proca tidak jauh berbeda
dengan prota. Yang pokok untuk diperhatikan, pada proca sudah harus semakin
jelas bagaiman pokok bahasan dalam satu cawu diselesaikan, termasuk kapan akan
diajarkan, baik melalui kegiatan tatap muka maupun tugas pekerjaan rumah.
5. Program Satuan Pelajaran ( PSP). Dalam menyusun PSP guru sudah harus
memasukkan secara jelas kegiatan untuk setiap sub pokok bahasan, termasuk
bagaimana tes formatif dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan
pembelajaran.
6. Rencana Pengajaran (RPP). RP merupakan rincian PSP untuk satu kali tatp muka.
Yang penting pada RP harus terdapat catatan kemajuan siswa setelah mengikuti
pelajran. Catatan itu yang dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan RP
berikutnya.
Mengingat pentingnya AMP, Prota, Proca, PSP dan RP sebagai panduan guru
melaksanakan kegiatan belajar mengajar, maka kepala sekolah perlu memberikan
perhatian, bantuan dan penyusunanya termasuk memeriksa hasilnya. Jadi kepala
sekolah bukan sekedar menanda tangani apa yang telah disusun oleh guru tetapi juga
meemantau sejak proses penyusunan, membetulkan yang keliru dan memberi bantuan
jika guru mengalami kesulitan. Bila keadaan membutuhkan, dapat saja pihak sekolah
minta bantuan tenaga ahli dari masyarakat atau perguruan tinggi tempat sekolah berada
untuk memberikan penyegaran dan tambahan penyegaran dan tambahan pemahaman
menyangkut prinsip- prinsip dasarnya dan pembuatannya. Dengan cara itu diharapkan
akan dihasilkan, AMP, Prota, Proca, PSP dan RP yang benar- benar merupakan
panduan pelaksanaan pembelajaran. Penyusunan AMP sampai dengan RP tidak harus
dikerjakan seorang dirin oleh guru. Sebaiknya disusun bersama oleh beberapa orang
guru bidang studi sejenis dalam MGMP.
2. Pengorganisasian dan Koordinasi
Fungsi pengorganisasian berkenaan dengan penentuan siapa mengerjakan apa.
Pada tahap ini, kepala sekolah mengatur pembagian tugas mengajar, menyusun jadwal
pelajaran dan jadwal kegiatan-kegiatan lainnya.
1. Pembagian tugas mengajar dan tugas tugas lain perlu dilakukan secara merata.
Sesuai dengan bidang keahlian dan minat guru. Diupayakan setiap guru
memperoleh jam tugas sesuai dengan beban tugas minimal. Pemerataan beban

tugas akan menumbuhkan rasa kebersamaan. Pemberian tugas yang sesuai dengan
keahlian dan minat akan meningkatkan motivasi kerja guru. Memperoleh tugas
sesuai dengan beban minimal akan membuat guru merasaaman dan dapat naik
pangkat tepat waktu.
2. Penyusunan jadwal pelajaran diupayakan agar guru mengajar maksimal

hari/

minggu, sehingga ada hari tidak mengajar untuk pertemuan MGMP. Setiap ari
sebaiknya guru tidak mengajar lebih dari 6 jam Pelajaran, sehingga ada waktu
istirahat.
3. Penyusunan jadwal kegiatan perbaikan dan pengayaan. Secara normal setiap mata
pelajaran akan memerlukan kegiatan perbaikan bagi siswa yang belum tuntas
penguasaanya terhadap bahan ajar. Oleh karena itu, ketika menyusun jadwal
pelajaran sudah aharus dialokasikan waktu kegiatan perbaikan bagi siswa yang
belum tuntas dan pengayaan bagi yang sudah tuntas.
4. Penyusunan jadwal kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler perlu
difokuskan untuk mendukung kegiatan kurikuler dan kegiatan lain yang mengarah,
pada pembentukan keimanan/ ketaqwaa, kepribadian, dan kepemimpinan dengan
keterampilan tertentu. Setiap awal cawu kegiatan ekstrakurikuler sudah harus
disusun bersamaan dengan penyusunan jadwal pelajaran. Dalampengaturan jadwal
kegiatan ekstrakurikuler itu, orang tua siswa dapat dimintai saranya.
3. Pelaksanaan
Pada tahap ini, guru melaksanakan pembelajaran dikelas sesuai dengan beban
tugas yang diberikan dan dalam waktu dan ruang yang sudah dijadwalkan. Pada
kesempatan ini, guru melaksanakan rencana pengajaran yang sudah dibuat. Dalam
pelaksanaanya, guru harus menyesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa,
menggunakan strategi pengajaran yang demokratik dan terbuka, mempraktikkan
prinsip-prinsip manajemen kelas, serta berusaha agar siswa belajar secara efektif,
dengan perasaan gembira, sehingga pengajaran tersebut efektif. Dalama hal itu, bukubuku seperti “ active learning”, “ Quantum teaching” “ Quantum Learning” yang kini
tengah populer, layak dibaca oleh guru.
Tugas kepala sekolah pada tahap ini adalah melakukan supervisi, dengan tujuan
untuk membantu guru menemukan dan mengatasi kesulitan yang dihadapi. Dengan cara
itu guru akan merasa didampingi pimpinan, sehingga akan meningkatkan semagat
kerjanya. Bilamana perlu, misalnya membutuhkan tenaga yang terampil dan ahli,
sekolah daat melibatkan masyarakat.

4. Pengendalian
Pada tahap ini, paling tidak ada dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu (1) jenis
evaluasi dikaitkan dengan tujuannya, (2) pemanfaatan hasil evaluasi.
1. Kepala sekolah perlu mengingatkan guru bahwa evaluasi memiliki tujuan ganda,
yaitu untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran khusus (TPK) dan
mengetahui kesulitan siswa. Untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran
guru dapat menggunakan berbagai alat penilaian yang sesuai, sedangkan untuk
mengetahui kesulitan siswa mengunakan tes diagnostik.
2. Hasil evaluasi harus benar- benar dimanfaatkan guru untuk memperbaiki kegiatan
pembelajaran. Untuk itu kepala sekolah harus selalu mengingatkan guru. Jika
siswabelum menguasai bahan ajar yang esensial perlu dilakukan perbaikan. Siswa
yang mengalami kesulitan perlu dicarikan jalan. Misalnya dibentuk kelompok
belajar. Perlu juga dicaoba model pembelajaran koperatif, sehingga siswa yang
kurang pandai terbantu oleh yang lebih pandai.
Mengingat pentingya evaluasi ini, maka perlu dirancang sejak awal. Untuk itu
kepala sekolah perlu mengarahkan guru menyusun kisi-kisi evaluasi., menyusun butir
soal, dan kemudian menelaah ( memvalidasi), sampai dihasilkan perangkat soal yang
baik, serta cara pensjkorannya. Penyusunan soal semacam itu sebaiknya tidak dilakukan
oleh guru sendiri- sendiri tetapi dilakukan oleh beberapa guru bidang studi sejenis atau
MGMP, mengarah pada soal standar.
DAFTAR PUSTAKA

Alice G, Marry, (1990). Instucyion A Models Approach : Allyn and Bacon
Basis. (2001) Sekolah atau Penjara edisi Paulo Freire. Yogyakarta : Kanisius
Borich, Gary D. ( 1996) Effective Teaching Methods. United States of Amerika :
Pretince – Hall, Inc.
Bullock, Alison And Thomas, Hywel. ( 1997). Schools at the centre? London and New
York : Routledge
Burden, Paul dan Byrd, David. 1994. Metodhs for Effective Teaching. Boston : Allyn
and Bacon
Depdikbud. (1999). Panduan Manajeemen Sekolah. Jakarta
Depdiknas (2000). Standara Pelayanan Minimal (SPM) TK, SD, SLTP, SMU, SMK, dan
PLB. Jakarta

De Porter, Bobi. ( 2001) QuantumTeaching. Mempraktikan Quantum Learning di ruang
kelas. Bandung : Kaifa
Jones, Vernon F. Jones , Luise S. (1998) Comprehensive Classroom Management.
Boston : Allyn and Bacon
Levin, James dan Nolan, James (1991). Principles of Classrom Managemen. Boston :
Allyn and Bacon
Oliva, Peter F (1992). Developing The Curriculum. New York: Harper Collins
Publisher
Silberman, Mel (2001) Active Learning.101 Strategies to teach any subject
(terjemahan). Yogyakarta: YAPPENDIS
Soenarya, Endang (2000). Pengantar teori Perencanaan Pendidikan. Yogyakarta: Adi
Cita
Squires, David dan Huitt, William G.(2001). Effective Schools and Classroms. A
Reseach- Based Persective. Virginia: Association for Supervision and Curriculum
development.
Surakhmad, Winarno. (2000). Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah dalam rangka
Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat. Kanwil Depdiknas.
Wahjosumidjo.(2001). Kepemimpinan Kepala Sekolah.Jakarta: Rajawali Pers

Dokumen yang terkait