M01167

Forgiveness dan Kesehatan 1

FORGIVENESS DAN KESEHATAN: FORGIVENESS SEBAGAI
STRATEGI KOPING UNTUK PROMOSI KESEHATAN DAN
REDUKSI RESIKO-RESIKO KESEHATAN

ALOYSIUS SOESILO

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA

Dipresentasikan dalam Seminar/Diskusi Ilmiah Psikologi Kesehatan
“SPIRITUALITAS (DAN) PSIKOLOGI KESEHATAN”
Fakultas Psikologi – Universitas Katolik Soegijapranata
Juni 2013
Semarang

Forgiveness dan Kesehatan 2

ABSTRAK

Forgiveness is a multidimensional construct that is important not only in a religious
or spiritual context, but also in the human everyday life experience. Forgiveness
involves prosocial motivation and change in an interpersonal relationship in which
a transgression or offense by one person against the other has occurred.
Psychological study of forgiveness and its role and function in human
relationships has been given increasingly significant amount of empirical attention
in the past two decades. This article presents a selective sample of research
findings concerning the link between forgiveness and psychology. These findings
are important to establish the beneficial relationship between forgiveness and
mental health as well as physiological variables and physical health. Physiological
mechanisms whereby forgiveness might affect health are also discussed. The
flourishing of theoretical and empirical evidence of the benefial connection
between forgiveness and health has expanded the opportunity for promoting
healthcare and for reducing health risks through forgiveness. Study of this kind is
one model that integrates health psychology and religiosity or spirituality
Keywords: forgiveness, unforgiveness, spirituality/religiosity, coping strategy,
health, well-being

Forgiveness dan Kesehatan 3


PENDAHULUAN

Di dalam relasi interpersonal dan sosial senantiasa terjadi kemungkinan
bahwa satu orang menjadi korban pelanggaran, apapun itu bentuknya, oleh pihak
yang lain. Berbagai strategi terhadap transgresi semacam ini telah dikembangkan
sepanjang sejarah manusia dalam budaya apapun. Dua strategi klasik yang
umumnya digunakan adalah menghindari (avoidance) atau mengambil jarak
terhadap transgesor, dan membalas dendam (revenge) atau mencari peluang
untuk menimbulkan kerugian pada transgresor. Namun, kedua cara ini
mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang negatif bagi individu individu yang
telibat, bagi relasi mereka, serta bahkan pada kelompok yang lebih luas
(McCullough, 2001).
Lalu apa alternatif lain kecuali menghindar dan membalas dendam? Dalam
kurun waktu lebih kurang dua puluh tahun terakhir ini, studi spikologis tentang
forgiveness telah memperhatian yang serius dan telah mengalami peningkatan
yang amat mencolok. Forgiveness sendiri merupakan konsep religius yang
bermuara dari kebanyakan agama atau keyakinan dan budaya, dan oleh karenya
merupakan topik yang penting dalam studi tentang psikologi agama atau
spiritualitas. Namun karena isu-isu seperti rasa bersalah, rekonsiliasi,
keselamatan, dan penebusan merupakan hal-hal yang umumnya didapati dalam

banyak agama dan budaya, maka isu-isu ini mempunyai sangkut-pautnya dengan
forgiveness dan perannya dalam kehidupan manusia.
Perkembangan riset tentang forgiveness menunjukkan bahwa forgiveness
memiliki fungsi-fungsi yang jauh lebih adaptif dalam relasi interpersonal dan sosial
daripada menghindar dan membalas dendam. Forgiveness paling tidak mereduksi
respons-respons negatif terhadap suatu pelanggaran; atau sebaliknya,
forgiveness memperbesar peluang berkembangnya respons positif dalam diri
seseorang dalam menghadapi transgresi yang dialaminya. Forgiveness tidak
selalu mengandaikan ganti rugi atau rekonsiliasi, namun forgiveness tetap
mengandaikan bahwa transgressor bertanggungjawab secara personal atas
perbuatannya. Dengan demikian dalam forgiveness terdapat komponen-

Forgiveness dan Kesehatan 4

komponen afektif, kognitif dan keperilakuan (behavioral) dan merupakan
mekanisme atau strategi koping yang tidak lepas dari motivasi dan volisi.
Artikel ini merupakan reviu literatur dari sejumlah penelitian tentang
hubungan antara forgiveness dan kesehatan. Apa yang dipresentasikan di sini
tidak dimaksudkan sebagai reviu yang komprehensif dan intensif. Keterbatasan ini
bisa dimengerti oleh karena tersedianya begitu banyak hasil penelitian yang

berkembang selama lebih satu dekade ini. Apa yang dipresentasikan dalam
artikel ini hanyalah representasi selektif yang berguna untuk memberikan
gambaran mengenai hasil-hasil riset tentang hubungan forgiveness dan
kesehatan. Artikel ini dibagi dalam tiga bagian pokok. Bagian pertama membahas
lebih jauh pengertian forgiveness serta berbagai aspek dan determinannya.
Bagian kedua memuat sejumlah hasil riset mengenai forgiveness dan berbagai
faktor atau resiko kesehatan. Kalau riset telah menunjukkan relasi yang kuat
antara forgiveness dan kesehatan, pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya
forgiveness berpengaruh atas kesehatan? Bahasan mengenai mekanisme ini
adalah bagian ketiga.
FORGIVENESS: DEFINISI, ASPEK, DAN DETERMINAN
Definisi Forgiveness
Forgiveness merupakan suatu konstruk multidimensional yang dibangun
oleh kontribusi dari berbagai disiplin, termasuk psikologi, teologi, filosofi, sosiologi
dan antropologi. Dalam psikologi sendiri, berbagai cabangnya (klinis,
perkembangan, sosial, dan kepribadian) juga ikut mengembangkan studi tentang
forgiveness (McCullough, Pargament, & Thorensen, 2000). Oleh karena itu wajar
bila tidak ada definisi tunggal tentang forgiveness. Keragaman pengertian tentang
forgiveness tidak mengenyampingkan konsensus di kalangan para peneliti dan
teorisi, yakni bahwa forgivenss harus dibedakan dari pardoning (yang merupakan

istilah hukum), condoning (mengandung unsur justifikasi bagi pelanggaran),
excusing (pelanggar dianggap memiliki alasan yang bisa diterima dalam
perbuatannya), forgetting (ingatan tentang pelanggaran melemah atau tidak lagi
dalam kesadaran), dan denying (ketidak-sediaan untuk memahami kerugian yang

Forgiveness dan Kesehatan 5

ditanggung oleh orang lain sebagai akibat perbuatan pelaku) (Lihat Enright &
Coyle, 1998).
Enright dan Coyle sendiri medefinisikan forgiveness sebagai kesediaan
untuk melepaskan hak sendiri untuk menunjukkan kebencian, penghakiman
negatif, dan perilaku tidak peduli terhadap seseorang yang tidak seharusnya
merugikan kita, dan bersamaan dengan ini mengembangkan kualitas belarasa,
kedermawanan, dan bahkan kasih terhadap pelaku kendati dia sebenarnya tidak
berhak menerima kualitas.
Sedangkan bagi Wade, Worthington dan Meyer (2005), forgiveness yang sejati
dan tepat mencakup kesanggupan untuk memandang transgresor secara realistik
dan inklusif dengan mengakui sisi-sisi baik dan buruk orang tersebut. Perasaanperasaan positf seperti belarasa dan empati dipercaya sebagai kritikal dalam
forgiveness. Selain itu, kemampuan untuk mengampuni mempersyaratkan ego
strength dan sense of self yang cukup kokoh.

Sebuah model yang membedakan forgiveness dan unforgiveness
dikemukakan oleh Worhtington dan Wade (1999). Forgiveness merupakan
sebuah proses yang diyakini difasilitasi oleh empati yang membawa pada pilihan
untuk menanggalkan unforgiveness dan mengupayakan rekonsiliasi dengan
pelanggar. Sedangkan unforgiveness dipandang sebagai emosi “dingin” (cold)
yang dicirikan oleh rasa tidak senang (resentment), kepahitan, dan barangkali
juga kebencian, disertaikan dengan motivasi untuk menghindar atau membalas
dendam terhadap transgresor. Jadi, unforgiveness sebenarnya merupakan
kombinasi yang cukup kompleks dari emosi-emosi negatif yang tertahan/tertunda
terhadap seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau transgresi. Bila
diungkapkan secara segera, emosi-emosi negatif ini berupa kemarahan,
ketakutan, atau keduanya (Worthington & Scherer, 2004). Worhtington dan kawan
kawan berpendapat bahwa bila seseorang mengampuni, maka emosi-emosi
positif yang berdasar pada kasih (misalnya empati, belarasa, simpati, afeksi, cinta
altruistik) menggantikan emosi-emosi negatif yang sebelumnya dialami dalam
kaitannya dengan transgesor dan perbuatannya.
Worthington (2003) membedakan dua jenis forgiveness , yakni decisional
forgiveness dan emotional forgiveness. Decisional forgiveness merupakan
pernyataan yang muncul dari intensi behavioral yang diupayakan oleh individu


Forgiveness dan Kesehatan 6

untuk berperilaku terhadap transgressor seperti dia berperilaku sebelum
transgresi terjadi. Dengan kata lain, inidividu ini bermaksud untuk membebaskan
hutang si transgressor, yakni balasan/hukuman yang seharusnya dia terima
sebagai konsekuensi dari pelanggarannya. Walaupun individu mampu melakukan
tindakan pengampunan jenis ini, namun secara emosional dia masih merasa
sakit, dan secara kognitif terlibat dalam bersungut-sungut dan gerutuan
(ruminasi), ataupun tergerak (motivasional) untuk menghindar atau melakukan
pembalasan. Ruminasi sendiri telah ditunjukkan dalam riset dan kajian klinis
berhubungan dengan rasa marah, cemas dan depresif. Individu yang melakukan
ruminasi akan berpeluang besar terlibat dalam unforgiveness. Dengan demikian,
decisional forgiveness yang lebih bersifat behavioral, dibedakan dari emotional
forgiveness yang berakar pada emosi. Dalam kontekks ini, forgiveness dapat
dipahami sebagai jukstaposisi emosi positif yang berkiblat pada orang lain
(positive other-oriented) terhadap unforgiveness yang negatif, yang pada
gilirannya akan menetralkan atau menggantikan semua atau sebagian emosiemosi negatif dengan emosi-emosi positif.
Dalam literatur tentang koping, pada umumnya dikenal dua jenis strategi
yakni problem-focused dan emotion-focused. Tidak ada bukti yang menunjukkan
bahwa satu strategi lebih unggul daripada yang lain, lepas dari konteksnya.

Dalam situasi di mana tindakan langsung dimungkinkan, maka problem-focused
coping sering dinilai lebih unggul. Namun, apabila tindakan langsung ini amat sulit
terjadi, emotion-focused lebih efektif. Forgiveness sebagai strategi koping dapat
membantu individu untuk memodifikasi appraisal-nya tentang makna suatu
kondisi atau situasi. Tanpa mengingkari aspek ini, Worthington dan kawan-kawan
berpendapat bahwa forgiveness lebih merupakan upaya koping yang berfokus
pada emosi.
Kendati terdapat banyak variasi dalam mengartikan forgiveness, banyak
peneliti dan teorisi yang sepakat mengenai fitur inti dalam forgiveness: apabila
seseorang memaafkan , respons-responsnya (dalam pikiran, perasaan, kehendak
untuk berbuat, dan tindakan nyata) terhadap pihak yang melanggar atau
merugikan dia menjadi lebih positif atau kurang negatif. Pikiran, perasaan,
motivasi,dan pebuatan negatif yang timbul dan yang sedianya ditujukan pada
pelaku serangan/pelanggaran, lama kelamaan menjadi lebih prososial. Atas dasar

Forgiveness dan Kesehatan 7

ini, McCullough dkk (2000) mendefinisikan forgiveness sebagai intraindividual,
prosocial change toward a perceived transgressor that is situated within a specific
interpersonal context (hal. 9).


Aspek-Aspek dan Determinan Forgiveness
Disposisi untuk memaafkan berkorelasi dengan sejumlah variabel, seperti
personality traits, emosi, self-esteem, simptom-simptom psikologis,
agreeableness dan stabilitas emosional (dalam teori Big Five personality
taxonomy). Studi lainya juga menunjukkan relasi yang positif dengan religiositas
dan spiritualitas, empati, atribusi dan appraisal, serta ruminasi tentang transgresi
(McCullough, 2001). Beberapa variabel akan dibahas secara singkat .
Empati sering diartikan sebagai pengalaman vacarious mengenai kondisi
emosional orang lain. Empati bersama perspective-taking memfasilitasi banyak
kualitas prososial seperti kesediaan untuk menolong dan memaafkan. Empati
membantu menjelaskan mengapa berbagai variabel sosial-psikologis
berpengaruh atas forgiveness. Misalnya, efek permohonan maaf oleh transgresor
atas kesediaan korban untuk memaafkan hampir sepenuhnya dimediasi oleh efek
maaf tadi atas empati dari korban terhadap transgresor (McCullough, 200, 2001).
Bahkan McCullough berani menyatakan bahwa empati sebagai variabel
psikologis satu-satunya yang terbukti membantu orang melakukan forgiveness
terhadap transgresi dalam kondisi eksperimental.
Agreeableness adalah dimensi personalitas yang mencakup altruisme,
empati, care, dan generositas. Dimensi ini secara tipikal dinilai tinggi pada

deskriptor seperti “memaafkan” dan rendah pada deskriptor seperti “membalas
dendam.” Di samping itu, orang yang menunjukkan disposisi memaafkan
cenderung kurang eksploitatif dan lebih berempati terhadap orang lain.
Tanggungjawab moral yang tinggi dan tendensi yang besar untuk berbagi dengan
oran glain juga menjadi karakteristik yang sering dilaporkan.
Stabilitas emosional merupakan dimensi personalitas yang mencakup
vulnerabilitas yang rendah terhadap pengalaman-pengalaman emosi negatif.
Orang yang stabil secara emosional cenderung untuk tidak moody atau sensitif
berlebihan. Mereka memiliki skor yang lebih tinggi pada pengukuran-pengukuran

Forgiveness dan Kesehatan 8

disposisi forgiveness dibandingkan dengan subyek yang secara emosional kurang
stabil (McCullough, 2001).
Dimensi kepribadian lainnya yang berhubungan dengan disposisi
memaafkan adalah religiositas atau spiritualitas. Hasil sejumlah studi
menunjukkan bajwa orang yang memandand diri mereka sangat religius
cenderung menilai tinggi forgiveness dan melihat diri mereka sebagai lebih
memaafkankan dibandingkan dengan mereka yang memandang diri kuranng
religius/spiritual (McCullough & Worthington, 1999; McCullough, Bono, & Root,

2005)
Seberapa jauh seseorang memaafkan berkaita dengan seberapa jauh
korban melakukan atribusi dan appraisal mengenai transgresi dan transgresor.
Dalam konteks ini, seorang transgresor bisa dinilai sebagai orang yang bisa
disukai dan penjelasan mengenai transgresinya bisa diterima sebagai penjelasan
yang cukup memadai dan cukup jujur.
Faktor lainnya yang berkaitan dengan sebeberapa orang mau memaafkan
adalah seberapa jauh korban melakukan ruminasi dan supresi. Ruminasi sebagai
tendensi untuk mengalami pikiran, afek dan image intrusif mengenai kejadian
masa lampau nampaknya menjadi perintang untuk forgiveness. Ruminasi intrusif
dan upaya untuk melakukan supresi atas ruminasi ini berkorelasi dengan motivasi
menghindar dan membalas dendam. Studi longitudiianl mengindikasikan bahwa
seberapa jauh orang mampu mereduksi ruminasi merupakan prediktor yang baik
untuk seberapa besar kemajuan dalam memaafkan transgresor (McCullough,
2001).
DUKUNGAN EMPIRIK UNTUK HUBUNGAN ANTARA FORGIVENESS DAN
KESEHATAN
Dalam dua dekade terakhir ini perhatian telah banyak diberikan pada
forgiveness dan potensinya untuk meningkatkan relasi interpersonal dan personal
dan spiritual wellbeing (Enright & North, 1998; McCullough, Pargament, &
Thoressen, 2000; Webb, Toussant & Conway-Williams, 2005; Worthington, 2003,
2005). Forgiveness juga telah dikembangkan untuk kepentingan terapi (Elliot,
2011) misalnya, untuk berbagai populasi klinis, seperti incest survivors,

Forgiveness dan Kesehatan 9

substance abuse, dan konflik dan kekerasan dalam perkawinan, dan korban
agresi atau transgresi, dan kesehatan mental dan fisik pada umumnya (Cosgrove
& Konstam, 2008; Lyons, Deane & Kelley, 2010; Reed & Enright, 2006; Webb,
Tousaint, & Conway-Williams, 2012). Referensi yang diberikan dalam reviu ini
hanya sekedar menunjukkan sampel kecil dan dengan demikian tidak
menggambarkan begitu banyak publikasi hasil-hasil riset yang telah beredar
sejauh ini. Selanjutnya beberapa temuan riset akan dibahas secara singkat untuk
memberi sedikit terang mengenai evidensi empirik yang menyangkut hubungan
antara forgiveness dan kesehatan.
Forgiveness sebagai tujuan intervensi terapeutik dilakukan oleh Helb dan
Enright (1993) untuk sejumlah wnaita usia lanjut. Klien dibantu untuk mampu
memaafkan orang lain yang pernah menimbulkan luka perasaan yang cukup
brearti bagi klien. Partisipan riset lalu secara acam dibagi dalam kelompok
forgiveness (eksperimental) dan kelompok kontrol. Variabel-variabel bergantung
dalam studi ini adalah forgiveness, harga-diri (self-esteem), harapan, depresi, dan
anxietas. Setelah intervensi selama delapan minggu kelompok forgiveness
memperlihatkan secara signifikan profile forgiveness yang lebih tinggi pada
posttest, level self-esteem yang lebih tinggi, dan level anxietas dan depresi yang
lebih rendah ketimbang kelompok kontrol.
Variabel-variabel yang sama dengan studi di atas dilakukan oleh Freedman
dan Enright (1996) dengan incest survivors wanita. Partisipan berjumlah 12 orang
secara acak dibagi dalam kelompok eksperimental (menerima intervensi
forgiveness segera) dan kelompok kontrol yang menunggu giliran untuk intervensi
(waiting-list). Setiap partisipan bertemu dengan terapis seminggu sekali, untuk
periode rata-rate 14 bulan. Sesudah intervensi, kelompok eksperimental
menunjukkan perolehan forgiveness dan harapan yang lebih tinggi serta tingkat
anxietas dan depressi yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Pola perubahan yang mirip juga terjadi pada kelompok kontrol setelah mereka
mereka menyelesaikan program intervensi.
Hubungan lintas-seksional antara forgiveness, depressi, dan perilaku
suisidal dilakukan oleh Hirsch, Webb, dan Jeglic (2011) terhadap 158 mahasiswa
dengan keragaman lartarbelakang etnik yang mengalami simptom-simtom
depresif dari ringan hingga serius. Mereka mencoba memeriksa efek mediasi dari

Forgiveness dan Kesehatan 10

depresi terhadap forgiveness dan perilaku suisidal. Hasil studi ini memperlihatkan
bahwa level tinggi forgiveness terhadap diri sendiri berasosiasi dengan level lebih
rendah perilaku suisidal. Namun efek ini dijelaskkan dengan adanya simptomsimptom depresif, dengan demikian self-forgiveness yang lebih tinggi berasosiasi
dengan simptom-simptom depressif yang lebih sedikit, yang pada gilirannya
berasosiasi dengan berkurangnya prilaku suisidal. Dengan kata lain, hubungan
antar forgiveness terhadap orang lain dan perilaku suisidal diperkuatkan bila efek
depresi diperhitungkan. Sal;ah satu implikasi dari temuan ini adalah bahwa efek
tak langsung dari forgiveness terhadap simtptomsimptom depresif dapat menjadi
target yang tepat dalam upaya-upaya intervensi untuk prevensi bunuh diri.
Implikasi forgiveness untuk resolusi konflik dalam perkawinan diteliti
olehFincham, Beach dan Davila (2004). Dalam studi pertama, dari 53 pasangan
dalam usia perkawinan tiga tahun diidentifikasi dua dimensi forgiveness, yaitu
retaliasi dan benevolence. Motivasi balas dendam suami merupakan prediktor
yang signifikan untuk resolusi konflik yang buruk sebagaimana dilaporkan oleh
istri. Sedangkan motivasi benevolence pada istri memprediksikan resolusi konflik
yang lebih baik sebagaimana dilaporkan oleh suami. Studi kedua melibatkan lebih
banyak pasangan (96) dengan usia perkawinan yang lebih lama. Kali kedua ini,
ada dimensi lain ditambahkan, yaitu avoidance, selain retaliasi dan benevolence.
Benevolence pada pihak istri memprediksikan resolusi konflik yang lebih baik,
sedangkan avoidance oleh suami memprediksi resolusi konflik yang buruk.
Dengan demikian, forgiveness terbukti merupakan elemen signifikan dalam
trransaksi marital justru karena satu pasangan sering menyakiti yang lain ketika
forgiveness tidak dipraktikkan. Apabila retaliasi dan avoidance terjadi, hal ini
mudah merongrong upaya menuju pemecahan masalah yang konstruktif. Apabila
pasangan merasa dibenarkan untuk bertindak destruktif oleh karena kesalahan
partner yang dirasakan tak terampuni, hal ini akan berpegnaruhi negatif pada
upaya resolusi konflik.
Hampir semua riset mengenai forgiveness menunjukkan relasi resiprokal
antara forgiveness dengan hostilitas, kemarahan, anxietas, dan depresi. Maka
sejauh forgiveness secara aktif mereduksi atau memperpendek durasi emosi-

Forgiveness dan Kesehatan 11

emosi negatif, maka kita bisa mengatakan bahwa forgiveness berhubungan
dengan kesehatan yang lebih baik.

MEKANISME HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP KESEHATAN
Kalau forgiveness berpengaruh atas kesehatan, bagaimana sesungguhnya
hubungan ini dijelaskan dalam mekanisme fisiologis? Worthington dan Scherer
(2004) membedakan dua mekanisme, yaitu langsung dan tidak langsung.
Pembahasan mengenai kedua mekanisme ini didasarkan pada pandangan kedua
peneliti tersebut. Ada lima mekanisme langsung dengan mana forgiveness dapat
berfungsi sebagai strategi koping yang bisa memperbaiki kesehatan serta
bagaimana unforgiveness berpengaruh sebaliknya.
1. Forgiveness mereduksi hostilitas.
Hostilitas ditumbuhkan oleh unforgiveness yang kemudian memperbesar
terjadinya gangguan kardiovaskular serta resikp-resiko kesehatan lainnya.
Hostilitas sering disertai dengan kemarahan yang memperbesar stres.
Stres pada gilirannya mampu merusak dinding dalam arteri yang kemudian
menjadi tempat berkembangnya plak arterial dan bahkan mungkin
arterisklerosis. Kekakuan arterial yang terjadi dapat memperbesar resiko
bagi infark kardiak, hipertensi dan stroke. Forgiveness telah ditunjukkan
sebagai salah satu cara untuk memodulasi atau mereduksi rasa marah dan
hostilitas.
2. Forgiveness dapat mempengaruhi sistem imun pada level selular.
Kadar tertentu emosi negatif berkorelasi dengan dan dapat mengakibatkan
disregulasi dalam sistem imun. Dalam pengalaman stress atau infeksi,
sitokin akan disekresikan untuk memerangi infeksi dan menjadi respon
awal terhadap bahaya. Sitokin mengerahkan sel-sel imun menuju daerah
bahaya dan mengaktifkan mereka untuk perlawanan. Namun, bila kondisi
ini berlarut-larut, jumlah sitokin akan meningkat, dan selanjutnya kondisi ini

Forgiveness dan Kesehatan 12

justru menggangu sistem imun interselular.
3. Forgiveness dapat mempengaruhi sistem imun pada level endokrin.
pengaruh positif dari forgiveness atas kesehatan adalah kemampuannya
untuk memperkokoh sistem imun. Forgiveness dapat mereduksi reaktivitas
HPA dan dengan begitu mereduksi sekresi kortisol. Produksi berlebihan
kortisol terbukti berpengaruh buruk atas sistem imun dan kardiovaskular
serta pada fungsi kognitif dan otak. Jadi, sistem neuroendokrin dipengaruhi
oleh stress, yang juga berparuh atas sistem imun.
4. Forgiveness dapat mempengaruhi sistem imun melalui pelepasan antibodi.
Selama stress kronik, antibodi mengalami supresi. Ada hubungan antara
emosi negatif dengan supresi inhibisi secretory Immunoglobulin-A (sIg-A).
Kadar sIg-A berpengaruh atas fungsi sistem imun. Penggunaan
forgiveness sebagai strategi koping mampu mengembalikan level sIg-A
pada level awal (baseline).
5. Forgiveness dapat mempengaruhi proses sistem saraf pusat.
Pada level sistem syaraf pusat, ada tiga proses yang terpengaruh.
Pertama, dua sistem motivasional yang disebut Behavioral Inhibition
System (BIS) dan Behavioral Activation System (BAS). BIS bereaksi
terhadap stimuli yang berasosiasi dengan kejadian yang baru dan aversif,
dan mempersiapkan orgnaisme untuk memfokuskan atensi pada stimuli ini.
BIS melibatkan sistem septohipokampal, korteks prefrontal, dan jalur
monoaminergik yang menggerakkan hippokampus. Sedangkan BAS
berhubungan dengan emosi baik positif dan negatif. Kedua jenis emosi ini
dapat menstimulasi BAS karena kedua emosi ini merangsang dan
memotivasi organisme untuk menghadapi lingkingan. Oleh karena itu, BAS
bisa memanifestasikan kebahagiaan maupun agresi dan kemarahan.
Struktur neural yang terlibat dalam BAS mencakup basal ganglia, jalur
dopaminergik dari sistem limbik menju basal ganglia, thalamic nuclei yang
berhubungan dengan basal ganglia, korteks preforntal, serta area-area
motorik dan senso-motorik.

Forgiveness dan Kesehatan 13

Proses kedua berkaitan dengan struktur dan fungsi hipotalamus dan
amigdala yang tersangkut dengan forgiveness dan unforgiveness. Di dalam
hipotalamus terdapat banyak reseptor untuk testosteron dan seratonin, dan
hipothalamus sendiri terlibat dalam proses proses motivasional.
Testosteron cenderung tinggi dalam perilaku agresif, sedangkan seratonin
menurunkan agresi. Forgiveness sebagai strategi koping yang berfokus
pada emosi bisa menghambat testosteron dengan menstimulasi pelepasan
seratonin.
Proses yang terakhir adalah proses yang berhubungan dengan
tonalitas vagal sebagai mekanisme yang menghubungkan forgiveness dan
kesehatan. Syaraf vagus bertindak seperti pusat jaringan koneksi dalam
sistem saraf parasimpatetik. Tatkala suatu stressor dihadapi, tonalitas
vagal menurun dan penurunan ini memungkinkan terjadinya arousal secara
cepat. Tonalitas vagal ditunjukkan berhubungan dengan gangguan
kardiovaskular, expresi emosional dan regulasi emosi. Forgiveness dapat
meninggikan kembali tonalitas vagal.
Kelima mekanisme yang disjukan oleh Worthington dan Scherer di atas paralel
dengan model teoretikal yang sebeleumnya telah diajukan oleh peneliti lain
(McCullough, 2000; Thoressen, Harris, & Luskin, 2000; Seybold, Hill, Newmann,
& Chi, 2001). Bertolak dari premis bahwa forgiveness mereduksi hostilitas, para
peneliti ini mengajukan enam alur penghubung antara forgiveness dan kesehatan:
(a) menurunnya reaktivitas psikofisiologis, (b) berkurangnya stress interpersonal,
(c) berkurangnya frekuensi stress, (d) kelemahan konstitusional yang bertautan
dengan hostilitas dan kesehatan, (e) lebih banyak perilaku sehat, dan (f) faktorfaktor transenden atau religius.
Forgiveness juga mempengaruhi kesehatan dengan berbagai mekanisme
yang tidak langsung. Beberapa mekanisme tidak langsung dikemukan oleh
Worthington dan Scherer sebagai berikut:
1. Orang yang memaafkan mempunyai jaringan sosial yang lebih besar atau
jaringan yang lebih mendukung secara emosional. Kenyataan bahwa

Forgiveness dan Kesehatan 14

forgiveness dapat mempromosikan rekonsili menunjukkan bahwa orang
yang memaafkan dapat memperbaiki relasi lebih daripada bukan pemaaf.
Kuantitas dan kualitas jaringan dukungan sosial mempunyai hubungan
dengan kesehatan. Neuropeptida seperti oxytocin dan prolactin dipandang
sebagai neuropeptida yang berhubungan dengan relasi sosial. Kontak dan
kehangatan relasi menstimulasi oxytocin, sedangkkan prolactin
menghasilkan efek fisiologis karena interaksi positif.
2. Orang yang memaafkan mengalami hidup perkawinan yang ditandai
dengan stress yang kurang. Orang yang pemaaf cenderung mengalami
konflik perkawinan lebih sedikit dan lebih mempu menyelesaikan konflik
lebih baik daripada pasangan yang bukan pemaaf. Dengan begitu,
forgiveness bisa menjadi kekuatan yang menyetabilkan perkawinan.
3. Forgiveness barangkali berkaitan dengan personality traits yang pada
gilirannya berkaitan dengan kesehatan. Forgiveness, khususnya sebagai
suatu disposisi personalitas, cenderung cenderung bekerja bersama
dengan variabel-varieabel disposisional lainnya yang telah oleh hasil riset
ditunjukkan berhubungan dengan kesehatan. Variabel-variabel
disposisional ini mencakup agama, empati, ruminasi yang rendah, tingkat
neurotisisme yang rendah, dan agreeableness yang tinggi.
4. Forgiveness berhubungan dengan ketrampilan-ketrampilan relasional.
Orang yang mudah memaafkan cenderung memiliki (a) kemampuan dan
cara-cara koping yang lebih besar tatkala menghadapi stress yang disertai
emosi-emosi negatif, (b) strategi regulasi emosi yang lebih kokoh, (c)
kemungkingan lebih kecil untuk menyerang balik lawan, dan dengan begitu
memperkecil rasa bersalah dan malu, (d) kapasitas yang lebih rendah
untuk mempunyai komitmen dalam suatu relasi di mana telah terjadi
pengkhianatan, dan (e) lebih kecil kesediaan untuk berkorban untuk suatu
relasi.

Forgiveness dan Kesehatan 15

Pengungkapan lain mengneai pertalian antara forgiveness dan kesehatan
diajukan oleh Torenssen, Harris dan Luskin (2000), yakni: (a)
Menurunnya hostilitas, rasa marah dan menyalahkan (blaming) yang kronis, (b)
berkurangnya hyperarousal dan atau allostatic load yang berkepanjangan atau
kronis, (c) berpikiran optimistik, (d) efikasi-diri untuk mengambil tindakan yang
memperhitungkan kesehatan, (e) dukungan sosial, dan (f) kesadaran transenden.
Sedangkan lintasan penghubung tak langsung dari efek forgiveness atas
kesehatan juga dikemukakan oleh Lawler dkk.(2005), sebagai berikut: (a)
spiritualitas, (b) reduksi afekf negatif, (c) ketrampilan sosial, dan (d) reduksi
stress.
Kestabilan emosional pada umumnya merupakan karakteristik dalam
relasi. Dalam masing-masing mekanisme di atas, relasi orang yang memaafkan
cenderung lebih baik oleh karena adanya kestabilan emosional ini. Rangsangan
emosi negatif juga tidak dibiarkan lama berlarut-larut. Di samping itu, forgiveness
dapat menjadi semacam penanda (marker) bagi cara seseorang mengada di
dunia yang bisa mencerminkan religius/spritual well-being.Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa forgiveness sebagai suatu strategi koping memang
mempunyai dampak pada kesehatan.

Forgiveness dan Kesehatan 16

DAFTAR PUSTAKA
Cosgrove, L., & Konstam, V. (2008). Forgiveness and forgetting: Clinical
implications for mental health counselors. Journal of Mental Health
Counseling, 30, 1-13.
Enright, R.D. & Coyle, C.T. (1998). Researching the process model of
forgiveness within psychological interventions. Dalam Worthington
(Ed.), Dimensions of forgiveness (hal. 139-161). Radnor, PA:
Templeton Foundation Press.
Enright, R.D. & North, J. (1998). Exploring forgiveness. Madison, WI:
University of Wisconsin Press.
Fincham, F.D., Beach, S.R.H. & Davila, J. (2004). Forgiveness and conflict
resolution in marriage. Journal of Family Psychology, 18, 72-81.
Koenig, H.G., McCullough, M.E., & Larson, D.B. (2001). Handbook of
religion and health. New York, NY: Oxford University Press.
Lawler, K.A., Younger, J.W., Piferi, R.L., Jobe, R.L., Edmondson, K.A., &
Jones, W.H. (2005). The unique effects of forgiveness on health: An
exploration of pathways. Journal of Behavioral Medicine, 28, 157-167.
Macaskill, A. (2005). The treatment of forgiveness in counselling and
therapy. Counselling Psychology Review, 20, 26-33.
McCullough, M.E. (2000). Forgiveness as human strength: Theory,
measurement, and links to well-being. Journal of Social and Clinical
Psychology, 19, 43-55.
McCullough, M.E., & Worthington, E.L. (1999). Religion and forgiving
personality. Journal of Personality, 67, 1141-1164.
McCullough, M.E., Pargament, K.I., & Thorensen, C.E. (2000). The
psychology of forgiveness: History, conceptual issues, and overview.
Dalam McCullough, Pargament, & Thorensen (Eds.), Forgiveness:
Theory, research, and practice (hal. 1-14). New York: Guilford Press.
McCullough, M.E. (2001). Forgiveness: Who does it and how do they do it.
Current Directions in Psychological Science, 10, 194-197.
McCullough, M.E., Bono, G., & Root, L.M. (2005). Religion and forgiveness.
Dalam Paloutzian & Park (Eds.), Handbook of the psychology of
religion and spirituality (hal. 394-411). New York: Guilford Press.
Ransley, C., & Spy, T. (Eds.)(2004). Forgiveness and the healing process –
A central therapeutic concern. New York: Brunner-Routledge.
Reed, G.L. & Enright, R.D. Enright. The effects of forgiveness therapy on
depression, anxiety, and posttraumatic stress for women after
spousal emotional abuse. Journal of Consulting and Clinical
Psychology, 74, 920-929.
Seybold, K.S., Hill, P.C., Newmann, J.K., & Chi, D. (2001). Physiological
and psychological correlates of forgiveness. Journal of Psychology
and Chritianity, 20, 250-259.

Forgiveness dan Kesehatan 17

Thoressen, C.E., Harris, A.H.S., & Luskin, F. (2000). Forgiveness and
health: An unanswered question. Dalam McCullough, Pargament,
&Thorensen (Eds.), Forgiveness:Theory, research, and practice (hal.
254-280). New York: Guilford Press.
Waltman, M.A., Russell, D.C., Coyle, C.T., Enright, R.D., Holter, A.C., &
Swoboda, C.M. (2009). The effects of a forgiveness intervention on
patients with coronary artery disease. Psychology and Health, 24, 1127.
Van Lange, P.A.M., Rusbult, C.E., Drigotas, S.M., Arriage, V+X.B., Witcher,
B.S., & Cox, C.L. (1997). Willingness to sacrifice in close relationship.
Journal of Personality and Social Psychology, 72, 1373-1395.
Wade, N.G., Worthington, E.L., & Meyer, J.E. (2005). But do they work? A
meta-analysis of interventions to promote forgiveness.Dalam
Worthington (Ed.), Handbook of forgiveness (hal. 423-440).
New York: Brunner-Routledge.
Webb, J.R., Toussaint, L., & Conway-Williams, E. (2012). Forgiveness and
health: Psycho-spiritual integration and the promotion of better healthcare.
Journal of Health Care Chaplaincy, 18, 57-73.
Worthington, E.L. (2003). Forgiving dan reconciling: Bridges to wholeness
and hope. Downers Grove, IL: InterVarsity Press.
Worthington, EL. (2005).Handbook of forgiveness. New York: BrunnerRoutledge.
Worthington, E.L., & Wade, N.G. (1999). The psychology of unforgiveness
and forgiveness and implications for clinical practice. Journal of Social
and Clinical Psychology, 18, 385-418.
Worthington, E.L., & Scherer, M. (2004). Forgiveness is an emotion-focused
coping strategy that can reduce health risks and promote health resilience:
Theory, review, and hypotheses. Psychology and Health, 19, 385-405.
Worthington, E.L., Witvliet, C.V.O., Pietrini, P., & Miller, A.J. (2007).
Forgiveness,health, and well-being: A review of evidence for emotional
versus decisional forgiveness, dispositional forgiveness,
and reduced unforgiveness. Journal of Behavioral Medicine, 30, 291-302.

Dokumen yang terkait