index.php view=article&catid=49 artikel gender&id=103 kesetaraan pendidikan berbasis jender &format=&option=com content&Itemid=116.

Kesetaraan: Pendidikan Berbasis Jender

Ari Kristianawati
Biaya pendidikan yang setiap tahunnya semakin bertambah mahal semakin
membebani orangtua siswa. Akibatnya, bagi siswa dari keluarga miskin, sekolah
semakin menjadi impian.
Untuk menikmati fasilitasi pendidikan "berkualitas" semakin tidak memungkinkan.
Banyak anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin melanjutkan studinya di
sekolah yang kualitasnya di bawah standar. Yang penting, biaya terjangkau oleh
kocek pendapatan orangtua mereka.
Mahalnya biaya pendidikan di Indonesia disebabkan oleh arus komersialisasi
pendidikan. Pendidikan menjadi komoditas yang ditawarkan kepada siswa
(orangtua siswa) dengan berbagai variasi biaya.
Pendidikan berkategori "unggulan" biayanya tentu saja setinggi langit. Banyak
sekolah unggulan mematok biaya pendidikan mahal. Mulai dari sumbangan
pengembangan institusi yang besarnya jutaan rupiah, biaya seragam, biaya
kegiatan ekstrakurikuler, hingga buku teks wajib yang seharusnya tidak menjadi
beban orangtua siswa.
Dampak komersialisasi pendidikan lambat laun akan membuat diskriminasi hak
memperoleh fasilitasi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Padahal,
menikmati pendidikan yang berbiaya murah dan berkualitas adalah merupakan

bentuk perwujudan hak asasi manusia, hak sosial-ekonomi-budaya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Pemerintah (negara) ini yang telah mengikrarkan diri untuk berkomitmen pada
Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) memiliki tanggung jawab untuk
memfasilitasi upaya pencapaian pendidikan dasar bagi anak-anak usia sekolah.
Hak memperoleh fasilitasi pendidikan harus dijamin melalui subsidi negara secara
berkelanjutan melalui alokasi anggaran negara yang layak.
Sayangnya, filosofi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (UU Sisdiknas)
menjadikan pendidikan bukan lagi sepenuhnya tanggung jawab negara. Negara
seolah lepas tangan dalam membiayai pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan

1/3

Kesetaraan: Pendidikan Berbasis Jender

justru dilepas sebagai "kewajiban" masyarakat untuk ikut andil dalam pembiayaan
pendidikan.
Tidak mengherankan alokasi anggaran pendidikan di Indonesia yang dipatok
dalam APBN masih belum memenuhi batas minimal 20 persen.
Minimnya alokasi anggaran negara untuk program pendidikan memang akan

menyebabkan dampak buruk bagi komitmen memfasilitasi hak anak-anak miskin
memperoleh pendidikan layak. Akan semakin banyak anak-anak usia sekolah
yang tidak meneruskan sekolah.
Data riset Education Watch tahun 2006 menyebutkan bahwa kecenderungan
realitas tidak meneruskan sekolah bagi anak- anak dari keluarga miskin makin
meningkat persentasenya. Data anak-anak dari keluarga miskin yang jebol
sekolah ketika duduk di bangku sekolah dasar meningkat menjadi 24 persen,
sedangkan yang tidak melanjutkan ke bangku sekolah menengah pertama
menjadi 21,7 persen. Sementara anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin
yang jebol sekolah ketika memasuki bangku usia sekolah menengah mencapai
18,3 persen, dan yang tidak meneruskan ke jenjang pendidikan sekolah
menengah atas dari sekolah menengah pertama mencapai 29,5 persen.
Diskriminasi
Ironisnya, kebanyakan anak- anak usia sekolah dari keluarga miskin yang gagal
melanjutkan sekolah dari jenjang SD ke SMP atau dari SMP ke SMA mayoritas
(72,3 persen) adalah siswa perempuan.
Anak-anak perempuan usia sekolah yang tidak meneruskan sekolah selain
karena minimnya biaya pendidikan dari keluarga, juga karena masih terjerat cara
pandang patriarkis orangtua.
Orangtua anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin menganggap

anak-anak perempuan mereka tidak usah melanjutkan sekolah. Lebih baik anak
perempuannya langsung dinikahkan atau didorong bekerja di sektor publik
sebagai pembantu rumah tangga atau buruh informal.
Kondisi demikian menjadikan anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga
miskin menjadi kelompok sosial yang dilanggar hak sosial-ekonomi-budayanya.
Mereka tidak bisa mendapatkan hak memperoleh (menikmati) pendidikan yang

2/3

Kesetaraan: Pendidikan Berbasis Jender

berkualitas dan berbiaya murah.
Andai kata pun anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin bisa
meneruskan studi sampai jenjang sekolah menengah, mereka terpuruk menjadi
pekerja sektor informal berupah murah.
Membaca realitas di atas, maka sebenarnya dunia pendidikan di negeri ini telah
mendiskriminasi hak-hak anak perempuan.
Pendidikan alternatif
Untuk itulah saat ini perlu bagi kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk
mengembangkan program pendidikan berbasis kesetaraan jender.

Langkah-langkahnya adalah, pertama, perlu dirumuskan reorientasi kurikulum
pendidikan sekolah alternatif yang sensitif jender sehingga ada penghormatan
terhadap hak-hak anak-anak perempuan.
Kedua, perlu kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk mendesak adanya
plafon subsidi anggaran pendidikan yang khusus untuk anak-anak usia sekolah
dari komunitas perempuan (keluarga miskin) sehingga mereka bisa melanjutkan
studi setidaknya sampai lulus jenjang sekolah menengah atas.
Ketiga, perlu diimplementasikan program perwujudan kesetaraan hak pendidikan
bagi anak perempuan dalam berbagai jenjang dan jenis pendidikan.
Keempat, kesetaraan dalam mengaktualisasikan diri dalam proses dan kegiatan
belajar-mengajar.
Ari Kristianawati Guru SMAN 1 Sragen, Jawa Tengah

3/3