Permentan No.101 Tahun 2014 Pembibitan Sapi

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 101/Permentan/OT.140/7/2014
TENTANG
PEDOMAN PEMBIBITAN SAPI POTONG YANG BAIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.

bahwa dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 54/
Permentan/OT.140/10/2006, telah ditetapkan Pedoman
Pembibitan Sapi Potong Yang Baik;

b.

bahwa dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 43 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2011 tentang Sumber Daya Genetik Hewan dan
Perbibitan Ternak, perlu mengatur kembali Pedoman
Pembibitan Sapi Potong Yang Baik, dengan Peraturan
Menteri Pertanian;


Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara
Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5015);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5059);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang
Usaha Peternakan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor
21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3102);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang
Obat Hewan (Lembaran Negara 1992 Nomor 129,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3509);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor
82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);

1

7. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2011 tentang
Sumber Daya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak
(Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 123, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5260);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2012 tentang Alat
dan Mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran
Negara Tahun 2012 Nomor 72, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5296);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2013 tentang
Pemberdayaan Peternak (Lembaran Negara Tahun 2013
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5391);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang
Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan
(Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 130, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 5543);
11. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
12. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
13. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi,
Tugas, dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara;
14. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/
OT.140/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Pertanian;
15. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/
OT.140/9/2011 tentang Pewilayahan Sumber Bibit,
juncto
Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor

64/Permentan/OT.140/11/2012;
16. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 75/Permentan/
OT.140/11/2011 tentang Lembaga Sertifikasi Produk
Bidang Pertanian;
17. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/
OT.140/3/2012 tentang Persyaratan Mutu Benih, Bibit
Ternak, dan Sumber Daya Genetik Hewan;
18. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/
OT.140/03/2014 tentang Pengawasan Produksi dan
Peredaran Benih dan Bibit Ternak;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEDOMAN
PEMBIBITAN SAPI POTONG YANG BAIK.

2

Pasal 1
(1) Pedoman Pembibitan Sapi Potong Yang Baik seperti tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.

(2) Peternak atau perusahaan peternakan sapi potong yang memiliki izin
usaha pembibitan diwajibkan mengikuti pedoman pembibitan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 2
Pedoman Pembibitan Sapi Potong Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 sebagai dasar bagi peternak dan perusahaan peternakan dalam
melakukan pembibitan sapi potong yang baik, dan bagi Pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam
melaksanakan pembinaan dan pengawasan sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 3
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 54/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi
Potong Yang Baik (Good Breeding Practice), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 18 Juli 2014
MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SUSWONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 1080

3

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
: 101/Permentan/OT.140/7/2014
TANGGAL : 18 Juli 2014


PEDOMAN PEMBIBITAN SAPI POTONG YANG BAIK

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka penyediaan sapi potong dan menjamin keberlanjutannya
maka dibutuhkan ketersediaan bibit sapi potong yang berkualitas secara
berkesinambungan. Bibit merupakan salah satu faktor yang menentukan
dan mempunyai nilai strategis dalam upaya pengembangan sapi potong.
Kemampuan penyediaan atau produksi bibit sapi potong dalam negeri
masih perlu ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Untuk itu maka dibutuhkan partisipasi dan kerjasama antara
pemerintah, masyarakat peternak dan stakeholders terkait.
Pemerintah mendorong dan membina usaha pembibitan sapi potong
secara menyeluruh baik pada usaha peternakan rakyat, swasta, maupun
di Unit Pelaksana Teknis milik pemerintah. Masyarakat peternak sebagai
salah satu pelaku usaha pembibitan berperan sangat besar dalam
penyediaan bibit nasional karena lebih dari 95% sapi potong dimiliki dan
dipelihara oleh masyarakat tersebut.
Dalam pengembangan pembibitan sapi potong masih perlu perbaikan

manajemen antara lain pemuliabiakan ternak yang terarah dan
berkesinambungan sehingga mampu memproduksi bibit sesuai standar.
Untuk mewujudkan ketersediaan bibit sapi potong sesuai standar secara
berkelanjutan perlu disusun pedoman pembibitan sapi potong yang baik.
B. Maksud dan Tujuan
Pedoman ini dimaksudkan sebagai dasar bagi pelaku usaha dalam
melakukan pembibitan sapi potong yang baik, dan bagi Pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sesuai dengan
kewenangannya, dengan tujuan agar diperoleh bibit sapi potong yang
memenuhi standar.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi
prasarana dan sarana, cara pembibitan, kesehatan hewan, pelestarian
fungsi lingkungan hidup, sumber daya manusia, serta pembinaan dan
pengawasan.
D. Pengertian
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

4


1.

Pembibitan adalah kegiatan budi daya menghasilkan bibit ternak
untuk keperluan sendiri atau diperjualbelikan.

2.

Bibit Ternak yang selanjutnya disebut Bibit adalah ternak yang
mempunyai sifat unggul dan mewariskannya serta memenuhi
persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan.

3.

Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan
sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa dan/atau hasil
ikutannya yang terkait dengan pertanian.

4.


Peternak adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi
yang melakukan usaha peternakan.

5.

Perusahaan Peternakan adalah orang perorangan atau korporasi,
baik berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum, yang
didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang mengelola usaha peternakan dengan
kriteria dan skala tertentu.

6.

Pelaku Usaha Pembibitan Sapi Potong yang selanjutnya disebut
Pelaku Usaha adalah perusahaan peternakan yang melakukan
pembibitan, koperasi, kelompok/ gabungan kelompok peternak,
peternak, Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota yang melakukan usaha pembibitan sapi
potong.


7.

Rumpun Ternak yang selanjutnya disebut Rumpun adalah
segolongan ternak dari suatu jenis yang mempunyai ciri fenotipe
yang khas dan ciri tersebut dapat diwariskan pada keturunannya.

8.

Galur Ternak yang selanjutnya disebut Galur adalah sekelompok
individu ternak dalam satu rumpun yang mempunyai karakteristik
tertentu yang dimanfaatkan untuk tujuan pemuliaan atau
perkembangbiakkan.

9.

Pemuliaan adalah rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi
genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna
mencapai tujuan tertentu.

10. Seleksi adalah kegiatan memilih tetua untuk menghasilkan
keturunan melalui pemeriksaan dan/atau pengujian berdasarkan
kriteria dan tujuan tertentu dengan menggunakan metode atau
teknologi tertentu.
11. Silsilah adalah catatan mengenai asal-usul keturunan ternak yang
meliputi nama, nomor, performa dari ternak, dan tetua penurunnya.
12. Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang
diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan
untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang biak.
13. Biosecurity adalah kondisi dan upaya untuk memutuskan rantai
masuknya agen penyakit hewan ke induk semang dan/atau untuk
menjaga agen penyakit yang disimpan dan diisolasi dalam suatu
laboratorium tidak mengontaminasi atau tidak disalahgunakan.
14. Sistim Ekstensif/Pastura adalah kegiatan
dikembangkan dalam padang penggembalaan.

pembibitan

yang

15. Sistim Intensif adalah kegiatan pembibitan yang dikembangkan
dalam kandang.

5

16. Sistim
Semi
Intensif
adalah
kegiatan
pembibitan
yang
dikembangkan melalui penggembalaan pada siang hari dan
dikandangkan pada sore harinya.

BAB II
PRASARANA DAN SARANA
a. Prasarana
a. Lahan dan Lokasi
Lahan dan lokasi pembibitan
persyaratan sebagai berikut:

sapi

potong

harus

memenuhi

a) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP),
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK), atau
Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD);
b) letak dan ketinggian lahan dari wilayah sekitarnya memperhatikan
topografi dan fungsi lingkungan, untuk menghindari kotoran dan
limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan;
c) tidak ditemukan agen penyakit hewan menular strategis terutama
yang berhubungan dengan reproduksi dan produksi ternak;
d) mempunyai potensi sebagai sumber bibit sapi potong;
e) Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup (UKL/UPL); dan
f) mudah diakses atau terjangkau alat transportasi.
2. Air dan Sumber Energi
Tersedia cukup air bersih sesuai dengan baku mutu dan sumber
energi yang cukup sesuai kebutuhan dan peruntukannya, seperti
listrik sebagai alat penerangan.
b. Sarana
Sarana untuk pembibitan sapi potong sebagai berikut:
1. Bangunan
a. Bangunan yang diperlukan pada peternak, kelompok, atau
koperasi meliputi kandang, tempat penyimpanan pakan, dan
tempat penampungan dan/atau pengolahan limbah.
b. Bangunan yang diperlukan pada perusahaan, UPT Pemerintah,
dan UPT pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota)
meliputi:
1) Bangunan Perkantoran
Bangunan perkantoran terletak dalam satu lokasi dengan
tempat usaha pembibitan, yang fungsinya untuk kegiatan
manajemen administrasi dan pengolahan data.
2) Bangunan Perkandangan
a) Sistem Ekstensif (Pastura)
Pada sistem ini bangunan diperlukan sebagai berikut:
- paddock untuk melakukan penggembalaan bergilir
(rotation grazing) agar pertumbuhan rumput dapat
terkendali.

6

-

cattle yard untuk penanganan sapi dalam kegiatan
diantaranya
pemeriksaan,
vaksinasi,
pengukuran/
penimbangan, bongkar muat atau melakukan seleksi
ternak.

b) Sistem Intensif
Pada sistem intensif bangunan yang diperlukan adalah
sebagai berikut:
(a) kandang kelompok untuk anak, dewasa, induk dan
pejantan;
(b) kandang jepit; dan
(c) kandang isolasi dan kandang melahirkan.
c) Bangunan Pendukung
-

gudang pakan;
gudang peralatan dan garasi; dan
unit penampungan dan/atau pengolahan limbah.

c. Persyaratan Tata Letak Kandang
Kandang harus terletak di tempat kering dan tidak tergenang air
saat hujan serta cukup sinar matahari.
d. Persyaratan Teknis Kandang
1)
2)
3)
4)

konstruksi kandang harus kuat;
terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh;
sirkulasi udara dan sinar matahari cukup;
drainase dan saluran pembuangan limbah baik serta mudah
dibersihkan;
5) lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering, dan tahan
injak; dan
6) luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung dan
memiliki area untuk gerak.
Bentuk dan ukuran kandang sesuai Format-1.
2. Alat dan Mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan
a. Pada peternak, kelompok, atau kelompok antara lain:
1) tempat pakan, tempat minum, sapu lidi dan sekop;
2) alat pemotong rumput;
3) pita ukur, tongkat ukur, buku recording dan
pencatatan; dan
4) eartag dan kalung.

formulir

b. Pada perusahaan, UPT Pemerintah, dan UPT pemerintah daerah
(provinsi dan kabupaten/kota)
1) Sistem Ekstensif (Pastura)
a) tempat pakan dan tempat minum;
b) peralatan pencatatan ternak antara lain buku recording,
formulir pencatatan, timbangan ternak, pita ukur dan
tongkat ukur;
c) peralatan penanganan kesehatan hewan;
d) peralatan pemotong tanduk;
e) peralatan identitas ternak antara lain microchip, eartag dan
kalung; dan

7

f) peralatan penanda perkawinan antara lain chinball.
2) Sistem Intensif dan Semi Intensif
a) tempat pakan dan tempat minum;
b) buku recording, formulir pencatatan, timbangan ternak, pita
ukur dan tongkat ukur;
c) pemotong rumput, pengangkut rumput, pembersih kandang,
dan pemotong tanduk;
d) alat penanganan kesehatan hewan; dan
e) peralatan identitas ternak antara lain microchip, eartag dan
kalung.
3. Bibit
Bibit yang digunakan untuk pembibitan sapi potong harus memenuhi
persyaratan mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4. Pakan
Dalam usaha pembibitan sapi potong harus menyediakan pakan
dengan jumlah cukup dan berkualitas yang berasal dari:
a. hijauan pakan antara lain rumput (rumput budi daya dan rumput
alam), dan legume;
b. hasil samping dari tanaman pangan, perkebunan, dan
hortikultura;
c. pakan konsentrat tidak boleh mengandung bahan pakan yang
berupa darah, daging dan/atau tulang serta tidak boleh dicampur
dengan hormon tertentu atau antibiotik imbuhan pakan;
d. pakan konsentrat sebagai sumber protein dan atau sumber energi
serta dapat mengandung pelengkap pakan dan/atau imbuhan
pakan;
e. pakan yang berasal dari pabrik harus berlabel dan memiliki nomor
pendaftaran, dan pakan yang diolah sendiri harus memenuhi
nutrisi.
5. Obat Hewan
a. obat hewan yang dipergunakan dalam pembibitan sapi potong
harus memiliki nomor pendaftaran;
b. obat hewan yang dipergunakan sebagai imbuhan dan pelengkap
pakan meliputi premiks dan sediaan obat alami sesuai dengan
peruntukannya; dan
c. penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang obat hewan.

BAB III
CARA PEMBIBITAN
Dalam pembibitan sapi potong dilaksanakan melalui pemuliaan dalam satu
rumpun atau satu galur, baik pejantan maupun induk yang dikawinkan
berasal dari satu rumpun atau galur yang sama. Pelaksanaan pembibitan
meliputi:
A. Pemilihan Bibit

8

Bibit sapi potong yang digunakan untuk usaha pembibitan harus
memenuhi persyaratan mutu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
B. Pemberian Pakan
Dalam pemberian pakan perlu diperhatikan kandungan nutrisi berupa
protein, vitamin, mineral, dan serat kasar yang dibutuhkan sesuai
dengan kondisi fisioliogis ternak sebagai berikut:
1. Pemberian pakan dengan pemeliharaan sistem ekstensif/pastura
(digembalakan), yaitu sapi dilepas di padang rumput, biasanya
dilakukan di daerah yang mempunyai tempat pengembalaan cukup
luas, dan memerlukan waktu rata-rata 5-7 jam per hari. Dengan cara
ini maka tidak memerlukan ransum tambahan pakan penguat karena
sapi telah memakan bermacam jenis rumput.
2. Pemberian pakan dengan pemeliharaan sistem intensif/semi intensif,
yaitu sapi dikandangkan setiap hari dengan diberikan pakan rata-rata
10% dari berat badan dan pakan tambahan 1-2% dari berat badan.
Pakan tambahan dapat berupa dedak halus, bekatul, bungkil kelapa,
gaplek, ampas tahu yang diberikan dengan cara mencampurkan
dalam rumput, selain itu dapat juga ditambahkan mineral sebagai
penguat berupa garam dapur dan kapur.
C. Pemeliharaan
Sistem pemeliharaan pembibitan sapi potong dapat dilakukan melalui
pemeliharaan ekstensif/pastura (digembalakan), intensif dan/atau semi
intensif.
1. Pemeliharaan dengan Sistem Ekstensif/Pastura
Pada sistem ini pemeliharaan induk dengan anak dilakukan secara
bersamaan (cow calf operation), setelah anaknya disapih, induk
dimasukkan dalam paddock perkawinan, dan anak dikelompokkan
berdasarkan berat badan dan umur sesuai dengan jenis kelamin dan
rumpun.
a) Pemeliharaan Pedet
1) pedet dibiarkan selalu bersama induknya sampai umur lepas
sapih;
2) pemberian kolustrum dan susu atau bahan cair lain sebanyak
10% dari berat badan;
3) penimbangan berat badan, dan pengukuran tinggi gumba,
lingkar dada, panjang badan, dan tinggi pinggul dilakukan pada
saat lahir dan disapih.
b) Pemeliharaan Sapi Dara dan Remaja (Muda)
(1) sapi ditempatkan di paddock berdasarkan kelompok umur, jenis
kelamin dan rumpun;
(2) bagi sapi dara siap kawin ditempatkan pada paddock khusus
untuk perkawinan;
(3) kapasitas tampung pastura 1–2 ekor/hektar (tergantung kondisi
pastura).
c) Pemeliharaan Induk dan Calon Induk

9

(1) induk dan calon induk ditempatkan pada satu paddock;
(2) diberikan pakan dan vitamin/mineral tambahan;
(3) perkawinan dilakukan dengan cara kawin alam dengan cara
memasukan pejantan yang telah diberi penanda perkawinan
dengan perbandingan pejantan dan betina 1:15-20;
(4) pejantan ditempatkan di dalam paddock kelompok betina
selama 3 bulan dan identitas pejantan dicatat;
(5) pengawasan dan pemeriksaan kebuntingan dilakukan untuk
memisahkan ternak yang menunjukan kebuntingan dan
mengeluarkannya pada paddock terpisah;
(6) induk yang tidak bunting setelah 2 kali masa pemeriksaan
kebuntingan dipisahkan untuk mendapatkan penanganan
gangguan reproduksi;
(7) induk yang tidak bunting setelah 3 kali masa pemeriksaan
kebuntingan dilakukan pengafkiran untuk dijadikan ternak
potong.
d) Pemeliharaan Sapi Bunting
(1) sapi bunting ditempatkan pada paddock terpisah, diberi pakan
dan vitamin/mineral tambahan;
(2) pengawasan dilakukan untuk penanganan sapi dengan
memperlihatkan tanda-tanda akan melahirkan;
(3) penanganan kelahiran:
a) apabila terlihat gejala kesulitan beranak, segera minta
bantuan kepada petugas tenaga medis;
b) dilakukan pencatatan induk: kondisi, jenis partus, tanggal
melahirkan, dan status kelahiran;
c) dilakukan pencatatan anak: tanggal lahir, berat lahir, tinggi
pundak (gumba), panjang badan, lingkar dada dan silsilah.
e) Pemeliharaan Calon Pejantan
1) sapi calon pejantan dikelompokkan pada paddock tersendiri
berdasarkan umur dan berat badan;
2) diberikan pakan dan vitamin/mineral tambahan.
f) Pemeliharaan Pejantan
1) ditempatkan pada paddock tersendiri agar kondisinya terjaga;
2) pemberian pakan konsentrat sesuai dengan SNI No.
3148.2:2009 agar dapat menghasilkan sperma dengan kualitas
baik;
3) pejantan yang sedang digunakan untuk kawin alam dipantau
kesehatannya, dan segera dikeluarkan dari paddock apabila
menunjukkan kelemahan untuk mendapatkan penanganan
lebih lanjut;
4) dimandikan dan kontrol kesehatan;
5) penggunaan pejantan dalam perkawinan perlu diatur agar tidak
mengawini keturunannya.
2) Pemeliharaan dengan Sistem Intensif atau Semi Intensif
a) Pemeliharaan dan Perawatan Pedet
Pemeliharaan dan perawatan pedet pada saat kelahiran sebagai
berikut:

10

(a) bersihkan lendir dari mulut, lubang hidung dan bagian lainnya,
agar pedet dapat bernafas dengan baik;
(b) tali pusar dipotong 10 cm dari pangkal talinya dan diberi
antiseptik;
(c) dilakukan pemantauan kondisi pedet apabila lebih kurang tiga
puluh menit sesudah lahir pedet belum dapat berjalan dan
menyusu, maka harus dibantu;
(d) apabila induk tidak dapat menyusui maka pedet diberi susu
dari induk yang lain atau susu pengganti;
(e) pedet diberi air susu (kolostrum) dalam minggu pertama;
(f) tempat pedet berbaring harus diberi alas yang bersih dan
hangat;
(g) dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran tinggi
pundak (gumba), lingkar dada, panjang badan, setelah pedet
mampu berdiri sendiri (dalam waktu 24 jam setelah lahir) dan
pemberian identitas;
(h) pedet dibiarkan bersama induk sampai pedet disapih kira-kira
sampai umur 205 hari.
b) Pemeliharaan dan Perawatan Sapi Dara dan Muda
(1) setelah sapi disapih umur 205 hari, dapat dilakukan
pengeluhan (ring nose) agar sapi mudah dikendalikan dalam
penanganan;
(2) ditempatkan dalam kandang berdasarkan kelompok umur, jenis
kelamin dan rumpun;
(3) pemberian pakan sesuai dengan standar.
c) Pemeliharaan dan Perawatan Calon Induk
(1) ditempatkan dalam kandang tersendiri berdasarkan kelompok
umur dan rumpun;
(2) pemberian pakan sesuai dengan standar;
(3) dikawinkan pada birahi ke dua dengan umur dan berat badan
yang memenuhi syarat untuk dikawinkan sesuai rumpunnya;
(4) perkawinan dianjurkan dengan cara inseminasi buatan (IB)
atau dapat pula dilakukan kawin alam, serta pencatatan kode
semen dan pejantan yang digunakan harus dilakukan;
(5) apabila perkawinan IB dua kali gagal, dianjurkan kawin alam.
d) Pemeliharaan dan Perawatan Induk Bunting
(1) sapi yang sedang bunting harus dipisahkan dari sapi lainnya;
(2) untuk memudahkan pemeliharaan dan perawatan, induk
bunting dikelompokkan dalam tiga fase yakni:
(a) bunting muda (1-5 bulan) diberikan pakan yang memenuhi
kebutuhan nutrisi;
(b) bunting tua (>5-8 bulan) kuantitas dan kualitas pakan
sesuai kebutuhan dan penambahan energi di dalam pakan;
(c) menjelang beranak (>8 bulan) kuantitas dan kualitas pakan
sesuai kebutuhan campuran dari 2-3 kg konsentrat dengan
4-6 kg dedak padi/jagung (1 kg kulit kopi dan hijauan segar
atau jerami padi kering), induk dimasukkan ke dalam
kandang melahirkan yang kering dan terang serta exercise
harus dilakukan.
e. Pemeliharaan dan Perawatan Induk Melahirkan
(1) apabila terlihat gejala akan melahirkan, dilakukan pengawasan
secara intensif;
11

(2) jika mengalami kesulitan beranak, segera minta pertolongan
pada petugas medis;
(3) hijauan pakan dan konsentrat diberikan lebih dari kebutuhan
pokok, agar dapat mempercepat proses perbaikan kesehatan.
f. Pemeliharaan Calon Pejantan dan Pejantan
(1) ditempatkan pada kandang khusus secara tersendiri agar
kondisinya terjaga;
(2) agar dapat menghasilkan sperma dengan kualitas baik,
pejantan diberi pakan khusus;
(3) pejantan yang sedang digunakan untuk kawin alam dipantau
kesehatannya, dan segera dikeluarkan dari kandang apabila
menunjukkan kelemahan untuk mendapatkan penanganan
lebih lanjut;
(4) penggunaan pejantan dalam perkawinan perlu diatur agar tidak
mengawini anaknya.
D. Pembibitan
1) Perkawinan
Dalam upaya memperoleh bibit yang sesuai standar, teknik
perkawinan dapat dilakukan dengan cara kawin alam atau Inseminasi
Buatan (IB).
a) pada kawin alam rasio jantan betina diusahakan 1:15–20 ekor;
b) perkawinan dengan IB memakai semen beku sesuai SNI atau
semen cair dari pejantan yang sudah teruji kualitasnya dan
dinyatakan bebas dari penyakit hewan menular;
c) dalam pelaksanaan kawin alam atau IB harus dilakukan
pengaturan penggunaan pejantan atau semen untuk menghindari
terjadi perkawinan sedarah (inbreeding).
2) Pencatatan (Recording)
Dalam melakukan pembibitan
pencatatan, meliputi:

sapi

potong

harus

dilakukan

a. rumpun, identitas, silsilah;
b. perkawinan (tanggal, pejantan/kode semen, IB/kawin alam,
induk);
c. induk melahirkan (tanggal, tunggal/kembar, normal/distokia);
d. pedet lahir (tanggal, tunggal/kembar, bobot lahir, jenis kelamin,
induk, pejantan/kode semen, tinggi gumba, panjang badan);
e. penyapihan (tanggal, bobot sapih, tinggi gumba, panjang badan);
f. vaksinasi, pengobatan (tanggal, perlakuan/treatment);
g. mutasi (pemasukan dan pengeluaran).
Kartu recording induk sesuai Format-2, kartu recording pejantan
sesuai Format-3, kartu recording anak sesuai Format-4, serta data
reproduksi dan produksi sapi induk sesuai Format-5.
3) Seleksi Bibit
Seleksi bibit sapi potong dilakukan berdasarkan performan anak dan
individu calon bibit sapi potong, dengan mempergunakan kriteria
seleksi sebagai berikut:

12

a) Sapi Induk
(1) sapi induk harus dapat menghasilkan anak secara teratur;
(2) dapat melahirkan anak tidak cacat dan mempunyai rasio bobot
sapih umur 205 hari (weaning weight ratio) di atas rata-rata
dari kelompoknya.
b) Calon Pejantan
(1) bobot sapih umur 205 hari terkoreksi terhadap umur induk dan
musim kelahiran, di atas rata-rata dari kelompoknya;
(2) bobot badan umur 365 hari di atas rata-rata;
(3) pertambahan bobot badan umur 2 tahun di atas rata-rata;
(4) libido dan kualitas sperma baik;
(5) penampilan fenotipe sesuai dengan rumpunnya.
c) Calon Induk
(a) bobot sapih umur 205 hari terkoreksi terhadap umur induk dan
musim kelahiran, di atas rata-rata dari kelompoknya;
(b) bobot badan umur 365 hari di atas rata-rata;
(c) penampilan fenotipe sesuai dengan rumpunnya.
4) Ternak Pengganti (Replacement Stock)
Ternak pengganti diprogram secara teratur setiap tahun.
5) Afkir (Culling)
Pengeluaran ternak yang sudah dinyatakan tidak memenuhi
persyaratan bibit (afkir/culling), dengan ketentuan sebagai berikut:
a) sapi induk yang tidak produktif harus segera dikeluarkan;
b) keturunan jantan yang tidak terpilih sebagai calon bibit (tidak lolos
seleksi) dikeluarkan, dapat dikastrasi dan dijadikan sapi potong;
c) anak betina yang pada saat sapih atau pada umur muda
menunjukkan tidak memenuhi persyaratan bibit harus dijadikan
sapi potong.

BAB IV
KESEHATAN HEWAN
Untuk memperoleh hasil yang baik dalam pembibitan sapi potong harus
memperhatikan kaidah kesehatan hewan yang meliputi:
A. Situasi Penyakit Hewan
1. pembibitan sapi potong harus terletak di daerah yang tidak terdapat
gejala klinis atau bukti lain tentang penyakit radang limpa (Anthrax),
dan keluron menular (Brucellosis);
2. dalam hal pembibitan dilakukan di daerah endemis Anthrax,
Brucellosis dan SE, kegiatan vaksinasi dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-perundangan.
B. Pencegahan Penyakit Hewan

13

1. melakukan vaksinasi dan pengujian/tes laboratorium terhadap
penyakit hewan menular tertentu yang ditetapkan oleh instansi
berwenang;
2. mencatat setiap pelaksanaan vaksinasi dan jenis vaksin yang dipakai
dalam kartu kesehatan ternak;
3. melaporkan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan
dan kesehatan hewan setempat terhadap kemungkinan timbulnya
kasus penyakit, terutama yang diduga/dianggap sebagai penyakit
hewan menular;
4. pemotongan kuku dilakukan apabila diperlukan;
5. pemberian obat cacing dilakukan secara rutin 3 (tiga) kali dalam
setahun;
6. pakan yang diberikan tidak mengandung bahan pakan yang berupa
darah, daging dan/atau tulang.
C. Pelaksanaan Biosecurity
Dalam rangka pelaksanaan kesehatan hewan, setiap pembibitan sapi
potong harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. lokasi usaha tidak mudah dimasuki binatang liar dan bebas dari
hewan peliharaan lainnya yang dapat menularkan penyakit;
2. melakukan desinfeksi kandang dan peralatan dengan menyemprotkan
desinfektan;
3. melakukan penyemprotan insektisida pembasmi serangga, lalat, dan
hama lainnya di sekitar kandang ternak;
4. untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari satu kelompok
ternak ke kelompok ternak lainnya, pelayanan dilakukan mulai dari
ternak yang sehat ke ternak yang sakit;
5. menjaga agar tidak setiap orang dapat bebas keluar masuk kandang
ternak yang memungkinkan terjadinya penularan penyakit;
6. membakar atau mengubur bangkai ternak yang mati karena penyakit
menular;
7. menyediakan fasilitas desinfeksi untuk staf/karyawan dan kendaraan
tamu di pintu masuk perusahaan;
8. segera mengeluarkan ternak yang mati dari kandang untuk dikubur
atau dimusnahkan;
9. mengeluarkan ternak yang sakit dari kandang untuk segera diobati
atau dipotong.
BAB V
PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP
Dalam melakukan usaha pembibitan sapi potong harus memperhatikan
aspek pelestarian fungsi lingkungan hidup, sebagai berikut:
1. mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan timbulnya erosi;
2. mencegah timbulnya polusi dan gangguan lain yang dapat menganggu
lingkungan berupa suara bising, bau busuk, serangga, dan pencemaran
air sungai/air sumur;
3. membuat unit pengolahan limbah sesuai dengan kapasitas produksi
untuk menghasilkan pupuk organik atau biogas;
4. membuat saluran dan tempat pembuangan limbah; dan
5. membuat tempat pembakaran dan tempat penguburan ternak yang mati.

14

BAB VI
SUMBER DAYA MANUSIA
Sumber daya manusia yang diperlukan dalam usaha pembibitan sapi
potong harus:
1. sehat jasmani dan rohani;
2. mempunyai keterampilan dalam bidang pembibitan, produksi,
reproduksi, penyakit hewan, pakan, lingkungan, dan memahami risiko
pekerjaan, serta mampu melakukan pencatatan (recording) dan
pemeliharaan sapi potong; dan
3. mampu menerapkan keselamatan dan keamanan kerja sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
A. Pembinaan
Pembinaan pembibitan sapi potong dilakukan melalui pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan. Pembinaan antara lain dilakukan untuk
penerapan pembibitan sapi potong yang baik. Pembinaan dilakukan oleh
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya
secara berkelanjutan.
B. Pengawasan
Untuk menjamin kualitas bibit sapi potong yang dihasilkan perlu
dilakukan pengawasan mutu bibit, yaitu:
1. pengawasan langsung dilakukan dengan cara pemeriksaan di lokasi
pembibitan dan peredaran secara berkala oleh Pengawas Bibit Ternak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pengawasan tidak langsung dilakukan melalui pelaporan berkala oleh
pembibit kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan
dan kesehatan hewan setempat.

BAB VIII
PENUTUP
Pedoman pembibitan sapi potong yang baik ini bersifat umum, dinamis,
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
kebutuhan masyarakat.

MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SUSWONO

15

Format-1

16

Format-2
Contoh Kartu Recording Induk

Bangsa

:

Warna :

Tanggal Lahir :

Nama Sapi :
No Eartag/identitas lain:

Gambar ternak (sisi kiri)

Gambar ternak (sisi kanan)

No. Bapak :
No. Induk :

No

Tanggal Beranak

Litter Size

No. Pejantan

Keterangan

17

Format-3
KARTU RECORDING PEJANTAN
Bangsa

:

Warna:

Tanggal Lahir:

Nama Sapi:
No Eartag/identitas lain:

Gambar ternak (sisi kiri)

Gambar ternak (sisi kanan)

No. Bapak :
No. Induk :

Data Perkawinan
No.

Tanggal Kawin

No. Betina
(Induk)

No Tanggal Kawin

No. Betina
(Induk)

18

Format-4
Kartu Recording Anak
Nama Pemilik
Alamat
No. Telinga Sapi
Jenis Kelamin
No. Registrasi
Tanggal Lahir
Nama Induk
Nama bapak

:
:
:
:
:
:
:
:

…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………
Produktivitas

Waktu Ukur

Lingkar
Dada

Panjang
Badan

Tinggi
Pundak

Berat
Badan

BCS

Lahir
Sapih (6
bulan)
Umur 1
Tahun
Umur 2
Tahun

19

Format-5
DATA REPRODUKSI DAN PRODUKSI SAPI INDUK

No

URAIAN

PADA KELAHIRAN
I
II
III
IV
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1

V
2 3

KET

Pejantan yang
digunakan No…
atau kode semen
2 Tangal perkawinan
Frekwensi
perkawinan s/d
3 bunting
4 Tangal melahirkan
5 Kelahiran anak ;
Tunggal :
jantan(Jt)/Betina(Bt)
Kembar :
jantan(Jt)/Betina(Bt)
6 Berat lahir (Kg)
Keadaan anak
7 waktu dilahirkan
- Lahir mati
- Abortus
- Lahir sehat
- Lahir lemah
- Lahir Cacat
Berat badan pada
8 saat melahirkan
9 Tinggi gumba (cm)
10 Lingkar dada (Cm)
11 Tinggi pinggul (cm)
1

………………….,……………………….20…
Petugas Pencatat

(…………………………………………)

20