Resonansi Magnetik Inti (Nuclear Magnetic Resonance) Tingkat - Tingkat Energi Magnetik Sistem A2B.
(2)
(3)
(4)
i
RESONANSI MAGNETIK INTI
(
NUCLEAR MAGNETIC RESONANCE
) :
TINGKAT – TINGKAT ENERGI MAGNETIK DARI SISTEM A2B
Penulis
Drs. Made Sumadiyasa, M. Si. (0016016403)
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
(5)
(6)
iii
Daftar Isi
Judul
iHalaman Pengesahan
iiDaftar Isi
iiiAbstrak
iv1. PENDAHULUAN 1
2. FUNGSI KEADAAN SISTEM A2B 2
2.1. Sistem Spin 2
2.2. Fungsi Basis Sistem A2B 3
3. TINGKAT-TINGKAT ENERGI SISTEM A2B 5
3.1. Operator Hamiltonian Untuk Sistem A2B 5
3.2. Hasil Operasi Operator Spin I+ dan I- pada Fungsi ψI,m 8 3.3. Penurunan Nilai Diri (Eigen Value) dan Funsi Diri (Eigen Eunction) Sistem
A2B
9
4. KESIMPULAN 14
(7)
iv
Resonansi Magnetik Inti :
Tingkat – Tingkat Energi Magnetik dari Sistem A
2B
M . Sumadiyasa1
1,
Jurusan Fisika FM IPA Universitas Udayana
E-mail : sumadiyasa64@ gmail.com
Abstrak
Resonansi magnet inti (NMR) merupakan salah satu spektroskopi absorbsi energi, dalam hal ini radiasi radio-frekuensi r.f.. Spektroskopi ini digunakan menentukan adanya suatu senyawa (gugus fungsi) di dalam suatu material. Dalam analisis hasil pengukurannya yang dianalisis pada dasarnya adalah suatu spectrum yang dihasilkan oleh transisi absorbsi diantara tingkat-tingkat energi di dalam sistem inti yang merepresentasikan suatu melekul. Dalam teori NMR, molekul seperti CH2OH yang mana terdiri atas tiga inti yang terbagi atas dua kelompok yaitu satu kelompok A mengandung dua inti yang equivalen secara magnetik, dan kelompok B yang terdiri atas satu inti saja dapat dipresentasikann sebagai sistem A2B. Dalam tulisan ini telah diturunkan tingkat-tingkat energi dan fungsi keadaan yang sesuai dengan tingkat energi bersangkutan untuk sitem A2B. Diperoleh bahwa bila molekul yang direpresentasikan sebagai sistem A2B bila diberikan medan magnet konstan maka tingkat energinya terpecah menjadi delapan tingkat energi. Tingkat-tingkat energi tersebut melibatkan suatu konstanta kopling J yang merepresentasikan adanya interaksi antara inti-inti di dalam kelompoknya dan interaksi antara kolompok inti terdekat.
Kata kunci : Resonansi Magnet Inti, Tingkat-tingkat Energi, Sistem A2B, konstanta kopling J
Abstract
Nuclear magnetic resonance (NMR) is one of the spectroscopy absorption of energy, in this case the radio-frequency rf radiation. This spectroscopy is determines the presence of an organic compound (functional group) in material. In the analysis of the measurement results are analyzed basically is a spectrum generated by absorption transitions between energy levels in the nucleus system that represents a molecule. In the theory of NMR, as CH2OH
molecule which consists of three nuclei divided into two groups: one group A contains two nuclei are magnetically equivalent, and group B consisting of one nuclei can be represented as an A2B system. In this paper has been derived formulation of the energy levels and
functions of the state in accordance with the relevant energy levels for A2B system. It was found that when the molecules are represented as A2B system when given constant magnetic
field, the energy level is split into eight energy levels. Energy levels involves a coupling constants J which represents the interaction between the nucleus in the group and the interaction between the group of nucleus nearby.
(8)
1
Resonansi Magnetik Inti :
Tingkat – Tingkat Energi Magnetik dari Sistem A
2B
M . Sumadiyasa1
1,
Jurusan Fisika FM IPA Universitas Udayana
E-mail : sumadiyasa64@ gmail.com
1. PENDAHULUAN
Spektroskopi Resonansi Magnet Inti, RMI (NMR = Nuclear Magnetic Resonance)
merupakan salah satu alat ukur analitik yang digunakan untuk menentukan adanya senyawa
(gugus fungsi) di dalam suatu bahan. Spektroskopi RMI pada dasarnya salah satu bentuk
spektroskopi absorbsi. Dalam pengukuran dengan menggunakan RMI yang dianalisis adalah
spectrum absorbsi seperti tampak pada Gambar 1:
Gambar 1. Contoh spectrum hasil pengukuran NMR dari molekul C8H14O4 [1]. Memperlihatkan adanya tiga kelompok puncak-puncak (peaks). Garis tangga (tingginya tangga) di atas puncak merepresentasikan intensitas puncak di bawahnya.
Bagaimana spectrum (puncak-puncak) tersebut dapat terbentuk ?. Spektroskopi NMR
didasarkan pada penyerapan radiasi medan frekuensi radio (r.f) oleh inti-inti tertentu dalam
molekul organik apabila molekul tersebut berada dalam medan magnet yang kuat. Absorbsi
(9)
2 fisis dideskripsikan sebagai transisi energi magnetik system spin dari tingkat/keadaan energi
tertentu ke tingkat energi yang lebih tinggi. Oleh karena itu sebelum membahas spectrum
absorbsi perlu terlebih dahulu membahas tingka-tingkat energi magnetik dari suatu sistem
spin.
Dalam tulisan ini akan dibahas secara teoritis tingkat-tingkat enrgi magnetic yang
cukup sederhana, yaitu sistem A2B. Sistem ini hanya melibatkan tiga priton di mana terdapat
dua inti yang secara magnetik equivalen. Senyawa/molekul yang dapat memperlihatkan
spectrum sistem A2B misalnya 1,2,3-trichlorobenzena, 2,6-dichlorobenzonitrile, Benzyl
Alcohol.
2. FUNGSI KEADAAN SISTEM A2B 2.1. Sistem Spin
Suatu inti berspin akan menimbulkan medan magnet kecil, yang ditunjukkan oleh
suatu momen magnet nuklir Untuk setiap inti yang memiliki spin, jumlah kedudukan spin
adalah tertentu dan ditentukan oleh bilangan kuantum spin inti I. Bilangan ini adalah tetap
untuk setiap inti. Bila tidak ada medan magnet yang diberikan, semua kedudukan/
tingkatan spin dari suatu inti mempunyai energi yang sama, dengan arah yang tidak
beraturan. Bila diberikan medan magnet H0, dari luar maka setiap inti yang berputar
menghasilkan medan magnet, dengan arah momen magnet menjadi searah atau berlawanan
arah terhadap H0
Di dalam suatu molekul, molekul organik atau unorganik dapat terdiri dari sejumlah
inti/proton H yang dapat dipandanng sebagai suatu sistem spin yang mana dua atau lebih inti
dapat berada dalam lingkungan yang sama atau berbeda. Setiap inti dapat berinteraksi secara
magnetik satu sama lain sehingga dapat terjadi interaksi antara inti dalam kelompoh
(10)
3 Inti-inti di dalam suatu sistem spin dapat ditandai sebagaimana telah diberikan Pople
[2], yaitu inti-inti yang memiliki lingkungan yang sama disebut dengan equvalen ditandai
dengan hurup capital yang sama, sedangkan yang berbeda ditandai dengan hurup capital yang
berbeda. Jumlah inti yang ekuivalen ditandai dengan bilangan ideks bawah (subscript).
Dengan demikian inti-inti yang equivalen dapat ditandai dengan Aa, Bb, Cc ,,,,, Dalam suatu
molekul dapat dihuni oleh berbagai kelompok inti sehingga dapat diperoleh bentuk
AaBb…Misalnya molekul CH2OH, dapat dipandang sebagai sebuah system spin yang
melibatkan tiga proton (H), yaitu satu proton pada hidroksilnya dan dua proton equivalen
pada metilnya. Oleh karenanya molekul tersebut dapat direpresentasikan dalam bentuk
system A2B. A2 merepresentasikan kellompok proton H pada metil dan B merepresentasikan
proton H pada hidroksil.
2.2. Fungsi Basis Sistem A2B
Setiap inti yang memiliki spin, jumlah kedudukan spin adalah tertentu dan ditentukan
oleh bilangan kuantum spin inti I. Bilangan ini adalah tetap untuk setiap inti yang mana dapat
sebagai bilangan 0, 1, 2, 3……, atau sebagai bilangan tengahan ½, 3/2…… . Inti yang
memiliki bilangan kuantum spin I dapat memiliki q=2I + 1 keadaan/tingkat energi tak
tergenerasi bila diberikan medan magnet, Bila tidak ada medan magnet yang diberikan,
semua keadaan/tingkatan spin dari inti mempunyai energi yang sama dan dengan arah tidak
beraturan. Sementara bila diberikan medan magnet dari luar maka setiap spin inti
menghasilkan medan magnet, dengan arah momen magnet menjadi searah atau berlawanan
arah terhadap medan magnet.
Secara konvensional medan magnet dengan kekuatan B0 diberikan dalam arah sumbu
z negatif. Setiap keadaan q masing-masing akan memiliki energi sebesar
(11)
4 Dengan γ = nisbah giromagnetik inti bersatuan rad. Gauss-1.sec-1 (Untuk inti berspin I=½ nilai γ=26,753 rad. Gauss-1.sec-1), ħ adalah tetapan Plank dibagi 2π dan m adalah bilangan kuantum magnetik spin yang dapat bernilai dari -I hingga +I
Untuk inti yang memiliki bilangan kuantum spin I=½, keadaan untuk m= +½ yang
mana diberi simbul α mempunyai energi yang lebih tinggi karena berlawanan dengan medan, sedangkan keadaan spin m=–½ yang mana diberi simbul β mempunyai energi yang lebih
rendah karena searah dengan medan yang digunakan. Dengan emikian,pada penggunaan
medan magnet yang cukup kuat, keadaan spin akan terpecah menjadi dua keadaan dengan
energi yang berbeda dengan fungsi keadaan yang didefinisikan sebagai
ψ
m=+½≡
α
ψ
m= -½≡
β
Suau system yang terdiri dari p inti/proton dapat memiliki 2p kemungkinan permutasi
yang bersesuaian dengan fungsi basisnya [3,4]. Sistem yang terdiri dari dua proton yang
mana dapat direpresentasikan sebagai sistem AB memiliki empat kemungkinan permutasi,
yaitu α1α2, α1β2, β1α2 dan β1β2. Oleh karenanya diperoleh fungsi basis bagi keadaan sistem φ1 = αα ; φ2 = αβ
φ1 = βα ; φ2 = ββ
Bagi system spin yang memiliki suatu elemen simetri pada inti-inti yang equivalen
Garbisch manganjurkan untuk menyatakan fungsi basis system dalam bentuk fungsi basis
simetri yang terdiri dari kombinasi linier (penjumlahan atau pengurangan) funsi basis sistem.
Untuk sistem dengan dua proton yang equivalen secara magnetik yang dapat dipresentasikan
sebagai sistem A2 memiliki fungsi basis simetri
φ1 = αα ; φ2 = ½ 2 (αβ + βα) φ3 = ββ φ4 = ½ 2(αβ - βα)
(12)
5 Factor φ2 = ½ 2adalah factor normalisasi yang diperlukan sedemikian rupa sehinga <φkφk> = 1
Dengan menggunakan fungsi basis simetri A2 dan fungsi basis α dan β bagi sebuah prorton B dapat dibuat fungsi basis untuk sistem yang terdiri atas tiga inti yang terbagi atas
dua kelompok ini, yaitu satu kelompok mengandung dua inti yang equivalaen dan satu
kelompok lagi terdiri atas satu inti saja, yaitu sistem A2B. Dalam hal ini akan diperoleh 23 =
8 keadaan sebagaimana diberikan pada Tabel 1
Tabel 1. Fungsi basis simetri sistem A2B
k =
∑
p
i i
m
M φk Keterrangan
1 3/2 φ1 = ααα
Simetri
2 1/2 φ2 = ½ 2(αβα + βαα)
3 1/2 φ3 = ααβ
4 -1/2 φ4 = ββα
5 -1/2 φ5 = ½ 2(αββ + βαβ)
6 -3/2 φ6 = βββ
7 1/2 φ7 = ½ 2(αβα - βαα)
Annti simetri
8 -1/2 φ8 = ½ 2(αββ - βαβ)
Fungsi basis simetri φk di atas adalah merepresentasikan fungsi diri (eigen function) bagi sistem A2B. Jadi dapat disimpulkan bahwa di dalam sistem A2B terdapat delapan
keadaan/tingkat energi
3. TINGKAT-TINGKAT ENERGI SISTEM A2B 3.1. Operator Hamiltonian Untuk Sistem A2B
Sistem spin proton yang terdiri atas p roton yang berada di dalam medan magnet
konstan B0 dalam arah sumbu z, akan terpecah menjadi 2p keadaan/tingkat energi.
Tingkat-tingkat energi tersebut dapat dicari dengan menyelesaikan persamaan Schrodinger tidak
bergantung waktu
n n
n Eψ
ψ =
(13)
6 H adalah Hamiltonian sistem, ψn adalah fungsi-diri (eigen function) dari tingkat-tingkat
energi stasioner ke-n. En adalah nilai diri (eigen value) bagi oprator H dan fungsi-diri ψn.
Untuk menyelesaikan persamaan Schridinger pers. 8 di atas harus diketahui terlebih dahulu
bentuk operator sistem dalam bentuk operator yang operasional.
Kita tinjau inti yang mempunyai sifat spin dengan momentum spin hImempunyai
momen magnetik
I h γ
µ = (3)
Energi interaksi momen magnetik µdengan medan magnet konstan B0 adalah )
. ( 0 0 B I
H h
h =γ (4)
Dengan demikian, dari pers. 4 dapat diperoleh Hamiltonian bagi sejumlah inti
∑
=
i xi
I
H0 νi (5)
Dengan νI adalah frekuensi dari inti ke-i )
1 ( ) 2
( 1 0 i
i γ π B τ
ν = − − (6)
Konstanta τI adalah faktor perlindungan tak berdimensi (biasanya bersatuan ppm) bagi inti ke-i. Faktor perlindungan ini akan mengurangi efek medan luar terhadap suatu inti yang
secara efektif mengurangi pembelahan Zeeman sebesar γhB0τ .
Pada dasarnya inti-inti di dalam suatu molekul (sistem spin) selain berinteraksi dngan
medal luar yang diberikan juga secara magnetik berinteraksi antar inti terdekat. Interaksi ini
dapat berasal dari interaksi antar momen dengan medan magnet yang dihasilkan oleh gerak
electron pada orbitnya, interaksi magnetik antar inti di sekitarnya secara langsung, interaksi
kontak-Fermi (interaksi spin inti dengan spin elekron yang berada dalam kerapatan tertentu
(14)
7 atas terbentuknya struktur halus dalam spectrum pengukuran. Interaksi ini direpresentasikan
dengan pers. 7 [5]
j i ij j i I I J
H1=h
∑
∑
. (7)dengan Jij adalah tetapan kopling antaraksi spin-spin inti. Oleh karena itu, operator total dari
sistem adalah j i ij j i i
xi J I I
I
H =
∑
νi +h∑
∑
. (8)Untuk kasis sistem A2B yang melibatkan tiga proton : dua proton yang equivalen
sebagai kelompok A, dan sebuah proton sebagai kelompok B Hamiltonian pers. 8 dapat
dinyatakan dalam bentuk
H = H0 + H’ (9)
dengan
zB
H0 νA(IzA IzA ) νBI
2
1 + +
=
2 1 2
1
1 A B A A A
A ' I . I J I ). I I
J( + +
= H
dengan J JAB JAB
2 1
. +
= adalah tetapan kopling antara proton-proton pada A dan B, sedangkan JA adalah tetapan kopling antar proton dalam A dimana diasumsikan kedua proton
pada A adalah sama, yaitu νA.
Operator dalam pers. 9 mengandung perkalian dot product vector momentum sudut
spin inti, zB zA yB yA xB xA
A.I I I I I I I
I B = + + (10)
Untuk dapat mengoperasikan bentuk pers. 10 terhadap fungsi spin maka selajutnya
didefinisikan operator shift spin inti
y x I I
(15)
8 dengan i adalah bilangan imajiner. Dengan menggunakan operator shift inti di atas dapat
diperoleh bentuk ) I I I I ( ) I I I I ( I
I+A B- = xA xB + yA yB +i yA zB + xA yB
) I I I I ( ) I I I I ( I
IA− +B = xA xB + yA yB −i yA zB + xA yB
Sehingga perkalian pers. 10 menjadi
zB zA B -A -B A
A (I I I I ) I I 2
1 I .
I B = + + + +
Dengan demikian, lebih lanjut Hamiltonian pers. 9 secara lengkap dan operasional
dinyatakan dalam bentuk
H = H0 + H1 + H2 (11)
dengan
zB
H0 νA(IzA IzA ) νBI
2
1 + +
= (11a)
) I (I J ) I I I (I 2 1 2
1 zB zA zB A zA zA
zA
1=J + +
H (11b)
) I I I (I J 2 1 ) I I I I I I I (I 2 1 2 1 2 1 2 2 1 1 A -A -A A A B -A -B A B -A -B A 2 + + + + + + + + + + + =
H (11c)
3.2. Hasil Operasi Operator Spin I+ dan I- pada Fungsi ψI,m
Hamiltonian pers. 11 mengandung operator spin inti I+, I- dan Iz. Dalam
pengintegralan operator tersebut akan beroperasi pada fungsi keadaan ψI,m Hasil peroperasian I+ dan I- pada suatu fungsi ψI,m adalah
1 m I, m
I, I(I 1) m(m 1)ψ
ψ
I+ >= + − + + (12a)
1 -m I, m
I, I(I 1) m(m 1)ψ
ψ
I− >= + − − (12b)
dengan I adalah bilangan kuantum spin inti dan m adalah bilangan kuantum magnetik inti.
Dengan memperhatikan pers.12 di atas, sesuai dengan sifat-sifat ortogonalitas fungsi
(16)
9 <m’I+m> akan tidak sama dengan nol hanya jika nilai m’= m+1
<m’I-m> akan tidak sama dengan nol hanya jika nilai m’= m-1
Dengan demikian, bagi inti/proton yang memiliki bilangan kuantum spin inti I=1/2 meiliki
dua fungsi keadaan, yaitu ψ ≡α 2 1 , 2
1 dan ψ − ≡β 2 1 , 2
1 berlaku hubungan
I+α> = 0 I+β> = α> (13a) I-β> = 0 I-α> = β> (13b) Izα> =½α> Izβ> =½β> (13c)
3.3. Penurunan Nilai Diri (Eigen Value) dan Funsi Diri (Eigen Eunction) Sistem A2B
Telah diungkapkan di atas bahwa suatu sistem spin yang berada di dalam medan
magnet konstan dalam arah sumbu z terpecah menjadi q keadaan kuantum (tingkat-tingkat
energi magnetik). Setiap keadaan tersebut direpresentasikan oleh fungsi diri keadaan
stasioner ψn. Dengan asumsi bahwa fungsi-diri tersebut dapat diekspansikan ke dalam bentuk kombinasi linier fungsi basis keadaan φk maka berlaku hubungan
k n k
kn n
C
ψ
∑
φ
≠
=
(14a)dengan
1
C
2kn=
∑
≠n k
(14b)
dengan φk adalah fungsi basis sistem, Ckn adalah koefisien campuran keadaan k dan n
Dengan mensubstitusikan pers.14 ke dalam persamaan Schrodnger pers.8 maka
diperoleh
k q n q
E
H
∑
φ =∑
φk kn k
k
kn C
(17)
10 Dengan menggunakan metode pendekatan, yaitu metode variasi [5 hameka] dapat ditentukan
nilai seperangkat koefisien Ckn dan fungsi-diri ψn untuk seluruh keadaan dengan cara meminimumkan nilai diri En. Untuk keperluan tersebut, pertama kalikan per. 15 dengan
l q φ
∑
k knC dari kiri, kemudian dilakukan pengintergralan pada seluruh ruang sehingga
diperoleh
> <
= >
<
∑
∑
∑
∑
kq l q n k q l q E
H φ φ φ
φ k kn k kn k kn k
kn C C C
C (16)
Untuk meminimumkan nilai diri En maka turunan parsial dari En terhadap Cln haruslah sama
dengan nol. Dengan demikian, hasil pendiferensialan pers. (16) terhadap koefisien Cln secara
parsial diperoleh 0 ) δ E (
C lk lk
k
kn − =
∑
l lkq
H
φ (17)
Lebih lanjut, pers. 17 dapat diungkapkan ke dalam bentuk seperangkat persamaan
linier homogen,
0
)
δ
E
(
C
....
)
δ
E
(
C
)
δ
E
(
C
1nH
11−
n 11+
2nH
12−
n 12+
+
qnH
1q−
n 1q=
0 ) δ E ( C .... ) δ E ( C ) δ E (
C2n H21 − n 21 + 2n H22 − n 22 + + qn H2q − n 2q =
0 ) δ E ( C .... ) δ E ( C ) δ E (
C3n H31 − n 31 + 2n H32 − n 32 + + qn H3q − n 3q = (18)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
0 ) δ E ( C .... ) δ E ( C ) δ E (Cqn Hq1 − n q1 + 2n Hq2 − n q2 + + qn Hqq − n qq =
Dengan Hlk = <φlHφk>
δkk = <φkφk> = 1 (fungsi basis ternormalisasi)
(18)
11 Dari pers, 18 dapat diperoleh matrik sedemikian rupa sehingga persamaan 17 mempunyai
penyelesaian yang no-trivial maka determinannya harus sama denga nol, sehingga diperoleh
determinan sebagaimana diberikan pada pera.19. Akar-akar En dari penyelesaian determinan
sekuler pers. 19 akan memberikan nilai diri dari Hamiltonian H bagi keadaan sistem ψn
0 ... ... . . . . . . . . . . ... ... ... ... ... qq 3q q2 q1 3q 33 32 31 2q 23 22 21 1q 13 12 11 = − − − n n n n E H H H H H E H H H H H E H H H H H E H (19)
Dengan menggunakan fungsi basis simetri dan anti simetri pada Tabel 1, operator
pers. 11 dan dengan memperhatikan kerja operasi dari operator I+ dan I- maka elemen-elemen
Hlk yang tidak nol adalah
H11 = νA + ½νB + ½J + ¼JA
H22 = ½νB + ¼JA
H23 = ½ 2J
H32 = ½ 2J
H33 = νA - ½νB - ½J + ¼JA
H44 = -νA + ½νB - ½J + ¼JA
H45 = ½ 2J (20)
H54 = ½ 2J
H55 = -½νB + ¼JA
H66 = -νA - ½νB + ½J + ¼JA
H77 = ½νB – ¾JA
(19)
12 Dengan mensubstitusikan elemen-elemen Hlk yang tidak nol tersebut pada pers. 17 dapat diperoleh persamaan linier homogen, yaitu
C1n(νA + ½νB + ½J + ¼JA – En) = 0 C2n(½νB + ¼JA – En) + C3n(½ 2J) = 0
C2n(½ 2J) + C3n(νA - ½νB - ½J + ¼JA – En) = 0
C4n(-νA + ½νB - ½J + ¼JA – En) + C5n(½ 2J) = 0 (21) C4n(½ 2J) + C5n(-νB + ¼JA – En) = 0
C6n(-νA - ½νB + ½J + ¼JA – En) = 0 C7n(½νB – ¾JA – En) = 0
C8n(-½νB – ¾JA – En) = 0
Dari pers. 21 dapat dibuat matriks berorde 8 dengan determinan yang memenuhi pers.
19. Kemudian dengan menyelesaikan determinan yang diperoleh diperoleh delapan nilai diri
En untuk kedelapan keadaan sistem.sebagaimana diberikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Diri Dari Keadaan Sistem A2B
n Mz En (Hz)
1 3/2 νA + ½νB + ½J + ¼JA
2 1/2
½(νA - ½J + ¼JA ) + 2 2
4 9 2
1 δ − δJ+ J
3 1/2
½(νA - ½J + ¼JA ) - 2 2
4 9 2
1 δ − δJ + J
4 -1/2
-½(νA + ½J - ¼JA) + 2 2
4 9 2
1 δ + δJ+ J
5 -1/2
-½(νA + ½J - ¼JA) - 2 2
4 9 2
1 δ + δJ+ J
6 -3/2 -νA - ½νB + ½J + ¼JA
7 1/2 ½νB – ¾JA
8 -1/2 -½νB – ¾JA
(20)
13 Selanjutnya, dengan memasukkan nilai diri En sebagaimana diberikan dalam Tabel 2
ke dalam pers.21 dan dengan memberlakukan syarat normalisasi pers. 14b maka dapat
ditentukan koefisien Ckn. Kemudian dengan memasukkan koefisien Ckn tersebut ke dalam
pers. 14a maka dapat diperoleh fungsi-diri untuk setiap keadaan, yaitu sebagaimana diberikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Fungsi diri dari keadaan sistem A2B
n ψn
1 C11ααα
2 ½ 2C22(αβα + βαα) + C32ααβ
3 ½ 2C23(αβα + βαα) + C33ααβ
4 C44ββα + ½ 2C54(αββ + βαβ)
5 C45ββα + ½ 2C55(αββ + βαβ)
6 C66βββ
7 ½ 2C77(αβα - βαα)
8 ½ 2C88(αββ - βαβ)
dengan
C11 = C66 = C77 = C88 =1
1/2 2
22
(Q
1)
C
=
−+
−C
32=
-
Q
-(Q
2−+
1)
−1/21/2 2
23
Q
(Q
1)
C
=
− −+
−C
32=
(Q
−2+
1)
−1/21/2 2
44
(Q
1)
C
=
++
−C
54=
-
Q
+(Q
2++
1)
−1/21/2 2
45
Q
(Q
1)
C
=
+ ++
−C
55=
(Q
+2+
1)
−1/2dimana 1 -
)
ε
-1/2J
-J(
δ
2
Q
−=
− dengan 2 J24 9
δJ
δ
ε− = − +
1
)
ε
-1/2J
-J(
δ
2
Q
+=
+ − dengan 2 J24 9
δJ
δ
ε+ = + +
(21)
14
4. KESIMPULAN
1. Secara teoritis suatu melekul yang dapat direpresentasikan sebagai sistem A2B bila
diberikan medan magnet konstan, inti-inti yang terlibat berinteraksi secara magnetik
satu sama lain, baik antara kelompok inti maupun secara individu antara indi terdekat.
Ini direpresentasikan oleh konstanta kopling J=JAB dan JA.
2. Hasil perhitungan diperoleh bahwa melekul yang dapat direpresentasikan sebagai
sistem A2B bila diberikan medan magnet konstan dihasilkan delapan keadaan/tingkat
(22)
15
DAFTAR PUSTAKA
[1] Edmin D. Becker, 2000, High Resolution NMR : Theory and Chemical Application, 3th., National Institutes of Health Bethesda, Maryland, p 137
[2] Siverstein, Besler an Morril, 1981, Spectroscopic Identification of Organic Compounds, 4nd., John-Weslley & Son, New York, Bab 4
[3] D. E Leyden, R. H Cox, 1977, Analytical Application of NMR, Chemical Analysis, 48, John-Weslley & Son, New York.
[4] E. W. Garbich, Jr., 1968, Analysis of Complex NMR Spectra for the Organic Chemist, J. of Chem. Educ., 45, pp. 311 – 321, 402 – 418
[5] Jasper D. Memory, 1968, Quantum Theory of Magnetic Resonance Parameters, McGraw-Hill Book Company, New York
(1)
10 Dengan menggunakan metode pendekatan, yaitu metode variasi [5 hameka] dapat ditentukan nilai seperangkat koefisien Ckn dan fungsi-diri ψn untuk seluruh keadaan dengan cara
meminimumkan nilai diri En. Untuk keperluan tersebut, pertama kalikan per. 15 dengan
l q φ
∑
k knC dari kiri, kemudian dilakukan pengintergralan pada seluruh ruang sehingga
diperoleh
> <
= >
<
∑
∑
∑
∑
kq l q n k q l q E
H φ φ φ
φ k kn k kn k kn k
kn C C C
C (16)
Untuk meminimumkan nilai diri En maka turunan parsial dari En terhadap Cln haruslah sama
dengan nol. Dengan demikian, hasil pendiferensialan pers. (16) terhadap koefisien Cln secara
parsial diperoleh 0 ) δ E (
C lk lk
k
kn − =
∑
l lk qH
φ (17)
Lebih lanjut, pers. 17 dapat diungkapkan ke dalam bentuk seperangkat persamaan linier homogen,
0
)
δ
E
(
C
....
)
δ
E
(
C
)
δ
E
(
C
1nH
11−
n 11+
2nH
12−
n 12+
+
qnH
1q−
n 1q=
0 ) δ E ( C .... ) δ E ( C ) δ E (
C2n H21 − n 21 + 2n H22 − n 22 + + qn H2q − n 2q =
0 ) δ E ( C .... ) δ E ( C ) δ E (
C3n H31 − n 31 + 2n H32 − n 32 + + qn H3q − n 3q = (18)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
0 ) δ E ( C .... ) δ E ( C ) δ E (Cqn Hq1 − n q1 + 2n Hq2 − n q2 + + qn Hqq − n qq =
Dengan Hlk = <φlHφk>
δkk = <φkφk> = 1 (fungsi basis ternormalisasi)
(2)
11 Dari pers, 18 dapat diperoleh matrik sedemikian rupa sehingga persamaan 17 mempunyai penyelesaian yang no-trivial maka determinannya harus sama denga nol, sehingga diperoleh determinan sebagaimana diberikan pada pera.19. Akar-akar En dari penyelesaian determinan
sekuler pers. 19 akan memberikan nilai diri dari Hamiltonian H bagi keadaan sistem ψn
0 ... ... . . . . . . . . . . ... ... ... ... ... qq 3q q2 q1 3q 33 32 31 2q 23 22 21 1q 13 12 11 = − − − n n n n E H H H H H E H H H H H E H H H H H E H (19)
Dengan menggunakan fungsi basis simetri dan anti simetri pada Tabel 1, operator pers. 11 dan dengan memperhatikan kerja operasi dari operator I+ dan I- maka elemen-elemen Hlk yang tidak nol adalah
H11 = νA + ½νB + ½J + ¼JA H22 = ½νB + ¼JA
H23 = ½ 2J H32 = ½ 2J
H33 = νA - ½νB - ½J + ¼JA H44 = -νA + ½νB - ½J + ¼JA
H45 = ½ 2J (20)
H54 = ½ 2J H55 = -½νB + ¼JA
H66 = -νA - ½νB + ½J + ¼JA H77 = ½νB – ¾JA
(3)
12 Dengan mensubstitusikan elemen-elemen Hlk yang tidak nol tersebut pada pers. 17
dapat diperoleh persamaan linier homogen, yaitu
C1n(νA + ½νB + ½J + ¼JA – En) = 0
C2n(½νB + ¼JA – En) + C3n(½ 2J) = 0
C2n(½ 2J) + C3n(νA - ½νB - ½J + ¼JA – En) = 0
C4n(-νA + ½νB - ½J + ¼JA – En) + C5n(½ 2J) = 0 (21)
C4n(½ 2J) + C5n(-νB + ¼JA – En) = 0
C6n(-νA - ½νB + ½J + ¼JA – En) = 0
C7n(½νB – ¾JA – En) = 0
C8n(-½νB – ¾JA – En) = 0
Dari pers. 21 dapat dibuat matriks berorde 8 dengan determinan yang memenuhi pers. 19. Kemudian dengan menyelesaikan determinan yang diperoleh diperoleh delapan nilai diri En untuk kedelapan keadaan sistem.sebagaimana diberikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Diri Dari Keadaan Sistem A2B
n Mz En (Hz)
1 3/2 νA + ½νB + ½J + ¼JA
2 1/2
½(νA - ½J + ¼JA ) + 2 2
4 9 2
1 δ − δJ+ J
3 1/2
½(νA - ½J + ¼JA ) - 2 2
4 9 2
1 δ − δJ + J
4 -1/2
-½(νA + ½J - ¼JA) + 2 2
4 9 2
1 δ + δJ+ J
5 -1/2
-½(νA + ½J - ¼JA) - 2 2
4 9 2
1 δ + δJ+ J
6 -3/2 -νA - ½νB + ½J + ¼JA
7 1/2 ½νB – ¾JA
8 -1/2 -½νB – ¾JA
(4)
13 Selanjutnya, dengan memasukkan nilai diri En sebagaimana diberikan dalam Tabel 2
ke dalam pers.21 dan dengan memberlakukan syarat normalisasi pers. 14b maka dapat ditentukan koefisien Ckn. Kemudian dengan memasukkan koefisien Ckn tersebut ke dalam
pers. 14a maka dapat diperoleh fungsi-diri untuk setiap keadaan, yaitu sebagaimana diberikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Fungsi diri dari keadaan sistem A2B
n ψn
1 C11ααα
2 ½ 2C22(αβα + βαα) + C32ααβ
3 ½ 2C23(αβα + βαα) + C33ααβ
4 C44ββα + ½ 2C54(αββ + βαβ)
5 C45ββα + ½ 2C55(αββ + βαβ)
6 C66βββ
7 ½ 2C77(αβα - βαα)
8 ½ 2C88(αββ - βαβ)
dengan
C11 = C66 = C77 = C88 =1 1/2 2
22
(Q
1)
C
=
−+
−C
32=
-
Q
-(Q
2−+
1)
−1/21/2 2
23
Q
(Q
1)
C
=
− −+
−C
32=
(Q
−2+
1)
−1/21/2 2
44
(Q
1)
C
=
++
−C
54=
-
Q
+(Q
2++
1)
−1/21/2 2
45
Q
(Q
1)
C
=
+ ++
−C
55=
(Q
+2+
1)
−1/2 dimana1 -
)
ε
-1/2J
-J(
δ
2
Q
−=
− dengan 2 J24 9 δJ δ
ε− = − +
1
)
ε
-1/2J
-J(
δ
2
Q
+=
+ − dengan 2 J24 9 δJ δ
ε+ = + + dan δ = νA - νB
(5)
14
4. KESIMPULAN
1. Secara teoritis suatu melekul yang dapat direpresentasikan sebagai sistem A2B bila
diberikan medan magnet konstan, inti-inti yang terlibat berinteraksi secara magnetik satu sama lain, baik antara kelompok inti maupun secara individu antara indi terdekat. Ini direpresentasikan oleh konstanta kopling J=JAB dan JA.
2. Hasil perhitungan diperoleh bahwa melekul yang dapat direpresentasikan sebagai sistem A2B bila diberikan medan magnet konstan dihasilkan delapan keadaan/tingkat
(6)
15
DAFTAR PUSTAKA
[1] Edmin D. Becker, 2000, High Resolution NMR : Theory and Chemical Application, 3th., National Institutes of Health Bethesda, Maryland, p 137
[2] Siverstein, Besler an Morril, 1981, Spectroscopic Identification of Organic Compounds, 4nd., John-Weslley & Son, New York, Bab 4
[3] D. E Leyden, R. H Cox, 1977, Analytical Application of NMR, Chemical Analysis, 48, John-Weslley & Son, New York.
[4] E. W. Garbich, Jr., 1968, Analysis of Complex NMR Spectra for the Organic Chemist, J. of Chem. Educ., 45, pp. 311 – 321, 402 – 418
[5] Jasper D. Memory, 1968, Quantum Theory of Magnetic Resonance Parameters, McGraw-Hill Book Company, New York