Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender - USD Repository

  

PEMAHAMAN ANAK PRASEKOLAH

MENGENAI IDENTITAS GENDER

DAN

PERAN GENDER

  Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

  Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

Oleh :

PATRISIUS SUSILO HADI PURNOMO

  

NIM : 019114082

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

  Veni Creator Spiritus, mentes tu orum visita: Imple superna gratia quae tu creasti pectora.

  Accende lumen sensibus, infunde amorem cordibus, Infirma nostri corporis virtute firmans perpeti.

  Deo Patri sit gloria, et Filio, qui a mortuis Surrexit, ac Paraclito, In saeculorum saecula. Amen.

  (Hrabanus Maurus, abad ke-9)

....Kebijaksanaan....

  

Aku berdoa dan akupun diberi pengertian, aku bermohon lalu roh

kebijaksanaan datang kepadaku. Dialah yang lebih kuutamakan daripada

tongkat kerajaan dan takhta, dan dibandingkan dengannya kekayaan

kuanggap bukan apa-apa. Permata yang tak terhingga nilainya tidak

kusamakan dengan dia, sebab segala emas di bumi hanya pasir saja di

hadapannya, dan perak dianggap lumpur belaka di sampingnya. Ia kukasihi

lebih dari kesehatan dan keelokan rupa, dan aku lebih suka memiliki dia

daripada cahaya sebab kilau daripadanya tidak kunjung hentinya. Namun

demikian besertanya datang pula kepadaku segala harta milik, dan kekayaan

tak terhingga ada ditangannya.

  (Kitab Kebijaksanaan 7: 7-11)

  ^xáxÇtÇztÇ AAA fxuxÜtÑtÑâÇ uxátÜÇçt AAA gt~ ~tÇ Äxu|{ uxÜtÜà| wtÜ| ^xut{tz|ttÇA AAA ^xut{tz|ttÇ twtÄt{ {|wâÑ AAA

  `xá~| AAA [|wâÑ ÑxÇâ{ ÑxÜ}âtÇztÇA UxÜ}âtÇz ÅxÄtãtÇ wxÜ|àt? uxÜ}âtÇz ÅxÄtãtÇ {âÜt@{âÜtA gt~ {tÇçt àxÜutàtá àxÜÄxÑtáÇçt ÇçtãtA

  ;ctàÜ|á|âá? ECCL<

Kupersembahkan karya yang sederhana ini untuk:

  , yang selalu mendoakanku dan

  Orangtuaku tercinta senantiasa memberikan dukungan tiada henti kepadaku.

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  

ABSTRACT

The Preschooler’s Comprehension

about Gender Identity and Gender Role

  By: Patrisius Susilo Hadi Purnomo

  Psychology Faculty Sanata Dharma University

  2009 This research was aimed to know the preschooler’s comprehension about gender identity and gender role. This research tried to figure out the preschooler’s comprehension about gender identity and gender role.

  This was a descriptive research, which using interview method for collecting data. The interview data were getting from the preschoolers as prime data, and also parents and teacher as secondary data. Then the data in this research analyzed with triangulation technique.

  The research found that 1) the preschoolers had the gender identity comprehension as a boy or a girl. Which means the preschooler could identify them self and others people, have known the characteristics of man and woman, and also had appropriate feeling as a boy or a girl. 2) Preschoolers children also had the gender role comprehension. Those are means that the preschoolers had the comprehension about feeling, interest, ability, and behavior as boy and girl, and also known how boy’s and girl’s feeling, interest, ability, and behavior, suppose to be. 3) The environment factor contributed to the figuration of preschooler’s comprehension about gender identity and gender role. The children comprehension of gender identity and gender role were getting by understanding the social roles, through observation, imitation, reinforcement-punishment, and also gender scheme.

  Key word: preschoolers, gender identity, and gender role.

  

ABSTRAK

Pemahaman Anak Prasekolah

mengenai Identitas Gender dan Peran Gender

  Oleh: Patrisisus Susilo Hadi Purnomo

  Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

  2009 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender. Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender.

  Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan menggunakan metode wawancara sebagai metode pengambilan data. Data wawancara didapatkan dari anak prasekolah sebagai data subjek utama, serta orangtua dan guru sebagai data subjek pendukung. Data dalam penelitian ini kemudian dianalisa menggunakan teknik trianggulasi.

  Hasil temuan menunjukkan 1) Anak prasekolah telah memiliki pemahaman mengenai identitas gender sebagai laki-laki atau perempuan. Hal tersebut berarti bahwa anak prasekolah telah dapat mengidentifikasi jenis kelamin diri sendiri dan orang lain, telah memiliki pemahaman ciri-ciri laki-laki dan perempuan serta mempunyai perasaan yang sesuai sebagai laki-laki dan perempuan. 2) Anak prasekolah juga mempunyai pemahaman tentang peran gender. Hal tersebut berarti bahwa anak prasekolah telah memiliki pemahaman tentang perasaan, minat, kemampuan dan perilaku sebagai anak laki-laki dan perempuan serta pemahaman tentang bagaimana seharusnya perasaan, minat, kemampuan dan perilaku anak laki-laki dan perempuan. 3) Faktor lingkungan berperan dalam pembentukan pemahaman anak prasekolah tentang identitas gender dan peran gender. Pemahaman anak tentang identitas gender dan peran gender didapatkan dengan memahami peran-peran sosial, melalui observasi, melalui imitasi, melalui sistem hadiah-hukuman serta melalui skema gender.

  Kata kunci: anak prasekolah, identitas gender, dan peran gender.

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

  

Nama : Patrisius Susilo Hadi Purnomo

Nomor Mahasiswa : 019114082

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

  

Pemahaman Anak Prasekolah mengenai Identitas Gender dan Peran Gender

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 19 Oktober 2009

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga skripsi yang berjudul, “Pemahaman Anak Prasekolah mengenai Identitas Gender dan Peran Gender” dapat diselesaikan dengan baik.

  Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Terima kasih atas semua perijinan dan persetujuan yang diberikan dalam penelitian dan karya ini.

  2. Ibu Agnes Indar, S.Psi., M.Si., Psi. selaku dosen pembimbing skripsi.

  Terima kasih untuk waktu, bimbingan, pemikiran dan pembelajaran yang telah Ibu berikan kepada saya sehingga karya ini dapat terbentuk.

  3. Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. dan Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi., selaku dosen penguji pada saat ujian pendadaran skripsi. Terima kasih atas saran dan masukan yang telah ibu dan bapak berikan, semua itu amat bermanfaat bagi perbaikan dan kemajuan karya ini.

  4. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M, S.Psi, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik dan dosen kepala program studi. Trimakasih atas semangat dan kesempatan yang ibu berikan, sehingga karya ini dapat terwujud. telah mendukung dan tak henti-henti mendoakanku sehingga akhirnya aku dapat menyelesaikan skripsi ini.

  Puella mea

  , terima kasih atas cinta, kesabaran, masukan dan semua 6. dukungan darimu. Aku mencintaimu.

  7. Teman-temanku yang budiman: Doni, Heru, Heri, Yudhi, Tiwik, Dhedy, Kris, Aris, Cyrill, Astrid, Deka, Hari, serta teman - teman semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semua bantuan material, dukungan, doa, saran, serta sharingnya sehingga karya ini dapat terwujud.

  8. Adik-adik siswa TK Kanisius Sengkan yang lucu dan lugu, terimakasih telah bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini.

  9. Kepada para orangtua subjek penelitian ini, terimakasih untuk kesediaan dan kepercayaan yang diberikan sehingga penelitian ini bisa berjalan.

  10. Bu Titik, Yu Kristin, Bu Kris, Bu Yam, Bu Wiwik, Mas Wawan, Pak Rinto, Bu Retno, Pak Wawan, sebagai jajaran pendidik TK Kanisius Sengkan, terimakasih telah mengijinkan, menerima dan atas kerjasama selama berbulan-bulan sehingga karya ini bisa terwujud.

  11. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah ikut membantu memperlancar proses ini. Kepada Pak Gie, Mas Gandung, Mas Doni, Mas Muji, Bu Nanik. Terima kasih banyak.

  12. Semua pihak - pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang juga

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL ……………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI …………….. iii HALAMAN MOTTO ……………..……………..……………..… iv HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………….. v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………. vi ABSRACT ……………………………………………………… vii ABSTRAK ……………………………………………………….. viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH … ix KATA PENGANTAR ………………………………………….... x DAFTAR ISI …………………………………………………….. xii DAFTAR TABEL……………………………………………….. xv DAFTAR SKEMA ……………………………………………… xv DAFTAR LAMPIRAN………………………………………….. xvi BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….

  1 A. Latar Belakang………………………………………………..

  1 B. Rumusan Masalah…………………………………………….

  10 C. Tujuan Penelitian……………………………………………..

  10 A. Identitas Gender dan Peran Gender ...………………………..

  11 1. Pengertian Identitas Gender dan Peran Gender Gender …..

  11

  11

  a. Definisi Identitas Gender ………………………………

  12

  b. Definisi Peran Gender …………………………………

  13

2. Teori-teori tentang Proses Pemahaman Gender ……………

  13

  a. Teori Peran Sosial………………………………………

  13

  b. Teori Sosial Kognitif……………………………………

  14

  c. Teori Perkembangan Kognitif…………………………

  17 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Gender ..

  17

a. Faktor Biologis…………………………………………

  20 b. Faktor Lingkungan …………………………………….. 1). Orang Tua………………………………………..

  20 2). Teman Sebaya…………………………………...

  21 3). Sekolah dan Guru………………………………..

  23 4). Media ……………………………………………

  25

  4. Karakteristik Peran Gender …………………………………

  26

  a. Karakteristik Peran Gender Laki-laki …………………………

  26

  b. Karakteristik Peran Gender Perempuan ………………………

  27 B. Anak Parasekolah ……………………………………………...

  28

  28

  1. Batasan Anak Prasekolah ……………………………………

  30

  2. Karakteristik Umum Anak Prasekolah ………………………

  Prasekolah ………………………………………………………

  33 D. Pemahaman Anak Prasekolah mengenai Identitas Gender dan Peran Gender ……………………………………………………

  36 BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………

  41 A. Tujuan Penelitian …………........................................................

  41 B. Jenis Penelitian …........................................................................

  41 C. Variabel Penelitian ……………………………………………..

  42

  44 D. Subjek Penelitian ………………………………………………

  45 E. Metode Pengumpulan Data ……………………………………

  53

  54 F. Valliditas dan Realibilitas………………………………………

  58 G. Analisis Data………………………………………………….

  H. Prosedur Penelitian ……………………………………………   BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………….

  61 A. Pelaksanaan Penelitian………………………………………..

  61 B. Deskripsi Subjek ………………………………………………

  67 C. Hasil Penelitian …………………………………………………

  67 Subjek I ………………………………………………

  68 I. Subjek II ………………………………………………

  70 II. Subjek III ……………………………………………

  73 III. Subjek VI ……………………………………………

  80 VI.

  83 VII. Subjek VII ……………………………………………

  86 VIII. Subjek VIII ……………………………………………

  D. Pembahasan ………………………………………………………

  96 BAB V. PENUTUP …………………………………………………………… 109 109

  A. Kesimpulan ……………………………………………………… 110

  B. Saran ………………………………………………………………

  DAFTAR TABEL

  TABEL 1. Pedoman Wawancara Pemahaman Anak Prasekolah mengenai Identitas Gender …………………………………………………

  45 TABEL 2. Pedoman Wawancara Pemahaman Anak Prasekolah mengenai Peran Gender ………………………….…………………………

  46 TABEL 3. Pedoman Wawancara dengan Orangtua ……………………….

  48 TABEL 4. Pedoman Wawancara dengan Guru ………………………….

  51 TABEL 5. Kode dalam Wawancara Pemahaman Anak Prasekolah

  55 mengenai Identitas Gender ……………………………………… TABEL 6. Kode dalam Wawancara Pemahaman Anak Prasekolah

  57 mengenai Peran Gender ………………………………………..

  TABEL 7. Ringkasan Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian …………

  62 TABEL 8. Komposisi Subjek Penelitian ………………………….……….

  67

DAFTAR SKEMA

  Skema 1 Skema 2

  Skema Gender …………………………… Skema Penelitian …………………………

  16

  38 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran-lampiran

  A. Trianggulasi …………………………… Trianggulasi Data Subjek I ……………… Trianggulasi Data Subjek II ……………… Trianggulasi Data Subjek III ……………… Trianggulasi Data Subjek IV ……………… Trianggulasi Data Subjek V ……………… Trianggulasi Data Subjek VI ……………… Trianggulasi Data Subjek VII …………… Trianggulasi Data Subjek VIII ……………

  B. Rangkuman Observasi …………………

  C. Surat Ijin ………………………………

  D. Lembar Persetujuan …………………… 116 116 118 122 125 128 131 134 137 141 145 147

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang A. Anak prasekolah adalah anak yang berusia 5 sampai 6 tahun (Santrock,

  2002) yang memasuki taman kanak-kanak dan sudah siap memulai karir sekolah mereka (Watson & Lindgren, 1973). Salah satu tugas perkembangan anak prasekolah menurut Havighurst dalam Hurlock (1998) adalah mengetahui perbedaan seks dan tata caranya. Ahli lain, Wenar & Kerig (2000) juga mengungkapkan bahwa anak-anak harus belajar mengklasifikasikan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Hal tersebut berarti bahwa anak usia prasekolah harus mulai memahami jenis kelamin, baik jenis kelamin dirinya sendiri dan jenis kelamin orang lain seperti teman, orangtua, dan guru.

  Santrock (1995) menjelaskan jenis kelamin mengacu pada dimensi biologis sebagai laki-laki atau perempuan, dan gender mengacu pada dimensi sosial sebagai laki-laki dan perempuan. Dua aspek gender mengandung sebutan khusus identitas gender dan peran gender. Identitas gender atau gender identity ialah rasa sebagai laki-laki atau perempuan, yang diperoleh oleh sebagian besar anak-anak pada waktu berusia 3 tahun. Menurut Santrock (1995) peran gender atau gender role adalah seperangkat harapan yang menggambarkan laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, bertindak dan merasa. Wenar & Kerig (2000) mengungkapkan bahwa masyarakat turut menentukan yang mana perilaku dan perasaan yang sesuai untuk laki-laki dan perempuan, dan anak-anak harus belajar

  Menurut Kinsey Institute dalam Yustina (2006), sejak lahir hingga usia tiga tahunan seorang anak menemukan identitas jenis kelaminnya atau gender

  

identity. Di usia tiga tahun anak mulai mengenal apa yang disebut dengan peran

  jenis kelamin atau gender role, yaitu kesadaran tentang apa yang lazim dilakukan laki-laki dan perempuan. Dasar dari pengetahuan peran jenis ini adalah pengenalan identitas kelamin.

  Pemahaman anak tentang identitas gender dan peran gender dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor biologis dan faktor lingkungan. Faktor pertama adalah faktor biologis antara lain kromosom seks dan hormon. Faktor kedua adalah faktor lingkungan, antara lain orangtua, teman sebaya, sekolah dan guru, serta media.

  Pengaruh faktor biologis tampak dalam proses perkembangan pranatal. Santrock (2002) menjelaskan, manusia normal memiliki 46 kromosom yang terangkai dalam pasangan. Pasangan ke-23 mungkin memiliki dua kromosom X untuk menghasilkan seorang perempuan, atau mungkin memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y untuk menghasilkan seorang laki-laki. Pada beberapa minggu pertama pembuahan, embrio perempuan dan laki-laki tampak sama.

  Organ-organ jenis kelamin laki-laki mulai berbeda dari organ-organ jenis kelamin perempuan saat kromosom XY pada embrio laki-laki memicu keluarnya androgen, yakni kelas hormon jenis kelamin laki-laki yang utama. Tingkat androgen yang rendah pada embrio perempuan memungkinkan perkembangan

  Hal senada juga diungkapkan Allan & Barbara (1999), bahwa masa enam hingga delapan minggu setelah pembuahan, sebuah janin jantan (XY) menerima sejumlah besar hormon jantan yang disebut androgen, yang pertama-tama membentuk testis kemudian dosis berikutnya untuk mengubah otak dari susunan otak betina menjadi susunan otak jantan. Jika janin jantan tidak mendapatkan hormon jantan yang mencukupi pada waktu yang tepat, satu dari dua hal mungkin akan terjadi. Pertama-tama, seorang bayi laki-laki mungkin terlahir dengan susunan otak yang cenderung feminin daripada maskulin. Kedua, seorang anak laki-laki yang secara genetis pria namun dengan otak sepenuhnya wanita dan alat kelamin pria. Orang ini akan menjadi transgender. Ini adalah seorang yang secara biologis pria tetapi perasaannya sebagai wanita. Bahkan kadang-kadang terlahir sebagai pria genetik dengan sepasang alat kelamin pria dan wanita.

  Pemahaman tentang identitas gender dan peran gender anak juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial anak, melalui belajar sosial. Huston (1983) (dalam Santrock, 1995) berpendapat, anak laki-laki dan perempuan mempelajari peran-peran gender melalui peniruan atau belajar mengobservasi dengan cara menonton apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang lain. Kebudayaan, sekolah, teman-teman sebaya, media dan anggota keluarga adalah sumber belajar yang lain. Terlebih pada tahun awal perkembangan, orangtua mempunyai pengaruh yang penting bagi perkembangan gender.

  Naland (2007) menjelaskan pengaruh sosial, termasuk orangtua bagi anak secara berbeda. Di rumah sakit seringkali perbedaan perlakuan sudah mulai tampak, misalnya bayi perempuan dibungkus dengan selimut warna merah jambu dan anak laki-laki dengan selimut warna biru. Orangtua cenderung memilih baju dengan warna yang dianggap sesuai dengan jenis kelamin anak. Rasanya tidak nyaman kalau anak laki-laki memakai baju merah jambu, tetapi sebaliknya tidak terlalu menjadi masalah kalau anak perempuan memakai baju biru.

  Orangtua mempunyai harapan agar anak mereka memahami jenis kelamin serta berperilaku sesuai dengan norma masyarakat yang berlaku. Hal tersebut dijelaskan dalam Berk (2007) bahwa sejak lahir, orangtua mempunyai perlakuan yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Banyak orangtua menyatakan bahwa mereka menginginkan agar anak-anak mereka bermain dengan mainan yang sesuai dengan gendernya. Orangtua memberi anak laki-laki mereka mainan yang menekankan aksi dan kompetisi, seperti tembak-tembakan, mobil-mobilan, alat-alat servis, dan bola kaki serta memberi anak perempuan mereka mainan yang menampilkan pengasuhan, pasar-pasaran dan keterampilan fisik, seperti boneka, alat masak-masakan, dan perhiasan mainan.

  Penelitian Medeline Shakin menunjukkan bahwa orangtua merasa tidak secara khusus memilih baju-baju anaknya berdasarkan jenis kelamin, akan tetapi pada kenyataannya bayi ataupun anak-anak mereka diberi baju ataupun aksesoris lain yang menunjukkan bayi mereka laki-laki atau perempuan. Medeline Shakin melakukan penelitian terhadap 24 bayi laki-laki dan 24 bayi perempuan, 75% bayi laki dalam penelitian tersebut memakai baju warna biru; sisanya mengenakan baju dengan berbagai warna lainnya. Sekalipun warna baju tidak memperlihatkan jenis kelamin anak-anak tersebut, barang-barang lain yang digunakan akan menunjukkan mereka laki-laki atau perempuan (Naland, 2007).

  Perlakuan yang berbeda bukan saja berhubungan dengan penampilan, tetapi juga berbagai perlakuan yang lain. Orangtua lebih bisa menerima anak perempuan yang bermanja-manja daripada bila hal tersebut dilakukan oleh anak laki-laki. Anak perempuan diperlakukan lebih lembut dan lebih mendapat perhatian dalam segi penampilan. Anak laki-laki dianggap tidak pantas bila menangis tetapi orangtua tidak berkeberatan bila itu terjadi pada anak perempuan (Naland, 2007).

  Dalam Santrock (1995), banyak orangtua mendorong anak laki-laki dan anak perempuan untuk terlibat dalam jenis-jenis permainan dan kegiatan-kegiatan yang berbeda. Anak-anak perempuan lebih cenderung diberi boneka untuk dimainkan selama masa awal anak-anak. Mulyadi (2003) mengungkapkan bagaimanapun akan lain perilaku laki-laki dan perempuan terhadap mainannya, walaupun itu mungkin terlihat permainan untuk perempuan atau untuk laki-laki, mungkin si laki-laki yang bermain masak-masakan akan terlihat kasar dan tangkas ketika dia memasak, atau ketika bermain boneka dia akan sradak-sruduk memegang bonekanya karena dia laki-laki, jika perempuan dia akan memanjakan bonekanya, memegang dengan halus bonekanya, itu sudah naluri mereka yang

  Guru juga mempunyai peran dalam pembentukan pemahaman anak tentang identitas gender dan peran gender. Dalam observasi awal di TK Pertiwi Tunas Abadi, Cepu, Jawa Tengah, dicatat bahwa guru mencoba memberikan gambaran tentang identitas gender dan peran gender kepada siswa di kelasnya. Di tengah waktu belajar menulis huruf kelas Nol-kecil, salah seorang guru meminta siswa mengulangi tulisan di papan tulis. Karena sebagian besar anak angkat tangan, guru menunjuk siswa yang tidak angkat tangan, Dino. Pada saat itu Dino tidak mau maju karena takut, di lain sisi guru berusaha agar Dino berani maju ke depan kelas, “Masak anak laki-laki takut. Ayo Dino”. Karena Dino tetap tidak mau maju, guru berkata “Dino anak laki-laki atau perempuan?”. Dino tetap takut dan diam dan guru terus berusaha agar Dino mau maju, “Dino, anak laki-laki

  

nggak boleh takut. Masa kalah sama anak perempuan. Anak perempuan aja

banyak yang mau maju. Masak Dino mau kalah sama anak perempuan. Ayo Dino

berani ya? Kita belajar bareng-bareng”. Guru menggandeng Dino untuk maju ke

depan kelas.

  Pada usia ini, teman sebaya memiliki peran dalam terbentuknya pemahaman anak tentang identitas gender dan peran gender. Menurut hasil penelitian Eleanor Maccoby (1997), teman sebaya memainkan peranan penting dalam sosialisasi perilaku gender. Mereka mengajar satu sama lain apa perilaku yang dapat diterima oleh gendernya dan apa perilaku yang tidak dapat ditolerir. Buhrmester (1993) dan Maccoby (1989, 1993) (dalam Santrock, 1995) juga mereka. Anak-anak yang melakukan kegiatan-kegiatan dengan teman-teman yang berbeda jenis kelamin cenderung dikritik oleh teman-teman sebayanya atau ditinggal bermain sendirian. Anak-anak memperlihatkan suatu keinginan yang jelas untuk sama dengan dan menyukai teman-teman sebaya yang sama jenis kelamin.

  Pemahaman anak mengenai identitas dan peran gender juga didapatkan dari media, hal tersebut juga dijelaskan dalam Santrock (2007) bahwa pada iklan media, kaum perempuan lebih sering diperlihatkan dalam iklan-iklan produk kecantikan, produk kebersihan, dan perkakas rumah tangga, sementara kaum laki- laki dalam iklan-iklan mobil, minuman, dan perjalanan. Dibanding dengan masa lalu, program-program televisi telah menggambarkan kaum perempuan lebih berkompeten, tetapi pengiklan belum memberikan status yang sama kepada mereka dibanding dengan kaum laki-laki). Pramono (2004) berpendapat bahwa seorang anak akan melihat dunia dan masyarakat sekitarnya, yang memberikan pengertian perbedaan gender laki-laki dan perempuan. Misalnya dalam tayangan- tayangan khusus televisi yang memperlihatkan peranan perempuan dan laki-laki.

  David Bjorklund (1987) (dalam Brannon, 1999) mengemukakan bahwa anak berusia kurang dari lima tahun masih sulit memahami dasar pemahaman tentang gender, dan mereka tidak mengerti bahwa laki-laki dan perempuan merupakan karakteristik yang permanen. Bjorklund menjelaskan kesulitan yang dialami anak-anak yakni terdapat pada pembentukan identitas gender, proses

  Setiap anak mungkin pernah mengalami kesulitan dalam memahami identitas gender dan peran gender sebagai laki-laki atau perempuan. Kesulitan yang dialami anak dalam memahami identitas gender dan peran gender bisa disebabkan karena tingkat dominasi sisi maskulin atau sisi feminin seseorang. Hal tersebut dijelaskan oleh Hartington (dalam Rezki, 2006). Seseorang yang dominan maskulin akan menunjukkan sifat suka mencari gara-gara untuk berkelahi, perusak, kasar dan keras terhadap orang lain. Ia terus menerus tidak dapat mengendalikan perilaku kasar dan tidak sensitif.

  Di lingkungan sosial kita sekarang ini, banyak kita lihat laki-laki yang mempunyai peran sosial sebagai perempuan –seperti laki-laki yang bekerja sebagai penata rias ataupun tukang masak– dan perempuan yang mempunyai peran sosial sebagai laki-laki –seperti pekerja pertambangan ataupun pekerja bangunan. Sepertinya sekarang ini para orangtua mempersiapkan anak mereka agar kelak dapat bekerja sesuai kemampuan anak, terlepas dari kehadirannya sebagai laki-laki atau perempuan. Hal tersebut memungkinkan anak prasekolah lebih mengalami kesulitan dalam memahami identitas gender dan peran gender sebagai laki-laki atau perempuan.

  Sebuah penelitian oleh William Damon (1977) (dalam Bee, 1997) berusaha menjelaskan tentang pemahaman anak mengenai konsep dan stereotipe peran seks. Dalam penelitian tersebut, William memberikan suatu kisah kepada anak berusia 4 sampai 9 tahun tentang seorang anak laki-laki bernama Gheorge aturan untuk hal tersebut dan anak laki-laki akan melakukannya bila menginginkannya’. Subjek 9 tahun menyatakan salah bila George bermain boneka. Pada subjek 9 tahun, anak-anak mempunyai perbedaan antara apa yang boleh dilakukan anak laki-laki dan perempuan, dan apa itu ‘salah’. Seorang anak laki-laki mengungkapkan, sebagai contoh, membanting jendela adalah salah dan buruk, tetapi bermain boneka tidaklah buruk. Anak tersebut juga mengatakan: ‘Jangan sekali-kali kamu membanting jendela. Dan jika bermain boneka, boleh, anak laki-laki kadang juga memainkannya’. Dari penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa anak berusia 4-9 tahun masih dalam tahap belajar mengenai identitas gender dan peran gender.

  Wacana penelitian di atas merupakan penelitian tentang identitas gender dan peran gender anak berusia 4-9 tahun yang dilakukan di luar negri (dengan latarbelakang budaya barat). Dari sinilah muncul ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian tentang pemahaman anak mengenai identitas gender dan peran gender anak prasekolah di masyarakat Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Anak usia prasekolah di masyarakat Indonesia juga diharapkan menguasai tugas perkembangannya, salah satu tugas tersebut adalah memiliki pemahaman mengenai identitas gender dan peran gender. Mungkin anak juga mengalami kesulitan dalam pemahaman identitas gender dan peran gender. Penelitian ini bertujuan melihat secara faktual bagaimana pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender anak prasekolah masyarakat

  Rumusan Masalah B.

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender di Indonesia?

  Tujuan Penelitian C.

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender di Indonesia.

  Manfaat Penelitian D.

  1. Manfaat Teoritis

  a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi psikologi perkembangan khususnya mengenai pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender.

  b. Penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti lain untuk memberikan masukan khususnya mereka yang akan meneliti lebih lanjut mengenai perkembangan anak terutama tentang perkembangan gender.

  2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan memberikan wacana bagi masyarakat, khususnya orangtua, dan pembaca tentang pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender.

BAB II LANDASAN TEORI A. Identitas Gender dan Peran Gender

1. Pengertian Identitas Gender dan Peran Gender

a. Definisi Identitas Gender

  Identitas gender ialah rasa sebagai laki-laki atau perempuan, yang diperoleh oleh sebagian besar anak-anak pada waktu berusia 3 tahun (Santrock, 1995). Vasta (1995) menjelaskan identitas gender sebagai kemampuan mengkategorisasikan diri sendiri sebagai laki-laki atau perempuan. Papalia, Olds & Feldman (2007) mendefinisikan identitas gender sebagai kesadaran seseorang sebagai laki-laki atau perempuan dan perwujudannya dalam lingkungan sosial. Identitas gender merupakan aspek penting dalam perkembangan konsep diri. Berk (2007) mendefinisikan identitas gender sebagai pandangan diri seseorang terhadap ciri-ciri sebagai feminin dan maskulin.

  Menurut Money (2007), identitas gender adalah anggapan seseorang tentang dirinya dengan kepribadian laki-laki, perempuan atau berlainan dengan dirinya yang diwujudkan dalam proses mental dan perilaku sadar. Menurut Salbiah (2003) identitas gender merupakan perasaan seseorang menjadi laki-laki atau perempuan, dan mendeskripsikan perasaan seseorang akan sifat kelaki- lakiannya atau kewanitananya. prasekolah dalam mengkategorisasi dan memahami diri dan orang lain sebagai laki-laki dan perempuan.

b. Definisi Peran Gender

  Peran gender adalah seperangkat harapan yang menggambarkan bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, bertindak dan merasa (Santrock, 1995). Papalia, et al (2007) berpendapat bahwa peran gender adalah perilaku, minat, sikap, kemampuan dan ciri kepribadian yang sesuai dan diterima oleh masyarakat bagi laki-laki dan perempuan. Demikian pula Vasta (1995) berpendapat bahwa peran gender adalah aturan-aturan atau hukum- hukum tentang perilaku yang sesuai bagi laki-laki dan perempuan serta diterima oleh masyarakat.

  Menurut Money (2007), peran gender adalah perwujudan umum tentang identitas gender seseorang, tentang bagaimana orang harus berkata dan berperilaku atau kecocokan dan ketidak cocokan yang menunjukkan pribadi sebagai laki-laki dan perempuan. Salbiah (2003) berpendapat, peran gender merupakan ekspresi publik tentang identitas gender. Menurut Kinsey Institute peran gender adalah kesadaran tentang apa yang lazim dilakukan laki-laki dan perempuan (Yustina, 2006).

  Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peran gender merupakan pikiran, perasaan, sikap, perkataan dan perilaku anak prasekolah tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki dan perempuan.

2. Teori-teori tentang Proses Pemahaman Gender Teori Peran Sosial a.

  Dalam Santrock (2007) dijelaskan teori peran sosial, yang menyatakan bahwa perbedaan gender merupakan akibat dari pembedaan peran pria dan wanita. Di sebagian besar kebudayaan di dunia, kaum wanita kurang memiliki kekuatan dan status sedangkan kaum pria memilikinya dan mereka mengatur beberapa sumber. Dibanding laki-laki, perempuan lebih sering melakukan pekerjaan domestik, menghabiskan waktu yang sedikit untuk upah pekerjaan, menerima gaji yang lebih rendah, dan jarang dijumpai berkedudukan tinggi dalam organisasi. Dalam pandangan Eagly (dalam Santrock, 2007), sebagaimana para wanita menyesuaikan diri terhadap peran dengan sedikit kekuatan dan sedikit status di masyarakat, mereka tampak lebih kooperatif, profil dominan yang kurang dibanding laki-laki. Dengan demikian, hierarki sosial dan pembagian tenaga kerja merupakan hal yang penting pada perbedaan gender dalam kekuasaan, asertivitas, dan pengasuhan.

  Teori Sosial Kognitif b.

  Santrock (1995) menjelaskan, perkembangan gender anak-anak terjadi melalui observasi dan peniruan perilaku gender, dan melalui mekanisme hadiah dan hukuman anak-anak mengalami perilaku gender yang sesuai dan tidak sesuai. Dengan mengobservasi orang-orang dewasa dan teman-teman sebaya di rumah, di sekolah, tetangga, dan televisi, anak-anak terbuka secara luas terhadap Orangtua seringkali menggunakan hadiah dan hukuman untuk mengajarkan anak perempuan mereka agar bersikap dan berperilaku feminin dan maskulin.

  Pernyataan di atas diperkuat dengan pendapat Bussey & Bandura (1999) (dalam Santrock, 2007), berdasarkan teori sosial kognitif gender, perkembangan gender anak terjadi lewat observasi dan imitasi, serta lewat hadiah dan hukuman anak mengalami perilaku gender yang tepat dan gender yang tidak tepat. Orangtua terkadang memakai hadiah dan hukuman untuk mengajarkan anak perempuannya menjadi feminin –”Karen, kamu adalah anak yang baik ketika

  kamu mau main boneka dengan lemah lembut”– dan mengajarkan anak laki-

  lakinya menjadi maskulin –”Keith, anak laki-laki sebesar kamu tidak boleh

  menangis”. Fagot, Rodgers, & Leinbach (2000) juga menjelaskan bahwa anak-

  anak selalu belajar tentang gender dari observasi orang dewasa dalam lingkungan tetangga dan dari televisi.

  Teori Perkembangan Kognitif c.

  Dalam Santrock (2007), observasi, imitasi, hadiah dan hukuman- merupakan mekanisme dalam perkembangan gender dari teori sosial kognitif.

  Interaksi anak dengan lingkungan sosial adalah kunci dari pandangan teori perkembangan gender. Beberapa kritik berpendapat bahwa penjelasan ini terlalu sedikit memberi perhatian pada pikiran dan pemahaman anak, dan menggambarkan anak dalam proses pemahaman peran gender. Teori perkembangan kognitif gender menetapkan tipe gender anak terjadi setelah anak konsisten tentang dirinya sebagai laki-laki dan perempuan, anak-anak menyukai aktivitas-aktivitas, benda-benda, dan sikap-sikap konsisten dengan label ini.

  Lawrence Kohlberg di tahun 1966, menggaris bawahi pentingnya pemahaman tentang arti menjadi seorang laki-laki dan perempuan dalam perkembangan peran gender. Kohlberg menjelaskannya dalam tiga tahap, pertama anak mempelajari identitas mereka –misal, “aku adalah anak laki-laki”– , selanjutnya stabilitas gender –“aku selamanya menjadi seorang anak laki-laki dan tumbuh menjadi seorang laki-laki”–, dan terakhir ketetapan gender – “meskipun aku memakai gaun, aku tetaplah seorang anak laki-laki”. Hal tersebut terjadi ketika anak berusia enam tahun (Noppe, 2002).

  Teori skema gender menyatakan bahwa tipe gender muncul ketika anak- anak secara berangsur-angsur mengembangkan skema gender tentang apa yang disebut gender yang tepat dan gender yang tidak tepat dalam budaya mereka. Skema adalah stuktur kognitif, jaringan dari kesatuan yang mengarahkan persepsi individu. Skema gender mengatur dunia dalam lingkup laki-laki dan perempuan. Anak-anak termotivasi dari dalam untuk merasakan dunia dan untuk bertindak sesuai dengan perkembangan skemanya (Santrock, 2007).

  Berk (2007) menjelaskan, teori skema gender merupakan sebuah pendekatan pemrosesan informasi untuk tipe gender yang berhubungan dengan belajar sosial dan perkembangan kognitif. Hal tersebut menjelaskan bahwa tuntutan lingkungan dan kognisi anak bekerja bersama dalam mengasah mengorganisasikan pengalaman-pengalamannya dalam skema gender, atau kategori maskulin dan feminin, yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunianya. Dan pada akhirnya anak dapat memberi label jenis kelamin mereka sendiri, mereka memilih skema gender berdasar hal tersebut –‘hanya anak laki-laki yang menjadi dokter’ dan ‘memasak adalah pekerjaan anak perempuan’– dan menggunakan kategori yang sesuai dengan dirinya. Persepsi diri mereka kemudian menjadi tipe gender dan menyajikan semacam skema tambahan dimana anak-anak memakai proses informasi dan mengatur perilakunya sendiri.

  Skema 1 Skema Gender

  Berk (2007) menjelaskan bahwa gambar di atas menunjukkan beda alur kognitif anak-anak yang selalu menerapkan skema gender pada pengalamannya dan anak-anak yang terkadang menerapkannya. Termasuk Billy, yang tinggi. Jika pertanyaan ‘bolehkah anak laki-laki bermain boneka?’ dijawab ‘ya’ dan tertarik dengan boneka, dia mendekatinya, mengeksplorasinya, dan mempelajarinya lebih jauh. Jika jawabannya ‘tidak’, dia akan merespon dengan menghindari mainan yang tidak sesuai dengan gendernya. Tetapi jika Billy adalah anak dengan gender yang tak terskema, secara sederhana dia akan bertanya pada dirinya ‘Apakah aku suka mainan ini?’ dan merespon berdasarkan ketertarikan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Gender

a. Faktor Biologis