KULTUR ANTERA CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DENGAN PERLAKUAN KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH AUKSIN DAN KINETIN Repository - UNAIR REPOSITORY

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian an

4.1.1 Pengaruh zat pe pengatur tumbuh terhadap ukuran antera

  Pada penelitian i n ini digunakan antera Capsicum frutescens L. y . yang memiliki warna putih kekuningan an dengan ujung antera sedikit berwarna ungu (Ga (Gambar 4.1A).

  Pada penelitian ini dila dilakukan pengamatan antera C. frutescens yan ang mengalami perubahan ukuran setela telah ditanam pada media MS double layer ya yang membesar setelah 10 minggu masa asa kultur (Gambar 4.1B). Dalam hal ini jumlah lah antera yang membesar (berubah ukur h ukuran dari kecil ke besar) menjadi objek pengamat atan.

  A B a b

Gambar 4.1. Perbandin ndingan antera C. frutescens sebelum dan setelah ah di kultur. A)

  Antera C. sebelum di kultur, B) Perbandingan ngan antera tidak

  C. frutescens membesar sar (a) dan membesar (b) (Bar=1 mm).

  36 K 0,5 B 1,5 73,33±11,55 Keterangan:

  1 60,00±10,00

  K 0,5 D 1,5 46,67±15,27 K B

  43,33±5,77 K D 1,5 16,67±11,55 K 0,5 D 33,33±20,00 K

  0,5

  D

  0,5

  80,00±11,55 K 0,5 D

  1 26,67±11,55

  0,5

  K 0,5 N 1,5 80,00±17,32 K D 0,5 46,67±5,77 K D

  43,33±5,77 K B

  

1 66,67±11,55

  K B 1,5 43,33±11,55 K 0,5 B 33,33±11,55 K

  0,5

  B

  0,5

  60,00±0,00 K 0,5 B

  1

  1 73,33±15,27

  Pada setiap perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh memiliki persentase antera membesar yang berbeda-beda. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh tabel 4.1 sebagai berikut :

  0,5

Tabel 4.1. Pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan kinetin terhadap persentase antera C. frutescens membesar.

  Perlakuan Persentase Rata-rata

  (%) K I 0,5 50,00±10,00 K

  I

  

1 43,33±11,55

  K I 1,5 33,33±5,77 K 0,5 I 33,33±11,55 K 0,5 I 0,5 73,33±5,77 K

  I

  53,33±11,55 K 0,5 N

  1

  70,00±30,00 K 0,5 I 1,5 66,67±5,77 K N 0,5 73,33±30,55 K N

  1

  46,67±5,77 K N 1,5 53,33±5,77 K 0,5 N 33,33±11,55 K

  0,5

  N

  0,5

  • Nilai Rata-rata yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 5% (α < 0,05)

  Berdasarkan tabel 4.1 perlakuan yang paling optimum adalah perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh kinetin 0,5 ppm dengan NAA 1,5 ppm (K 0,5 N 1,5 ) dan kinetin 0,5 ppm dengan 2,4-D 0,5 ppm (K 0,5 D 0,5 ) dengan persentase rata-rata yang sama yaitu sebesar 80,00%. Sedangkan perlakuan yang mendapatkan hasil persentase jumlah antera yang membesar paling sedikit adalah kinetin 0 ppm dengan 2,4-D 1,5 ppm (K D 1,5 ) yaitu 16,67%.

  Berdasarkan Uji Brown-forshyte menyatakan bahwa perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh kinetin dan auksin (IAA, NAA, 2,4-D, dan IBA) berpengaruh nyata (α < 0,05) terhadap jumlah antera C. frutescens L. yang membesar. Uji Games- Howell menunjukkan bahwa ada beda nyata antar perlakuan.

  Selama masa kultur, terjadi perubahan warna pada antera yang dikultur pada media pertumbuhan. Antera C. frutescens yang awalnya berwarna putih kekuningan dengan bagian ujung berwarna ungu akan mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan (browning).

  Pada penelitian ini, juga dilakukan pengamatan mikrospora yang ada di dalam antera yang dilakukan setelah 10 minggu masa kultur. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat perubahan struktur mikrospora pada akhir masa kultur jika dibandingkan dengan kondisi awal (Gambar 4.2 A). Pada kondisi awal mikrospora berbentuk bulat dengan tepi rata dengan diameter ±20µm, sedangkan setelah masa kultur mikrospora memiliki beberapa struktur. Pada penelitian ini, terdapat mikrospora yang berbentuk oval dan struktur bagian tengah seperti membuka (Gambar 4.2 B). Pada gambar 4.2 C, lapisan luar (exine) dari mikrospora terlihat pecah. Hal ini berbeda da dengan gambar 4.2 D. Pada gambar 4.2 D

  4.2 D, mikrospora mengalami pembelahan han massa sel secara tidak terkendali sehingga gga mikrospora tersebut mengalami perk perkembangan menuju arah kalus. Gambar 4.2 E E menunjukkan bahwa mikrospora mem embentuk bagian dengan proporsi yang tidak sa k sama (terdapat bagian kecil dan bagi gian besar). Pada penelitian ini, juga ditemuk mukan struktur mikrospora mengalami p i pembelahan menjadi dua bagian yang sama (Gam Gambar 4.2 F).

  A B C D E F

Gambar 4.2. Struktur m ur mikrospora pada C. frutescens. A) Mikrospora pora pada kondisi sebelum kul kultur, B-F) Berbagai struktur mikrospora setela elah masa kultur

  selama 10 10 minggu (Bar= 20 µm).

4.1.2 Pengaruh zat pe pengatur tumbuh terhadap persentase antera yan a yang pecah

  Selain dilakukan pe kukan pengamatan antera yang membesar, dalam pene penelitian ini juga dilakukan pengamatan n antera C. frutescens yang pecah (Gambar 4.3) 4.3). Pecahnya antera akan menjadi jala alan keluar bagi mikrospora yang mengalami pert pertumbuhan dan perkembangan. Pengam amatan pecahnya antera dilakukan selama 10 m 10 minggu masa kultur dan dilakukan sem eminggu sekali.

  A B

Gambar 4.3. Perbandinga ndingan antera C. frutescens yang pecah dan ante ntera yang tidak pecah. A)

  A) Antera C. frutescens yang pecah (bagian yang g ditunjuk anak panah), B) , B) Antera C. frutescens yang tidak pecah (Bar=1m 1mm). Berdasarkan Tabe Tabel 4.2, perlakuan dengan persentase antera yang ng pecah paling tinggi ditunjukkan oleh eh kombinasi kinetin 0 ppm dan 2,4-D 1 ppm ppm (K D

  1 ) yaitu

  sebesar 13,3%. Sedangk gkan persentase antera yang pecah paling sediki dikit ditunjukkan oleh perlakuan K

  I

  1 , K , K 0,5

  I 0,5 , K 0,5 I 1,5 , K N 0,5 , K N 1,5 , K D 1,5 , K B

  1 , dan dan K 0,5 B 1 yaitu

  sebesar 0%. Hal ini me menunjukkan bahwa pada perlakuan tersebut tida tidak ada antera yang pecah selama 10 m 10 minggu masa kultur.

Tabel 4.2. Pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan kinetin terhadap persentase antera C. frutescens yang pecah.

  3,33±5,77 K B

  1 13,3±11,55

  K D 1,5 0.00±0.00 K

  0,5

  D 6,67±5,77 K 0,5 D 0,5 6,67±5,77 K 0,5 D

  1 3,33±5,77

  K 0,5 D 1,5 3,33±5,77 K B

  0,5

  1 0.00±0.00

  0,5

  K B 1,5 6,67±5,77 K

  0,5

  B 6,67±5,77 K 0,5 B 0,5 6,67±5,77 K 0,5 B

  1 0.00±0.00

  K

  0,5

  B

  1,5

  0.00±0.00 K D

  K 0,5 N 1,5 3,33±5,77 K D

  Perlakuan Persentase Rata-rata

  0.00±0.00 K 0,5

  (%) K I 0,5 3,33±5,77 K

  I

  1

  0.00±0.00 K I 1,5 3,33±5,77 K 0,5 I 6,67±0.58 K

  0,5

  I

  0,5

  I

  1 3,33±5,77

  1 6,67±5,77

  K 0,5 I 1,5 0.00±0.00 K N 0,5 0.00±0.00 K N

  1 3,33±5,77

  K N 1,5 0.00±0.00 K 0,5 N 6,67±5,77 K

  0,5

  N

  0,5

  3,33±5,77 K 0,5 N

  10,00±10,00 Pada penelitian ini, untuk menentukan waktu pecahnya antera C. frutescens dilakukan proses rata-rata dari setiap perlakuan. Dengan penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan kinetin pada media, dapat menyebabkan antera yang di kultur pada media tersebut menjadi pecah. Walaupun demikian, tidak semua perlakuan memiliki waktu pecahnya antera yang sama.

Tabel 4.3. Pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan kinetin terhadap waktu pecahnya antera C. frutescens.

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  6.67 K 0,5 D 0,5

  3.33

  6.67

  6.67

  6.67

  6.67

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  6.67 K

  0.00

  3.33

  0.00

  0.00

  0.00

  3.33 K 0,5 D 1,5

  3.33

  3.33

  0.00

  0,5

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  1

  D

  0.00

  0.00 K 0,5 D

  0.00

  0,5

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  3.33 K D

  0.00

  3.33

  3.33

  3.33

  3.33

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00 K D

  0.00 6.67 6.67 13.33 13.33 K D 1,5

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  1

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  6.67

  3.33

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  6.67 K 0,5 B

  6.67 K 0,5 B 0,5

  6.67

  6.67

  6.67

  0.00

  0.00

  0.00

  6.67

  1

  0.00

  0.00 K 0,5 B 1,5

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  1

  3.33 K B

  3.33

  3.33

  3.33

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  3.33 K B 0,5

  3.33

  3.33

  0.00

  0.00

  B

  0.00

  0,5

  6.67 K

  6.67

  6.67

  3.33

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00 K B 1,5

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  3.33 K 0,5 N 1,5

  Perlakuan Persentase Rata-Rata Antera Yang Pecah

  0.00

  6.67 K

  6.67

  6.67

  6.67

  6.67

  0.00

  0.00

  I

  0.00

  0.00

  I

  3.33 K 0,5

  3.33

  3.33

  3.33

  0,5

  0,5

  0.00

  0.00 K 0,5

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  1

  I

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  8

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  10 K I 0,5

  9

  7

  3.33

  6

  5

  4

  3

  2

  1

  Minggu Ke-

  0.00

  3.33

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00 K I 1,5

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  3.33

  0.00

  0.00

  0.00

  1

  I

  3.33 K

  3.33

  0.00

  0.00

  3.33

  0.00

  6.67 K 0,5 N 0,5

  6.67

  6.67

  6.67

  6.67

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00 K 0,5 N

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  3.33

  3.33

  3.33

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  1

  3.33 K 0,5 N

  3.33

  3.33

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  3.33

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00 K N 0,5

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  6.67 K 0,5 I 1,5

  3.33

  0.00

  0.00

  0.00

  3.33

  0.00

  1,5

  3.33 K N

  3.33

  3.33

  3.33

  3.33

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  0.00

  1

  0.00 K N

  0.00

  0.00

  0.00 3.33 6.67 10.00 *Data merupakan rata-rata dari 3 ulangan. Berdasarkan Tabel 4.3, perlakuan kombinasi kinetin 0 ppm dan NAA 1 ppm (K N

  1 ) antera mulai pecah pada minggu ke-5 dengan persentase antera yang pecah

  sebesar 3,33%. Hal ini berbeda dengan pada perlakuan K 0,5 I , K 0,5 N , dan K 0,5 D . Antera pada ketiga perlakuan tersebut mulai pecah pada minggu ke-6 dengan persentase antera yang pecah sebesar 6,67%. Pada perlakuan K D , antera mulai

  0,5 0,5

  pecah pada minggu ke-9 dengan persentase 3,33% dan meningkat pada minggu ke-10 yaitu sebesar 6,67%.

  Berdasarkan Uji Kruskal-Wallis, perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh kinetin dan auksin (IAA, NAA, 2,4-D, dan IBA) tidak berpengaruh nyata (α > 0,05) terhadap jumlah antera C. frutescens yang pecah sehingga tidak dapat dilakukan uji lanjutan statistik.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap ukuran antera

  Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh terhadap antera cabai rawit (C. frutescens) menyebabkan perbedaan persentase jumlah antera yang membesar. Perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh yang paling optimal adalah kombinasi kinetin 0,5 ppm dengan NAA 1,5 ppm (K 0,5 N 1,5 ) dan kinetin 0,5 ppm dengan 2,4-D 0,5 ppm (K 0,5 D 0,5 ). Hal ini ditunjukkan dengan nilai persentase antera yang membesar paling tinggi yaitu sebesar 80%.

  Kombinasi kinetin 0,5 ppm dengan NAA 1,5 ppm dan kinetin 0,5 ppm dengan 2,4-D 0,5 ppm mampu mempengaruhi perubahan ukuran antera cabai rawit menjadi lebih besar dari ukuran pada awal proses penanaman. Kombinasi antara zat pengatur tumbuh termasuk auksin dan kinetin sangat diperlukan sebagai penambahan komponen media bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Selain itu, penentuan kadar zat pengatur tumbuh yang akan ditambahkan pada media pertumbuhan harus tepat. Hal ini disebabkan jika kadar yang diberikan terlalu tinggi maka pertumbuhan eksplan akan terhambat, bersifat racun dan bahkan menyebabkan eksplan tersebut mati.

  Sedangkan pemberian zat pengatur tumbuh di bawah kadar optimum menjadi tidak efektif (Hendaryono & Wijayani, 1994).

  Antera yang telah dikulturkan pada media MS dengan penambahan auksin dan kinetin akan mengalami perubahan termasuk ukuran eksplan. Peran dari zat pengatur tumbuh auksin adalah untuk melonggarkan serat-serat dinding sel. Pada saat dinding sel lebih fleksibel, sel bebas mengambil tambahan air dan zat hara melalui osmosis.

  Sel eksplan (antera C. frutescens) akan mulai membesar dan memberikan dorongan melawan dinding selnya. Beda potensial air dan zat terlarut dalam sel akan mencapai titik konsentrasi yang sama sehingga kondisi ini akan menyebabkan sel turgid. Sel turgid dengan penambahan sitokinin akan mempengaruhi pembelahan dan pemanjangan sel (Desriatin, 2011).

  Pada antera yang membesar, dilakukan pengamatan mikrospora yang ada di dalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat berbagai struktur mikrospora setelah masa kultur 10 minggu. Pada kondisi awal, mikrospora berbentuk bulat dengan tepi rata dengan diameter ± 20µm (Gambar 4.2 A). Pada gambar 4.2 B, mikropsora berbentuk oval dan memiliki struktur yang khas pada bagian tengah. Pada penelitian Supena et al. (2004) menyatakan bahwa pada C. annum juga ditemukan struktur mikrospora seperti gambar 4.2 B. Struktur tersebut merupakan tahap uninukleat akhir yang ditemukan pada antera setelah masa kultur 2 minggu.

  Pada gambar 4.2 C, mikrospora terlihat pecah dengan lapisan luar mikrospora (exine) yang mengalami kerusakan struktur (pecah) sedangkan pada gambar 4.2 D, mikrospora mengalami perkembangan menuju arah kalus. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pembelahan massa sel secara tidak terkendali sehingga mikrospora tersebut mengalami perkembangan menuju ke arah kalus.

  Pada gambar 4.2 E menunjukkan bahwa mikrospora membentuk bagian dengan proporsi yang tidak sama (terdapat bagian kecil dan bagian besar). Hal ini sama dengan penelitian Bal et al. (2003) yang menyatakan bahwa pada antera C.

  annum ditemukan mikrospora dengan bentuk yang sama. Struktur tersebut

  merupakan perkembangan kalus yang memungkinkan akan berkembang menjadi embrio. Struktur yang kecil akan menjadi embrio sedangkan struktur yang besar dapat mengalami perkembangan menjadi kotiledon.

  Struktur mikrospora C. frutescens mengalami pembelahan menjadi dua bagian yang sama (Gambar 4.2 F). Setelah perlakuan dengan penambahan zat pengatur tumbuh, beberapa mikrospora akan membelah menjadi dua sel dengan ukuran dan strktur yang sama (Barany et al., 2005).

  Berdasarkan hasil tersebut, mikrospora yang ada di dalam antera telah mengalami perkembangan walaupun antera tersebut tidak pecah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah atau ukuran mikrospora yang berkembang tidak mampu mendesak dinding antera sehingga mikrospora di dalamnya tidak dapat keluar.

4.2.2 Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap persentase antera yang pecah.

  Pecahnya antera diawali proses pemanjangan endotesium secara signifikan pada bagian dinding antera. Stomium akan mengalami degenerasi (membuka) pada dinding antera. Sehingga antera dapat mengeluarkan mikrospora melalui stomium yang mengalami degenerasi (Sanders et al., 2000).

  Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan Berdasarkan hasil penelitian, pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan kinetin tidak berpengaruh terhadap persentase jumlah antera cabai rawit (Capsicum frutescens L.) yang pecah. perlakuan yang lain, perlakuan kinetin 0 ppm dan 2,4-D 1 ppm (K D

  1 ) mendapat

  persentase jumlah antera yang pecah paling tinggi yaitu sebesar 13,3%. Hal ini berbeda dengan penelitian Supena et al. (2004) yang menyatakan bahwa penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh zaetin 2,5 µM dan IAA 5 µM ke dalam media pertumbuhan mampu menginduksi pecahnya antera Capsicum annum serta menghasilkan embrio normal.

  Setiap eksplan memiliki respon yang berbeda terhadap zat pengatur tumbuh yang ditambahkan pada media pertumbuhan. Menurut Dumas de Vaulx et al. (1981) penambahan 0,01 mg/L kinetin dan 0,01 mg/L 2,4-D merupakan kombinasi zat pengatur tumbuh yang tepat dalam menginduksi antera Capsicum annum menjadi tanaman haploid. Sedangkan pada penelitian ini, persentase jumlah antera yang pecah paling tinggi adalah perlakuan kombinasi kinetin 0 ppm dan 2,4-D 1 ppm dengan persentase jumlah antera yang pecah sebesar 13,3%. Walaupun begitu, jumlah persentase yang dihasilkan sangat kecil.

  Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh browning. Browning merupakan perubahan warna eksplan yang awalnya berwarna putih kekuningan dengan ujung sedikit berwarna ungu menjadi berwana coklat. Browning kemungkinan terjadi karena adanya akumulasi komponen fenolik pada eksplan dimana terjadi proses perubahan adaptif bagian tanaman akibat adanya pengaruh fisik (memar, pengupasan, pemotongan, atau kondisi yang tidak normal) dan biokimia, bisa juga merupakan gejala ilmiah dari proses penuaan (Kartiningrum dkk., 2011). Senyawa kuinon akan menghambat aktifitas enzim yang selanjutnya dapat mematikan tanaman (Agustin, 2005). Berdasarkan hal tersebut, kemungkinan adanya browning pada eksplan mempengaruhi jumlah antera yang pecah. Sehingga pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan kinetin tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah antera cabai rawit (C. frutescens) yang pecah.

  Menurut Sheeler & Bianchi (1987), bagian sel tanaman yaitu vakuola sebagai tempat untuk menyimpan air dan produk-produk sel khususnya metabolit sekunder termasuk fenol. Pada saat proses pemotongan jaringan, vakuola terpotong dan akan mengeluarkan fenol yang bereaksi dengan enzim fenol oksidase di dalam sitosol, sehingga terbentuk kuinon yang menyebabkan warna berubah menjadi coklat.

  Untuk mencegah proses browning perlu dilakukan penambahan antioksidan ke dalam media kultur dan perendaman eksplan dalam antioksidan sebelum dikulturkan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terbentuknya kuinon. Zat yang biasa ditambahkan adalah polivinylpyrrolidone. Penambahan zat polivinylpyrrolidone (PVP) cukup efektif untuk menyerap senyawa toksik (Chung et al., 1987).

  Menurut Supena et al. (2004), waktu yang dibutuhkan antera Capsicum annum untuk pecah dan mengeluarkan mikrospora adalah 3 minggu setelah kultur.

  Hal ini berbeda dengan hasil penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian, waktu tercepat dalam proses pecahnya antera C. frutescens adalah minggu ke-5 yaitu perlakuan kombinasi kinetin 0 ppm dan NAA 1 ppm (K N

  1 ). Meskipun begitu, pada

  perlakuan K N

  1 persentase jumlah antera yang pecah hanya 3,3%. Jika dibandingkan

  dengan perlakuan K N , walaupun perlakuan K D waktu yang dibutuhkan antera

  1

  1

  untuk lebih lama (minggu ke-7) tetapi K D

  1 memiliki persentase jumlah antera yang

  pecah lebih tinggi dibandingkan perlakuan K N

  1 yaitu sebesar 13,3%. Hal ini

  menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara waktu awal pecahnya antera dengan persentase jumlah antera C. frutescens yang pecah.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PERIMBANGAN ZAT PENGATUR TUMBUH KINETIN DAN NAA TERHADAP EKSPLAN Anthurium plowmanii (GELOMBANG CINTA) SECARA KULTUR IN VITRO

0 3 2

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRASI ZAT PENGATUR TUMBUH DAN PUPUK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN CABE (Capsicum annum L.)

0 7 3

PERBANYAKAN TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE SECARA KULTUR IN VITRO DENGAN KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH BAP DAN NAA

0 7 2

EFEK MEDAN LISTRIK TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.)

4 38 8

KADAR CAPSAICIN DUA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) SEBAGAI RESPON PENGARUH DOSIS PUPUK NITROGEN

8 29 94

RESPON PERTUMBUHAN TIGA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) PADA BEBERAPA TINGKAT SALINITAS SKRIPSI RINI SUSANTI

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - KULTUR ANTERA CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DENGAN PERLAKUAN KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH AUKSIN DAN BA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 7

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian - KULTUR ANTERA CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DENGAN PERLAKUAN KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH AUKSIN DAN BA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 11

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian - KULTUR ANTERA CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DENGAN PERLAKUAN KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH AUKSIN DAN BA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.) 2.1.1 Klasifikasi cabai rawit (Capsicum frutescens L.) - ISOLASI DAN UJI POTENSI BAKTERI Bacillus DARI TANAH KAWASAN MANGROVE WONOREJO SURABAYA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 1 30