BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - DEKA LISTYANTI, BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejawen dalam opini umumnya berisikan seni, budaya, tradisi, ritual,

  sikap serta filosofi, atau spiritualitas suku Jawa. Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian sebagai agama monotheistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan ibadah). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep keseimbangan. Konsep keseimbangan ini merupakan upaya untuk mencapai kehidupan yang harmonis baik dengan Tuhan, alam, dan manusia. Di dalam hati manusia, keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan pasti ada dan berkembang keyakinan dengan agama dan kepercayaan yang di pilih (Dj am’annuri, 2000: 15). Sejarah manusia berkembang dan tumbuh bersamaan dengan agama, manusia senantiasa bergerak mengikuti nalurinya untuk mempelajari hal yang lebih jauh tentang agama. Agama hadir sebagai bentuk kebutuhan dasar manusia terhadap hati dan jiwa sebagai pemberian yang ada dalam diri manusia, sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan. Semakin dewasa seseorang maka keinginannya akan menjadi kompleks, keinginan untuk bahagia dalam kehidupan rohani dan kehidupan sosial, keinginan menemukan jalan yang hakiki. Jiwa manusia senantiasa membutuhkan motivasi-motivasi yang bisa memberikan

  1 semangat dan spirit dalam menjalani kehidupan. Manusia yang berusaha mencari jati diri dari dalam jiwa dan lingkungan yang membentuk karakter keberagaman melalui proses yang dilalui dalam pencarian, maka ia semakin dekat dan mengenal diri sendiri akan lebih mengerti jiwanya dan mengenal Tuhan.

  Kepercayaan merupakan proses kejiwaan, kepercayaan memberi pengertian yang mendasar tentang sistem tata-kerja akal pikiran manusia (Moreno, 1994: 139).

  Kepercayaan atau ritual yang dilakukan oleh orang Jawa disebut kejawen. Berbakat dari kepercayaan akan gejolak alam, maka suku Jawa tidak lepas dari ritual terhadap alam dan tradisi yang berkembang sebagai bagian bentuk kepercayaan dari ketaatan menjalankan tradisi dan sebagai bentuk penghormatan terhadap nenel moyang. Manusia dapat meyakini keyakinannya dan menerapkan nilai-nilai baik dan memberikan kontrol atas keyakinan dan keagamaan mereka. Ritual ataupun upacara yang dilakukan bertujuan untuk menghindar dari marabahaya dan sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan yang melimpahkan karunia kepada mereka. Kepercayaan keagamaan merupakan tidak hanya mengakui keberadaan benda-benda, makhluk-makhluk dan kekuatan- kekuatan yang besar dan dianggap sakral, tetapi memperkuat dan mempertegas keyakinan. Adanya sekelompok masyarakat yang memiliki kepercayaan sama dan menjalankannya secara bersama-sama merupakan hal yang sangat penting bagi suatu agama karena hanya dengan kebersamaan, kepercayaan-kepercayaan serta pengalaman-pengalamannya dapat dilestarikan (Ali, 2007: 34).

  Meskipun setiap tahun di Kabunan dilaksanakan acara Sadranan, tetapi banyak pengunjung yang tidak tahu mengapa acara tersebut dilaksanakan di Kabunan (tempat keramat yang masih mempunyai kekuatan gaib) masih banyak masyarakat yang berziarah untuk mendapatkan apa yang diinginkan atau dicita- citakan.

  Upacara Sadranan di Kabunan adalah puncak acara tahunan kegiatan Resek Kabunan yang dilaksanakan hari Senin Wage dan Kamis Wage. Sebelum acara dimulai diadakan Resek Kabunan yang dilaksanakan oleh petugas dengan dibantu masyarakat yang terpanggil secara ikhlas untuk membantu membersihkan lokasi Kabunan.

  Upacara-upacara yang dilaksanakan untuk menghormati, memuja, menyukuri dan meminta keselamatan kepada leluhur dan Tuhan dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu. Pemujaan dan penghormatan kepada leluhur bermula dari perasaan takut, segan, dan hormat terhadap leluhur. Perasaan ini timbul karena masyarakat mempercayai adanya sesuatu kekuatan luar biasa yang berada di luar kekuasaan dan kemampuan manusia yang tidak tampak oleh mata.

  Penyelenggaraan upacara adat dan tradisi merupakan aktivitas ritual yang mempunyai arti bagi warga masyarakat yang melaksanakannya, selain sebagai penghormatan terhadap roh leluhur dan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, juga sebagai sarana pelestarian budaya dalam menjaga nilai-nilai adat.

  Kejawen merupakan tuntunan dan ajaran hidup yang didalamnya terdapat konsep ketuhanan orang Jawa, hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam seisinya (Suyono, 2009: 1).

  Masyarakat Jawa dalam kehidupan sangat dekat dengan sebuah ritual atau tradisi yang berkaitan dengan siklus kehidupan agar memperoleh kualitas hidup yang baik. Kejawen adalah kepercayaan atau ritual yang dilakukan orang Jawa, ajaran kejawen merupakan keyakinan dan ritual campuran dari agama-agama formal dan pemujaan terhadap alam.

  Kosmologi menjadi suatu yang amat penting bagi masyarakat Jawa umumnya, dan kejawen pada khususnya. Microcosmos dan macrocosmos mempunyai ikatan yang kuat dan menjadi tatanan sosial dalam masyarakat Jawa (Suyono, 2009: 2).

  Budaya Sadranan pada masa sekarang sudah langka. Anak-anak zaman sekarang sudah tidak tahu lagi apa sadranan itu. Dulu Sadranan bagi masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah sangat populer. Biasanya saat bulan Sadran (Sya’ban) masyarakat Jawa Tengah mempunyai tradisi untuk saling berkirim makanan (nasi serta lauk pauk). Acara Sadranan yang sudah dilaksanakan ini masih dapat ditemukan di desa Pekuncen, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap. Dalam acara ini peserta sadranan tidak hanya warga dari desa Pekuncen saja, tetapi dihadiri pula oleh warga dari luar. Maka dari itu, penulis melakukan penelitian dengan judul Komunitas Tradisi Sadranan di Desa Pekuncen Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap 1990-2014.

B. RumusanMasalah

  Penelitian ini lebih terfokus dalam membahas suatu penelitian, harus menetapkan perumusan masalah:

  1. Bagaimana keadaan umum desa Pekuncen, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap?

  2. Bagaimana prosesi tradisi sadranan bagi masyarakat di desa Pekuncen, Kecamatan Kroya?

  3. Bagaimana makna dan pengaruh dari tradisi sadranan bagi komunitas tradisi sadranan desa Pekuncen?

  C. Tujuan Penelitian

  Agar penelitian ini lebih terfokus dalam membahas suatu penelitian, harus menetapkan bahasan penelitian. Berikut ini beberapa persoalan yang dapat dirumuskan adalah: Penelitian bertujuan untuk menyajikan: 1. Keadaan umum desa Pekuncen, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap.

  2. Prosesi tradisi sadranan bagi masyarakat di desa Pekuncen, Kecamatan Kroya.

  3. Makna dan pengaruh dari tradisi sadranan bagi komunitas tradisi sadranan desa Pekuncen.

  D. Manfaat Penelitian

  Hasil yang diharapkan setelah diadakan penelitian tentang Komunitas

  Tradisi Sadrana di desa Pekuncen Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap1990- 2014 adalah:

  1. Secara Teoritis

  a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan referensi yang berhubungan dengan studi analisis terhadap Sejarah lokal, terutama dalam bidang penelitian KomunitasTradisi Sadranan di desa Pekuncen Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap tahun 1990-2014.

  b. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah sumber keilmuan yang berguna bagi kegiatan penelitian berikutnya.

  2. Secara Praktis

  a. Bagi penulis, hasil penelitian ini diharapkan akan menambah dan memperluas wawasan dan pendalaman pengetahuan tentang Tradisi Sadranan di desa

  Pekuncen Kecamatan Kroya.

  b. Bagi masyarakat Cilacap, hasil penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan masyarakat tentang Tradisi Sadranan di desa Pekuncen Kecamatan Kroya sebagai warisan peninggalan nenek moyang yang harus dilestarikan.

E. Tinjauan Pustaka

  Tinjauan pustaka harus dilakukan dalam sebuah penelitian. Hal ini sangat penting dilakukan guna untuk mencari sumber dan data, bahan pertimbangan yang sudah ada. Tradisi sadranan sudah populer di antara masyarakat Jawa karena tradisi sadranan sering kali dilakukan oleh berbagai masyarakat khususnya di Jawa, tetapi penelitian yang dilakukan tentang tradisi sadranan yang dilakukan oleh masyarakat di desa Pekuncen, Kecamatan Kroya.

  Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Hari Yuliani (2003) dengan judul

  Bahasa Sakral Upacara Sadranan di Kabunan desa Karanggude Kulon Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas, menyimpulkan bahwa latar

  sosial budaya masyarakat Karanggude Kulon adalah sebagaian besar penduduk memeluk agama Islam, hubungan kekerabatan menganut sistem bilateral (garis

  keturunan ayah dan ibu sama), pendidikan formal yang ditempuh sebagian besar

  penduduk hanya sampai pendidikan dasar, bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa dialek Banyumas. Sejarah singkat Kabunan desa Karanggude Kulon pada hakikatnya bercerita tentang perjalanan hidup Kiai Murokhidin dari pertama beliau tiba di Mandala Giri sampai pada pancariannya terhadap isteri muda yang pergi meninggalkan Mandala Giri karena terbakar api cemburu melihat suami tercinta sedang duduk berdua bersama istri tua yang terakhir dengan cerita pertemuan antara Kiai Murokhidin dengan Nyai

  Murokhidin Muda di desa Tinggarwangi Kecamatan Jatilawang. Bahasa sakral

  digunakan dalam doa kabul pada acara Sadranan Kabunan mempunyai makna yang sama dengan doa kabul yang dilaksanakan pada acara Resek Kabunan, perbedaannya hanya terletak pada tujuan (niat) dari doa tersebut.

  Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Anggit Gilang Fajari (2014) dengan judul Tradisi Jawa dalam Acara Pernikahan di desa Dukuh Bangsa Kecamatan , menyimpulkan bahwa kondisi

  Jatinegara Kabupaten Tegal Tahun 1990-2013

  sosial ekonomi dan budaya desa Dukuhbangsa dari tahun ke tahun secara umum berkembang cukup baik, tidak heran jika faktor tersebut mempengaruhi pemikiran masyarakat desa Dukuhbangsa tentang tradisi-tradisi Jawa peninggalan nenek moyang. Mengenai perkembangan pengaruh adat Jawa dalam hajatan, terutama pernikahan memang telah berubah tidak lagi sama dengan pengaruh adat pernikahan dari keraton dan daerah-daerah lain. Masyarakat desa Dukuhbangsa masih mempercayai pengaruh-pengaruh kejawen, tetapi sekarang pengaruh tersebut hanya dijadikan sebagai warisan dan tidak terlalu mementingkan lagi. Adapun mengenai pernikahan didalam masyarakat desa Dukuhbangsa masih sering dijumpai dengan menggunakan adat Jawa yang dipadukan dengan pengaruh syariat Islam disetiap tahap-tahap pelaksanaannya. Masyarakat Dukubangsa masih menjaga tradisi Jawa ini sebagai bentuk untuk menghormati hasil dari pemikiran kearifan lokal serta sebagai sarana untuk mempererat hubungan antara sesama warga masyarakat desa Dukuhbangsa.

  Penelitian skripsi yang dilakukan Nurul Hidayah (2009) dengan judul

  Tradisi Nyadran di Dukuh PokohDesa Ngijo Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar, menyimpulkan bahwa kebutuhan sosial tersebut adalah kebutuhan

  untuk berkomunikasi dengan sesama anggota masyarakat, kebutuhan untuk saling tolong-menolong dan kebutuhan bersama dalam hal melestarikan tradisi leluhur.

  Selain itu, tradisi Nyadran merupakan kebutuhan spiritualitas antara manusia dengan Tuhannya. Tradisi Nyadran tetap dilaksanakan karena masyarakat dusun Pokoh sangat menghormati para leluhurnya. Selain itu, ungkapan syukur atas segala nikmat yang telah diperoleh. Syukur dapat diungkapkan dengan berbagai cara bersedekah dan melakukan selamatan. Tradisi Nyadran juga terkandung makna silaturahmi. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian tentang tradisi Sadranan yang ada di desa Pekuncen, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap.

F. Landasan Teori dan Pendekatan 1. Landasan Teori

  Tradisi sadranan bagian dari tradisi yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat desa Pekuncen, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, sebagai bentuk dari ketaatan menjalankan tradisi dan sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek moyang. Selain dilaksanakan sebagai tradisi, sadranan juga merupakan bentuk ketaatan terhadap agama dengan berziarah atau mengunjung makam para leluhur yang bertujuan untuk berdoa kepada para leluhur dan meminta izin sebelum melaksanakan ibadah puasa. Ibadah puasa yang ikut disyariatkan Islam ikut mewarnai perilaku orang Jawa, pada umumnya dan masyarakat desa Pekuncen pada khususnya, sebagai bentuk penyucian rohani untuk melengkapi doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan.

  Tradisi sadranan merupakan suatu bentuk dari kepercayaan dan praktik keagamaan yang berkaitan dengan leluhur dan peninggalan nenek moyang.

  Pemujaan terhadap leluhur sebagai bentuk penghormatan kumpulan sikap, kepercayaan yang berhubungan dengan roh atau pendewaan orang yang sudah meninggal, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Pemujaan leluhur adalah salah satu bentuk kepercayaan yang religius dan ritual yang menjadi dasar pemujaan ini adalah keluarga, pertalian keluarga dan keturunan.

  Namun, selain beberapa persamaan dengan orang Islam di daerah-daerah lain di Indonesia tersebut, orang Jawa dari golongan ini juga yakin pada konsep- konsep keagamaan lain, pada makhluk gaib, serta kekuatan sakti, dan mereka juga melakukan berbagai ritual dan upacara keagamaan yang tidak ada atau sangat sedikit sangkut-pautnya dengan doktrin-doktrin agama Islam yang resmi. Mereka tidak dapat dikatakan orang beragama Islam yang tidak banyak menghiraukan agama sebab sebenarnya agama yang mereka anut adalah suatu varian dari agama Islam, yaitu agami Jawi. Oleh sebab itu, seperti yang telah dilakukan oleh Geertz (1960) dalam bukunya The Religion of Java, suatu deskripsi mengenai agama.

  Orang Jawa harus membedakan antara dua buah manifestasi dari agama Islam Jawa yang cukup banyak berbeda, yaitu agami Jawi dan agama Islam Santri.

  Sebutan yang pertama berarti Agama orang Jawa, sedangkan yang kedua adalah Agama Islam yang dianut orang Santri (Koentjaraningrat, 1994: 311-312).

  Tradisi Sadranan adalah tradisi yang banyak dilakukan oleh masyarakat kejawen. Adapun asal-usul dari tradisi Sadranan berasal dari ajaran Hindu- Buddha yang bertujuan untuk memohon bantuan dan memuja kepada para leluhur dan nenek moyang. Pada zaman pra-Islam tradisi sadranan diselenggarakan untuk memuja roh para leluhur sesuai dengan pegangan mereka, yakni sampai sekarang tradisi Sadranan masih sering dilakukan di daerah-daerah lain, salah satunya di desa Pekuncen, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap.

  Pada upacara religi, khususnya upacara tahunan Sadranan yang dijumpai pada masyarakat Jawa, termasuk wilayah banyumas. Sadranan sungguhnya berasal dari budaya Majapahit. Upacara sraddha oleh orang Jawa secara berangsur-angsur dibaca sadran atau sadranan (Priyadi, 2013: 105).

  Hal serupa juga tampak di jumpai pada daerah kekuasaan Banyumas yang meliputi, Ngayah, Pasir, Panjer, dan Purbalingga. Pembagian daerah wirasaba serta daerah kekuasaan Banyumas merupakan pola klasifikasi Jawa yang berusaha menjelaskan relasinya dengan pendiri dinasti Banyumas yang berhubungan dengan Majapahit, yakni tentang larangan-larangan, hadiah keris, bisikan ghaib (wangsit), pulung (wahyu) dan pemilihan daerah yang dianggap sakral dengan dihubungkan dengan silsila Nabi Adam dengan Raja Majapahit (Priyadi, 2015: 106).

  Tradisi Sadranan merupakan perwujudan rasa syukur manusia terhadap alam sekitar lingkungan masyarakat. Terhadap nenek moyang yang sudah meninggal, Sadranan mengadung makna, di setiap manusia yang hidup harus ingat bahwa di dalam kehidupan masyarakat, manusia hidup tidak hanya sendiri, tetapi manusia hidup berkelompok guna melakukan apa yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.

  Salah satu tradisi yang melekat pada jiwa masyarakat, khususnya pada masyarakat Jawa adalah tradisi Sadranan. Tradisi Sadranan merupakan tradisi yang masih dilakukan di desa Pekuncen, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap. Masyarakat mengadakan tradisi Sadranan umumnya ketika menjelang satu pekan sebelum menjelang Ramadhan, yaitu Sya’ban dan satu pekan menjelang bulan

  Syawal. Biasanya masyarakat di desa Pekuncen, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, dalam melaksanakan tradisi Sadranan tidak individual, tetapi mempunyai sebuah Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK), guna untuk bersama-sama melaksanakan ritual-ritual keagamaan dalam tradisi Sadranan di desa Pekuncen Kecamatan Kroya.

  Tradisi Sadranan di desa Pekuncen, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, adalah acara tahunan kegiatan resek kuburan (makam) leluhur atau nenek moyang yang disakralkan oleh penganut Himpunan Penghayat

  Kepercayaan (HPK) di desa Pekuncen. Masyarakat Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) biasanya juga membawa nasi tumpeng lengkap dan

  membawa kambing. Kambing korban persembahan tersebut dimasak dikomplek lokasi oleh masyarakat Himpunan Penghayat Kepercayaan(HPK) di desa Pekuncen. Setelah masakan gulai kambing selesai, acara Sadranan pun dimulai. Acara tersebut diawali dengan pisowanan (pertemuan/perkumpulan) ke Kunci Agung, Santri Agung, Mantri Agung, Mbah Gusti Agung beserta para sahabat (Siti Jenar, Sunan Ampel, Sunan Kajoran, Jumadil Kubra, Sendhang Lautan), dan yang terakhir adalah Eyang Ayu. Masyarakat yang ingin sowan dapat melalui juru kunci atau dapat melakukan sendiri. Setelah acara pisowanan selesai dimulailah dengan doa selamatan dilanjutkan dengan doa kabul yang penuh dengan kesakralan.

  Secara khusus ada beberapa macam kelompok yang berbeda-beda sifatnya, yaitu suatu perkumpulan gerakan kebatinan dan suatu kelompok kekerabatan, analisis, mengenai sifat organisasi dan sistem pimpinannya. Tampak adanya paling sedikit dua organisasi. Pertama, yaitu organisasi yang tidak dibentuk dengan sengaja, tetapi telah terbentuk ikatan norma yang sejak dulu telah tumbuh dengan tidak sengaja. Kedua, organisasi yang dibentuk dengan sengaja sehingga aturan-aturan dan sistem norma yang mengikat anggota juga disusun dengan sengaja(Koentjaraningrat, 2009: 126).

  Bentuk agama Islam orang Jawa yang disebut agami Jawi atau kejawen adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Buddha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai ajaran Islam. Varian agami Islam Santri, yang walaupun juga tidak sama sebebas dari unsur-unsur animisme dan unsur-unsur Hindu-Buddha, melekat pada norma- norma ajaran islam yang sebenarnya. Untuk memperkirakan proporsi dari penduduk Jawa yang menganut agami Jawi dan yang menganut agami Islam

  

Santri , walaupun agami Jawi kelihatannya lebih dominan di daerah-daerah

  negarigung di Jawa Tengah, di Bagelenan di daerah mancanegari, sedangkan varian agami Jawi Islam Santri lebih dominan di daerah Banyumas dan daerah pesisir, Surabaya, daerah pantai utara. Ujung timur Pulau Jawa, serta daerah- daerah pedesaan di lembah Sungai Solo dan Sungai Brantas, tidak ada daerah- daerah yang khusus membatasi daerah tempat tinggal para penganut dari kedua varian tersebut. Orang kejawen dan santri terdapat dalam segala lapisan masyarakat Jawa; tempat-tempat yang dominasi oleh orang kejawen juga didiami orang santri yang telah disebut di atas, tinggal di suatu daerah khusus yang dinamakan kauman. Namun, sebaliknya di daerah-daerah yang didominasi oleh orang-orang santri umumnya tidak ada bagian-bagian khusus didalam suatu kota tempat tinggal khususnya orang-orang beragama kejawen (Koentjaraningrat, 1998: 312-313).

  Mengenai (Sejarah Kebudayaan) Jawa sudah dibuat suatu ringkasan dari sejarah persebaran agama Islam di Jawa, dan telah diperlihatkan, bahwa agama Islam mula-mula mempengaruhi kota-kota pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa, dan bahwa (Peradaban Pesisir) yang hidup di kota-kota pelabuhan yang makin makmur dan makin kuat itu, tumbuh bersama dengan suatu kekuatan politik yang merongrong dan akhirnya menghancurkan kekuatan Hindu-Buddha Majapahit, yang pusatnya berada di daerah delta Sungai Brantas (Koentjaraningrat, 1984: 313-314).

  Agama Islam yang diajarkan oleh para wali dalam pondok-pondok

  pesantren mungkin pada waktu itu juga mengandung banyak unsur mistik, hingga

  memudahkan hubungan dengan penduduk yang sejak lama terbiasa dengan konsep-konsep dan pikiran-pikiran mistik (Koentjaraningrat, 1984: 316).

  Setiap pesan merupakan bagian dari kebudayaan. Pesan-pesan tersebut dinyatakan dalam bahasa dari sebuah kebudayaan dan dikandung, serta dimengerti dalam istilah-istilah kognitif yang substantif dari sebuah kebudayaan. Karena itu kebudayaan membentuk semua pesan-pesan dan harus mempertimbangkan hal ini pada saat menafsirkan pesan-pesan tersebut (Vansina, 2014: 193).

  Proses perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya dan bentuk-bentuk yang makin lama semakin kompleks, yaitu cultural evolution (evolusi kebudayaan). Kemudian dalam proses penyebaran kebudayaan, proses lain adalah proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga masyarakat, yaitu proses akulturasi. Konsep dinamika masyarakat dan kebudayaan yang sangat berpengaruh pada individu (Warsito, 2012: 140).

  Pokok dari sebuah kebudayaan adalah kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu hal yang bersifat umum dalam benak sekrumpulan orang-orang tertentu; ia mengacu pada lingkungan masyarakat. Orang-orang dalam suatu lingkungan masyarakat memiliki banyak gagasan, nilai dan gambar yang sama, singkatnya mereka memiliki perwakilan yang bersifat kolektif pada diri mereka yang tidak dijumpai pada kumpulan orang lain (Vansina, 2014: 194).

  Evolusi masyarakat dan kebudayaan dipandang jauh, dengan mengambil interval waktu yang panjang, misalnya beberapa ribu tahun. Perubahan-perubahan besar yang bersifat sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Pada masa sekarang menjadi perhatian khusus dari suatu sub ilmu antropologi, yaitu ilmu prehistori yang memang mempelajari sejarah perkembangan kebudayaan manusia dalam jangka waktu yang panjang (Warsito, 2012:147).

  Sebuah kebudayaan memiliki sebuah representasi mengenai alam semesta dan representasi ini biasanya melibatkan konotasi spasial. Sama seperti waktu, ruang adalah sebuah gagasan relatif yang secara tidak langsung mengatakan tentang sebuah titik dalam kaitannya dengan titik yang lain, sama seperti yang dinyatakan dalam tata bahasa. Ruang-ruang yang paling penting dikaitkan dengan tempat penciptaan, sebuah tempat yang memiliki nilai temporer dan juga spasial (Vansina, 2014: 195).

2. Pendekatan

  Pendekatan antropologi budaya, dengan objek penelitian hanya menfokuskan pemahaman yang mendalam mengenai pemahaman manusia. Bagi seorang ahli antropologi istilah kebudayaan umumnya mencangkup cara berpikir dan cara berlaku yang telah merupakan ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Sehubungan dengan itu, kebudayaan terdiri dari hal-hal seperti bahasa, ilmu pengetahuan, hukum-hukum, kepercayaan, agama, kegemaran makanan tertentu, musik, kebiasaan pekerjaan, larangan-larangan, dan sebagainya (Ihromi, 2000: 7).

  Suatu kelompokjuga merupakan suatu masyarakat karena memenuhi syarat-syaratnya, dengan adanya sistem interaksi antara para anggota, dengan adanya adat-istiadat dan sistem norma yang mengatur interaksi itu, dengan adanya kontinuitas, serta dengan adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota. Namun, suatu kesatuan manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan, yaitu organisasi dan sistem pimpinan, dan selalu tampak sebagai bentuk kesatuan dari individu-individu pada masa-masa yang secara berulang dalam berkumpul dan kemudian bubar lagi (Koentjaraningrat, 2009: 125).

  Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu menjelma dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu wujudnya berupa sistem budaya, berupa sistem sosial, dan berupa unsur-unsur budaya fisik. Demikian juga sistem religi, misalnya, mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, dewa, roh halus, neraka, surga, dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujud berupa upacara, baik yang bersifat musiman maupun kadangkala, dan selain itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius (Koentjaraningrat, 2009: 165).

  Kebudayaan merupakan sebuah konsep yang didefinisikan sangat beragam. Istilah kebudayaan umumnya digunakan seni rupa, sastra, filsafat, ilmu alam, dan musik yang menunjukan semakin besarnya kesadaran bahwa seni dan ilmu pengetahuan dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat, secara formal, budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap,makna, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Kata budaya disini dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan dengan pengertian yang sama (Warsito, 2012: 48-49).

  Kebudayaan menunjukkan kepada berbagai aspek kehidupan. Kata itu meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau sekelompok penduduk tertentu. Masing-masing dilahirkan kedalam suatu kebudayaan yang bersifat kompleks dan kebudayaan itu kuat sekali pengaruhnya terhadap cara hidup serta cara berlaku yang akan di ikuti selama hidup. Kebudayaan tidak tergantung dari transmini biologis atau pewarisan melalui unsur genetis. Semua manusia dilahirkan dengan tingkah laku yang digerakan oleh insting dan naluri yang walaupun tidak termasuk bagian dari kebudayaan, namun mempengaruhi kebudayaan (Ihromi, 2000: 18-19).

  Pengaruh-pengaruh budaya yang dianut oleh komunitas tradisi Sadranan di desa Pekuncen, Kecamatan Kroya, Cilacap. Maka penulis perlu melakukan observasi langsung di tempat yang akan diteliti sesuai dengan antropologi budaya atau fenomena-fenomena budaya yang ada di desa Pekuncen. Dalam penelitian ini peneliti akan mencoba meneliti tentang tradisi Sadranan Himpunan Penghayat

  Kepercayaan (HPK), dimana dari penelitian ini nanti peneliti hanya mengambil

  atau memfokuskan bahasan pada tradisi itu sendiri, makna dan fungsi tradisi sadranan terhadap masyarakat Himpunan Penghayat Kepercayaan(HPK) yang ada di Desa Pekuncen Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap dengan pendekatan Antropologi Budaya. Maka penulis mengadakan pengamatan dan penelitian lapangan dan melakukan observasikepada masyarakat di desa Pekuncen serta menyusunnya dalam bentuk skripsi.

G. Metode Penelitian

  Penelitian sejarah sering menggunakan istilah jejak sejarah, sumber sejarah, atau data sejarah. Ketiga istilah itu dianggap sama atau data sejarah terdapat pada sumber atau jejak sejarah sehingga data sejarah sama dengan teks yang terkandung dalam manuskrip (naskah, handschrift, tulisan tangan). Maka dari itu, penelitian sejarah harus menelusuri sumber tertulis atau bahan-bahan dokumenter (Kartodirdjo, 1992).

  Metode sejarah menurut Louis Gottschalk (Daliman, 2012 : 28-29) adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman, dokumen-dokumen, dan peninggalan masa lampau yang otentik dapat dipercaya, serta membuat interpretasi dan sintesis atas fakta-fakta tersebut menjadi kisah yang dapat dipercaya. Metode sejarah biasanya dibagi atas empat kelompok kegiatan, yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.

  Heuristik merupakan langkah awal yang ditempuh dalam penelitian kali ini. Heuristik yang berarti, sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data, atau materi sejarah. Tahap ini menyita banyak waktu tenaga biaya dan pikiran (Sjamsuddin, 2007 : 86).

  Pada penelitian ini, peneliti berusaha mencari data otentik yang diperlukan wawancara kepada sumber atau informan yang terpercaya. Selain itu, peneliti juga melakukan observasi langsung pada objek peneliti sehingga data yang diperoleh untuk dijadikan sumber benar-benar akurat. Setelah peneliti mengumpulkan data-data dari kegiatan observasi dan wawancara yang sudah dilakukannya kemudian dihimpun dalam data penelitian.

  Verifikasi atau kritik adalah suatu langkah kedua yang diambil oleh peneliti berupa kegiatan-kegiatan analitis. Kritik atau verifikasi dibagi menjadi dua yaitu kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern terhadap data atau sumber sejarah lisan ditinjau melihat dan penyaksi sebagai informan kunci. Kritik ekstern juga menuntut terhadap sumber sejarah lisan dalam hal keautentikan sumber, maka sejarawan dapat meminta kesaksian pelaku lain, apakah benar seseorang itu pelaku yang terlibat dalam peristiwa tersebut (Priyadi, 2014: 96). Kritik ekstern untuk artifact bisa ditempuh dengan melihat bahan yang dipakai, misalnya, batu yang dipakai untuk menhir, punden berundak dll (Priyadi, 2013 : 118-119).

  Verifikasi dalam penelitian kali ini, mengkritik sumber lisan dari proses wawancara yang sudah dilakukan, ditinjau dari apakah nara sumber tersebut sehat, tidak pelupa dan berkata jujur. Kegiatan observasi juga mengalami tahapan verifikasi dengan meninjau jenis kegiatan tersebut, apakah benar kegiatan tersebut merupakan tradisi Sadranan.

  Interpretasi, merupakan tahap selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti. Interpretasi merupakan penafsiran dari fakta-fakta yang sudah mengalami proses verifikasi dan heuristik. Peneliti melakukan penafsiran terhadap fakta yang sudah dikritik secara internal dan eksternal sehingga sumber yang diperoleh mempunyai kredibilitas yang kuat. Fakta tersebut sudah dapat ditafsirkan sehingga peneliti dapat melakukan tahapan selanjutnya.

  Historiografi merupakan tahap akhir yang dilakukan dalam penelitian ini. Pada tahap penulisan, peneliti menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir, yang meliputi masalah-masalah yang harus dijawab. Tujuan penelitian adalah menjawab masalah-masalah yang telah diajukan. Pada hakikatnya, penyajian historiografi meliputi pengantar, hasil penelitian, dan simpulan. Penulisan sejarah sebagai laporan sering kali disebut karya historiografi yang harus memperhatikan aspek kronologi, periodesasi, serialisasi, dan kausalitas, sedangkan pada penelitian antropologi tidak boleh mengabaikan aspek holistik (menyeluruh) (Priyadi, 2011 : 92).

  Dalam historiografi menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini suatu cara yang utama untuk memahami sejarah. Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, maka ia mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia pada akhirnya harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi. Keberartian (signifikansi) semua fakta yang dijaring melalui metode kritik baru dapat dipahami hubungannya satu sama lain setelah semuanya ditulis dalam suatu keutuhan bulat historiografi. Di sinilah istilah ini mempunyai arti (penulisan sejarah) karena ada pengertian lain untuk istilah historiografi yaitu (sejarah penulisan sejarah) (Syamsuddin, 2007: 156).

H. Sistematika Penyajian

  Agar mudah dalam menyusun dan memahami laporan penelitian ini, maka peneliti memandang perlu adanya sistematika. Adapun sistematika yang dipergunakan sebagai berikut:

  Bab I pendahuluan, pada bab ini diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan pendekatan, metode penelitian dan sistematika penyajian.

  Bab II keadaan umum desa Pekuncen. Pada bab ini peneliti menjelaskan bagimana terbentuknya desa Pekuncen, keadaan geografis, dan keadaan sosial dan budaya masyarakat desa Pekuncen.

  Bab III mengenai prosesi tradisi sadranan. Peneliti memaparkan bagaimana persiapan ritual sadranan, dan pelaksanaan ritual sadranan. Bab IV mengenai makna dan pengaruh tradisi sadranan bagi komunitas penganut tradisi sadranan di desa Pekuncen. Peneliti memaparkan makna tradisi sadranan, dan pengaruh tradisi sadranan bagi masyarakat di desa Pekuncen.

  Bab V mengenai kesimpulan dan saran.