BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - DENI ASRA BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Untuk membedakan penelitian yang berjudul

  “Relasi intertekstual Aspek- Aspek Religiusitas Novel Dalam Mihrab Cinta Karya Habiburrahman El-Shirazy dan Novel Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-

  Azizy” dengan penelitian yang telah ada sebelumnya, maka penulis meninjau penelitian mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

  Skripsi berjudul “Kajian Aspek Religiusitas dalam Novel Cinta Suci Zahrana Karya Habiburahman El Shirazy” oleh Slamet Riyanto, NIM 0801040043, tahun 2012. Adapun hasil penelitiannya, sebagai berikut.

  Penelitian tersebut bertujuan untuk membuktikan adanya aspek religiusitas yang terkandung dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburahman El Shirazy.

  Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah deskriptif analisis sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif dan analisis yang berupa kata-kata tertulis dan bukan angka. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan religi yang menitikberatkan pada tujuan sastra sebagai salah satu media yang dapat mengantarkan seseorang untuk mencapai pengalaman religius. Kerangka filosofis yang digunakan adalah kerangka pemikiran religi yang berdasarkan pada ajaan islam yakni Al Quran dan Al Hadits. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburahman El Shirazy, memiliki aspek religiusitas yang meliputi takwa, ikhlas, khauf dan raja‟, tawakal, syukur, dan taubat.

  5 Berdasarkan pemaparan penelitian terdahulu tersebut, ditemukan persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Persamaannya terdapat pada bidang kajian yakni mengenai kajian tentang karya sastra yang mengandung aspek religi. Sedangkan perbedaannya terdapat pada sumber data dan aspek religiusitas yang dikaji. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa dua novel yakni Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy dan novel

  

Syahadat Cinta karya Taufiqurrahman Al-Azizy. Aspek religiusitas yang akan dikaji

  dalam penelitian ini meliputi aspek ideologis, ritualistik, eksperiensial, intelektual, dan konsekuensial.

B. Religiusitas Sastra

  Kata religiusitas artinya bersifat religi, bersifat keagamaan yang bersangkut paut dengan religi. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008: 1286) Religi ialah kepercayaan akan adanya Tuhan.

  Menurut Purwadi (2002: 29) secara bahasa, ada yang mengatakan bahwa istilah religi itu berhubungan dengan kata religare, kata dari bahasa latin yang mengikat, sehinggga religius berarti ikatan atau pengikat. Berhubungan dengan religi, pada dasarnya manusia mengikat diri kepada Tuhan. Pada pokoknya religi adalah penyerahan diri kepada Tuhan, dalam keyakinan bahwa manusia tergantung dari Tuhan, bahwa Tuhanlah yang merupakan keselamatan sejati bagi manusia, bahwa manusia dengan kekuatannya sendiri tidak mampu untuk memperoleh keselamatan dan karenanya ia menyelamatkan diri.

  Pada awal mula segala sastra adalah religius. Istilah religius membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyarankan pada makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiusitas di pihak lain, melihat aspek yang di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, keduanya jelas memiliki makna yang berbeda, meskipun saling berhubungan. Religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi (Nurgiyantoro, 2007: 326).

  Kesusastraan menjadi religius jika didalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesusastraan religius selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dan ditopang nilai kerohanian, yang berpuncak kepada Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiaannya. Para penyair dan sastrawan yang mempunyai semangat religius menyadari bahwa gejala-gejala yang tampak oleh mata dan pikiran ini (realitas alam dan budaya) hanyalah ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang lebih hakiki. Gejala lahiriah ini adalah amanat (ayat) Tuhan yang harus dibaca dan dihayati secara mendalam, sebab tidak ada suatu realitaspun jika ia tidak ilahiah. Selain itu karya sastra dapat dikatakan religius sebab di dalamnya mengandung moralitas.

  Menghadapi karya sastra demikian pembaca sastra sering mengasumsikan bahwa moralitas di dalamnya selaras dengan moralitas pengarang. Tuntutan pembaca seperti itu amatlah wajar sebab pembaca yang baik tentu akan menilai-nilai kesungguhan dalam karya itu, di samping kesungguhan moralitas yang sedang ditawarkan pengarang (Wachid, 2002: 177-179).

  Sastra yang religius memiliki karakteristik jelas yang membedakannya dengan sastra yang lain, hal ini tidak lepas dari dasar (Islam) itu sendiri yang bersifat ketuhanan dan sekaligus kemanusiaan. Akidah dan akhlak adalah karakteristik utama dari sastra yang bernuansa Islam yang menjadi dasar dari semua tema genre sastra bernuansa Islam. Dengan kata lain para sastrawan muslim mempunyai kewajiban menjaga prinsip akidah dan akhlak di dalam proses penciptaan karya-karya sastra mereka. Prinsip ini harus ditempatkan pada segala situasi dan kondisi karena sastrawan yang sejati hidup dalam masyarakat yang harus selalu diarahkan ke jalan Islam (Manshur, 2011: 166).

  Para sastrawan yang mempunyai semangat religius menyadari bahwa gejala- gejala yang tampak oleh mata dan pikiran (realitas alam dan realitas budaya) hanyalah ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang lebih hakiki. Gejala lahiriah ini adalah alamat (ayat) Tuhan yang harus dibaca dan dihayati secara mendalam. Hal ini merupakan penjabaran dari Laa illallah illallah (Wachid, 2002: 178). Namun, meskipun karya sastra religius Islam bermuatan pesan moral, sastrawan tetap mempunyai kebebasan kreatif dalam pencarian bentuk seni, yang sejalan dengan hakikat serta sistem kesusastraan, yakni indah dan bermafaat (dulce et utile).

C. Aspek-Aspek Religiusitas

  Menurut R. Stark dan C.Y. Glock dalam Ancok dan Suroso (2008:80) religiusitas (religiousity) meliputi lima dimensi (aspek) yaitu keyakinan beragama (beliefs), praktik keagamaan (practice), rasa keberagamaan (feelings), pengetahuan agama (knowledge), dan konsekuensi (effect) dari keempat dimensi tersebut.

  Penjelasan singkat dari kelima aspek menurut Glock tersebut adalah sebagai berikut: a. Keyakinan beragama (beliefs) adalah kepercayaan atas doktrin teologis, seperti percaya terhadap Tuhan, malaikat, hari akhirat, surga, neraka, takdir, dan lain- lain. Ancok dan Suroso (2008: 77) menyatakan bahwa orang berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.

  b. Praktik keagamaan (practice) merupakan dimensi yang berkaitan dengan seperangkat perilaku yang dapat menunjukkan seberapa besar komitmen seseorang terhadap ajaran agama yang diyakininya.

  c. Rasa/pengalaman keberagamaan (feelings) adalah dimensi yang berkaitan dengan pengalaman keberagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi- sensasi yang dialami oleh seseorang yang beragama.

  d. Pengetahuan agama (knowledge) merupakan dimensi yang mencakup informasi yang dimiliki seseorang mengenai keyakinannya.

  e. Konsekuensi keberagamaan (effect) merupakan dimensi yang mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.

  Menurut hemat penulis, rumusan Glock dan Stark tersebut mempunyai kesesuaian dengan pokok ajaran Islam, walaupun tidak sepenuhnya sama. Aspek keyakinan beragama dapat disejajarkan dengan akidah, aspek praktek keagamaan dapat disejajarkan dengan syariah, dan aspek pengalaman dapat disejajarkan dengan akhlak.

  Aspek religiusitas dalam Islam merupakan inti atau pokok ajaran Islam itu sendiri. Menurut Basyir (2002:65-72) aspek ajaran Islam ada empat yaitu aspek akidah (keyakinan), Ibadah (Praktik agama, ritual formal), akhlak (pengalaman dari akidah dan syariah), dan muamalat (kemasyarakatan).

  Penjelasan dari aspek akidah, ibadah, akhlak, dan muamalat tersebut sebagai berikut:

  1. Akidah Bidang akidah berpokok pada rukun iman, yaitu ajaran tentang keyakinan kepada kitab Allah, keyakinan kepada rasul Allah, keyakinan kepada hari

  (kiamat), dan keyakinan kepada qadha dan qadar.

  Dalam bidang akidah, akal tidak diberi kesempatan untuk menambah hal yang bermaktub dalam Al Quran dan sunah Rasul, sebab bila dalam bidang ini akal diberi kesempatan menambah hal baru, pasti akan terjadi penyelewengan dari yang digariskan Al Quran dan sunah Rasul.

  2. Ibadah Yang dimaksud ibadah di sini bukan ibadah sebagai pengabdian menyeluruh dalam kehidupan manusia kepada Allah. Tetapi ibadah yang khusus merupakan upacara pengabdian yang bersifat ritual yang telah diperintahkan dan diatur cara pelaksanaannya dalam Al Quran atau sunah Rasul, seperti: solat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya (rukun Islam).

  3. Akhlak Bidang akhlak merupakan aspek ajaran Islam yang sangat penting peranannya dalam perjalanan kehidupan manusia, sebab akhlak memberi norma baik dan buruk , dan menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk tidak selalu tercapai persesuaiannya antara seseorang dengan orang lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain.

  Anwar (2010: 90) menjelaskan mengenai akhlak terpuji dalam hal ini adalah akhlak kepada Allah sebagai perwujudan nilai moral sebagai berikut: a. Mentauhidkan Allah

  Tauhid adalah pengakuan bahwa Allah SWT satu-satunya yang memiliki sifat

rububiyyah dan uluhiyyah, serta kesempurnaan nama dan sifat (Anwar, 2010: 90).

  b. Berbaik sangka (Husnu zhann) Berbaik sangka terhadap keputusan Allah SWT merupakan salah satu akhlak terpuji kepada-Nya. Di antara ciri akhlak terpuji ini adalah ketaatan yang sungguh- sungguh kepada-Nya.

  c. Zikrullah Mengingat Allah (zikrullah) adalah asas dari setiap ibadah kepada Allah SWT, karena merupakan pertanda hubungan antara hamba dan pencipta pada setiap saat dan tempat.

  d. Tawakal Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala sesuatu kepada Allah „Azza wa jalla, membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan. Dengan demikian, apa yang telah dikehendaki Allah SWT untuk seorang hamba, maka ia akan memperolehnya. Sebaliknya, apa yang tidak dikehendaki Allah SWT untuk hambanya, maka ia pasti tidak akan memperolehnya.

  Menurut Ilyas (2009: 17) akhlak terhadap Allah meliputi: takwa, cinta, dan ridha, ikhlas, khauf dan r

  aja’, tawakal, syukur, muraqabah, dan taubat. Penjelasan

  terperinci dari masing-masing akhlak tersebut adalah sebagai berikut: a. Takwa Definisi tak wa yang paling populer adalah “memelihara diri dari siksaan

  Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala Larangan- Nya.

  ” (Ilyas, 2009: 17).

  Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Suryana (2008: 117) bahwa takwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.

  Razak (2010: 298) menjelaskan dalam pengertian umum takwa ialah sikap mental orang-orang mukmin dan kepatuhannya dalam melaksanakan perintah- perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya atas dasar kecintaan semata.

  Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa takwa adalah suatu bentuk pendekatan diri seorang mukmin kepada Allah, melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan Allah SWT.

  b. Cinta dan Ridha Menurut Ilyas (2009: 24) cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa, dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang.

  Sejalan dengan cinta, seorang muslim haruslah bersikap ridha dengan segala aturan dan keputusan Allah. Hal itu berarti dia harus dapat menerima dengan sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang dating dari Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah, larangan ataupun petunjuk-petunjuk lainnya (Ilyas, 2009: 28).

  Suryana (2008: 55) mengemukakan bahwa ridha adalah tidak menentang terhadap qadha dan qadar Allah, melainkan menerima dengan senang hati, oleh karena itu seorang yang ridha akan merasa senang dan nikmat ketika mereka menerima musibah sebagaimana sewaktu mereka menerima nikmat Allah SWT.

  c. Ikhlas Menurut Ilyas (2009: 28-29) secara etimologis ikhlas (bahasa Arab) berakar dari kata khalasha dengan arti bersih, jernih, murni, tidak bercampur.

  Setelah dibentuk menjadi kata ikhlas berarti membersihkan atau memurnikan. Secara terminologis yang dimaksud dengan ikhlas adalah amal semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT (Ibid).

  Dengan demikian, berdasarkan pendapat-pendapat tentang ikhlas yang telah dikemukakan tersebut, penulis dapat menyimpulkan ikhlas adalah suatu kesediaan berbuat tanpa pamrih dan setulus hati yang dilakukan oleh seseorang karena keyakinannya pada Allah dan hanya semata-mata mengharapkan ridlo Allah.

  d.

   Khauf’ dan Raja’

  Salah satu akhlak yang menunjukkan aspek religiusitas adalah khauf. Khauf adalah semua rasa takut yang bersumber dari rasa takut kepada Allah (Ilyas, 2009: 38). Lebih lanjut Ilyas, khauf adalah kegalauan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya, atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukainya. Jadi, khauf yang dimaksud disini adalah rasa takut kepada Allah bukan kepada makhluk.

  Raja

  ‟ atau harap adalah memautkan hati kepada sesuatu yang disukai pada masa yang akan datang. Raja

   harus didahului oleh usaha yang sungguh- sungguh. Harapan tanpa usaha namanya angan-angan kosong.

  Khauf dan raja

  ‟ adalah sepasang sikap batin yang harus dimiliki secara seimbang oleh setiap muslim. Apabila salah satu dominan dari yang lainnya maka akan melahirkan pribadi yang tidak seimbang. Dominasi khauf menyebabkan sikap pesimis dan putus asa, sementara dominasi raja

  ‟ menyebabkan seseorang lalai dan lupa diri serta merasa aman dari azab Allah. Sikap yang pertama adalah sikap orang kafir dan yang kedua adalah sikap orang yang merugi.

  e. Tawakal Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya (Ilyas,

  2009:44).

  Suryana (2008:55) mengemukakan bahwa tawakal adalah menyerah kepada qadha dan qadar Allah.

  Sikap tawakal haruslah dimulai dengan kesungguhan, apabila kalau hanya berpasrah diri dan menunggu nasib atas apa yang akan terjadi tanpa melakukan usaha, maka hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesalahpahaman yang fatal dalam mengartikan tawakal.

  f. Syukur Syukur ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Syukurnya seorang hamba berkisar atas tiga hal, yaitu: mengakui nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah (Ilyas, 2009: 50).

  Jadi syukur itu adalah berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Hati untuk ma‟rifah dan mahabbah, lisan untuk menyebut nama Allah, dan seluruh anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya.

  g.

   Muraqabah

  Menurut Ilyas (2009: 54) muraqabah berakar dari kata raqaba yang berarti menjaga, mengawal, menanti, dan mengamati. Semua pengertian kata raqaba tersebut disimpulkan dalam satu kata yaitu pengawasan, karena apabila seseorang mengawasi sesuatu dia akan mengamati, menantikan, menjaga, dan mengawalnya. Dengan demikian muraqabah juga bisa diartikan dengan pengawasan.

  h. Taubat Taubat berasal dari kata taba yang berarti kembali. Orang yang bertaubat kepada Allah SWT adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu, misalnya kembali dari sifat-sifat yang tercela menuju sifat-sifat yang terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya (Ilyas, 2009: 57). Taubat adalah meminta ampun yang tidak membawa kembali kepada dosa lagi. Taubat merupakan bentuk cinta kepada Allah dan orang yang mencintai Allah akan senantiasa mengadakan hubungan dan kontemplasi tentang Allah.

  Apabila seorang muslim melakukan kesalahan atau kemaksiatan dia wajib segera taubat kepada Allah SWT. Yang dimaksud kesalahan atau kemaksiatan di sini adalah semua perbuatan yang melanggar ketentuan syariat Islam, baik dalam bentuk meninggalkan kewajiban atau melanggar larangan, baik yang termasuk dosa kecil atau dosa besar.

  4. Muamalat (Kemasyarakatan) Bidang muamalat ini mencakup pengaturan pergaulan hidup manusia di atas bumi. Misalnya, bagaimana pengaturan tentang benda, tentang perjanjian, tentang ketatanegaraan, tentang perjanjian, dan sebagainya.

  Dalam bidang muamalat ini pada umumnya Al Quran memberikan pedoman secara garis besar, sunah Rasul memberikan penjelasannya baik berupa pedoman umum ataupun pedoman khusus yang diperlukan pada masa itu. Tujuannya adalah untuk menanggapi perkembangan kehidupan umat manusia, yang tidak pernah berhenti saat itu, Islam memberikan kesempatan kepada jiwa ketentuan yang telah termaktub dalam Al Quran dan sunah Rasul.

  Religius dapat dimiliki oleh pribadi beragama dan non agama. Oleh karena itu, penulis perlu menggarisbawahi bahwa penelitian ini berkaitan dengan religius pribadi beragama, yaitu Islam.

  Keberagamaan dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai sistem yang menyeluruh, Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh (kaffah). Aspek-aspek religiusitas menurut Ridwan (2001: 89-90) adalah sebagai berikut.

  1. Aspek ideologis adalah seperangkat kepercayaan (belief) yang memberikan premis eksistensial untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia, dan hubungan diantara mereka. Kepercayaan ini dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu.

  2. Aspek ritualistik adalah aspek pelaksanaan ritual atau ibadah yang dianjurkan oleh agama dan atau dilaksanakan oleh para pengikutnya. Aspek ini meliputi pedoman-pedoman pokok pelaksanaan ritual dan pelaksanaan ritual tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

  3. Aspek eksperiensial adalah bagian keagamaan yang bersifat afektif, yakni keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Inilah perasaan keagamaan (religious feeling) yang dapat bergerak dalam empat tingkat:

  konfirmatif , yaitu merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang diamatinya; responsif yaitu merasa bahwa Tuhan menjawab kehendak atau keluhannya; eskatik yaitu merasakan hubungan yang akrab penuh cinta dengan Tuhan; dan partisipasif yaitu merasa menjadi kawan setia, kekasih, atau wali Tuhan dengan

  menyertai Tuhan dalam menyertai karya illahiah.

  4. Aspek intelektual adalah pengetahuan agama apa yang tengah atau harus diketahui orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Seberapa jauh tingkat melek agama (religious literacy) para pengikut agama yang diteliti; atau tingkat ketertarikan mereka untuk mempelajari agamanya.

  5. Aspek konsekuensial, disebut juga aspek sosial. Aspek ini merupakan implementasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama sehingga dapat menjelaskan efek ajaran agama, seperti etos kerja, kepedulian, persaudaraan, dan lain sebagainya.

D. Hubungan Intertekstualitas

  Penelitian interteks merupakan usaha pemahaman sastra sebagai sebuah “presupposition”, yakni sebuah perkiraan bahwa sebuah teks baru mengandung teks sebelumnya. Hal demikian juga diakui oleh Roland Barthes, bahwa dalam diri pengarang sesungguhnya telah penuh teks-teks lain, dalam dirinya penuh lapis-lapis teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dalam karyanya. Jika yang terungkap dalam karyanya banyak memuat teks lain, memang akan kehilangan orisinalitasnya (Endraswara, 2008: 133).

  Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan., (gaya) bahasa, dan lain-lain di antara teks yang dikaji. Karya intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak mungkin lahirdari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konversi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya (Nurgiyantoro, 2007: 50).

  Karya sastra apapun jenisnya yang lahir dari tangan kreatif pengarang, pada dasarnya selalu berada di tengah-tengah konteks atau tradisi kebudayaan. Dengan kata lain, bagaimana pun karya sastra tidak akan lahir dari situasi kekosongan budaya. Dalam hal ini, budaya tidak hanya berarti teks-teks kesastraan yang telah ada sebelumnya, tetapi juga seluruh konvensi, atau tradisi yang mengelilinginya. Karena tidak lahir dari situasi kosong budaya itulah, dipastikan karya sastra memiliki hubungan erat dengan karya-karya lainnya. Hubungan itu harus dihubungkan secara lebih luas karena hubungan itu tidak hanya dapat berupa persamaan (penegasan, pengukuhan, penerusan), tetapi juga perbedaan (penyimpangan atau penolakan).

  Keadaan inilah yang membuktikan bahwa karya sastra memiliki hubungan intertekstualitas dengan karya sastra lain.

  Menurut Suwondo (2003:137), karya sastra baru bermakna penuh (lebih bermakna) setelah dihubungkan dengan karya sastra lain karena, pada hakikatnya, karya sastra merupakan respon (serapan, olahan, mosaik, kutipan, tranformasi) terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra lain. Respon dari teks hipogram yang dapat berupa kata, frase, atau kalimat, bentuk, gagasan, dan sejenisnya itu di dalam teks tranformatif diolah secara kreatif sehingga kita (pembaca) sering tidak ingat lagi apa hipogramnya. Perlu diketahui bahwa intertekstualitas bukanlah sekedar fenomena yang berkaitan dengan pengidentifikasian kehadiran teks dengan kata lain, melainkan juga dengan masalah interpretasi. Dikatakan demikian, karena kehadiran teks lain dalam suatu teks akan memberikan suatu corak atau warna tertentu pada teks itu. Interpretasi yang digunakan, berkaitan dengan pernyataan mengapa teks lain diserap, dan apakah pengarang menerima, menegaskan, menentang, ataukah menolak. Di sinilah kemudian muncul maksud atau idiologi tertentu berkenaan dengan teks yang ditulisnya. Jika ditinjau lebih jauh lagi, beberapa pertanyaan itu sesungguhnya berhubungan dengan proses resepsi (penerimaan) teks, yaitu bagi seorang (pengarang) memerlukan teks. Oleh sebab itu, intertekstualitas pada dasarnya identik dengan teori resepsi sastra, yaitu teori yang menanggapi respon pembaca.

  Prinsip intertekstualitas pertama kali dikenal para peneliti Perancis dan bersumber pada aliran strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh para filsuf Jaques Derrida. Pemikiran intertekstualitas ini kemudian dikembangkan oleh Julia Kristeva melalui tulisannya “research for smanalysis”. Dalam tulisannya, Kristeva mengatakan bahwa “setiap teks itu merupakan mosaik, kutipan-kutipan penyerapan, dan transformasi teks- teks lain”. Dalam intertekstualitas Kristeva, setiap sastra harus dibaca dan dihubungkan dengan latar belakang teks-teks lain karena tidak ada sebuah teks yang benar-benar mandiri, dalam arti bahwa dalam penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks lain sebagai contoh dan kerangka. Prinsip ini tidak menerangkan bahwa teks yang baru hanya mencontoh teks lain atau mematuhi kerangka teks yang lebih dahulu ada, tetapi dalam arti setiap teks baru memungkinkan terjadinya peresapan dan transformasi dari teks yang terdahulu.

  P rinsip mosaik dari Kristeva adalah “setiap teks mengambil hal-hal yang bagus dari teks lain berdasarkan tanggapan-tanggapannya dan diolah kembali dalam karyanya atau teks yang ditulis oleh sastrawan kemudian

  ”. Dengan demikian, prinsip mosaik mengandalkan teks lain sebagai pecahan-pecahan keramik, marmer, batu, atau gelas yang berwarna-warni dan kemudian diambil atau (diserap), serta ditata atau dikombinasikan ke dalam ciptaan yang baru (ditransformasikan) berdasarkan rasa keindahan sang seniman. Teori mosaik ini secara implisit menyatakan bahwa, sastrawan itu memperoleh gagasan menciptakan karya setelah membaca, melihat, meresapi, menyerap, dan kemudian memindahkan atau mengutip bagian-bagian tertentu dari teks yang dibaca, didengar, dan diresapinya ke dalam karyanya, baik secara sadar maupun tidak sadar.

  Sedangkan, prinsip intertekstualitas adalah mempunyai fokus ganda, yaitu meminta perhatian kita tentang pentingnya teks terdahulu sebab tuntutan otonomi teks adalah menyesuaikan gagasan dan membimbing kita untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai penyumbang kode yang memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikasi (membawa makna atau lebih jauh pada fokus makna). Dengan demikian konsep intertekstuaitas begitu sentral bagi setiap komunitas deskripsi semiotik signifikasi sastra. Namun, terbukti sedikit sulit menerapkannya walaupun sudah diberi contoh oleh Riffaterre (1978) dalam bukunya”Semiotics Of Poetry”.

  Menurut Riffatere, teks tertentu yang menjadi latar penciptaan teks baru itu disebut hipogram. Selain itu, teks yang menyerap (mentransformasikan) hipogram disebut teks transformasi. Hubungan antara teks yang terdahulu dengan teks yang kemudian ada disebut hubungan intertekstual. Intertekstual adalah fenomena resepsi pengarang terhadap teks-teks yang pernah dibacanya dan dilibatkan dalam ciptaannya.

  Hipogram ada dua macam, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual (Riffatere, 1978: 23). Hipogram potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial merupakan potensi sistem tanda pada teks sehingga makna teks dapat dipahami sendiri, tanpa mengacu pada teks yang sudah ada sebelumnya. Hipogram potensial adalah matrik yang merupakan inti dari teks atau kata kunci, yang dapat berupa kata, frase, klausa, atau kalimat sederhana (Pradopo, 2003: 13).

  Hipogram aktual adalah teks nyata yang dapat berupa kata, frase, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Teks dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan, agama, dan bahkan alam semesta ini adalah teks (Pradopo, 2003:132). Oleh karena itu, hipogram yang menjadi latar penciptaan teks baru itu, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga dapat berupa adat istiadat, kebudayaan, agama, bahkan dunia ini.

  Tokoh pertama yang memperkenalkan konsep intertekstualitas ialah Mikhail Bakhtin pada tahun 1926 dan sering disebut dengan sebutan Bakhtin Sahaja. Pada awalnya Bakhtin menggunakan konsep dialog, sebagaimana telah diuraikan dalam bukunya “The Dialogic Imagination” (1981). Bakhtin berpendapat bahwa semua karya sastra dihasilkan berdasarkan pada dialog antara teks dengan teks lain. Dengan perkataan lain, teori ini memperlihatkan hubungan antara teks dengan teks yang lain.

  Pokok utama menurut Bakhtin dalam setiap karya itu berlaku dialog yang menghubungkan antara teks dalam (unsur intrinsik) dengan teks luar (unsur ekstrinsik) yang ada dalam karya sastra yang bersangkutan. Apa yang dimaksud unsur intrinsik ialah aspek yang berkaitan dengan pembinaan sebuah karya sastra seperti estetika, imaginasi, dan ilusi. Sementara unsur ekstrinsik merupakan teks sosial yang paling erat kaitannya dengan pengalaman pengarang, ideologi, sejarah, moral, budaya, dan sebagainya. Konsep dialog yang dimaksud Bakhtin adalah masuknya unsur-unsur luar (ekstrinsik) dalam karya sastra. Pengarang mempunyai objek, tema, atau pemikiran yang akan disampaikan dalam tulisannya. Namun, semuanya hanya bisa diolah menjadi karya sastra dengan bantuan unsur-unsur luar. Bagi Bakhtin unsur luar ialah apa saja yang dapat memberi sumbangan kepada pembaca sebuah karya sastra (Noor, 2006: 106).

  Dalam keterangan yang lain, konsep dialog terjadi melalui pembacaan dan pengalaman yang dialami oleh pengarang. Pengarang biasanya banyak membaca, oleh karena itu, akan mempengaruhi daya kreativitasnya. Sewaktu membaca, pengarang akan menemukan peristiwa, latar, gaya bahasa, cerita, dan berbagai aspek yang terdapat di dalam cerita.

  Secara tidak langsung Bakhtin memahami konsep dialog dengan penguasaan pada pendekatan yang dikenali sebagai strukturalisme. Pendekatan strukturalisme yang pada saat itu telah menguasai bidang sastra di Rusia. Di Barat menganggap sebuah karya sastra mempunyai struktur yang berdiri sendiri, mandiri bahkan mengutamakan kesatuan dan kesempurnaan. Komponen-komponen dalam membina sebuah karya sastra.

  Pada dasarnya teori dialog ini dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu yang berlaku dalam diri pengarang, dalam teks itu sendiri, dan dalam diri khalayak atau pembaca. Pengarang dalam proses penulisan atau proses mengarang akan senantiasa melakukan dialog dengan teks lain. Sementara itu, sebuah teks juga akan berdialog dengan teks asing atau teks yang pernah dihasilkan dan mengakibatkan berlakunya, perubahan, penentangan, perluasan, dan sebagainya. Bagi pihak pembaca, teks sastra akan selalu dihubungkan dengan teks-teks yang lain yang pernah dibaca.

  Julia Kreteva kemudian menjadi tokoh yang mengambangkan teori Bakhtin ini. Melalui bukunya Semiotike, Kristeva telah menjelaskan dan memperluas teori Bakhtin ini melalui tulisan-tulisannya dalam bahasa Perancis dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul “Desire In Languange: A Semiotic Aproach to

  Literature and Art ”.