Tantangan, Proyeksi, Potensi Realisasi Fiskal Daerah 2015-2016 - Unika Repository

  

FGD

Tantangan, Proyeksi, Potensi

Realisasi Fiskal Daerah 2015-2016

  

Angelina Ika Rahutmi

FGD di Bank Indonesia

Semarang, 24 November

2015

DATA FISKAL

  Realisasi APBD Triwulan II

2015

% REALISA REALISASI SI II Iii-2015 APBD 2015

  II-2015 2015 8,146,522.

  PENDAPATAN 17,097,686.00

  00

  47.65

  74.25 5,024,632. PAD 11,696,822.00

  00

  42.96

  68.62 1,302,349. DANA PERIMBANGAN 2,694,386.00

  00

  48.34

  71.02 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT 1,819,540.

  LAINNYA 2,706,478.00

  00 67.23 101.82 6,581,770. BELANJA 17,337,686.00

  00

  37.96

  63.75 BELANJA TIDAK 4,682,482.

  

Pertumbuhan Pendapatan

  APBD 2014 APBD 2015 % PERUB 14,425,140.0 17,097,686. PAD

  00

  18.53 11,696,822. PAJAK DAERAH

  9,097,476.00

  00

  28.57 10,266,080. RETRIBUSI DAERAH 7,819,097.00

  00

  31.29 HASIL PENGELOLAAN KEKAY DAERAH YG DIPISAHKAN

  78,490.00 84,022.00

  7.05 LAIN-LAIN PAD YANG SAH 290,527.00 319,189.00

  9.87 1,027,531.0

  DANA PERIMBANGAN 909,362.00

  12.99 2,694,386.0

  DANA BAGI HASIL PAJAK BUKAN PAJAK 2,617,601.00

  2.93 DAU 734,505.00 832,482.00

  13.34 1,803,931.0

  DADK 1,803,931.00

  0.00 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT LAINNYA 79,165.00 57,973.00 -26.77 2,706,478.0

  HIBAH 2,710,063.00 -0.13

PAD DAN BAGI HASIL

  12,000,000,000.00 10,000,000,000.00 8,000,000,000.00

  H

  IA P U 6,000,000,000.00

   R U

  IB 4,000,000,000.00

  R 2,000,000,000.00

  • 2010 2011 2012 2013 2014

PERTUMBUHAN PAD DAN BAGI HASIL

  2011 2012 2013 2014 PAD

  15.18

  18.77

  25.59

  30.64 Pajak Daerah

  18.12

  21.56

  20.13

  22.29

  01. PKB (Pajak Kendaraan bermotor

  13.64

  15.33

  15.15

  11.00

  02. BBN KB (Bea Balik nama Kendaraan bermotor)

  28.34

  31.98

  23.25

  0.95

  03. Pajak Bahan Bakar kendaraan Bermotor)

  8.97

  11.04

  22.28

  20.88

  04. Pajak Pengambilan ABT

  05. Pajak PPAP 12.04 -5.45 10.96 -13.32

  06. Pajak rokok Retribusi Daerah -50.10

  7.12

  2.43

  13.68 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan

  8.32

  12.39

  10.51

  10.85 Lain-lain PAD yang sah 6.57 -31.32 268.19 146.14 BAGI HASIL

  1.25 20.74 -4.91 -7.68 Bagi Hasil Pajak -2.26 19.30 -12.22 -8.38 Bagi Hasil Bukan Pajak

  21.36

  27.43 26.75 -5.61 Komposisi Pendapatan PAD; 79.94% DANA PERIMBANGAN; 5.04% HIBAH; 15.02%

  APBD 2014 PAD; 82.08% DANA PERIMBANGAN; 4.93% HIBAH; 12.99%

  APBD 2015 KOMPOSISI PAD DAN BAGI

HASIL

  201 201 2010 2011 2012 2013

  4

  5 PAD

  92.5

  82.8

  64.0 Pajak Daerah 88.14 90.38 0 88.48

  2

  9

  33.4

  26.0

  01. PKB (Pajak Kendaraan bermotor) 34.96 34.49 9 30.71

  9

  02. BBN KB (Bea Balik nama

  42.7

  32.4 Kendaraan bermotor) 34.52 38.46 4 41.94

  1

  03. Pajak Bahan Bakar kendaraan

  16.1

  14.5 Bermotor) 18.26 17.27 5 15.72

  5

  04. Pajak Pengambilan ABT 0.24 0.00 0.00 0.00 0.00

  05. Pajak PPAP 0.16 0.15 0.12 0.11 0.07

  06. Pajak rokok 0.00 0.00 0.00 0.00 9.70

  Retribusi Daerah 2.89 1.25 1.13 0.92 0.80

  Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan 4.43 4.17 3.94 3.47 2.94

  13.4 Belanja

APBD PERTUMBU 2014 APBD 2015 HAN APBD

  16,038,9 BELANJA

  49 17,377,685

  8.35 11,478,6

  BELANJA TIDAK LANGSUNG 23 11,665,349

  1.63 2,122,97

  BELANJA PEGAWAI 4 2,451,026

  15.45 3,025,94

  BELANJA HIBAH 5 2,913,068 -3.73

  BELANJA BANTUAN SOSIAL 39,226 28,557 -27.20 BELANJA BAGI HASIL KPD 3,293,38 KABUPATEN/KOTA

  1 4,295,308

  30.42 2,899,41

  BELANJA BANTUAN KEUANGAN 5 1,947,396 -32.83 BELANJA TIDAK TERDUGA 97,681 30,000 -69.29

  4,560,32 Realisasi Belanja

  II-2014

  II-2015

  III 2015 BELANJA 35.69% 37.96%

  BELANJA TIDAK LANGSUNG 38.49% 40.23% BELANJA PEGAWAI

  37% 38.69% BELANJA HIBAH 44.46% 63.75% BELANJA BANTUAN SOSIAL 0.24% 20.05% BELANJA BAGI HASIL KPD KABUPATEN/KOTA 40.40% 36.09% BELANJA BANTUAN KEUANGAN

  29.57% 16.54% BELANJA TIDAK TERDUGA 10.35% 30.31% BELANJA LANGSUNG 29.07% 33.31% BELANJA PEGAWAI 40.20% 44.90% BELANJA BARANG DAN JASA 31.23% 44.17% BELANJA MODAL 23.05% 21.05% Komposisi Belanja APBD 2014

  APBD 2014 BELANJA LANGSUNG; 28.43%

APBD 2015

BELANJA 7.38% PEGAWAI; BELANJA BELANJA LANGSUNG; 32.72% 36.41% MODAL; BARANG BELANJA BELANJA TIDAK LANGSUNG; 71.57% BELANJA TIDAK LANGSUNG; 67.28% 56.21% DAN JASA; APBD 2015 APBD 2014 BELANJA BANTUAN KEUANGAN; TIDAK BELANJA 0.85% TERDUGA; 18.50% KEUANGAN; PEGAWAI; BANTUAN BELANJA BELANJA

APBD 2015

0.26%

BELANJA PEGAWAI; TERDUGA; TIDAK 6.18% PEGAWAI; BELANJA BELANJA BELANJA 25.26% BELANJA 16.69% 21.01% 47.10% MODAL; 46.72% DAN JASA; BELANJA BARANG BELANJA BAGI KABUPATEN/ HASIL KPD BELANJA 26.36% HIBAH; BELANJA KOTA; KABUPATEN/

KPD HIBAH;

BAGI HASIL BANTUAN BELANJA 24.97% BELANJA

  • Masalah keagenan dalam penganggaran
  • SILPA

HAL YANG PATUT

AGENCY PROBLEM

  • Incomplete contract:
    • – tidak terdapat kontrak yang eksplisit dan lengkap antara prinsipal dan agen,
    • – tidak terdapat sistem reward and punishment yang memadai

  • Budget Constraint:
    • – William H. Niskanen (1971, dalam Blais dan Dion, 1990) menyatakan bahwa agency (satuan kerja di pemerintahan)

      memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan alokasi

      anggaran pengeluarannya.
    • – Alokasi anggaran yang besar akan memudahkan agency (SKPD dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia) dalam melaksanakan tugas dan

      fungsinya karena memberi keleluasaan untuk membuat

      “kebijakan” dalam membiayai program dan kegiatannya.

AGENCY PROBLEM

  • Participatory Budgeting
    • – adanya asimetri informasi antara kepala SKPD dengan kepala daerah.
    • – Ketika menganggarkan pendapatan dalam RKA-SKPD, kepala SKPD cenderung menentukan target di bawah potensi pendapatan yang sebenarnya  budget Slack – ketika menganggarkan belanja dalam RKA SKPD, kepala SKPD cenderung menentukan kebutuhan dana di atas kebutuhan yang sesungguhnya.
    • – kepala SKPD lebih menyukai jumlah alokasi yang melebihi real costs saat anggaran tersebut disusun.
    • – Perilaku menggelembungkan (mark-up) terhadap anggaran belanja ini menggambarkan praktik maximizing the budget, seperti ditengarai oleh

  

Varians Pendapatan

  • • Kesenjangan anggaran pendapatan terjadi ketika

    target pendapatan ditentukan lebih rendah dari

    potensi yang sebenarnya.
  • Untuk mengetahui berapa besaran kesenjangan

    anggaran pendapatan ini, maka terlebih dahulu

    harus “diketahui” berapa potensi pendapatan, yang bisa saja bersifat laten (tersembunyi) karena tidak dinyatakan secara eksplisit (tertulis).
  • Varians anggaran dapat diketahui besarannya setelah anggaran terealisasi.
  • • Selisih antara anggaran pendapatan dan realisasi

    pendapatan ini menunjukkan ketidak-akuratan

    dalam penetapan target anggaran pada proses

  

Varians Belanja

  •  slack anggaran belanja menunjukkan selisih antara jumlah kebutuhan dengan yang dianggarkan.
    • – “kesengajaan” untuk menaikan anggaran belanja di atas kebutuhan karena adanya self-interest yang ingin dicapai.
    • – menjaga “keberlanjutan” jumlah alokasi untuk tahun anggaran berikutnya. Hal ini disebabkan oleh adanya mind-

  set bahwa setiap tahun alokasi anggaran untuk SKPD akan mengalami peningkatan, yang didasarkan pada jumlah anggaran tahun sebelumnya.

  • Ketiga, slack anggaran belanja digunakan untuk “mengakomodasi” aktifitas yang berkaitan dengan kepentingan politik anggaran, khususnya untuk kepentingan para aktor yang terlibat dalam pembuatan keputusan anggaran.

  Masalah Keagenan dalam

SiLPA

  • Rencana nilai SILPA sama dengan nol sebenarnya tidak rasional, mengingat pada akhir tahun anggaran selalu terjadi sisa. Ada beberapa hal yang perlu dicatat di sini, diantaranya:
    • – Proses penganggaran di eksekutif mengandung peluang terjadinya budget slack, baik berupa mark-down (untuk target pendapatan asli daerah atau PAD) maupun mark-up (untuk target belanja);
    • – Tidak selalu tersedia informasi yang lengkap tentang berapa sebenarnya sisa anggaran yang riil atau dipastikan terjadi menjelang akhir tahun karena masih ada kesempatan untuk mempertanggungjawabkan program/kegiatan yang diselenggarakan oleh SKPD; dan
    • – Adanya keinginan untuk membuat cadangan (reserves) dalam bentuk

  SILPA yang akan “digunakan” pada perubahan anggaran tahun berikutnya. Pada tahun anggaran berikutnya, SILPA berubah bentuk menjadi SiLPA (sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya) sebagai komponen dari penerimaan pembiayaan dalam APBD.

  Pengaruh SILPA terhadap

Belanja

  • Silpa dapat digunakan (1) untuk melanjutkan kegiatan yang

    belum selesai dikerjakan pada tahun sebelumnya (luncuran)

    dan (2) membiayai kegiatan baru yang tidak teranggarkan

    dalam APBD murni.
  • Hasil riset (Syukriy) dengan menggunakan 70 pemkab/kota

     menunjukkan bahwa jenis Pemda dan SilPA berpengaruh

    positif terhadap belanja operasi
    • – Sisa anggaran tahun sebelumnya, yang menjadi bagian dari

      penerimaan dalam pembiayaan di APBD kabupaten/kota tahun

      berjalan, memberikan kontribusi berarti terhadap pengalokasian

      belanja operasi daerah.
    • – Jenis pemerintah daerah (kabupaten atau kota) sangat menentukan dalam pengalokasian belanja operasi. Hal ini bermakna bahwa jenis Pemda menjadi faktor penentu dalam penentuan alokasi anggaran untuk belanja operasi.

  

Proyeksi

  • Faktor yang mempengaruhi
    • – Pertumbuhan ekonomi 5-5.4% untuk tahun 2015
    • – Penggunaan masih berat di konsumsi. Investasi perlu di pacu  belanja modal infrastruktur
    • – Perilaku rent-seeking dalam belanja modal
    • – Penerimaan pajak kendaraan bermotor  harga motor,

      kemudahan kredit motor, pajak motor kedua, harga

      bensin, pembangunan fasilitas publik untuk transportasi
    • – Pajak tembakau

  • Pertumbuhan 30% di 2014 bisa mengalami penurunan karena di III 2015 Pajak daerah menurun

  

Belanja Modal

  • Pada prinsipnya alokasi belanja modal dibuat untuk menghasilkan aset tetap milik pemerintah daerah yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah dan atau masyarakat di daerah bersangkutan. Dalam perspektif penganggaran partisipatif, keterlibatan masyarakat diharapkan dapat memberikan masukan penting dalam memilih aset tetap yang akan diperoleh dari pelaksanaan anggaran belanja modal. Penyediaan fasilitas publik yang sesuai dengan kebutuhan publik merupakan keniscayaan, bukan suatu pilihan.
  • Pada kenyataannya, praktik penganggaran belanja modal di pemerintah daerah cenderung bersinggungan dengan korupsi atau pencarian rente (rent-seeking) oleh para pembuat keputusan anggaran (budget actors). Setiap tahapan dalam penganggaran memang memiliki ruang untuk korupsi (Isaksen, 2005), namun korupsi dalam pengadaan aset tetap atau barang modal, terutama yang memiliki spesifikasi khusus, termasuk yang paling sering terjadi (Tanzi, 2001).
  • Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penganggaran belanja modal adalah belanja ikutan setelah aset tetap diperoleh, yakni belanja operasional dan pemeliharaannya aset tetap bersangkutan. Untuk itu,

  

Pajak

  • PPh non migas  pph ps 21.Target 28.4, baru tercapai 10.67  harus mengejar 17.73%
  • Ps 25 op target turun -12.28 % ==. Berkurang karena windfall.  capaian 2.70  jadi kelebihan 14.98%
  • • 2015  op  100% untuk OP tidak ada masalah

  • Pajak impor turun drastis karena adanya

    masalah kurs  tidak bisa menjual atau tidak

    melakukan impor
  • Growthnya 200 M

  • Penerimaan negara  padahal target pajak naik tapi penerimaan (pajak dan cukai) negara berkurang
  • • Serapan 2015 lebih rendah dari 2014 karena adanya kenaikan

    pagu
  • Realisasi anggaran K/L di Jawa Tengah 19 nove 64.2% penyerapan. Tinggal tersisa satu bulan  masih 27% yang harus terserap di satu bulan terakhir
  • Penyebab rendahnya penyerapan
    • – Perubahan nomenklatur K/L
    • – DIPA dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan diterima terlambat

    • – Petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan yang belum ditetapkan oleh

      Eselon I Satker K/L terkait
    • – Blokir anggaran DIPA
    • – Preferensi rekanan mengajukan tagihan menjelang akhir tahun

  • • PAD baru sampai 75,9%  target 12

    T, okt 9 T  yang turun sekali bea