PESANTREN SALAF DI TENGAH PRAGMATISME PENDIDIKAN

PESANTREN SALAF DI TENGAH PRAGMATISME PENDIDIKAN

  

Oleh : M. Rodli Sutrisno, S.Sos.I, M.Pd.I

  Ironis memang, jika pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di nusantara justru nasibnya terpinggirkan di tengah-tengah hingar bingar sistem pendidikan nasional. Pesantren (dalam kasus ini pesantren salaf) semakin tak terminati oleh para orang tua dan juga para peserta didik. Mereka lebih suka pada lembaga pendidikan formal mulai SD, SLTP, SLTA hingga perguruan tinggi, untuk kemudian setelah lulus, bekerja sebagai pegawai atau karyawan pada sejumlah instansi. Maka, terangkatlah status sosial keluarga tersebut seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan. Sekolah tak ubahnya investasi komersial. Para orang tua rela merogoh kocek tak sedikit demi angan-angan keuntungan, hidup makmur serba berkecukupan, serta strata sosial terpandang di masyarakat.

  Masih untung, jika proses pendidikan dilalui dengan “wajar”, peserta didik mampu menyerap ilmu pengetahuan, berkemampuan handal, hingga “layak” mendapatkan kehidupan sejahtera sebagai “imbalan”nya. Namun, ironisnya, seringkali gelar lulusan dan kesarjanaan hanya dijadikan batu loncatan dan sekedar formalitas semata untuk dapat mengenyam pekerjaan yang layak. Padahal, seperti kebanyakan terjadi, porsi pengetahuan dan keterampilan yang didapat semasa sekolah amatlah minim dibandingkan target penyampaian materi, atau bahkan tidak sama sekali! Masa sekolah seringkali dipenuhi hura-hura dan pergaulan bebas. Maka, meminjam motto sebuah iklan, “Jalan pintas pun dianggap pantas

  ”, terjadilah jual beli dan pemalsuan ijazah, kebocoran soal ujian negara di berbagai tempat, hingga protes keras peningkatan standar kelulusan. Di sisi inilah, sebenarnya pesantren salaf menemukan momentum menegakkan kembali misi mulia pranata pendidikan, sebagai sebuah investasi tak sekedar komersial, akan tetapi lebih dari itu, membentuk pribadi manusia yang lebih manusiawi, mampu menjalankan fungsi sosialnya dengan muatan nilai dan keahlian. Hal ini karena pesantren salaf tidak mengumbar janji masa depan secara finansial. Lulusan pesantren salaf tak lantas menyandang sederet gelar dan mengantongi ijazah formal yang “laku” dijajakan di kantor-kantor pemerintahan dan sejumlah instansi. Pesantren salaf “hanya” menjanjikan sekerat ilmu pengetahuan agama untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan keras di masyarakat.

  Dinamika Pesantren dari masa ke masa

  Kata pesantren merupakan bentukan dari kata santri dengan awalan pe dan akhiran an, kemudian menjadi kata pesantren, yang berarti tempat santri. Sedangkan kata santri sendiri berasal

  1

  dari kata shastra(i) dari bahasa Tamil (India) yang berarti ahli buku suci (Hindu) . Dari sini maka dipakailah istilah pesantren dalam pengertian sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa dan Madura, yang memiliki sistem dan tradisi khusus,

  2 serta adanya elemen-elemen pokok, yaitu pondok / asrama, masjid / musghalla, kiyai dan santri .

  Sebagian besar peneliti berpendapat, bahwa dilihat dari bentuk dan sistem pendidikannya, pesantren mengadopsi pola pendidikan di India. Sebelum proses penyebaran Islam, sistem tersebut secara umum telah digunakan untuk pengajaran Agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan

  3

  tersebar di Jawa, sistem tersebut diambil alih oleh Islam . Namun, semata-mata mendasarkan pada alasan terminologis dan adanya kesamaan dengan sistem pendidikan agama Hindu yang berkembang di India, belumlah cukup untuk mengambil sebuah kesimpulan bahwa pola pendidikan pesantren mengadopsi sistem pendidikan agama Hindu di India. Karena, ternyata di dunia Islam yang lain, seperti

  4 di Mekkah, Madinah, Yaman dan India juga berkembang sistem dan pola pendidikan yang serupa .

  Secara umum, pesantren terbentuk secara alamiah. Bermula dari figur seorang guru yang layak disebut kiyai karena ilmu agamanya maupun akhlak dan kharisma yang dimilikinya. Dia diberikan kepercayaan oleh masyarakat untuk mengajarkan ilmu agama. Para orangtua pun menitipkan anak pada kiyai tersebut untuk dididik dan dibina. Karena semakin banyak santri yang mengaji padanya, maka didirikanlah tempat mengaji yang layak, berupa langgar, mushalla atau masjid, bahkan dibuatkan pula asrama untuk santri yang datang dari daerah yang jauh. Demikianlah, pesantren berkembang terus secara pesat atas swadaya masyarakat setempat, bahkan kebanyakan didanai secara pribadi oleh kiyai. 1 2 H. Mahmud, “Dinamika Pesantren dalam Konteks Sejarah”, Bina Pesantren, II, Nopember 2006, hlm. 6.

  Kharisuddin Aqib dan Ali Anwar, “Pembaharuan Sistem Pendidikan di Dunia Pesantren”, Tribakti, XIII,

Februari 2001, hlm. 2-3. Zamakhsari Dhofir menambahkan elemen pokok dalam sebuah pesantren, yaitu adanya pengajaran

kitab-kitab Islam klasik. Baca Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta: LP3ES, 1982, hlm. 44. 3 AboebakarAtjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Bulan Bintang, 1957, hlm. 43. Sarana dan prasarana fisik seperti bilik-bilik asrama santri dan lain-lain, kebanyakan muncul belakangan setelah aktivitas belajar mengajar telah mulai mapan. Sistem pengajaran terpusat pada kiyai dengan sistem bandongan dan sorogan. Tidak ada jenjang kelas ataupun kurikulum pengajaran secara sistematis. Materi pengajaran diambilkan dari kitab kuning, istilah untuk menyebut kitab karya tulis ulama’ abad pertengahan. Kiyai sekedar membacakan kitab kuning dengan makna dalam bahasa daerah, sementara santri memaknainya di kitab masing-masing. Sekali tempo saja kiyai menjelaskan maksud dari isi kitab. Inilah model pengajaran dengan sistem bandongan. Sedangkan dalam sistem sorogan, santri membaca kitab dengan maknanya di hadapan kiyai untuk ditashih kebenaran bacaannya. Satu lagi ciri khas pesantren, adalah sikap independen dan menjaga jarak terhadap penguasa. Sikap ini, terutama amat kental berkembang tatkala pemerintah kolonial masih bercokol di nusantara. Wajar saja, jika segala pembaharuan yang mayoritas datang dari budaya Barat dan dibawa pemerintahan kolonial, ditolak mentah-mentah. Termasuk saat pemerintah penjajah memberlakukan politik etis yang di antaranya adalah mendirikan sekolah-sekolah ala Barat yang diperuntukkan rakyat Indonesia. Meski sikap apriori masih tampak, namun, ternyata pesantren diam-diam juga mempertimbangkan pembaharuan sistem pengajaran model klasikal atau penjenjangan, yang bisa jadi terinspirasi dari sistem pendidikan ala Barat. Karenanya, Karel Steenbrink mengistilahkan sikap

  5 .

  pesantren semacam ini dengan sikap “menolak sambil mencontoh” Lambat laun, bukan saja model klasikal yang diadopsi pesantren, tetapi termasuk juga pengajaran ilmu pengetahuan umum. Seperti pada tahun 1920, beberapa pesantren, diantaranya

  Tebuireng Jombang dan Singosari Malang, mulai memasukkan pelajaran umum seperti bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, Berhitung, Ilmu Bumi, Sejarah dan lain-lain. Hal ini bisa dimaklumi, karena saat itu, situasi pergerakan perjuangan kemerdekaan, menggugah kalangan pesantren untuk ikut ambil bagian, bukan saja perlawanan secara fisik, akan tetapi perjuangan secara diplomatis melalui organisasi-organisasi pergerakan. Abdurrahman Wahid bahkan mencatat tahun 1920 sebagai tonggak perubahan orientasi pondok pesantren, meski menurut sebagian besar peneliti, orientasi perubahan itu

  6

  baru menemukan momentumnya pada sekitar tahun 1970-an . Menurut Karel Steenbrink, pergeseran yang terjadi di institusi pesantren pada awal abad ke-20, terjadi karena tiga faktor yang saling bersinergi. Pertama, kolonialisme dan sistem pendidikan liberal. Kedua, orientasi keilmuan pendidikan pesantren yang yang tidak lagi terpusat ke Hijaz, melainkan merambah ke wilayah Timur Tengah lainnya, seperti Mesir, Baghdad atau bahkan Eropa. Dan ketiga, gerakan pembaharuan Islam yang

  7 secara sinis mengkritik sistem pendidikan pesantren yang mereka nilai sebagai kolot dan jumud .

  Selepas kemerdekaan, keberadaan pesantren sebagai salah satu institusi pencerdasan anak bangsa, semakin mendapat perhatian dari pemerintah. Bantuan berupa pembinaan manajemen dan finansial menjadikan pesantren lebih meluaskan bidang garap pendidikannya yang semula hanya berkisar pelajaran agama, kini ditambah pengetahuan umum. Madrasah-madarasah yang didirikan oleh pesantren berlomba-lomba meraih akreditasi dari pemerintah. Bahkan, sebagian pesantren juga mendirikan sekolah umum, seperti Pesantren Tebuireng yang kenudian jejaknya diikuti pesantren- pesantren lain.

  Meski demikian, laju modernitas ini tidak lantas direspon oleh semua pesantren. Ada sebagian pesantren yang tetap seperti semula, hanya mengajarkan pelajaran agama, tanpa memasukkan pelajaran umum sebagai kurikulum resminya. Kalaupun ada, pengetahuan dan keterampilan umum tersebut hanya diakomodasi dalam kegiatan ekstra kurikuler saja. Sehingga, dewasa ini kita mengenal kategori pesantren salaf dan pesantren khalaf (modern). Pesantren salaf adalah pesantren yang masih mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai materi kurikulumnya tanpa memasukkan pengetahuan umum. Pesantren kategori ini diantaranya Pesantren Lirboyo dan Ploso di Kediri, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Sarang di Rembang dan sebagainya. Sedangkan Pesantren khalaf (modern) adalah pesantren yang sudah memasukkan pengetahuan umum sebagai materi pengajaran di sekolah dan madrasah yang dikembangkannya. Pesantren khalaf ini juga terklasifikasikan dalam dua model. Pertama, pesantren yang juga tetap mempertahankan pengajaran pengetahuan agama berbasis kitab kuning dengan metode bandongan dan sorogan, seperti Pesantren Tebuireng dan Denanyar di Jombang, Pesantren Qomaruddin di Gresik dan lain-lain. Kedua, pesantren yang sama sekali tidak mengajarkan kitab kuning, seperti Pesantren Krapyak di Yogya, Pesantren Gontor di Ponorogo dan lain-lain.

  Pesantren salaf, prototype pesantren yang sebenarnya. 5 Mashudi Abdurrahman, “Memelihara Tradisi, Memperbaharui Tradisi Pesantren”, Bina Pesantren, I, Oktober 2006, hlm. 23. 6 H. Mahmud, op.cit., hlm. 8.

  Hukum menuntut ilmu, secara umum adalah fardlu. Namun, berdasarkan obyeknya, menuntut ilmu terpilah-pilah dalam beberapa kategori hukum, fardlu ain, fardlu kifayah, sunnah, haram, makruh atau mubah. Fardlu ain jika obyek yang ditekuninya adalah hal-hal yang harus diketahui seorang muslim secara personal dalam menegakkan agamanya, pemurnian amal semata untuk Allah, atau etika berinteraksi dengan sesama hamba Allah, seperti pengetahuan tentang tata cara penunaian wudlu, sholat fardlu, puasa Ramadlan, atau pengetahuan yang dapat mengukuhkan aqidah dari keraguan, atau ilmu tentang tuntunan membersihkan hati, dan sebagainya. Fardlu kifayah jika obyek yang ditekuninya adalah hal-hal yang harus ditunaikan secara kolektif dalam cakupan komunitas tertentu, seperti ilmu- ilmu syari'at seperti tafsir, hadits, ilmu qiraat dan sebagainya, hingga mencapai derajat ijtihad atau fatwa. Termasuk diantara kewajiban kolektif lainnya adalah mempelajari ilmu kedokteran, ilmu hitung,

  8 dan lain-lain .

  Sejak awal, pesantren didirikan untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan agama, baik berskala fardlu ain atau fardlu kifayah. Pesantren juga merupakan penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Dari institusi tradisional ini diharapkan lahir figur-figur agamawan yang mampu memainkan peran propetik di masyarakat. Pesantren didirikan tidak berdasarkan orientasi tertentu bersifat duniawi, semisal orientasi lapangan kerja atau jabatan tertentu dalam hirarki sosial, melainkan semata-mata pengembangan agama yang bernilai ibadah.

  Namun demikian, seiring dengan perjalanan waktu, orientasi pesantren seakan mulai berubah. Di saat fakta berkata bahwa berkutat semata di wilayah keagamaan tak lagi memadai dalam merespon dunia yang semakin berubah, di saat itulah pesantren mulai melebarkan bidang garap pengajarannya.

  Pesantren pun mendirikan sekolah dan madrasah yang berstandarkan kurikulum pendidikan nasional, dengan memasukkan pengajaran pengetahuan umum. Tentunya niatan awal pesantren adalah sekedar memberikan pengayaan pengetahuan kepada para santrinya, tanpa menegasikan motivasi ibadah dan pengabdian pada masyarakat, serta tetap memberikan prioritas dan proporsi lebih pada ilmu-ilmu keagamaan. Namun, pada perkembangannya, pesantren dengan lembaga sekolah dan madrasah yang didirikannya seakan tak berdaya mengahadapi budaya masyarakat yang semakin pragmatis. Tuntutan memiliki ijazah formal demi melempangkan jalan dalam mencari pekerjaan juga melanda para santri. Akhirnya, niatan mencari ilmu tak lagi murni, pengetahuan yang didapat pun tak lagi optimal, baik pengetahuan umum ataupun pengetahuan agama. Di saat itulah, pesantren terancam kehilangan identitasnya, kalau saja tidak ada pesantren salaf yang tetap bertahan dengan orientasi materi pengajarannya.

  Kiranya, ada dua ciri khas yang membedakan pesantren salaf dengan pesantren khalaf atau institusi pendidikan lainnya. Pertama, spesifikasi bidang pengajaran. Kedua, informalitas lulusan pesantren. Dengan ciri pertama, pesantren salaf memiliki perbedaan mencolok dengan lembaga pendidikan sekolah, atupun pesantren khalaf. Adalah hal yang sangat wajar, tatkala pesantren mengambil spesifikasi bidang pengetahuan agama. Karena walau bagaimanapun, spesifikasi kemampuan merupakan ciri profesionalitas. Adalah sangat naif, jika pesantren sebagai lembaga spesialis bidang pengetahuan agama dibebani amanah melahirkan tenaga-tenaga profesional di bidang lain, dokter, insinyur, arsitek, atau lainnya. Sebagaimana pula bukan pada proporsinya jika sebuah institut teknologi misalnya, dituntut melahirkan pakar-pakar hukum syari'at. Penambahan bidang pengetahuan umum hendaknya hanyalah sebagai varian pengayaan pengetahuan santri, dan tidak sampai menghambat atau bahkan mengalihkan fokus perhatian dari spesifikasi bidangnya. Jika pembebanan pengetahuan umum berlebihan, tidak mustahil hal ini akan melunturkan identitas pesantren sebagai lembaga yang bergerak di bidang tafaqquh fiddin.

  Namun, spesifikasi bidang tafaqquh fiddin bukan hanya monopoli pesantren. Model lembaga pendidikan lainnya, IAIN misalnya, juga bisa berperan aktif dalam kancah bidang pengetahuan ini untuk kemudian melahirkan figur-figur ulama' pemimpin umat. Tetapi, dalam perkembangannya, perguruan tinggi semisal IAIN pun tak berdaya menghadapi arus pendidikan berorientasi pragmatis. Inilah pembeda utama antara lembaga pendidikan ini dengan pesantren salaf. Karenanya, sebagaimana dituturkan di muka, ciri khas kedua dari pesantren salaf adalah informalitas lulusan pesantren. .....

  Pola pragmatisme dalam sistem pendidikan nasional

  Pragmatisme dalam pengertian etimologis berasal dari bahasa Yunani yang berarti work atau pekerjaan. Sedangkan dalam pengertian terminologis sebagaimana diungkapkan oleh Ozmon dan Mcraver, pragmatisme adalah filsafat yang medorong kita untuk menjalani proses dan melakukan suatu

  9

  pilihan aktifitas terbaik untuk membantu kita menemukan tujuan yang diinginkan. Secara historis, 8 9 Muqaddimah Al-Hawi al-Kabir hlm. 14 Howard Ozmon dan Sanvel Mcraver, Philosophical Foundations of Education (London: Merril Publishing Company, pragmatisme terlahir untuk mempertemukan dua aliran filsafat yang berseberangan dan sulit dipertemukan yang sudah ada sebelumnya, yaitu aliran realisme dan idealisme. Hanya saja pragmatisme mempertemukan keduanya bukan sebagai sintesa dan bukan juga sebagai pendekatan

  10

  baru, melainkan sebagai suatu core idea untuk mengaplikasikan pemikiran pragmatis. Pragmatisme dalam dunia pendidikan sebenarnya merupakan titik moderasi yang mengkompromikan antara dua kutub ekstrem. Namun pada perkembangannya, istilah pragmatis dalam dunia pendidikan ini lebih dipahami sebagai sikap praktis, instan dan cenderung ke arah kutub realis. Pendidikan lebih diorientasikan untuk kerja dan pencapaian kesejahteraan materi dengan mengabaikan fitrah manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya.

  Pendidikan, sebagai soko guru bagi perkembangan masyarakat dan peradabannya, adalah parameter untuk mengukur maju tidaknya sebuah komunitas masyarakat. Dari pengetahuan yang didapat dari proses pendidikan, manusia diharapkan mengalami proses perubahan dari afektif, kognitif dan behavior. Sehingga karenanya, manusia bisa bersikap mandiri baik secara ekonomi maupun politik, memiliki otonomi moral spiritual serta mampu survive dalam mengembangkan kehidupannya. Pasca era reformasi, sektor pendidikan mendapatkan perhatian lebih. Dari semula anggaran belanja negara untuk sektor ini yang tidak lebih dari 11 % kini meningkat hingga 20 % dari total anggaran pebelanjaan.

  Meski demikian, awal yang bagus ini bukan berarti tidak menyisakan masalah. Sejumlah problematika masih menggelayuti dunia pendidikan. Secara sederhana, dunia pendidikan tengah menghadapi dua problem mendasar. Pertama, problem kebijakan pendidikan, yakni menyangkut perihal fasilitas proses belajar-mengajar, kualitas tenaga pengajar, serta mekanisme pengelolaannya.

  

Kedua , problem ideologi pendidikan, yakni menyangkut soal paradigma pendidikan kurikulum yang

  11 digunakan serta metode pengajaran yang dipakai .

  Secara ideologis, pendidikan seharusnya dijauhkan dari pengaruh dan kepentingan yang mengganggu serta menghambat tercapainya cita-cita ideal. Namun pada kenyataannya, pendidikan yang dianggap sakral juga terciprati, bahkan menjadi pendulum bagi mekarnya ideologi liberalisme, penindasan dan hegemoni, demi sebuah kepentingan kekuasaan. Pendidikan kita tanpa terasa mengekor pada bentukan ideal dari filsafat Barat, tentang manusia universal yang rasionalis liberal, seperti,

  

pertama , bahwa manusia memiliki potensi yang sama dalam intelektual. Kedua, baik tatanan alam

  maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal. Ketiga, individualis, yakni adanya anggapan bahwa

  12

  manusia adalah atomistik dan otonom . Kenyataan adanya pengaruh liberalisme dalam pendidikan juga dapat kita tangkap dalam paradigma link and match yang beberapa tahun lalu sempat gencar dipromosikan. Satu sisi, paradigma ini memang nampak menggairahkan, sebab memacu peserta didik dan lembaga pendidikan utk bersaing memasuki dunia kerja yang semakin ketat dan terbatas. Akan tetapi, moralitas yang mestinya menjadi landasan tindak, terasa terabaikan, bahkan tertinggal sama sekali.

  Pesantren salaf di simpang jalan

  Di tengah problematika dunia pendidikan yang kompleks, pesantren salaf juga dihadapkan pada sejumlah tantangan. Secara eksternal, pesantren harus bersaing dengan model lembaga pendidikan lain yang secara finansial menjajikan masa depan. Jangankan meluaskan jangkauan basis konsumennya dengan mempromosikan segala keunggulan model dan materi pengajarannya, untuk sekedar eksis dalam mempertahankan basis konsumennya saja, pesantren salaf mengalami kesulitan. Fakta menunjukkan, di sebagian daerah, para alumni pesantren salaf tidak lagi mempercayakan urusan pendidikan putra-putranya di almamaternya, pesantren salaf. Ada kesan, mereka

  • – para alumni pesantren salaf
  • – merasa kapok mondok. Karena, dengan mondok di pesantren salaf, mereka merasa masa depannya tidak secerah jika menempuh pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi umum, sehingga mereka tidak ingin putra-putra mereka mengalami hal yang sama. Dan, secara umum, memang ada kecenderungan sejumlah pesantren salaf mengalami penurunan jumlah santri.

  Belum lagi, secara internal, pesantren salaf dihadapkan pada trend penurunan kualitas keilmuan para alumni dan santrinya. Lepas dari apa penyebab utama yang melatarbelakanginya, yang jelas, secara kultur juga dirasakan mulai memudarnya budaya salaf, mulai dari penghormatan dan rasa

  

ta’zhim pada guru dan kiai, kegigihan belajar yang disertai sejumlah ritual tirakat; puasa, wirid dan

  lainnya, hingga kepercayaan pada mitos barakah yang selama ini diidam-idamkan para santri. Meski tidak begitu “parah”, ada tanda-tanda budaya salaf ini mulai berkurang. 10 11 Muhadjir, Filsafat Ilmu, 108.

  

Farhan Effendy, "Di Tengah Problem Dunia Pendidikan, Pesantren Mau Apa?" Bina Pesantren, I, 2004, hlm. 7.

  Dalam menyiasati sejumlah problematika ini, pesantren salaf selayaknya berbenah diri dan melakukan perubahan atau improvisasi. Namun, perubahan dan improvisasi ini semestinya tidak sampai melunturkan atau bahkan menghilangkan identitas khas pesantren salaf. Perubahan semestinya diarahkan hanya sebatas aspek teknis operasionalnya, bukan substansi pendidikan pesantren salaf itu sendiri.sebab, jika perubahan dan improvisasi itu menyangkut substansi pendidikan, maka pesantren yang mengakar ratusan tahun lamanya, akan tercerabut dan kehilangan elan vital sebagai penopang moral yang menjadi citra utama pendidikan pesantren. Teknis operasional dimaksud bisa berwujud perencanaan pendidikan yang lebih komprehensif, pembenahan kurikulum pesantren dalam pola yang

  13 mudah dicernakan, dan tentu saja adalah skala prioritas dalam pendidikan .

  Secara garis besar, setidaknya, ada tiga tantangan utama yang harus dijawab dengan tiga langkah strategis. Pertama, menurunnya kualitas penguasaan bidang pengetahuan agama para santri lulusan pesantren salaf. Meski agak klise, namun kendala dan kecenderungan semacam ini harus diupayakan langkah antisipasinya. Semisal dengan menyusun pola kurikulum yang terencanakan secara sistematis, dengan target pencapaian yang jelas. Sebagaimana diketahui, selama ini pesantren salaf dalam sistem pengajarannya, meski telah menerapkan sistem madrasi, masih berstandarkan acuan kitab-kitab kuning, tanpa dirubah dan dimodifikasi. Meski penyusunan kurikulum tidak harus memberangus penggunaan kitab-kitab salaf, namun paling tidak, ada pola penjenjangan kitab-kitab kurikulum sesuai dengan tingkatannya. Serta, tentunya terdapat skala prioritas penekanan dan pencapaian secara tepat.

  Langkah lainnya, adalah dengan menggairahkan kegiatan-kegiatan diskusi atau musyawarah,

  

bahtsul masa-il dan pola-pola pembelajaran yang bisa menumbuhkan daya inisiatif dan kreatif santri,

  seperti model sorogan. Selain itu, pesantren salaf hendaknya mulai mengembangkan wawasan pengetahuan agama santrinya hingga bidang pengetahuan ilmu-ilmu Al- Qur’an, Hadits, ushul fiqh, dan

  • – jika memungkinkan, menambahkan porsi pengajaran bidang pengetahuan sejarah. Selama ini, pesantren kurang memberikan porsi memadai untuk ilmu-ilmu sebagaimana di atas, atau dalam pencapaian target pengajarannya kurang maksimal. Selama ini, pesantren terkesan fiqh oriented. Kendati bidang pengetahuan bahasa Arab juga menjadi salah satu perhatian utama, namun inipun diajarkan sekedar sebagai instrumen pengantar memahami bidang pengetahuan fiqh melalui kitab-kitab klasik. Tidak lebih dari itu. Pendalaman bahasa Arab bukan ditujukan sebagai sarana komunikatif atau

  

muhadatsah baik secara aktif maupun pasif. Sehingga tak heran, kalau banyak lulusan pesantren yang

  mengalami kesulitan jika berkomunikasi dengan bahsa Arab, meski bertahun-tahun belajar nahwu- sharaf hingga balaghah.

  Kedua, kendala pesantren salaf adalah kemandirian ekonomi. Meski secara teoretis

  didoktrinkan dalam berbagai kesempatan, para peserta didik pesantren salaf (baca : santri), selepas masa studi tetap saja merasakan kegamangan menatap masa depan. Keinginan untuk memperjuangkan misi penyebaran ilmu dan dakwah sedikit banyak terhambat oleh faktor ekonomi dan finansial. Adalah tidak etis jika misi tersebut justru dijadikan sandaran hidup satu-satunya. Santri harus mandiri secara ekonomi, tanpa mengesampingkan misis dan tugas mulianya. Bahkan

  • – sebagaimana para pengemban ilmu pengetahuan lainnya
  • – santri haruslah menjadi pioneer dalam usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya, bukan malah menjadi beban masyarakat. Menyikapi kendalam semacam ini, pesantren hendaknya memberikan antisipasi sedini mungkin dengan membuka program pendidikan dan pelatihan berorientasi vocational melalui sanggar-sanggar keterampilan dan kursus-kursus dalam kegiatan ekstra kurikuler. Namun, se4kali lagi, ini hanyalah bersifat tambahan yang secara kondisional harus diterapkan secara terpadu dan tepat tanpa mengusik dan mengalihkan fokus utama tafaqquh

  

fiddin , pendalaman ilmu-ilmu pengetahuan agama. Dan, tentu saja, skala prioritas tetap harus

diterapkan secara ketat.

  Ketiga, kendala pesantren salaf adalah adanya kecenderungan melunturnya budaya salaf. Meski

  tidak banyak, namun kendala ini harus segera mendapatkan porsi perhatian lebih. Diantara yang paling krusial untuk segera dilakukan adalah menyelamatkan akidah ahlussunnah wal jamaah para santri dan alumni pesantren. Lumayan banyak sudah, lulusan pesantren salaf yang kemudian berubah menjadi ekstrim atau bahkan liberal selepas masa studi dari pesantren.

  Inilah diantara sejumlah tantangan dan kendala yang harus dijawab kalangan pesantren salaf. Pakem al-muh

  âfazhah ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah, melestarikan sistem

  lama yang baik serta mengadopsi sistem baru yang lebih baik, haruslah tetap menjadi paradigma pokok dalam melakukan pembenahan dan perubahan. Semoga pesantren sebagai think thank Islam

  Ahlussunnah wal jamaah tetap eksis melahirkan ulama’-ulama’ pembenteng umat dari akidah sesat. Wallâhu a’lam. 

Dokumen yang terkait

PENGARUH SUPERVISI KEPALA RUANG TERHADAP DOKUMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN DI RUANG RAWAT INAP RSUD UNGARAN Shinta Indah Arini Nindyanto) Niken Sukesi), Muslim Argo Bayu Kusuma) ) Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang ) Staf

0 0 8

EFEKTIFITAS TEKNIK RELAKSASI IMAJINASI TERBIMBING DAN TERAPI MUSIK TERHADAP PENURUNAN GANGGUAN TIDUR PADA LANSIA DI PANTI WERDA PELKRIS PENGAYOMAN SEMARANG

0 1 10

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN LAMA KERJA DENGAN KELENGKAPAN PENGISIAN DOKUMENTASI PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RSUD TUGUREJO SEMARANG

0 0 13

HUBUNGAN PENDAMPINGAN SUAMI DENGAN TINGKAT KECEMASAN IBU PRIMIGRAVIDA DALAM MENGHADAPI PROSES PERSALINAN KALA I DI RUMAH BERSALIN WILAYAH KOTA UNGARAN

0 0 5

1 FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KARIES GIGI PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN DI SD NEGERI KARANGAYU 03 SEMARANG Khusnul Khotimah

0 1 10

1 PERBEDAAN KESEIMBANGAN TUBUH LANSIA BERDASARKAN KEIKUTSERTAAN SENAM LANSIA DI PANTI WERDA PELKRIS PENGAYOMAN DAN ELIM SEMARANG Eka Nurhayati )., Arwani, SKM., MN ), Purnomo, SKM., M.Kes.Epid )

0 0 7

Rita Dewi Sunarno, Ni Luh Putu Ariastuti, Nita Marettina HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECEMASAN DENGAN LAMA PERSALINAN KALA I-KALA II PADA IBU PRIMIGRAVIDA DI RUMAH BERSALIN MARDI RAHAYU SEMARANG

0 0 5

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN KETEPATAN IMUNISASI POLIO DI POSYANDU RW 10 KAMPUNG BANTENG KOTA SEMARANG Anissa Dyah S.), Sri Haryani S.), Wulandari Meikawati)

0 0 6

PEMAHAMAN DAN PERILAKU PERAWAT DALAM MELAKSANAKAN PERAN ADVOKAT PASIEN DI RUMAH SAKIT Maria Suryani, Setyowati, Luknis Sabri

1 2 9

HUBU GA A TARA STATUS GIZI DE GA KADAR HEMOGLOBI PADA IBU HAMIL TRIMESTER II DI PUSKESMAS BA DARHARO SEMARA G UTARA Sri mulyani

0 0 7