Bahkan aku tidak tahu (1)

Bahkan aku tidak tahu, apa yang sebenarnya tuhan rencanakan. Di balik semua yang terjadi, orang orang
selalu menegaskan bahwa selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa. Tapi, sampai sekarang aku masih
kurang ajar. Terlalu congkak pada ilahi. Berusaha menguatkan bahwa pasti ada beberapa hikmah yang di
dapatkan, namun tidak ku rasa. Bukan tak terasa, tapi Karena aku sudah mati rasa. Semua yang kujalani
hanya, alur biasa. Tidak ada yang istimewa, ku pikir. Salahku terlalu bergantung padamu. Salahku terlalu
menjadikanmu sandaran yang seolah satu satunya banteng pertahanan di depanku. Sekarang, aku
bahkan takt ahu. Aku kebingungan. Sejak kapan banteng itu dibangun dan sejak kapan banteng itu
hancur? Sejak kapan banteng itu berdiri dan kapan banteng itu runtuh? Kau datang tanpa sapa dan pergi
tanpa pamit.
Setiap waktu aku sekarat memikirkan semua jejak hidupku yang perlahan mulai memudar, kecuali
tentang dirimu. Ada tanda merah di sana. Tak ada angin yang dapat meniup tanda itu, taka da ombak
yang mampu menghempas tanda itu. Aku berjalan sendiri, membuat planetku sendiri, membuat
bahasaku sendiri, membuat ceritaku sendiri. Tak ada orang yang wajib tahu, mereka tak peduli. Tak
sepeduli dirimu. Dan lagi lagi aku bergantung kepada dirimu, kalua boleh memilih. Antara waktu yang
diputar ulang atau masa depan yang cerah, aku akan lebih memilih memutar ulang waktu. Tak ada yang
akan ku perbaiki untuk itu, aku hanya ingin mencegah hatiku untuk berjalan menghampirimu. Untuk
memilih tidak mengenalmu sama sekali. Sama sekali
Tapi yang aku dapat kini hanyalah ego. Aku menyadari sesuatu bahwa aku terlalu egois untuk hidup
menua denganmu, tanpa tapi dan tanpa terkecuali. Bodohnya, mengapa aku ingin melakukan hal itu
terhadap wujud yang nyata tak nyata seperti mu. Entah mengapa sesakit ini pun aku masih bisa
tersenyum. Menangis tak ada gunanya sekarang bagiku. Sejenak aku berpikir, mengenangmu saja kupikir

cukup Karena hidup tak harus melulu tentang kamu. Itu kata mereka. Tapi ku egois, aku tetap berharap
kamu bukan sekedar asap yang ku tiup ke langit, mengepul lalu menghilang. kamu bukanlah ruang
kosong yang sudah tak lagi berbicara.
Bertahun tahun ku lalui dengan perasaan biasa saja, bahkan tak ingat kamu. Namun entah mengapa,
semua yang kurasa sekarang seperti bom waktu. Detik demi detiknya tak kurasa akan terdapat ledakan
atau asap mesiu. Perlahan semua hancur dan meledak. Dari mana datangnya bom ini pun aku tidak tahu.
Aku tidak tahu menahu soal semua yang terjadi antara kita sebelum dan sesudahnya. Karena hati
berbeda dengan otak. Tak perlu alasan mengapa aku mau mengenalimu, tak perlu ada alasan yang
konkret mengapa aku mau berjalan dan bergantung kepadamu. Semua terjadi Karena rasa yang bermain.
Aku tak suka menghitung seberapa lama aku mengenalmu sampai seberapa cepat aku melupakanmu. Itu

sebabnya aku benci matematika dan akuntansi. Aku ingin semua berjalan Karena hakikat hidup manusia
sebagai mahluk sosial yang saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain. Itu sebabnya aku
masuk fikom. Aku hanya ingin mengenalmu sebagai mahluk sosial, bukan mahluk eksak. Kamu tidak
penuh dengan angka, tidak. Kamu hangat dan penuh dengan pertanyaan, sedikit yang kamu nyatakan.
Aku bukan hanya egois. Dari tulisan tulisan yang dengan emosi ku tulis. Aku telah serakah. Tak
membiarkan yang lain menatapmu, aku terlalu serakah untuk hidup menua denganmu. Dari awal aku
mengenalmu, aku tahu bahwa langkahku ini tidak salah dan bodohnya aku terlalu yakin dengan jalan
yang aku pilih. Nyatanya, buktinya, aku memang