Keyword: Perovskite, Sol-Gel, La 1-x Srx

Prosiding Skripsi Semester Gasal 2010/2011

SK-091304

Sintesis Dan Karakterisasi Oksida Perovskit La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- δ (0,0≤x,y≤0,5) Dengan Metode Solid-State

Ninik Maulidah*, Hamzah Fansuri, M.Si., Ph.D 1)

Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Abstrak

Oksida-oksida perovskit (ABO 3 ) telah lama dikenal sebagai bahan yang dapat disubstitusi isomorfis pada unsur A- nya maupun pada unsur B-nya. Mobilitas oksigen kisi pada oksida perovskit bergantung pada struktur kisinya yang dapat dimodifikasi dengan melakukan substitusi isomorfis, baik pada posisi kisi yang ditempati oleh ion A-nya maupun B-nya

dengan ion-ion sejenis. Pada penelitian ini ion La 3+ pada oksida perovskit akan disubstitusi dengan Sr 2+ dan ion Co 3+ akan disubstitusi dengan Fe 3+ sehingga dihasilkan oksida perovskit dengan komposisi La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- δ , dimana x,y = 0,0≤x,y≤0,5. Oksida perovskit La 1-x Sr x Co 1-y Fe 2+ 3+ y O 3- δ disintesis dengan metode solid-state menggunakan metanol sebagai zat pendispersi. Substitusi Sr dan Fe akan mempengaruhi intensitas puncak perovskit pada difraktogram.

Kata Kunci : perovskit, solid-state, La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- δ

Abstract

Perovskite oxides (ABO 3 ) have been known as material which may be isomorphically substituted for either the A element or the B element. Oxygent Mobility of perovskite oxides depend on its lattice structure which may be modified by isomorphic substitution on either the A ions or B ions position with ions of a kind. In this research La 3+ and Co 3+ on

perovskite oxide substituted by Sr 2+ and Fe 3+ with result La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- δ , which x,y = 0,0≤x,y≤0,5. Perovskite oxides LaCo 1-x Cu x O 3-

δ 3+ could be synthesized by Solid-state method with methanol as Dispersing agent. Sr and Fe substitution influence on peak intensity XRD pattern of perovskite.

Keyword: Perovskite, Sol-Gel, La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3

1. Pendahuluan

sehingga bisa diaplikasikan dalam membran bentuk campuran oksida logam, dimana A adalah

Oksida perovskit (ABO 3 ) merupakan suatu

Penghantar Ion Oksigen. Selain itu oksida kation yang berukuran lebih besar daripada B. Ion

perovskit dapat mempertahankan strukturnya

mengalami reduksi dapat alkali tanah atau logam tanah jarang, B adalah

A umumnya adalah kation dari logam alkali, logam

perovskit juga dapat dari logam transisi (Waterrud, 2005). Total muatan

kation yang lebih kecil dan umumnya adalah kation

Oksida-oksida

menyerahkan ion-ion oksigen yang menyusun ion dari kedua logam tersebut haruslah 6 agar

strukturnya (oksigen kisi) tanpa mengalami terjadi keseimbangan muatan dengan muatan

perubahan struktur yang berarti. Penyerahan ion- negatif 6 yang dibawa oleh tiga ion oksigen.

ion oksigen ini menyebabkan kekosongan oksigen Oksida logam dengan struktur perovskit ini,

sehingga terjadi ketidakseimbangan muatan banyak

(muatan oksida perovskit menjadi lebih positif). mengoksidasi hidrokarbon secara sempurna. Salah

Namun, keberadaan kation-kation B, yang satu contohnya adalah perovskit La 1-x Sr x MO 3 memiliki kemampuan untuk berada pada keadaan

(M=Mn, Ni) yang dapat digunakan sebagai katalis oksidasi yang berbeda, dapat menyeimbangkan pada reaksi oksidasi parsial metana menjadi syngas

muatan tersebut dengan cara menurunkan bilangan (Wei dkk., 2008). Contoh lain adalah oksida

oksidasinya walaupun pada akhirnya kekosongan perovskit LaCo 1-x Cu x O 3- δ yang digunakan pada

ion oksigen tersebut harus diisi kembali melalui reaksi oksidasi gas alam menjadi alkohol yang

reaksi oksidasi. Karena sifat tersebut maka oksida beratom karbon rendah (Tien-Thao dkk., 2007).

perovskit dapat mempertahankan strukturnya Oksida perovskit berbasis LaCoO 3 sehingga pelepasan oksigen dari kerangka struktur

terbukti mempunyai sifat reduksi dan oksidasi yang oksida perovskit bersifat reversible. Dengan sifat baik serta, memiliki aktivitas dan selektivitas yang

seperti itu, oksida perovskit dapat berperan sebagai baik jika diaplikasikan menjadi katalis, serta dapat

oksidator sekaligus juga sebagai reduktor. menghantarkan ion oksigen dengan fluks oksigen

oksida perovskit untuk yang tinggi (Yang dkk., 2005; Wang dkk., 2003)

Kemampuan

melepaskan oksigen kisinya secara reversible merupakan salah satu alasan bagi penggunaan

* Corresponding author Phone : +628563364399, oksida perovskit sebagai membran penghantar ion

1 Alamat sekarang : Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, oksigen. Penghantaran oksigen terjadi melalui Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. reaksi oksidasi- reduksi internal di dalam struktur

e-mail: niek06@chem.its.ac.id

e-mail: h.fansuri@chem.its.ac.id oksida perovskit yang efeknya terlihat sebagai e-mail: h.fansuri@chem.its.ac.id oksida perovskit yang efeknya terlihat sebagai

substitusi stoikiometri logam Sr 2+ dan Fe 3+ oksigen tersebut sangat selektif sehingga tidak ada

terhadap oksida LaCoO 3. Metode solid-state peluang bagi gas atau molekul lain yang dapat

dilakukan dengan teknik penggerusan yang melalui membran oksida perovskit ini. Oleh karena

menggunakan metanol sebagai zat pendispersinya. itu, membran oksida perovskit ini digunakan secara

Pada metode solid-state ini, oksida perovskit La 1- luas dalam proses-proses produksi gas oksigen.

disiapkan dari oksida logam Membran penghantar ion oksigen haruslah

x Sr x Co 1-y Fe y O 3-

penyusunnya. Menurut hipotesis, metode solid- berupa bahan yang rapat (dense) sehingga tidak ada

state akan menghasilkan produk yang lebih banyak peluang bagi perpindahan massa melalui celah-

dan paling mendekati komposisi yang diinginkan. celah pori dan retakan pada bahan membran.

Komposisi material yang dicampurkan pada awal Keretakkan sekecil apapun tidak diperkenankan

sintesis akan sama dengan komposisi perovskit terjadi pada membran penghantar ion oksigen

yang terbentuk, karena pada dasarnya tidak ada karena hal ini dapat menyebabkan perpindahan

sejumlah komposisi dari material pembentuk massa yang tidak melalui reaksi oksdasi-reduksi

perovskit yang hilang ataupun berkurang dalam internal. Perpindahan seperti ini menyebabkan

proses sintesisnya yang disebabkan oleh beberapa penurunan selektivitas perpindahan ion oksigen.

hal seperti penguapan atau belum terendapkan.

Oksida perovskit LaCoO 3 yang digunakan

sebagai membran penghantar ion oksigen harus

2. Metode Penelitian

berupa bahan yang rapat, tidak berpori dan tidak

2.1 Peralatan dan Bahan

ada celah bagi terjadinya difusi gas melalui

2.1.1 Peralatan

retakan- retakan pada membrannya. Namun Alat yang digunakan dalam penelitian ini berbagai penelitian melaporkan bahwa membran

adalah alat-alat gelas seperti gelas beaker, penghantar ion oksigen berbahan oksida perovskit

Erlenmeyer dan sebagainya, alat-alat porselen mudah pecah atau retak jika terpapar oleh

untuk proses pemanasan, furnace, mortar dan alu perubahan suhu dan tekanan yang mendadak (Tong

batu agat, oven dan neraca analitik. dkk., 2002; Wang dkk., 2003; Hamakawa dkk., 2005).

2.1.2 Bahan

Selain mudah pecah, fluks oksigen pada Bahan yang digunakan dalam penelitian ini membran oksida perovskit masih relatif rendah.

adalah Oksida Lantanum(III) (La 2 O 3 ) p.a 99,5% Oleh karena itu, penggunaan membran penghantar

(Merck), Oksida Kobalt (Co 3 O 4 ) p.a 99,5% ion oksigen masih terbatas pada proses pemurnian

(Aldrich), Oksida Stronsium (SrO) p.a 99,0% gas hidrogen. Jika fluks oksigen dapat ditingkatkan

(Merck), Oksida Besi (Fe 2 O 3 ) p.a 97% (Merck) maka oksida perovskit akan memiliki potensi yang

dan Metanol p.a 99,8% (Mallinckrodt Chemicals). sangat besar untuk digunakan sebagai katalis pada proses-proses

2.2 Prosedur Kerja

memerlukan kontrol oksigen yang ketat. Contoh Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan, dari reaksi tersebut adalah konversi gas metana

yaitu síntesis oksida perovskit dan pengujian sifat menjadi syn gas ataupun metanol. Pada reaksi

hantaran oksigen serta muai panasnya. Tahapan tersebut, konsentrasi oksigen yang terlibat dalam

proses síntesis beserta reaksi harus dikontrol dengan ketat. Oleh karena

síntesis

meliputi

karakterisasinya.

itu membran penghantar ion oksigen masih sangat jarang digunakan sebagai katalis membran dalam

2.2.1 Sintesis Oksida Perovskit La 1-x Sr x Co 1-

proses konversi bahan kimia yang memerlukan

y Fe y O 3- δ dan Karakterisasinya

kontrol oksigen yang ketat seperti konversi gas Target síntesis oksida perovskit adalah La 1- alam menjadi metanol.

x Sr x Co 1-y Fe y O 3- δ dengan nilai x dan y antara 0,0 Untuk mengatasi beberapa masalah di

sampai 0,5 dengan interval 0,1. Oksida perovskit atas maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk

tersebut dibuat dengan metode solid state. Metode meningkatkan fluks oksigen sekaligus kekuatan

solid-state dilakukan dengan teknik penggerusan mekanik dari bahan membran. Fluks oksigen

metanol sebagai zat sangat dipengaruhi oleh mobilitas oksigen kisi.

yang

menggunakan

pendispersinya. Pada metode solid-state ini, oksida Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,

perovskit La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- δ disiapkan dari mobilitas oksigen kisi tersebut dapat berubah jika

oksida logam penyusunnya, yakni Oksida ion A atau ion B disubstitusi dengan ion lain yang

Lantanum (III) (La 2 O 3 ) yang berupa bubuk halus sejenis. Substitusi terhadap ion A menggunakan

berwarna putih, Oksida Stronsium (SrO) yang ion sejenis yang berukuran lebih besar dapat

berupa serbuk berwarna putih, Oksida Kobalt melemahkan kuat ion logam dengan oksigen

(Co 3 O 4 ) berupa bubuk hitam dan Oksida Besi sehingga oksigen tersebut lebih mudah terlepas

(Fe 2 O 3 ) yang berupa serbuk berwarna merah bata. dari ikatan. Substitusi terhadap ion B dengan ion

Oksida stronsium disiapkan dari bahan logam transisi yang berukuran lebih kecil juga

dapat meningkatkan aktivitas oksidatif oksida 2

stronsium nitrat anhidrat Sr(NO 3 ) yang dibakar

C selama 1 jam, kemudian perovskit. Oksigen- oksigen kisi pada oksida

pada suhu 200

dipanaskan dalam furnace vakum pada suhu 400 o C perovskit menjadi lebih mudah bergerak dan

selama 1 jam. Stronsium nitrat yang semula berupa digunakan untuk reaksi . Hal ini menyebabkan

butiran kristal halus berwarna putih yang oksida perovskit mudah direduksi dan dioksidasi

ditunjukkan pada Gambar 2.1 (a), setelah kembali.

dipanaskan tidak berubah bentuk dan warnanya, hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.1 (b). Suhu 400

C diperoleh dari data dekomposisi garam-garam difraktometer Philipps X’pert PN-1830 X-ray.

Difraksi dilakukan pada sudut 2θ antara 20 o dan garam-garam nitrat sudah terdekomposisi menjadi

nitrat menjadi oksida, dimana pada suhu 400 C o

60 o agar diperoleh jumlah puncak yang memadai oksida. Misalnya kalium nitrat (KNO

3 ) yang

bagi analisis fasa kristalin yang ada. Analisis fasa terdekomposisi pada suhu 400 C. dilakukan dengan bantuan software Phillips X’pert Graphics & Identity menggunakan database JCPDS PDF no. 25-1060 tahun 2002. Sementara itu komposisi oksida perovskit yang terbentuk dianalisis menggunakan spektrometer pendarfluor sinar-X (X-Ray fluoroscence /XRF) untuk mengetahui komposisi unsur-unsur kimia dari

a b oksida perovskit.

Gambar 2.1 (a) Stronsium Nitrat Anhidrat

2.2.2 Analisis DTA/TGA

(Sr(NO 3 ) 2 , (b) Oksida Stronsium SrO.

DTA/TGA dilakukan untuk Sintesis kerangka oksida perovskit LaCoO 3 menentukan suhu, waktu dan metode kalsinasi

Analisis

diawali dengan mempersiapkan La 2 O 3 dan Co 3 O 4 dalam mengubah prekursor menjadi oksida sesuai hasil perhitungan stoikiometri dari

perovskit. Prekursor yang digunakan berbentuk komposisi yang diharapkan. Selanjutnya bahan-

serbuk. Analisis dilakukan di Balai Besar Keramik bahan tersebut di campur dan digerus dengan

Bandung, menggunakan instrumen Setaram Setsys- mortar dan alu batu agat dimana sebelumnya telah

1750. Analisis DTA/TGA dilakukan dengan ditambahkan beberapa tetes metanol 75 tetes ke

kenaikan suhu 10 o /menit dalam atmosfir udara dan dalam campuran. Metanol ini berfungsi sebagai zat

rentang suhu mulai dari suhu kamar hingga 1000 pendispersi agar semua bahan mudah tercampur,

o C.

karena reaksi padat –padat ini umumnya akan

berjalan lebih lambat jika dibandingkan dengan

2.2.3 Penentuan Fasa Oksida Perovskit

reaksi fasa cair. Metanol disini dipilih sebagai zat

Menggunakan XRD

pendispersi karena metanol merupakan bahan Analisis menggunakan difraksi sinar-X organik yang bersifat volatil dan polar sehigga

dilakukan untuk menentukan fasa oksida perovskit metanol tidak akan merubah struktur perovskit

yang terbentuk dari proses sintesis. analisis XRD tersebut, jadi dengan penambahan metanol

dilakukan di Riset Center ITS menggunakan nantinya akan memudahkan untuk pemurnian

difraktometer Philipps X’pert PN-1830 X-ray. produk yang hendak disintesis.

Analisis dilakukan pada sudut 2θ antara 20 o dan Oksida perovskit LaCoO yang tersubstitutsi

3 60 . Sumber sinar-X yang digunakan adalah Cu dan Fe 3+ disiapkan dengan cara yang

oleh Sr 2+

dengan radiasi Kα 1 yang dihasilkan dari sumber Cu sama dengan LaCoO 3 . Selain La 2 O 3 dan Co 3 O 4 dengan panjang gelombang (λ) 1,54056 Å.

Prekursor yang digunakan berbentuk serbuk tertentu

juga ditambahkan SrO dan Fe 2 O 3 dengan jumlah

halus. Serbuk ditempatkan di dalam sampel holder dikehendaki.

sesuai dengan

komposisi

yang

berbentuk bulat dengan volume 20mm 3 . Ukuran Campuran tersebut digerus terus menerus

partikel sangat mempengaruhi kualitas hasil analisa kurang lebih selama 1-2 jam dan hasilnya

difraksi sinar-X, Sebaiknya sampel dihaluskan ditunjukkan pada Gambar 2.2, lalu diangin-

terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam anginkan agar metanol yang ditambahkan

sampel holder.

sebelumnya menguap, baru setelah itu dilakukan

kalsinasi. Setelah itu campuran dikeluarkan dari

2.2.4 Komposisi Oksida Perovskit

furnace, didinginkan kemudian digerus ulang Analisis X-Ray fluoroscence (XRF) dilakukan menggunakan mortar dan alu batu agat. Kemudian

untuk mengetahui komposisi unsur-unsur kimia campuran tersebut dimasukkan kembali ke dalam

dari oksida perovskit. instrument XRF yang furnace untuk melanjutkan kalsinasi.

digunakan adalah XRF merk PANalytical tipe Minipal 4, PW4030/45b. Analisa XRF dilakukan di laboratorium Studi Energi dan Rekayasa LPPM ITS Surabaya. Cuplikan yang digunakan untuk analisa berupa serbuk setelah dikalsinasi.

3.Hasil dan Diskusi

Gambar 2.2 Campuran La 2 O 3 , SrO, Co 3 O 4 , Fe 2 O 3 Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan metanol yang terbentuk setelah digerus selama

sejauh mana substitusi oleh Sr 2+ dan Fe 3+ dapat

2 jam. dilakukan tanpa menyebabkan terbentuknya fasa- fasa non perovskit pada sintesis oksida perovskit

LaCoO 3 (La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- ). Nilai x dan y prekursor maupun terhadap oksida perovskit yang

Karakterisasi dilakukan

baik

terhadap

berkisar antara 0,0 sampai 0,5 dengan interval 0,1. dihasilkan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi

Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk karakterisasi termal menggunakan metode analisis

mendapatkan informasi mengenai bagaimana DTA/TGA. Karakterisasi utama yang dilakukan

substitusi tersebut dapat mempengaruhi sifat pada padatan hasil sintesis adalah karakterisasi

hantaran oksigen (fluks oksigen) serta kekuatan strukturnya. Karakterisasi ini dilakukan dengan

mekaniknya, yang diukur sesuai sifat muai metode

difraksi sinar-X

menggunakan

panasnya. Untuk menjawab permasalahan yang panasnya. Untuk menjawab permasalahan yang

pembuatan oksida perovskit La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- o C.

dengan metode solid-state. Setiap komposisi oksida logam yang hendak Metode solid-state telah banyak dilakukan oleh

diperoleh, dibuat sebanyak 10 gram. Hal ini -peneliti sebelumnya. Diantaranya Mundscau

didapatkan dengan mencampurkan oksida-oksida

logam prekursornya secara stoikiometris yang Thao dkk. (2007) dan Royer dkk. (2005) yang

(2008) yang mensintesis La 0,5 Sr 0,5 CoO 3 serta Tien

kemudian dihaluskan dengan ball-milling dengan membuat katalis perovskit LaCo 1-x Cu x O 3- untuk

kecepatan 400 rpm selama 4 jam, sesuai dengan mensintesis alkohol tingkat tinggi (higher

metode yang dilaporkan oleh Mundscau dkk alcohols) . Begitu juga yang dilakukan oleh Juste

(2008). Proses ball miling dilakukan dengan dkk. (2008) yang meneliti tentang permeasi

menggunakan metanol sebagai zat pendispersi. oksigen dan ekspansi secara kimia pada membran

Campuran oksida prekursor pasca ball milling perovskit La (1-x) Sr x Fe (1-y) Ga y O 3- .

selanjutnya diangin- anginkan. Selanjutnya padatan Metode solid-state akan menghasilkan produk

kering yang dihasilkan dianalisis dengan yang lebih banyak dan paling mendekati komposisi

DTA/TGA untuk menentukan suhu, waktu dan yang diinginkan. Komposisi material yang

metode kalsinasi yang tepat agar dihasilkan oksida dicampurkan pada awal sintesis akan sama dengan

perovskit dengan kesempurnaan reaksi yang tinggi. komposisi perovskit yang terbentuk, karena pada

Analisis DTA/TGA adalah salah satu cara yang dasarnya tidak ada sejumlah komposisi dari

dapat digunakan untuk mendapatkan suhu kalsinasi material pembentuk perovskit yang hilang ataupun

yang tepat. DTA akan mendeteksi setiap perubahan berkurang dalam proses sintesisnya yang

termal yang terkait dengan peristiwa atau reaksi disebabkan oleh beberapa hal seperti penguapan

kimia, baik yang berjalan secara eksotermik atau belum terendapkan.

maupun endotermik. Sementara itu, TGA Bab ini membahas hasil-hasil penelitian yang

mendeteksi setiap perubahan massa yang terjadi telah dilakukan. pembahasannya diuraikan secara

pada cuplikan sebagai akibat dari kenaikan suhu, kronologis, sesuai dengan urut-urutan pelaksanaan

baik yang diikuti oleh perubahan fasa Kristal penelitian. Bagian pertama dimulai dengan uraian

maupun tidak.

mengenai proses pembuatan oksida perovskit Analisa DTA/TGA pada penelitian ini diikuti dengan karakterisasi hasil- hasilnya.

dilakukan dalam atmosfir udara dengan laju kenaikan suhu 10 C.men o -1 dengan rentang suhu

C. Hasil pengukuran y Fe y O 3- ditunjukkan oleh Gambar 3.1 Penelitian ini dimulai dengan preparasi oksida

3.1 Sintesis Oksida Perovskit La 1-x Sr x Co 1-

pengukuran 0 sampai 1000

perovskit La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- dari bahan- bahan murni. Bubuk perovskit yang dihasilkan dari hasil preparasi dikarakterisasi dengan XRD dan dianalisa juga dengan DTA/TGA, analisis ini sangat penting untuk mengetahui suhu kalsinasi (Kasmayadi, 2007). Selain itu, untuk mendukung analisa XRD dilakukan juga analisa XRF.

Sintesis oksida perovskit La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3-

ini dilakukan dengan

metode

solid-state.

Penghomogenan campuran yang merupakan

langkah paling menetukan dalam metode solid- Gambar 3.1 Termogram DTA dan TGA cuplikan state dilakukan dengan penggerusan yang

prekursor LaCoO 3

menggunakan metanol sebagai zat pendispersinya.

Pada metode solid-state ini, oksida perovskit La 1- Termogram DTA-TGA pada Gambar 4.2 x Sr x Co 1-y Fe y O 3-

disiapkan dari oksida logam menunjukkan adanya lembah-lembah endotermis

C, 540°C, 830°C dan 900°C berupa bubuk halus berwarna putih, Oksida

diantaranya Oksida Lantanum (III) (La 2 O 3 ) yang

pada suhu sekitar 371 o

serta puncak eksotermis pada 480 ˚C, 545°C dan Stronsium (SrO) yang berupa serbuk berwarna

880°C. Lembah endotermis pada 371˚C yang

diikuti dengan penurunan berat, Δw 1 sebesar 6% dan Oksida Besi (Fe 2 O 3 ) yang berupa serbuk

putih, Oksida Kobalt (Co 3 O 4 ) berupa bubuk hitam

diperkirakan sebagai proses terdekomposisinya berwarna merah bata.

LaFeO(OH) 4. Reaksi yang terjadi adalah sebagai Oksida stronsium disiapkan dari bahan

berikut:

stronsium nitrat anhidrat Sr(NO )

LaFeO(OH) 4 → LaFeO 2 (OH) 2 +H 2 O pada suhu 200

3 2 yang dibakar

C selama 1 jam, kemudian

dipanaskan dalam furnace vakum pada suhu 400 C Lembah endotermis lai n pada suhu 540˚C selama 1 jam. Stronsium nitrat yang semula berupa

menunjukkan adanya proses dekomposisi karbonat butiran kristal halus berwarna putih, setelah

dan oksikarbonat untuk menghasilkan fasa oksida, dipanaskan tidak berubah bentuk dan warnanya.

menunjukkan proses Suhu 400

C diperoleh dari data dekomposisi terdekomposisinya oksida yang disertai dengan garam-garam nitrat menjadi oksida, dimana pada

penurunan berat Δw 2 sebesar 7%, sedangkan suhu 400

C garam-garam nitrat sudah lembah endotermis p ada suhu sekitar 900˚C yang terdekomposisi menjadi oksida. Misalnya kalium

diikuti penurunan berat Δw 3 sebesar 2% menunjukkan adanya dekomposisi Co 3 O 4.

Peristiwa eksotermis terjadi pada suhu 480˚C, 545˚C, serta 880˚C. Reaksi eksotermis yang terjadi pada suhu 480˚C sampai 545˚C diperkirakan sebagai reaksi dekomposisi karbonat dan oksikarbonat untuk menghasilkan fasa oksida.

(c) oksida perovskit merupakan suatu reaksi yang

Perubahan campuran oksida logam menjadi

(a)

(b)

bersifat eksotermis. Oleh karena itu, pembentukan fasa perovskit diperkirakan terjadi pada suhu sekitar 880 o

C yang ditandai oleh munculnya puncak kecil eksotermis pada suhu tersebut. Oleh

karena itu, pada penelitian ini padatan oksida (f) perovskit La

dikalsinasi pada

suhu 900 C, 1000 C dan 10 C selama 2 jam. Gambar 4.4 Oksida perovskit hasil kalsinasi pada Suhu kalsinasi yang tepat untuk mengubah

900°C selama ± 2 jam (a) LaCoO 3 , (b) prekursor menjadi oksida perovskit tidak sama

La 0,9 Sr 0,1 Co 0,9 Fe 0,1 O 3- , (c) La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3- , antara satu oksida perovskit dengan oksida

(d)La 0,7 Sr 0,3 Co 0,7 Fe 0,3 O 3- ,(e) La 0,6 Sr 0,4 Co 0,6 Fe 0,4 O 3- perovskit lainnya. Pada umunya oksida perovskit

, (f) La 0,5 Sr 0,5 Co 0,5 Fe 0,5 O 3- . yang disintesis dengan metode solid-state

memerlukan suhu kalsinasi yang tinggi yaitu diatas 1000°C, sebagai contoh oksida perovskit

La 0,2 Sr 0,8 Co 0,8 Fe 0,2 O 3- δ dikalsinasi pada suhu 1000- 1150°C selama 10-15 jam (Hu dkk., 2006).

Perovskit La 0,6 Sr 0,4 Co 0,2 Fe 0,8 O 3 dikalsinasi pada

suhu 1000°C selama 5 jam (Lee dkk., 2003), serta

perovskit La 0,6 Sr 0,4 Fe 0,9 Ga 0,1 O

yang disintesis

pada suhu kalsinasi 1100°C selam 10 jam (Etchegoyen dkk., 2006).

Penggunaan suhu kalsinasi yang tepat akan sangat berpengaruh pada sifat akhir dari oksida perovskit yang dihasilkan. Sebagai contoh, jika

suhu kalsinasi yang digunakan terlalu tinggi, maka (f) akan dihasilkan oksida perovskit dengan kerapatan

(d)

(e)

yang tinggi dan luas permukaan rendah. Sifat

Gambar 4.5 Oksida perovskit hasil kalsinasi kedua seperti ini tidak cocok jika oksida perovskit yang

pada 1000°C selama 2 jam (a) LaCoO 3, (b) dihasilkan hendak digunakan sebagai katalis.

(c) La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3- , Sebaliknya, jika suhu kalsinasinya terlalu rendah

La 0,9 Sr 0,1 Co 0,9 Fe 0,1 O

3- ,

(d)La Sr Co Fe O (e) La Sr Co Fe O maka dimungkinkan masih adanya fasa-fasa oksida

non perovskit yang tidak menjadi oksida perovskit.

Keberadaan fasa-fasa tersebut menyebabkan sifat- sifat oksida perovskit hasilnya tidak sesuai dengan oksida perovskit murni, karena ada bahan-bahan lain yang mengotorinya.

Proses kalsinasi ini

bertujuan

untuk

menghilangkan pengotor dari padatan oksida

(c) perovskit La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- . Setelah itu padatan

(a)

(b)

hasil kalsinasi dikeluarkan dari furnace untuk digerus dan selanjutnya akan dikarakterisasi dengan XRF untuk menentukan komposisi kimia dan XRD untuk menentukan fasa kristal. Selanjutnya serbuk tersebut digerus ulang dan

(f) ditambahkan metanol 75 tetes, kemudian serbuk

(d)

(e)

Gambar 4.5 Oksida perovskit hasil kalsinasi kedua bagian kedua dikalsinasi pada suhu 10 o

dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama

dikalsinasi pada suhu 1000 o

C selama 2 jam dan

C selama

pada 1100°C selama 2 jam (a) LaCoO 3, (b)

2 jam.

(c) La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3- , Pada saat pembakaran atau kalsinasi pertama

La 0,9 Sr 0,1 Co 0,9 Fe 0,1 O

3- ,

(d)La 0,7 Sr 0,3 Co 0,7 Fe 0,3 O (e) La 3- , 0,6 Sr 0,4 Co 0,6 Fe 0,4 O 3- terjadi perubahan warna cuplikan yaitu dari warna

, (f) La 0,5 Sr 0,5 Co 0,5 Fe 0,5 O 3- . merah kecoklatan menjadi abu-abu kehitaman yang

ditampilkan pada Gambar 4.3, setelah itu

3.2. Karakterisasi Oksida Perovskit dilanjutkan dengan kalsinasi yang kedua. Setelah

Karakterisasi terhadap oksida perovskit La 1- kalsinasi yang kedua akan diperoleh serbuk hitam.

x Sr x Co 1-y Fe y O 3- yang dihasilkan meliputi Gambar 4.4 menunujukkan oksida perovskit

penentuan komponen fasa dengan X-Ray

Diffraction (XRD) serta penentuan kandungan Gambar 4.5 menunujukkan oksida perovskit

setelah kalsinasi yang kedua pada suhu 1000 C. o

kimia dengan XRF.

setelah kalsinasi yang kedua pada suhu 10 o C,

3.2.1 Difraksi Sinar-X (XRD)

Analisis difraksi sinar-X dilakukan pada rentang sudut 2 antara 20 dan 60 o . Pada rentang sudut tersebut, puncak-puncak khas oksida

perovskit LaCoO 3 sudah tampak dengan jelas. Pada metode solid-state, reaksi pembentukan perovskit sangat dipengaruhi oleh suhu kalsinasi.

Gambar 4.9 Difraktogram sinar-X oksida perovskit La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- pada suhu 900°C (* = perovskit, # = La 2 O 3 , ♦ = Co 3 O 4 ). (a) La 0,9 Sr 0,1 Co 0,9 Fe 0,1 O 3- (b) La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3-

(c)La 0,7 Sr 0,3 Co Fe 0,7 0,3 O 3- (d) La 0,6 Sr 0,4 Co 0,6 Fe 0,4 O 3-

Gambar 4.7 Difraktogram sinar-X oksida perovskit (e) La 0,5 Sr 0,5 Co 0,5 Fe 0,5 O 3- LaCoO 3 hasil search n match JCPDS no.25-1060

dan JCPDS no.06-0491. Gambar 4.9 menunjukkan difraktogram sinar-X oksida perovskit

La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- yang Gambar 4.7 menunjukkan Difraktogram sinar-

disintesis pada suhu 900°C. Pada difraktogram

tersebut terlihat puncak- puncak difraksi khas JCPDS no.25-1060 dan JCPDS no.06-0491. Pada

X oksida perovskit LaCoO 3 hasil search n match

oksida perovskit. Puncak- puncak khas oksida gambar tersebut tidak terlihat fasa-fasa selain

perovskit muncul di daerah sekitar 2θ= 23°, 32°, oksida perovskit, hal ini dikarenakan oksida

33°, 40°, 41°, 47°, 58° dan 59° sesuai dengan data perovskit tersebut telah dikalsinasi pada suhu yang

PDF nomor 25-1060. Akan tetapi ada pula puncak- sesuai, yaitu dikalsinasi pada suhu 1000 o

puncak non perovskit yang muncul di daerah oksida perovskit tersebut telah murni. Garis warna

C maka

sekitar 2θ= 26°, 27°, 29°, 36° dan 39° sesuai biru dan merah sama-sama menunjukkan

dengan JCPDS no.05-0602 . Hal ini ditunjukkan

keberadaan puncak oksida perovskit LaCoO 3 .

pada Tabel 4.1.

Kemunculan fasa selain oksida perovskit antara lain Co 3 O 4 dan La 2 3+ O 3+ 3 terbentuk karena ada ion

Co dan La yang tidak bereaksi dengan ion O 2- . Sebaliknya, ion-ion tersebut bereaksi sendiri- sendiri dengan ion O 2- membentuk oksida logam masing-masing. Hal ini dapat terjadi karena prekursor yang dihasilkan memiliki homogenitas yang tidak sempurna, sehingga ion-ion logam yang ada tidak berada cukup berdekatan untuk bereaksi membentuk oksida perovskit. Proses penggerusan dan kalsinasi berulang (lebih dari dua kali) dapat membuat prekursor lebih homogen sehingga dapat mengurangi terbentuknya oksida- oksida logam secara individu.

Gambar 4.8 Difraktogram sinar-X oksida perovskit La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O

3- 

hasil search n match

JCPDS no.05-0602, JCPDS no.09-0358, JCPDS no.36-1394 dan JCPDS no.36-1481.

Gambar 4.8 menunjukkan Difraktogram sinar-

X oksida perovskit La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3-  hasil

search n match JCPDS no.05-0602, JCPDS no.09- 0358, JCPDS no.36-1394 dan JCPDS no.36-1481. Pada gambar tersebut masih terdapat fasa-fasa selain oksida perovskit. Garis warna merah

menunjukkan puncak oksida lanthanum (La 2 O 3 )

JCPDS no.05-0602 , garis warna biru menunjukkan

puncak oksida perovskit LaCoO 3 JCPDS no.09-

0358, garis warna hijau muda menunjukkan puncak

Gambar 4.10 Difraktogram sinar-X oksida oksida perovskit La 0,5 Sr 0,5 CoO 3- JCPDS no.36-

perovskit La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- pada suhu 1000°C 1394 dan garis warna hijau tosca menunjukkan

(* = perovskit). (a) La 0,9 Sr 0,1 Co 0,9 Fe 0,1 O 3- (b)

La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3- (c) La 0,7 Sr no.36-1481.

puncak lanthanum hidroksida (La(OH) 3 ) JCPDS

0,3 Co 0,7 Fe 0,3 O 3- (d)La 0,6 Sr 0,4 Co 0,6 Fe 0,4 O 3- (e) La 0,5 Sr 0,5 Co 0,5 Fe 0,5 O 3 0,3 Co 0,7 Fe 0,3 O 3- (d)La 0,6 Sr 0,4 Co 0,6 Fe 0,4 O 3- (e) La 0,5 Sr 0,5 Co 0,5 Fe 0,5 O 3

pada kalsinasi suhu 900°C intensitas tertinggi dimiliki oleh oksida perovskit LaCoO 3 tanpa adanya substitusi, sedangkan untuk oksida perovskit dengan subtitusi Sr 2+ dan Fe 3+ intensitas

tertinggi dimiliki oleh La 0,9 Sr 0,1 Co 0,9 Fe 0,1 O 3- . Pada suhu kalsinasi 1000°C intensitas tertinggi dimiliki oleh oksida perovskit LaCoO 3 tanpa adanya

substitusi, sedangkan untuk oksida perovskit

Gambar 4.11 Difraktogram sinar-X oksida dengan subtitusi Sr 2+ dan Fe 3+ intensitas tertinggi perovskit La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- pada suhu 1100°C

dimiliki oleh La 0,9 Sr 0,1 Co 0,9 Fe 0,1 O 3- . Pada suhu

(* = perovskit). (a) La 0,9 Sr 0,1 Co 0,9 Fe 0,1 O 3- (b)

kalsinasi 1100°C intensitas tertinggi dimiliki oleh La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3- (c) La 0,7 Sr 0,3 Co 0,7 Fe 0,3 O 3- oksida perovskit LaCoO 3 tanpa adanya substitusi,

(d)La 0,6 Sr 0,4 Co 0,6 Fe 0,4 O 3- (e) La 0,5 Sr 0,5 Co 0,5 Fe 0,5 O 3-

sedangkan untuk oksida perovskit dengan subtitusi Sr 2+ dan Fe 3+ intensitas tertinggi dimiliki oleh

Pada Gambar 4.10 dan Gambar 4.11

La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3- .

menunujukkan adanya puncak- puncak perovskit Difraktogram sinar-X oksida perovskit La 1- yang tajam dan sudah tidak ada puncak- puncak

x Sr x Co 1-y Fe y O 3- dengan interval 0≤x,y≤0,5 yang selain oksida perovskit. Hal ini terjadi karena

dihasilkan pada suhu 900°C, 1000°C dan 1100°C cuplikan mengalami proses penggerusan dan

disajikan pada gambar dibawah ini. kalsinasi berulang, maka dari itu cuplikan menjadi lebih homogen. Hal ini juga bisa dikarenakan oleh suhu kalsinasi yang sesuai.

Pengamatan lebih teliti terhadap difraktogram yang ada menunjukkan adanya pergeseran posisi puncak-puncak difraksi oksida perovskit (*) setelah disubstitusi oleh ion-ion Sr 2+ dan Fe 3+ , hal ini dapat dijelaskan karena adanya perbedaan kecil jari-jari antara atom La 3+ (1,36Å) dan Sr 2+ (1,44 Å) yang menghasilkan perubahan kecil pada unit sel kisi kristal perovskit (Tien-Thao dkk., 2006), sehingga terjadi pergeseran sudut puncak 2 perovskit seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4.1. Difraksi sinar-X menunjukkan puncak kembar pada 2

32,88° dan 33,30° untuk LaCoO 3 dan bergeser ke

sudut difraksi yang lebih kecil yaitu 32,87° dan

Gambar 4.13 Difraktogram sinar-X oksida

perovskit LaCoO 3 pada suhu 900°C, 1000°C dan La 0,5 Sr 0,5 Co 0,5 Fe 0,5 O 3- bergeser ke sudut difraksi

33,26° untuk La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3- dan untuk

1100°C.

yang lebih kecil yaitu 32,68° dan 33,25° pada suhu 1100°C. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 4.12.

puncak kembar oksida perovskit

La 0,5 Sr 0,5 Co 0,5 Fe 0,5 O 3- pada 32,68° dan

33,25° puncak kembar oksida perovskit

La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3- pada 32,87° dan

puncak kembar oksida perovskit LaCoO 3 pada 32,88° dan 33,30°

Gambar 4.12 Difraktogram sinar-X oksida perovskit La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- pada suhu 1100°C

Gambar 4.14 Difraktogram sinar-X oksida (zoom).

perovskit La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3-  pada suhu 900°C,

1000°C dan 1100°C.

Pada Gambar 4.10 dan Gambar 4.11 terlihat bahwa perubahan intensitas puncak dipengaruhi oleh suhu kalsinasi. Semakin tinggi suhu kalsinasi, maka intensitas puncak perovskit semakin Pada Gambar 4.10 dan Gambar 4.11 terlihat bahwa perubahan intensitas puncak dipengaruhi oleh suhu kalsinasi. Semakin tinggi suhu kalsinasi, maka intensitas puncak perovskit semakin

Cuplikan

Kandungan Logam (mol)

La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3- 0,89

La 0,6 Sr 0,4 Co 0,6 Fe 0,4 O 3- 0,68

Hasil analisis XRF menunujukkan bahwa fraksi mol ion- ion logam pada oksida perovskit tidak sesuai dengan fraksi mol dari oksida perovskit yang hendak dibuat. Sebagai contoh pada

La 0,5 Sr 0,5 Co 0,5 Fe 0,5 O 3-  seharusnya memiliki fraksi

mol ion La 3+ , Sr 2+ , Co 3+ dan Fe 3+ berturut-turut

Gambar 4.15 Difraktogram sinar-X oksida adalah 0,5, 0,5, 0,5 dan 0,5. Akan tetapi, hasil

analisis XRF menunjukkan bahwa fraksi mol 1000°C dan 1100°C.

perovskit La 0,6 Sr 0,4 Co 0,6 Fe 0,4 O 3- pada suhu 900°C,

oksida perovskit tersebut adalah 0,574, 0,232, 0,398 dan 0,588.

Berdasarkan ketiga gambar pola difraksi sinar- Satu-satunya oksida perovskit yang memiliki

X nampak bahwa ketika suhu kalsinasi 900°C, komposisi kimia yang sama antara rumus yang pada difraktogram sinar-X masih banyak puncak-

disiapkan dengan hasil analisis XRF ditunjukkan puncak selain oksida perovskit. Sedangkan pada

oleh cuplikan LaCoO . Selain memiliki komposisi suhu kalsinasi 1000°C dan 1100° sudah tidak ada

yang konsisten, data difraksi sinar-X pada Gambar puncak- puncak selain oksida perovskit. Hal ini

4.6, Gambar 4.7 dan Gambar 4.8 juga terjadi karena cuplikan mengalami proses

menunjukkan tidak adanya fasa-fasa lain selain penggerusan dan kalsinasi berulang, maka dari itu

oksida perovskit yang terdeteksi. cuplikan menjadi lebih homogen. Hal ini juga bisa

dikarenakan oleh suhu kalsinasi yang sesuai. Berdasarkan Gambar 4.13, Gambar 4.14 dan 4. Kesimpulan Gambar 4.15 pola difraksi tersebut terlihat jelas

3 dengan substitusi 3+ bahwa

Oksida perovskit LaCoO

Sr terhadap La dan Fe terhadap Co dengan pembentukan perovskit sangat dipengaruhi oleh

pada metode

nilai x dan y antara 0,0 sampai 0,5 dengan interval suhu kalsinasi yang tinggi, yaitu 1000°C sampai

0,1 dapat disintesis menggunakan metode solid- lebih dari 1000°C. Semakin tinggi suhu kalsinasi,

state dengan methanol sebagai zat pendispersi. maka intensitas puncak perovskit semakin

Sintesis oksida perovskit La 1-x Sr x Co 1-y Fe y O 3- ฀ menurun. Berdasarkan ketiga gambar pola difraksi

dapat dilakukan pada suhu 1000°C dan 1100°C, sinar-X, Nampak bahwa perubahan intensitas

sedangkan pada suhu 900°C masih terdapat fasa perovskit dipengaruhi oleh jumlah subtituen x dan

non perovskit.

y (Sr 2+ dan Fe 3+ ) ( 0≤x,y≤0,5), dimana semakin Pada metode solid-state, reaksi pembentukan banyak substitusi x dan y maka intensitas oksida

perovskit sangat dipengaruhi oleh suhu kalsinasi perovskit semakin menurun.

yang tinggi, yaitu 1000°C sampai lebih dari 1000°C. Semakin tinggi suhu kalsinasi, maka

intensitas puncak perovskit semakin menurun. Komposisi kimia dari cuplikan perovskit

3.2.2 Komposisi Kimia Oksida perovskit

Perubahan intensitas perovskit dipengaruhi oleh dianalisis menggunakan Pendar fluor sinar-X (XRF)

jumlah subtituen x dan y (Sr 2+ dan Fe 3+ ) merk PANalytical tipe Minipal 4, PW4030/45b.

( 0≤x,y≤0,5), dimana semakin banyak substitusi x Analisa XRF dilakukan di laboratorium Studi Energi

dan y maka intensitas oksida perovskit semakin dan Rekayasa LPPM ITS Surabaya. Hasil yang

menurun. Komposisi oksida perovskit berdasarkan diperoleh dari analisis XRF dapat dilihat pada

hasil analisis XRF, oksida perovskit yang Tabel 4.5.

mendekati komposisi sebenarnya adalah LaCoO 3 dimana diperoleh perbandingan mol La : Co Tabel 4.3 Komposisi ion- ion La 3+ , Sr 2+ , Co 3+ dan

sebesar 0,029 : 0,024, La 0,9 Sr 0,1 Co 0,9 Fe 0,1 O 3- Fe 3+ pada cuplikan analat oksida perovskit hasil

La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3- dan La 0,7 Sr 0,3 Co 0,7 Fe 0,3 O 3-. sintesis berdasarkan hasil analisis XRF.

Cuplikan

%(b/b)

Ucapan terimakasih

1. Hamzah Fansuri, M.Si., Ph.D atas

LaCoO 3 74,3

La 0,9 Sr 0,1 Co 0,9 Fe 0,1 O 3-  69,5

dukungan, bimbingan dan motivasi yang

La 0,8 Sr 0,2 Co 0,8 Fe 0,2 O 3- 67,6

La 0,7 Sr 0,3 Co 0,7 Fe 0,3 O 3-  64,3

Ibu, ayah, adikku dan mas arfan atas

La O

0,6 Sr 0,4 Co 0,6 Fe 0,4 3- 57,5

dukungan dan doanya

La 0,5 Sr 0,5 Co 0,5 Fe 0,5 O 3-  50,3

3. teman-teman satu tim, serta teman-teman

Table 4.4 Perbandingan mol komposisi ion- ion

Semua pihak yang mendukung yang tidak La 3+ , Sr 2+ , Co 3+ dan Fe pada cuplikan analat

dapat saya sebutkan satu persatu hingga terselesainya penelitian ini

Daftar Pustaka

Etchegoyen, G., Chartier, T. & Julian, A. (2006),

Microstructure and oxygen permeability of a La 0.6 Sr 0.4 Fe 0.9 Ga 0.1 O 3 − δ membrane containing

magnesia as dispersed second phase particles , Journal Of Membrane Science , 268, 86-95

Hamakawa, S., Hayakawa, T. & Mizukami, F. (2005)

Research on a Ceramics Membrane Reactor for

Natural Gas Conversion . Catalysis Surveys from Asia,

9, 95-101 Hu,

J., Hao, H.,

Thermogravimetric study on perovskite-like

oxygen permeation ceramic membranes , Journal Of Membrane Science , 280, 809-814

Juste, E., A. Julian, G. Etchegoyen, P. M. Geffroy, T. Chartier, N. Richet, P.Del Gallo, (2008), Oxygen

Permeation, Thermal and Chemical Expansion of (La-Sr)(Fe- Ga)O3− Perovskite Membranes,

Journal of Membrane Science . 319, 185-191 Lee, S., Lee, K. S., & Woo, S. K., (2003), Oxygen-

permeating property of LaSrBFeO 3 (B=Co, Ga) perovskite membrane surface-modified by

LaSrCoO 3 , Solid State Ionics, 158, 287-296 Mundscau, M.V.,Cristtopher G.B., David A.G.Jr.,(2008),

Diesel Fuel Reforming Using Catalytic Membran

Reaktor , Catalysis Today, 136 (2008) 190 – 205 Tien-Thao N., H. Alamdari, M.H. Zahedi-Niaki, S. Kaliaguine, (2007), Conversion of Syngas to

Higher Alcohols

Nanosized LaCo0.7Cu0.3O3

over

Precursors , Appl.Catal. A 311 vol 204 –212 Tong, J., Yang, W., Cai, R., Zhu, B. & Lin, L. (2002),

Perovskite

Novel and Ideal Zirconium-based Dense Membrane Reactors for Partial Oxidation of

Methane to Syngas . Catalysis Letters, 78, 129-137 Wang, H., Cong, Y., Zhu, X. & Yang, W. (2003),

Oxidative Dehydrogenation of Propane in a

Dense Tubular Membrane Reactor . React. Kinet. Catal. Lett.,

79, 351-356 Waterrud, G., (2005), Determination of Oxygen

Transport Coefficient in Perovskites and Perovskit Related Material With Mixed

Conductivity , Department of Materials Science and Engineering , Norwegian University of Science and Technology

Wei, H.J., Y. Cao, W.J. Ji & C.T. Au, (2008), Lattice

oxygen of La 1-x Sr x MO 3 (M=Mn, Ni) and

LaMnO 3- δ F β perovskite oxides for the partial

oxidation of methane to synthesis gas , Catalysis Communications , vol. 9, pp. 2509 –2514

Yang, W., Wang, H., Zhu, X. & Lin, L. (2005),

Development and Application of Oxygen Permeable Membrane in Selective Oxidation of

Light Alkanes . Topics in Catalysis, 3, 155-167