2.PENDEKATAN KONSEPTUAL - Corporate Social Responsibility (CSR) - myrefresing82

Corporate Social Responsibility (CSR)
Dari berbagai school of thought tersebut tampaknya Indonesia menganut konsep
mandatory atau compulsory (wajib) sebagaimana yang diamanatkan oleh undangundang baik Undang-Undang Perseroan Terbatas nomor 4 tahun 2007 maupun
Undang-Undang Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007. Kewajiban
melaksanakan CSR pun diwujudkan dalam Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009 untuk aspek lingkungan, namun hingga
kini belum ada peraturan organik yang merupakan turunan dari berbagai undangundang tersebut yang mengikat secara pasti dalam bentuk peraturan pelaksanaan.
Bila dilihat dari pada implementasinya cenderung dilakukan sesuai dengan konsep
self regulatory.
2.PENDEKATAN KONSEPTUAL
2.1.1.1 Sejarah dan Definisi Corporate Social Responsibility (CSR)
CSR yang kini kian marak diimplementasikan berbagai macam perusahaan, mengalami
evolusi dan metamorphosis dalam rentang waktu yangcukup lama. Konsep ini tidak lahir
begitu saja, akan tetapi melewati berbagai macam tahapan terlebih dahulu. Gema CSR
mulai terasa pada tahun 1950-an. Pada saat itu, persoalan kemiskinan dan
keterbelakangan yang semula terabaikan mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari
berbagai kalangan. Buku yang bertajuk Social Responsibility of the Businessman karya
Howard R.Bowen yang ditulis pada tahun 1953 merupakan literatur awal yang menjadi
tonggak sejarah modern CSR. Bowen dijuluki “Bapak CSR” karena karyanya tersebut.
Setelah itu, gema CSR diramaikan dengan terbitnya “Silent Spring” yang ditulis oleh
Rachel Carson, ia mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa betapa mematikannya

pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Tingkah laku perusahaan perlu dicermati
terlebih dahulu sebelum berdampak menuju kehancuran. Sejak itu, perhatian terhadap
permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat perhatian yang luas.
Pemikiran mengenai CSR dibahas lagi pada tahun 1966 dalam “The Future Capitalism”
yang ditulis Lester Thurow, dilanjutkan pada tahun 1970-an terbitlah “The Limits to
Growth” yang merupakan buah pemikiran cendekiawan dunia yang tergabung dalm Club
of Rome, buku ini terus diperbaharui hingga saat ini (Wibisono, 2007).
Menurut Wibisono (2007), sejalan dengan bergulirnya wacana tentang kepedulian
lingkungan kegiatan kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam kemasan
Philanthropy serta Community Development (CD). Pada era 1980- an makin banyak
perusahaan menggeser konsep Philanthropy kearah Community Development. Pada
dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beraneka ragam pendekatan,
seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society.
Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi di Rio de Jenario Brazil,
pertemuan ini menegaskan konsep pembangana berkelanjutan (Sustinable Development)
yang didasarkan pada perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial
sebagai hal yang mesti dilakukan. Terobosan terbesar CSR dilakukan oleh John
Elkington melalui konsep “3P” (Profit, People dan Planet) yang dituangkan dalm buku
Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business pada tahun
1998. Gaung CSR kian bergema setelah dselenggarakannnya World Summit on

Sustainable Development (WSSD) pada tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan.
Sejak saat itulah definisi CSR kian berkembang.

Definisi CSR telah banyak dikemukakan berbagai pihak. Konsep CSR yang banyak
dijadikan rujukan oleh berbagai pihak sebagaimana yang dikemukakan oleh Teguh S.
Pambudi dalam tulisannya di majalah SWA edisi Desember 2005 adalah pemikiran
Elkington, yakni tentang tripel bottom line. Menurutnya CSR adalah segitiga kehidupan
stakeholder yang harus diberi atensi oleh korporasi di tengah upayanya mengejar
keuntungan atau profit, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial. Hubungan itu
diilustrasikan dalam bentuk segitiga. Sejalan dengan itu, Wibisono (2007)
mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab perusahaan kepada pemangku kepentingan
untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif
yang mencakup aspek ekonomi sosial dan lingkungan (triple bottom line) dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sementara Nursahid (2006)
mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab moral suatu organisasi bisnis terhadap
kelompok yang menjadi stakeholder-nya yang terkena pengaruh baik secara langsung
ataupun tidak langsung dari operasi perusahaan. Sukada, dkk (2006) mendefinisikan CSR
sebagai segala upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan berdasar pilar ekonomi, sosial dan lingkungan, dengan
meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif di setiap pilar.

Sementara itu, The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)
menjelaskan bahwa CSR merupakan komitmen dunia usaha untuk terus bertindak etis,
beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan
peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan
kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara luas.
Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) CSR
adalah omitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan,
bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitikomuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka
meningkatkan mutu kehidupan (Rudito et al., 2004). Peningkatan mutu kehidupan
mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk
dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati, serta memanfaatkan
lingkungan hidup, termasuk perubahan-perubahan yang ada dan sekaligus memelihara.
Atau dengan kata lain, CSR merupakan cara korporat mengatur proses usaha untuk
memproduksi dampak positif pada masyarakat (Rudito et al., 2004). CSR berarti
perusahaan harus bertanggungjawab atas operasinya yang berdampak buruk pada
masyarakat, komunitas dan lingkungannya. Namun sebaliknya juga harus memberikan
dampak positif terhadap masyarakat sekitar. Suatu perusahaan tidak akan dapat bertahan
lama apabila dia mengisolasikan dan membatasi dirinya dengan masyarakat sekitarnya
(Djajadiningrat dan Famiola, 2004).
Terkait dengan aspek hukum maka terdapat 4 jenis CSR (Fajar, 2010) yaitu :

1. Social responsibility theory, yaitu kewajiban direksi dan manajemen untuk menjaga
keharmonisan kepentingan pemegang saham (shareholders) dan pemangku kepentingan
(stakeholders). Dalam teori ini seakan tanggung jawab sosial hanya menjadi kewajiban
direksi dan manajemen saja atau menjadi terlalu sempit dari hakekat CSR yang
seutuhnya.
2. Hobbesian Leviatan theory, yang menghendaki kontrol yang ketat dari Pemerintah
serta meniadakan upaya-upaya lainnya. Teori ini menempatkan hanya Pemerintah

sebagai pihak yang berwenang dan menentukan terhadap aktivitas CSR perusahaan dan
menegasikan alternatif lainnya dalam pengaturan CSR.
3. Corporate governance theory, menghendaki adanya corporate accountability dari
direksi korporasi. Cenderung lebih mengamati hubungan pihak internal korporasi yaitu
antara pemilik dan manajemen korporasi.
4. Reflexive law theory, digunakan untuk mengatasi kebuntuan atas pendekatan formal
terhadap kewajiban perusahaan dalam sistem hukum. Hukum formal adalah bentuk
intervensi negara dalam mengatur persoalan privat melalui bentuk perundang-undangan
seperti Undang-Undang Perseoran Terbatas yang didalamnya juga mengatur mengenai
tanggungjawab sosial perusahaan. Reflexive law theory adalah teori hukum yang
menjelaskan adanya keterbatasan hukum (limit of law) dalam masyarakat yang kompleks
untuk mengarahkan perubahan sosial secara efektif.

Mengacu dari definisi CSR tersebut, ternyata pengaturan mengenai CSR tidak cukup
hanya dengan ke 3 pendekatan atau jenis pertama karena keterbatasan-keterbatasan dari
teori hukum sedangkan ruang lingkup CSR melebihi dari aturan yang berlaku. Reflexive
law theory paling tepat untuk menekan kerumitan dan keberagaman masyarakat melalui
peraturan perundang-undangan yang ekstensif. Reflexive law theory bertujuan untuk
mengarahkan pola tingkah laku dan mendorong pengaturan sendiri (self regulation).
Proses ini adalah regulated autonomy atau membiarkan private actors, seperti korporasi
untuk bebas mengatur dirinya sendiri. Masyarakat yang akan memberikan penilaian
maupun sanksi (market‟s reward punishment) terhadap aktivitas CSR perusahaan. Disisi
lain hukum reflexive mengintervensi proses sosial dengan membuat prosedur acuan untuk
perilaku korporasi (code of conduct). Dalam mengontrol perilaku korporasi maka
reflexive law theory menghendaki adanya social accounting, auditing dan reporting, yang
disebut social reporting (Fajar, 2010).
Pada dasarnya CSR memiliki berbagai aliran pemikiran yang dibagi menjadi beberapa
school of thought yaitu adalah :
1. CSR dibagi menjadi 3 school of thought menurut Achwan (2006) yaitu:
a. The business of business is business yang berpandangan bahwa perusahaan pada
hakekatnya merupakan institusi pencipta kesejahteraan masyarakat. Setiap perusahaan
memiliki tujuan tunggal yaitu memaksimalkan keuntungan untuk pemiliknya dan
dipercaya dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Tangan-tangan tak kentara (invisible

hands), adalah naluri yang dimiliki setiap perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan
adalah pencipta kekayaan (wealth), dalam masyarakat dan patuh kepada rule of law.
Semua kegiatan philanthropy-semacam ini pada dasarnya adalah pencurian uang milik
pemegang saham yang dilakukan oleh para direktur perusahaan.
b. Corporate voluntarism yang lebih menekankan aspek kebajikan, virtue, dalam
mengejar keuntungan perusahaan. Asumsi dari alam pemikiran ini adalah sifat CSR
sukarela (voluntary) dan menolak campur tangan negara dalam mengatur CSR di
perusahaan, CSR mendorong keuntungan ekonomi perusahaan, lalu keberadaan
perusahaan tidak dapat lepas dari masyarakat tempat perusahaan beroperasi.
c. Corporate involuntarism berpendapat bahwa setiap perusahaan memiliki kewajiban
menjalankan tanggung jawab sosial. Kewajiban ini harus dituangkan dalam bentuk
undang-undang. Para penyokong aliran ini berpendapat bahwa dalam kondisi sekarang

ini, ketika multinational corporation (MNC) jauh lebih berpengaruh dibandingkan negara
bangsa, self regulation dan voluntarism tidaklah mencukupi. Sehingga perlu campur
tangan Pemerintah.
2. Pengelompokan lainnya tentang aliran pemikiran dari CSR juga membagi menjadi 3
school of thought menurut pandangan Michael (2010) yaitu :
a. Neo-liberal school atau markets provide CSR adalah kegiatan CSR dimana pasar
menjadi pendorong aktivitas CSR meliputi CSR product market demand atau CSR pada

produk yang didorong oleh permintaan pasar, labour market demand atau CSR pada
tenaga kerja yang didorong oleh permintaan pasar dan capital market demand atau CSR
atas modal yang didorong oleh permintaan pasar modal. Aktivitas ini bersifat sukarela
dengan mekanisme kegiatannya mengacu pada triple bottom line (dampak
environmental, social, financial), dan stakeholders board.
b. State led school atau CSR as a public policy adalah kegiatan CSR yang diatur oleh
negara. Aktivitas CSR dalam hal ini sifatnya wajib dilaksanakan.
c. Third-sector school atau CSR as site of participation adalah aktivitas CSR yang
dilakukan dengan membentuk forum-forum kerjasama seperti gabungan
perusahaan-perusahaan, kerjasama perusahaan dengan lembaga swadaya masyarakat
(LSM).
3. Pemikiran lainnya atas school of thought dari CSR adalah sebagaimana yang
dikemukakan Fajar (2010) yaitu : a. CSR yang bersifat sukarela (voluntary), adalah
bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang dilaksanakan secara sukarela dengan
alasan: tujuan perusahaan mencari keuntungan, CSR merupakan kewajiban moral sesuai
pendapat Milton Friedman, diacu dalam Fajar (2010), pelaksanaan CSR bertentangan
dengan hak kepemilikan privat, dan tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dalam bisnis.
Henry Hansmann dan Reinier Kraakman mengatakan bahwa tujuan perusahaan dalam
jangka panjang adalah mencari keuntungan shareholders. Shareholders oriented menjadi
model standar untuk hukum perusahaan secara universal. Karena sifatnya sukarela dan

berada di wilayah etika maka CSR diatur dalam code of conduct (softlaw) seperti Global
Reporting Initiative (GRI) Sustainability Reporting Guidelines, Organisation fot
Economic Co-operation and Development (OECD) Guidelines for Multinational
Enterprises, dan lain sebagainya. Namun keberadaan Corporate Code of Conduct tidak
cukup mampu mengikat korporasi (Fajar, 2010). b. Tanggung jawab sosial perusahaan
atau CSR yang bersifar wajib (compulsory). Alasan utama dari CSR yang diwajibkan ini
adalah: korporasi harus memperhatikan kepentingan sosial yaitu stakeholders
sebagaimana dikemukakan oleh E.Merric Dodd, diacu dalam Fajar (2010) yang
melahirkan stakeholders theory. Selanjutnya pendapat ini didukung oleh Henry
Hansmann dan Reinier Kraakman yang berpendapat bahwa keberadaan perusahaan
adalah untuk melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Terdapat 2 alasan
mengapa CSR harus diatur dalam hukum negara karena : 1). Tidak ada kekuatan
memaksa dari hukum kebiasaan dan prinsip sukaerela, tanpa diratifikasi dalam peraturan
lokal sebuah negara, 2). Prinsip sukarela yang tidak mengikat tidak akan memberikan
efek apapun secara jelas dan terukur (Fajar, 2010).
c. Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang tergantung situasi dan kondisi.
Kebijakan ini dipelopori oleh Jenkins, diacu dalam Fajar (2010) yang melihat dari fungsi

hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat. Untuk itu perlu dipahami ranah apa saja
yang masuk wilayah hukum dan mana yang tidak, Jenkins mengatakan bahwa wilayah

hukum dapat dilihat dari dua rezim yaitu necessity (kebutuhan) dan possibility
(kemungkinan). Necessity adalah rezim yang digunakan untuk mendukung pembangunan
manusia (human development). Tanpa kondisi yang aman dan stabil pembangunan
manusia tidak bisa dilakukan. Sementara possibility berfungsi menciptakan kebebasan,
kesempatan dan kemajuan yang diperlukan, untuk menciptakan kesempurnaan kebaikan
(absolute good). Jika rezim necessity dan possibility menghendaki aturan hukum maka
akan melahirkan tanggung jawab hukum. Kewajiban untuk CSR menjadi perlu ketika
korporasi cenderung menghalangi pembangunan manusia dan berpeluang memunculkan
eksploitasi, korupsi, kesewenang-wenangan dan ketidakpastian dalam masyarakat (Fajar,
2010).
2.1.1.2 Tahapan-Tahapan CSR
Menurut Wibisono (2007), terdapat empat tahapan CSR, yaitu:
1. Tahap perencanaan.
Tahap ini terdiri dari tiga langkah utama, yaitu Awareness Building, CSR Assessement,
dan CSR Manual Building. Awareness Building merupakan langkah utama membangun
kesadaran pentingnya CSR dan komeitmen manajeman, upaya ini dapat berupa seminar,
lokakarya, dan lain-lain. CSR Assessement merupakan upaya memetakan kondisi
perusahaan dan mengidentifikasikan aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas
perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang
kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Langkah selanjutnya membangun CSR

Manual Building, dapat melalui bencmarking, menggali dari referensi atau meminta
bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu
memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen
perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif dan efisian.
2. Tahap implementasi.
Pada tahap ini terdapat beberapa poin yang penting diperhatikan, yaitu penggorganisasian
(organizing) sumber daya, penyusunan (staffing), pengarahan (direction), pengawasan
atau koreksi (controlling), pelaksanaan sesuai rencana, dan penilaian (evaluation) tingkat
pencapaian tujuan. Tahap implementasi terdiri dari tiga langkah utama, yaitu sosialisasi,
pelaksanaan dan internalisasi.
3. Tahap evaluasi.
Tahap evaluasi perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur
sejauh mana efektivitas penerapan CSR.
4. Pelaporan.
Pelaporan diperlukan dalam rangka membangun sistem informasi baik untuk keperluan
pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan inforrmasi material dan relevan
mengenai perusahaan.
2.1.1.3 Pandangan Perusahaan terhadap CSR
Wibisono (2007) menjelaskan bahwa perusahaan memiliki berbagai cara pandang dalam
memandang CSR. Berbagai cara pandang perusahaan terhadap CSR yaitu:

1. Sekedar basa-basi atau keterpaksaan. Perusahaan mempraktekan CSR karena external
driven (faktor eksternal), environmental driven (karena terjadi masalah lingkungan dan
reputation driven (karena ingin mendongkrak citra perusahaan).

2. Sebagai upaya memenuhi kewajiban (compliance). CSR dilakukan karena terdapat
regulasi, hukum, dan aturan yang memaksa perusahaan menjalankannya.
3. CSR diimplementasikan karena adanya dorongan yang tulus dari dalam (internal
driven). Perusahaan menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan sekedar kegiatan
ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya saja, melainkan juga
tannggunga jawab sosial dan lingkungan.
2.1.1.4 Kebijaksanaan Perusahaan dalam CSR
Menurut Steiner (1997) dalam Mulyadi (2007) kebijakan umumnya dianggap sebagai
pedoman untuk bertindak atau saluran untuk berfikir. Secara lebih khusus kebijakan
adalah pedoman untuk melaksanakan suatu tindakan. Kebijakan mencakup seluruh
bidang tempat tindakan atau yang dilakukan. Kebijakan biasanya berlangsung lama serta
cenderung memiliki jangka waktu yang lama tanpa peninjauan dan penyempuranaan.
Kebijakan menjelaskan bagaimana cara pencapaian tujuan dengan menentukan petunjuk
yang harus diikuti. Kebijakan dirancang untuk menjamin konsistensi tujuan dan untuk
menghindari keputusan yang berwawasan sempit dan berdasarkan kelayakan.
2.1.1.5 Karakteristik CSR
Dalam aktualisasi Good Corporate Governance, kontribusi suatu perusahaan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat mengalami metamorfosis, dari yang bersifat
charity menjadi aktivitas yang lebih menekankan pada penciptaan kemandirian
masyarakat, yakni program pemberdayaan (Ambaddar, 2008). Metamorfosis kontribusi
perusahaan tersebut diungkapkan oleh Za’im Zaidi (2003) dalam Ambaddar (2008), yaitu
dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1. Metamorfosis CS

2.1.1.6 Implementasi CSR
Implementasi CSR di perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang
mempengaruhi tersebut diantaranya adalah komitmen pimpinannya, ukuran atau
kematangan perusahaan, regulasi atau sistem perpajakan yang diatur pemerintah dan
sebagainya (Wibisono, 2007). Merujuk pada Saidi dan Abidin (2004) dalam Suharto

(2006), ada empat model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di
Indonesia, yaitu:
1. Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan
menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat
tanpa perantara.untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan
salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau
menjadi bagian dari tugas pejabat public relation.
2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan mendirikan yayasan
sendiri di bawah perusahaan atau grupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang
lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan dinegara maju. Biasanya perusahaan
menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur
bagi kegiatan yayasan.
3. Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama
dengan lembaga sosial/organisasai non-pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau
media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan
sosialnya.
4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan turut mendirikan,
menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial
tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian
hibah perusahaan yang bersifat :hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga
semacam itu yang dipercaya oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara pro
aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian
mengembangkan program yang disepakati bersama.
2.1.1.7 Manfaat CSR
CSR mendatangkan berbagai manfaat bagi perusahaan dan masyarakat yang terlibat
dalam menjalankannya. Menurut Wibisono (2007) manfaat bagi perusahaan yang
berupaya menerapkan CSR, yaitu dapat mempertahankan atau mendongkrak reputasi dan
brand image perusahaan, layak mendapatkan social licence to operate, mereduksi risiko
bisnis perusahaan, melebarkan akses sumberdaya, membentangkan akses menuju market,
mereduksi biaya, memperbaiki hubungan dengan stakeholders, memperbaiki hubungan
dengan regulator, meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan serta berpeluang
mendapatkan penghargaan. Sementara menurut Sukada, dkk (2006), manfaat CSR
diantaranya bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki CSR yang baik berkesempatan
mendapatkan sumberdaya manusia terbaik, produktivitas pekerja di perusahaan
bereputasi baik dicatat lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang bereputasi lebih
rendah selain juga jauh lebih loyal, mendapatkan kesempatan investasi yang lebih tinggi
di masa depan, dan sebagainya. Sedangkan manfaat CSR bagi masyarakat menurut
Ambadar (2008), yaitu dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, kelembagaan,
tabungan, konsumsi dan investasi dari rumah tangga warga masyarakat.
2.1.2 Konsep Pengembangan Masyarakat
2.1.2.1 Komunitas sebagai Basis Pemberdayaan Masyarakat
Komunitas menurut Nasdian (2006) adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai
oleh suatu derajat hubungan sosial tertentu. Dalam aktivitas suatu komunitas dicirikan
dengan pertisipasi dan keterlibatan langsung anggota komunitas dalam kegiatan tersebut,
dimana semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah
setempat untuk meningkatkan taraf hidup, dengan sebesar mungkin ketergantungan pada

inisiatif penduduk sendiri, serta pembentukan pelayanan teknis, sifat berswadaya dan
kegotongroyongan sehingga proses pembangunan berjalan efektif. Secara umum,
Syahyuti (2006) mendefinisikan komunitas (community) sebagai sekelompok orang yang
hidup bersama pada lokasi yang sama, sehingga mereka telah berkembang menjadi
sebuah “kelompok hidup” (group lives) yang diikat oleh kesamaan kepentingan (common
interests).
2.1.2.2 Definisi Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat adalah salah satu pendekatan yang harus menjadi prinsip
utama bagi seluruh unit-unit kepemerintahan maupun pihak korporasi dalam menjalankan
tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan sosial (Ambaddar, 2008).
Pengembangan masyarakat menurut Giarci (2001) dalam Subejo dan Supriyanto (2004)
adalah suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada
berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan
dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan
untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya.
Proses ini berlangsung dengan dukungan collective action dan networking yang
dikembangkan masyarakat. Sejalan dengan itu, Payne (1995:165) dalam Ambadar (2008)
menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat memiliki fokus terhadap upaya
membantu anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama,
dengan mengidentifikasikan kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan
bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berdasarkan persinggungan dan saling
menggantikannya pengertian community development dan community empowerment,
secara sederhana, Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat
sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam
merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui
collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan
dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Sementara itu Ambadar (2008),
menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat merupakan sebuah aktualisasi dari CSR
yang lebih bermakna daripada sekedar aktivitas charity ataupun tujuh dimensi CSR
lainnya, antara lain community relation. Hal ini disebabkan pelaksanaan pengembangan
masyarakat terdapat kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan
komunitas, adanya partisipasi, produktivitas dan keberlanjutan. Budimanta dalam
Rudito,dkk (2003) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai kegiatan yang
diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-ekonomibudaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan
sebelumnya, sehingga masyarakat di tempat tersebut diharapkan dapat menjadi lebih
mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.
2.1.2.3 Asas dan Prinsip Pengembangan Masyarakat
Menurut Ife (1995), pengembangan masyarakat sebagai perencanaan sosial perlu
berlandaskan pada asas-asas, yaitu: komunitas dilibatkan dalam setiap proses
pengambilan keputusan, mensinergikan strategi komprehensif pemerintah, pihak-pihak
terkait dan partisipasi warga, membuka akses warga atas bantuan profesional, teknis,
fasilitas, serta insentif lainnya agar meningkatkan partisipasi warga, dan mengubah
perilaku profesional agar lebih peka pada kebutuhan, perhatian dan gagasan warga
komunitas. Ife (2002) membagi prinsip-prinsip Community Development dalam tiga

bagian penting, yaitu ekologi, keadilan sosial, nilai-nilai lokal, proses, serta global-lokal,
secara rinci dikemukakan sebagai berikut:
a. Prinsip ekologis, ada beberapa prinsip dalam kaitannya dengan masalah ekologi, yaitu :
1) Holistik, di mana prinsip ini melandaskan pada falsafah yang berorientasikan pada
lingkungan dengan memperhatikan pada kehidupan dan alam atau lingkungan.
2) Keberlanjutan, dalam konteks ini pembangunan masyarakat ditujukan pada upaya
meminimalkan ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang tidak terbarukan dan
menggantikan dengan sumberdaya alam yang terbarukan.
3) Keanekaragaman, merupakan salah satu aspek penting prinsi ekologis, di mana di alam
keanekaragaman akan menjaga siklus kehidupan. Pada pembangunan masyarakat prinsip
dalam ini menekankan penghargaan terhadap nilai-nilai perbedaan, tidak adanya jawaban
tunggal terhadap permasalahan yang ada, desentralisasi, jejaring dan komunikasi yang
setara, serta teknologi yang mudah untuk diterapkan pada tingkat yang rendah.
4) Pembangunan organis, pada dasarnya pembangunan organis menjadi konsep yang
berlawanan dengan pembangunan yang sifatnya mekanistis. Dalam pembangunan
masyarakat mengandung pengertian bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara
warga masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu, tidak dianjurkan dengan teknik
yang sifatnya sederhana, akan tetapi melalui proses yang kompleks dan dinamis.
5) Keseimbangan, di alam keseimbangan dinamis akan menjaga keseimbangan alam
secara keseluruhan, di mana merubah keseimbangan ini akan mengubah tatanan
kehidupan. Dalam sebuah sistem, kehilangan keseimbangan akan menimbulkan resiko
kegagalan lingkungan, dalam perspektif pembangunan masyarakat prinsip keseimbangan
diarahkan pada keseimbangan antara kepentingan global dan lokal, keadilan gender,
responsibilitas, dan keadilan dalam hukum
b. Prinsip keadilan sosial
6) Menghilangkan ketimpangan struktural, pembangunan masyarakat harus mampu
merubah adanya ketimpangan kelas maupun ketimpangan gender dalam rangka
mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat, untuk itulah harus dipahami betul tentang
komplesitas tekanan terhadap kelas, gender, ras, dan harus kritis terhadap latar belakang
kelas, gender, dan ras
7) Memusatkan perhatian pada wacana yang merugikan (Addressing discourses of
disadvantage). Wacana kekuasaan dan penindasan perlu menjadi perhatian dalam
community development. Worker perlu untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi dan
menguraikan wacana kekuasaan dan untuk memahami bagaimana wacana tersebut secara
efektif mengistimewakan dan memberdayakan sebagian orang, sekaligus juga
memarginalkan dan mentidakberdayakan sebagian orang yang lainnya. Penguraian
wacana ini merupakan komponen kritis dalam prinsip meningkatkan kesadaran.
8) Pemberdayaan, konsep ini menjadi basis utama dalam pembangunan masyarakat.
Pemberdayaan mempunyai makna membangkitkan sumberdaya, kesempatan,
pengetahuan, dan ketrampilan mereka untuk meningkatkan kapasitas dalam menentukan
masa depan mereka. Konsep utama yang terkandung di dalamnya adalah bagaimana
memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk menentukan sendiri arah
kehidupan dalam komunitasnya.
9) Mendefiniskan kebutuhan, prinsip ini sangat penting dalam menentukan prioritas
kebutuhan pembangunan masyarakat. Ada dua hal dalam penentuan kebutuhan, (1)
pembangunan masyarakat dilakukan atas dasar kesepakatan dari berbagai elemen, (2)

memperhatikan preseden yang ditimbulkannya dan memperhatikan prinsip keadilan
sosial dan keseimbangan ekologis.
10) Menjunjung tinggi hak asasi manusia, dalam hal ini perlu adanya aturan yang
memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, seperti hak
mendapatkan pendidikan, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan kultural
komunitasnya, hak untuk berkembang secara mandiri, dan hak untuk mendapatkan
perlindungan keluarga.
c. Menghargai Nilai-nilai lokal
11) Pengetahuan lokal, prinsip ini mendasarkan pada pentingnya untuk memperhatikan
pengetahuan lokal dalam pembangunan masyarakat, di mana masyarakat sampai dengan
kelas bawah mampu mengidentifikasi dan melakukan validasi tentang pengetahuan
tersebut.
12) Budaya lokal, globalisasi budaya telah mengambil identitas budaya masyarakat di
seluruh dunia, bahwa budaya lokal dapat menunjukkan kemampuannya dalam
mendukung pembangunan masyarakat, ini mengingat ternyata budaya lokal tidaklah
statis namun dinamis, bahkan prinsip ini sesuai dengan hak asasi manusia, inklusif,
berkelanjutan, dan juga diarahkan oleh masyarakat dalam konteks pembangunan yang
berkelanjutan.
13) Sumberdaya lokal, pemanfaat sumberdaya lokal lebih baik daripada menggunakan
sumberdaya atau bantuan dari pihak luar. Penggunaan ini mencakup seluruh bentuk,
meliputi keuangan, teknis, sumberdaya alam akan dapat mendorong bermacam-macam
cara dalam pembangunan masyarakat (ada keanekaragaman bentuk pembangunan
masyarakat).
14)Ketrampilan lokal, dalam pembangunan masyarakat, ”pihak luar” harus mengetahui
ada ketrampilan lokal yang dapat dimanfaatkan, memaksimalkan ketrampilan lokal lebih
baik dalam pembangunan masyarakat. Untuk itulah dalam melakukan pembangunan
masyarakat, harus berjalan secara dua arah antara pihak luar dan masyarakat.
15) Menghargai proses lokal, pemaksaan solusi spesifik, struktur atau proses dari luar
komunitas, jarang dapat bekerja. Ini menjadi salah satu rasionalitas dari community
development, bahwa segala sesuatu tidak dapat bekerja dengan baik jika dipaksakan dari
luar komunitas. Oleh karena itu, pendekatan community development tidak dapat
dipaksakan, tetapi harus terbangun dengan sendirinya dalam komunitas, dengan cara
yang sesuai dengan konteks spesifik dan sensitif terhadap kebudayaan masyarakat lokal,
tradisi dan lingkungan.
d. Proses
16) Proses, hasil, dan visi. Penekanan pada proses dan hasil menjadi isu utama dalam
pembangunan masyarakat. Pendekatan pragmatis cenderung akan melihat hasil, sehingga
bagaimana upaya untuk memperoleh hasil tersebut tidaklah begitu penting. Namun
pendapat ini ditentang oleh banyak pihak, karena proses dan hasil pada hakekatnya
merupakan dua hal yang saling berkaitan. Proses pada dasarnya harus merefleksikan
hasil, demikian juga hasil juga merupakan refleksi dari proses. Dalam konteks ini, moral
dan etika dalam memperoleh hasil akan menjadi pusat perhatian.
17) Keterpaduan proses, proses yang digunakan untuk mencapai tujuan harus disesuaikan
dengn hasil yang diharapkan, perihal keberlanjutan dan keadilan sosial.

18) Peningkatan kesadaran, prinsip ini membantu anggota masyarakat dalam melakukan
pencarian potensi dalam kehidupan dan menghubungkan dengan struktur yang ada dan
mendiskursus kekuatan dan tekanan. Ada empat aspek atau tahap, yaitu menghubungkan
anggota masyarakat dan politik, membangunan hubungan dialogis, berbagi pengalaman
dalam menghadapi tekanan, dan membuka kesempatan untuk aksi. Prinsip ini merupakan
bagian penting dalam pemberdayaan dan juga pembangunan masyarakat.
19) Partisipasi, pembangunan masyarakat harus selalu melihat partisipasi maksimal
dengan tujuan setiap anggota masyarakat dapat secara aktif terlibat.
20) Kooperasi dan konsensus, problematika yang ada di masyarakat harus dihadapi oleh
seluruh anggota secara bersama-sama dengan mendapatkan persetujuan dari seluruh
anggota masyarakat.
21) Tahapan pembangunan, pembangunan masyarakat dilakukan secara bertahap dalam
jangka waktu yang lama, hal ini disebabkan ia lebih mengutamakan keaktifan dan
partisipasi anggota masyarakat.
22) Perdamaian dan anti kekerasan, pada konteks ini pembangunan masyarakat
menghendaki sebuah proses pendekatan yang anti kekerasan. Oleh karena itu, pendekatan
yang bersifat koersif ataupun pendekatan dengan tekanan terhadap sesama merupakan hal
yang harus dihindari.
23) Inklusif, aplikasi prinsip inklusif dalam pembangunan masyarakat membutuhkan
proses adanya keterlibatan masyarakat untuk mengambil bagian dalam proses
pelaksanaan pembangunan. Proses pembangunan haruslah bersifat terbuka dan menjaring
aspirasi dari seluruh warga masyarakat, bahkan sampai kelompok paling bawah.
24) Membangun komunitas, semua pembangunan masyarakat seharusnya bertujuan
untuk membangun komunitas. Pembangunan masyarakat meliputi semua interaksi sosial
dengan komunitas dan membantu mereka untuk mengkomunikasikan apa yang menjadi
jalan untuk menuju dialog yang murni, pemahaman, dan aksi sosial.
e. Prinsip global dan lokal
25) Hubungan antara global dan lokal, saat ini seluruh dunia tidak bisa melepaskan diri
dari pengaruh globalisasi, sehingga tidak bisa lagi mengabaikan isu-isu global tentang
pembangunan dan lingkungan hidup, namun juga lokalitas menjadi fokus dalam
pembangunan. Gerakan global akan berdampak pada seluruh komunitas dan memberikan
kontribusi dalam permasalahan dan isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat. Sehingga,
setiap community worker harus bisa memahami kondisi global dengan baik sebagaimana
dia memahami kondisi lokal, serta bagaimana keduanya berinteraksi.
26) Praktik Anti Penjajah (Anti-colonialist practice), Penjajahan (kolonialisme) dapat
mempengaruhi community worker di segala situasi. Penjajahan dapat menjadi suatu
ideologi ekstrim yang menggiurkan, karena hanya dengan tahapan yang pendek dengan
mempercayai bahwa community worker adalah seseorang yang mempunyai sesuatu untuk
ditawarkan, dan dengan menghargai satu latar belakang kebudayaan yang dimiliki dan
pengalaman praktik menjajah. Ini akan mengabadikan dominansi penjajah.
2.1.2.4 Tujuan Pengembangan Masyarakat
Menurut Budimanta dalam Rudito,dkk (2003), pengembangan masyarakat suatu
perusahaan terhadap lingkunganya memiliki tujuan. Tujuan pengembangan masyarakat
suatu perusahaan, yaitu:

1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah terutama pada
tingkat desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosialekonomi- budaya yang
lebih baik disekitar wilayah kegiatan perusahaan.
2. Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat.
3. Membantu pemerintah daerah dalam rangka pengentasan kemiskinan dan
pengembangan ekonomi wilayah.

2.1.2.5 Strategi Pengembangan Masyarakat
Dalam melaksanakan suatu program pengembangan masyarakat terdapat berbagai macam
strategi pengembangan masyarakat. Chin dan Benne (1961) dalam Nasdian (2006)
memperkenalkan tiga strategi yang dapat dijadikan strategi pengembangan masyarakat,
yaitu rational-empirical, normative-reeducative, dan power-coersive. Penjelasan ketiga
strategi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Power coercive (strategi pemaksaan). Strategi ini cenderung memaksakan kehendak
dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan serta situasi yang
sebenarnya dimana inovasi itu akan dilaksanakan, sedangkan pelaksanaan yang
sebenarnya objek utama dari inovasi itu sendiri sama sekali tidak dilibatkan baik dalam
proses perencanaan maupun pelaksaannya.
b. Rational Empirical (empirik rasional). Strategi ini didasarkan atas pandangan yang
optimistik karena strategi ini mempunyai asumsi dasar bahwa manusia mampu
menggunakan pikiran logisnya atau akalnya sehingga mereka akan bertindak secara
rasional. Inovator bertugas mendemonstrasikan inovasinya dengan menggunakan metode
yang terbaik valid untuk memberikan manfaat dengan penggunanya.
c. Normatif Re-educative (pendidikan yang berulang secara normatif).
Suatu strategi yang didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund
Freud, John Dewey, Kurt Lewis, dan beberapa pakar yang menekankan bagaimana klien
memahami permasalahan pembaruan seperti perubahan sikap, skill, dan nilai-nilai yang
berhubungan dengan manusia. Kecenderungan pelaksanaan model yang demikian
agaknya lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan hasil perubahan itu
sendiri.
2.1.2.6 Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat
Peran serta masyarakat selama ini hanya dilihat dalam konteks yang sempit, yaitu
manusia cukup dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan.
Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat hanya sebatas pada implementasi atau
penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam
dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya,
partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian,
2006). Payne (1979) dalam Nasdian (2006) menjelaskan bahwa pemberdayaan ditujukan
untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan
menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk
mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini
dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan
daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.

Nasdian (2006) menjelaskan bahwa partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh
warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan
menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat
menegaskan kontrol secara efektif. Sementara itu, Paul (1987) dalam Nasdian (2006)
memberikan pengertian mengenai partisipasi sebagai berikut:
“.....participation refers to an active process whereby beneficiaries influence the
direction and execution of development projects rather than mercly receive a share of
project benefits”.
Pengertian di atas melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan
keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi (Cohen dan Uphoff,
1980 dalam Nasdian, 2006). Melihat berbagai pendapat yang ada mengenai
pemberdayaan dan partisipasi, maka pemberdayaan dan partisipasi di tingkat komunitas
dapat dikatakan dua konsep yang erat kaitannya (Nasdian, 2006). Pendapat ini sejalan
dengan Craig dan Mayo (1995) dalam Nasdian (2006), yaitu: “empowerment is road to
participation”.
2.1.2.7 Tingkat Partisipasi
Arnstein (1969) dalam Wazdy (2009)menjelaskan ada delapan tangga partisipasi
masyarakat yang kemudian dikenal dengan tipologi Arnstein. Delapan tingkat partisipasi
masyarakat menurut Arnstein (1969) dalam Wazdy (2009) adalah : 1. Manipulation, bisa
diartikan tidak ada komunikasi apalagi dialog; 2. Therapy berarti ada komuniksi namun
masih bersifat terbatas, inisiatif dari pemerintah dan hanya satu arah; 3.Information
menyiratkan bahwa komunikasi sudah banyak terjadi tetapi masih bersifat satu arah;
4.Consultation bermakna bahwa komunikasi telah berjalan dua arah; 5.Placation berarti
bahwa komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan
pemerintah, masyarakat dapat memberi saran tetapi tidak memiliki kewenangan
menentukan keputusan (partisipasi semu); 6.Partnership berarti suatu kondisi pemerintah
dan masyarakat merupakan mitra sejajar; 7.Delegated Power berarti bahwa pemerintah
memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa
keperluannya; dan 8.Citizen Control berarti bahwa masyarakat menguasai kebijakan
public mulai dari perumusan, implementasi hingga evaluasi dan control. Dua tangga ke
bawah di kategorikan sebagai Non-partisipasi; tangga ketiga, keempat dan kelima
dikategorikan sebagai tingkat tokenism (pertanda) yaitu tingkat peran serta di mana
masyarakat di dengar dan berpendapat, tetapi tidak ada jaminan bahwa pandangan
mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang kekuasaan. Peran serta pada tingkat ini
memilki kemungkinan yang sangat kecil menghasilkan perubahan dalam masyarakat; tiga
tangga teratas dikategorikan dalam tingkat kekuasaan masyarakat dalam mempengaruhi
dan proses pengambilan keputusan (Arnstein, 1969 dalam Wazdy, 2009).

Peraturan perundang-undangan CSR
Di Indonesia program CSR semakin menguat setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU
perseroan terbatas No.40 tahun 2007, di mana dalam pasal 74 antara lain diatur bahwa :
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan.atau berkaitan dengan
sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
(2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana di maksud ayat (1) merupakan
kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundanguandangan.
(4) Ketentuan lebih kanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan
peraturan pemerintah. Dalam pasal 74 ayat 1 disebutkan bahwa perseroan (mengacu pada
UU No.40/2007 pasal 1 ayat 1 bahwa perseroan diartikan sebagai perseroan terbatas)
yang menjalankan usaha di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan, namun tidak dijelaskan apakah hal
tanggung jawab yang sama juga diwajibkan bagi entitas usaha yang tidak berbentuk
badan hukum perseroan terbatas. Sehingga, hal ini dapat menimbulkan penafsiran bahwa
entitas usaha yang tidak berbentuk perseroan terbatas tidak diwajibkan untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (mengacu pada UU No. 40/2007)
pasal 1 ayat 3 definisi tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan
untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masayrakat pada umumnya). Selanjutnya pasal 74 ayat 1
tersebut menimbulkan pertanyaan lain yaitu apakah perseroan terbatas yang tidak
menjalankan kegiatan usaha dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam dapat
diartikan tidak diwajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR).
Selain itu, UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus
dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3 dan
4 hanya disebutkan bahwa CSR dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan
yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. PT
yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundangundangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diataur oleh peraturan
pemerintah (belum terbit).
Peraturan lain yang menyinggung CSR adalaha UU No.25 tahun 2007 tentang
penanaman modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa setiap penanaman modal
berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Meskipun UU ini telah
mengatur sanksi-sanksi secara terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan
yang mengabaikan CSR (pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan
belum mengatur secara perihal CSR bagi perusahaan nasional.
Sumber :
 IPB Repository Home  Dissertations and Theses  DT - Multidiciplinary
Program

Dokumen yang terkait

Idioms Used In Real Steel Movie - Digital Library IAIN Palangka Raya

2 4 9

BAB IV HASIL PENELITIAN - Pengaruh Dosis Ragi Terhadap Kualitas Fisik Tempe Berbahan Dasar Biji Cempedak (Arthocarpus champeden) Melalui Uji Organoleptik - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Uji Kualitas Mikrobiologi Minuman Olahan Berdasarkan Metode Nilai MPN Coliform di Lingkungan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelurahan Pahandut Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

1 2 12

The effect of personal vocabulary notes on vocabulary knowledge at the seventh grade students of SMP Muhammadiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh variasi berat glukosa pada filtrat tomat (solanum lycopersicum (L) Commune) dan lama fermentasi acetobacter xylinum terhadap tingkat ketebalannata de tomato - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Penerapan metode eksperimen terhadap pokok bahasan bunyi untuk meningkatkan hasil belajar siswa mtsn 2 palangka raya kelas VIII semester II tahun ajaran 2013/2014 (studi eksperimen) - Digital Library IAIN Pala

0 0 10

BAB IV HASIL PENELITIAN - Penerapan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada pokok bahasan gerak lurus - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 23

CHAPTER I INTRODUCTION - The effectiveness of anagram on students’ vocabulary size at the eight grade of MTs islamiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 10

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Penelitian Sebelumnya - Perbedaan penerapan metode iqro’ di TKQ/TPQ Al-Hakam dan TKQ/TPQ Nurul Hikmah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 26

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan model Problem Based Instruction (PBI) terhadap pemahaman konsep dan hasil belajar siswa pokok bahasan tekanan Kelas VIII Semester II di SMPN Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016 - Digital Library IAIN Pala

0 3 80