BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Terhadap Pengendalian Inflasi (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Sesuai Undang-undang (UU) No. 3 tahun 2004 Pasal 7, tugas Bank Indonesia adalah mencapai dan menjaga kestabilan nilai Rupiah, yang salah satunya adalah dalam bentuk kestabilan nilai Rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin melalui kestabilan inflasi. Dengan demikian, kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai dan menjaga inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil.

  Sejalan dengan hal tersebut, adapun upaya pemerintah dalam mencapai kondisi perekonomian yang ideal salah satu upayanya yaitu menjaga stabilitas harga melalui kebijakan moneter dalam pengendalian inflasi. Untuk menjaga kestabilan perekonomian, Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter di Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. (Rahardja dan Manurung, 2004).

  Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Kestabilan nilai rupiah yang dijaga baik itu didalam negeri maupun diluar negeri. Di dalam negeri, kestabilan nilai rupiah digambarkan melalui kestabilan harga barang dan jasa yang tercermin dari tingkat inflasi sedangkan di luar negeri digambarkan melalui nilai Rupiah terhadap mata uang negara lain yang tercermin dari nilai tukar.

  Dalam melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia telah menyusun berbagai kerangka kebijakan moneter yang akan menjadi pedoman dalam langkah usaha stabilisasi ini. Kebijakan ini tentunya selalu disesuaikan dengan perkembangan dinamika ekonomi nasional dari tahun ke tahun. Perkembangan ekonomi nasional dan global beberapa tahun terakhir ini telah memfokuskan perhatian Bank Indonesia (BI) kepada masalah pengendalian inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama yang biasa disebut dengan Inflation

  

Targeting Framework. Kinerja dari inflation targeting bisa dilihat pada tabel

  berikut ini :

Tabel 1.1. Pencapaian Target Inflasi Indonesia

  Tahun Target Inflasi Inflasi Aktual (%, yoy) 2001 4% - 6% 12,55 2002 9% - 10% 10,03 2003 9 +1% 5,06 2004 5,5 +1% 6,40 2005 6 +1% 17,11 2006 8 +1% 6,60 2007 6 +1% 6,59 2008 5 +1% 11,06 2009 4,5 +1% 2,78 2010 5+1% 6,96 2011 5+1% 3,79 2012 4.5+1% 4,30 2013 4.5+1% 8,38

  

Sumber : Laporan Tahunan Bank Indonesia

  Berdasarkan pengamatan pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa inflasi aktual masih meleset dari target inflasi yang ditetapkan. Dari sebelas pengamatan, hanya terdapat tiga pengamatan yang memenuhi target inflasi, yaitu pada tahun 2004, 2006 dan 2007. Selebihnya inflasi aktual yang terjadi terdapat beberapa yang melebihi target inflasi maupun lebih rendah dari target yang ditetapkan. Bahkan pada tahun 2001, 2005, 2008 dan 2013, inflasi aktual yang terjadi sangat jauh melampaui target inflasinya. Hal ini disebabkan oleh adanya krisis keuangan global dan naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM) yang juga berdampak pada perekonomian Indonesia. Akan tetapi setelah tahun 2008, kondisi inflasi Indonesia cenderung membaik.

  Dalam kaitan tersebut, respon kebijakan moneter tidak hanya ditentukan oleh tingkat inflasi yang ingin dicapai tetapi ditentukan pula oleh perilaku inflasi itu sendiri. Hal tersebut akan menentukan besaran dan waktu (timing) respon kebijakan moneter yang perlu diterapkan dalam rangka mencapai inflasi yang ingin dicapai tersebut. Dari sisi tingkat inflasi yang ingin dicapai, kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan menurun secara gradual menuju tingkat yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sesuai UU dimaksud, sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia yang dimaksudkan untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter. Sementara itu, asesmen mengenai perilaku inflasi yang diperlukan antara lain terkait dengan persistensi inflasi atau kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ketingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock (Arimurti, 2011).

  Implementasi Inflation Targeting Framework (ITF) telah dilakukan mulai tahun 2000, akan tetapi secara legal baru dilaksanakan pada tahun 2005. ITF diberlakukan mengingat inflasi memiliki dampak yang sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat. Seperti telah diketahui tingkat inflasi yang tinggi akan menyebabkan daya beli masyarakat menurun sehingga mempengaruhi kesejahteraan masyarakat (Fatimah, 2013).

  Budiono (1985) Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai di hampir semua negara di dunia adalah Inflasi. Hal ini juga didukung oleh perkembangan teori ekonomi dalam literatur dan temuan empiris di beberapa negara bahwa kebijakan moneter dalam jangka menengah panjang hanya berpengaruh pada inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi (Perry Warjiyo dan Solikin, 2003).

  Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, sumber tekanan inflasi Indonesia tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia. Dari hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak yang terutama dipengaruhi oleh sisi supply (sisi penawaran) berkenaan dengan gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Selain itu, shocks terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait harga komoditas strategis seperti BBM dan komoditas energi lainnya (administered

  prices ).

  Faktor – faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran.

  Dalam hal ini, Bank Indonesia hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran berada di luar pengendalian Bank Indonesia.

  Untuk itu, kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi permintaan aggregat (demand management) relatif terhadap kondisi sisi penawaran. Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespon kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan yang bersifat sementara (temporer) yang akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.

  Sementara inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran ataupun yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya gangguan panen atau banjir dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi yang dipengaruhi oleh faktor kejutan diwakili oleh kelompok volatile

  food dan administered prices yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK.

  Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi sangat terbatas apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar seperti ketika terjadi kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2008 sehingga menyebabkan adanya lonjakan inflasi yang menjadi fenomena di masyarakat.

  Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan (shock) tersebut maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi. Lebih jauh, karakteristik inflasi Indonesia yang cukup rentan terhadap kejutan-kejutan (shocks) dari sisi penawaran memerlukan kebijakan-kebijakan khusus untuk permasalahan tersebut.

  Dalam usaha untuk mengatasi inflasi yang bersumber dari kejutan pada sisi penawaran di bentuklah Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005 dan sejak tahun 2008 dibentuk pula Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang bertugas untuk membantu pencapaian tingkat inflasi di daerah. Koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah (Bank Indonesia)

  TPI dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan satu sasaran yang ingin dicapai Pemerintah, sebagai bagian dalam upaya menjaga stabilitas makro ekonomi sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.

  Sehubungan mengenai pembentukan Tim Pengendalian Inflasi di tingkat pusat sesuai pernyataan diatas, bahwa pentingnya peran koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, Pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005. Penguatan koordinasi kemudian dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendalian Inflasi di level daerah pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas dan peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka pada Juli 2011 terbentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat efektivitas peran TPID.

  Begitu pentingnya peranan TPID, maka inisiatif pembentukan TPID dimulai sejak 2008 dengan dukungan dari berbagai kalangan, khususnya di daerah. Saat ini telah terbentuk 93 TPID di 33 provinsi yang mencerminkan semakin tingginya kesadaran daerah terhadap implikasi inflasi bagi kegiatan pembangunan dan untuk kesejahteraan masyarakat secara umum. Keberadaan TPID juga menekankan pentingnya kerangka kerjasama yang lebih bersinergi antar daerah sejalan dengan implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010- 2014. Besarnya komitmen daerah untuk turut berpartisipasi menjaga stabilitas harga tertuang dalam Agenda Jakarta 2011 yang merupakan hasil Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) II TPID yang diselenggarakan pada 16 April 2011. Pada Rakornas II TPID juga disepakati pembentukan Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang beranggotakan Bank Indonesia (BI), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Nomor.

  MOU-01/M.EKON/03/2011, 13/I/GBI/DKM/NK, 300-194 Tahun 2011. Sebagai tindak lanjut dari MoU tersebut, pada penyelenggaraan Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) TPID Jakarta-Jabar-Banten tanggal 14 Juli 2011 ditandatangani Perjanjian Kerjasama (PKS) antara ketiga pihak tersebut yang menandai terbentuknya Pokjanas TPID (Bank Indonesia).

  Pokjanas TPID berperan dalam mengkoordinasikan sekaligus mengarahkan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh TPID dalam menjaga stabilitas harga di daerah. Selain itu, Pokjanas TPID dibangun sebagai sarana untuk memperkuat sinergi pusat dan daerah dalam mengatasi berbagai persoalan di daerah yang memerlukan kebijakan pemerintah pusat. Berbagai rekomendasi pengendalian harga yang dihasilkan TPID dinilai sedikit banyak telah membantu pemangku kepentingan di daerah dalam merumuskan kebijakan terkait pengendalian harga (Bank Indonesia).

  Inflasi nasional terbentuk dari inflasi daerah, sehingga penelitian tentang inflasi di tingkat regional sangat diperlukan. Inflasi nasional merupakan rata-rata tertimbang dari inflasi daerah di Indonesia, maka dirasa perlu untuk mempelajari perilaku inflasi di tingkat daerah (Fatimah, 2013).

  Provinsi Sumatera Utara khususnya, menurut data statistik diketahui bahwa tingkat Inflasi Sumatera Utara tahun 2013 sebesar 10,8 %, sedangkan tingkat Inflasi Nasional tahun 2013 sebesar 8,38%. Tingginya tingkat Inflasi Sumatera Utara dibandingkan tingkat Inflasi Nasional disebabkan karena kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), kenaikan harga pangan seperti harga bawang, baik bawang puith maupun bawang merah, kenaikan harga kedelai dan adanya pengaruh erupsi Gunung Sinabung yang menyebabkan stabilitas harga terganggu (Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2013).

  Berbeda halnya pada tahun 2013, Tingkat Inflasi Sumatera Utara tahun 2011 dan 2012 di bawah tingkat Inflasi Nasional, yaitu besaran Inflasi Sumatera Utara tahun yaitu 2011 3,67% dan Inflasi Sumatera Utara tahun 2012 yaitu 3,65 % sedangkan tingkat Inflasi Nasional tahun 2011 sebesar 3,79% dan tahun 2012 tingkat Inflasi Nasional sebesar 4,30%. Hal diatas menunnjukkan naik turunnya inflasi disebabkan adanya gangguan (shock) yang perlu dikendalikan oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Laporan Pokjanas TPID, Bank Indonesia, 2012).

  Perilaku inflasi dapat dilihat dari persistensi inflasi. Marques (2005) mendefinisikan persistensi inflasi sebagai kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ketingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock. Derajat persistensi yang tinggi menunjukkan lambatnya tingkat inflasi untuk kembali ke tingkat alamiahnya maka dikatakan inflasi bersifat persisten. Sebaliknya derajat persistensi yang rendah menunjukkan cepatnya tingkat inflasi untuk kembali ke tingkat alamiahnya. Perilaku inflasi penting untuk dipelajari untuk mendukung pengambilan kebijakan atas respon dari perubahan tekanan terhadap inflasi di dalam negeri agar pengendalian inflasi bisa lebih efektif.

  Penelitian persistensi inflasi perlu didukung dengan analisis mengenai penyebab dari persistensi inflasi tersebut. Seperti diketahui dalam komponen inflasi IHK terdapat komponen inflasi yang harganya banyak dipengaruhi oleh

  supply pasokan barang yang bersifat musiman. Selain itu terdapat komponen yang

  harganya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah (administered price). Kedua komponen ini merupakan penyusun inflasi yang bersifat non-fundamental. Maka diperlukan suatu kebijakan yang ditujukan untuk mengendalikan inflasi yang bersifat non-fundamental yang sulit untuk dikendalikan melalui instrument kebijakan moneter yang dimiliki Bank Indonesia selaku pemegang otoritas kebijakan moneter (Fatimah, 2013).

  Kajian maupun penelitian tentang persistensi inflasi banyak difokuskan pada skala nasional. Inflasi nasional terbentuk dari inflasi daerah, sehingga penelitian tentang inflasi di tingkat regional sangat diperlukan. Penelitian tentang persistensi daerah dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa masing-masing daerah memiliki karakteristik yang berbeda sehingga menyebabkan adanya kebijakan pengendalian inflasi yang berbeda pula.

  Meskipun secara umum tekanan inflasi di daerah banyak dipengaruhi shock pada sisi penawaran. Disamping penelitian mengenai persistensi inflasi perlu juga diketahui tindakan seperti apa yang akan diambil oleh Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terkait dengan tingkat persistensi inflasi di Sumatera Utara, maka dirasa perlu untuk mempelajari perilaku inflasi di tingkat daerah, termasuk mengukur dan mencari penyebabnya, serta mengetahui implikasinya terhadap pengendalian inflasi daerah dengan fokus Provinsi Sumatera Utara.

  Di Sumatera Utara sendiri penelitian tentang persistensi inflasi sangat penting, mengingat bahwa Sumatera Utara termasuk provinsi yang menyumbang bobot inflasi nasional terbesar di kawasan Pulau Sumatera Utara. Dilihat dari komponennya, komponen volatile food (bahan makanan yang harganya fluktuatif) banyak mempengaruhi inflasi Sumatera Utara. Pengaruh keterbatasan pasokan dan ekspektasi inflasi masyarakat menjadi faktor pendorong peningkatan inflasi.

  Berdasarkan pada uraian sebelumnya maka sangat pentingnya mengetahui faktor penyebab utama persistensi inflasi yang terjadi agar otoritas moneter dapat segera merespon shock yang terjadi dan mencegah dampak dari persistensi inflasi tersebut.

  Kajian mengenai fenomena persistensi menjadi sangat penting untuk dilakukan dalam rangka mendukung perumusan kebijakan moneter yang efektif.

  Hal ini dikarenakan agar efektifitas kebijakan moneter dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kajian tersebut pada akhirnya diperlukan untuk merumuskan strategi pengendalian inflasi. Sumber tekanan inflasi yang menyebabkan persistensi inflasi perlu dianalisa secara lebih tajam sehingga dapat dibedakan sumber tekanan inflasi yang bersifat fundamental dan yang hanya bersifat sementara atau temporer. Kebijakan moneter tidak dapat digunakan sepenuhnya untuk merespon tekanan inflasi dari kejutan di sisi pasokan. Diperlukan kebijakan sektoral dan regional untuk mengurangi tekanan inflasi dari faktor-faktor non-fundamental (Arimurti, 2011).

  Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat Inflasi Provinsi Sumatera Utara sebelum dan sesudah dibentuknya Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan untuk mengetahui tingkat persistensi inflasi di Sumatera Utara. Melihat pentingnya peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap pengendalian inflasi di daerah. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan judul “Analisis Peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Terhadap Pengendalian Inflasi (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara)”.

1.2 Perumusan Masalah

  Masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah melihat dan menganalisis peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap Pengendalian Inflasi dengan mengambil studi kasus Provinsi Sumatera Utara. Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

  1. Apakah Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) berperan terhadap pengendalian Inflasi Sumatera Utara, sebelum dan setelah dibentuknya Tim Pemantuan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) ? 2. Bagaimana Tingkat Persistensi Inflasi Sumatera Utara ?

1.3 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah

  (TPID) terhadap pengendalian Inflasi Sumatera Utara, sebelum dan setelah di bentuknya Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).

2. Untuk mengetahui tingkat Persistensi Inflasi Sumatera Utara ?

1.4 Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan masukan dan menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis dan pembaca yang berkaitan dalam pengendalian inflasi.

2. Sebagai bahan studi, tambahan literatur dan informasi bagi pembaca dan peneliti dalam penelitian selanjutnya.

  3. Diharapkan dapat menjadi informasi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dan otoritas moneter dalam pengambilan keputusan terkait dengan pengendalian inflasi.

Dokumen yang terkait

Analisis Peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Terhadap Pengendalian Inflasi (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara)

26 89 101

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Netralitas Uang Terhadap Inflasi dan Output Riil Jangka Panjang di Indonesia

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kinerja Manajerial Pejabat Pemerintah Kota Tebing Tinggi

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Akuntabilitas dan Transparansi Kepala Daerah dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Baik di Daerah (Studi Provinsi Sumatera Utara)

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Ekspor Kopi Di Provinsi Sumatera Utara

0 0 15

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Regresi Berganda Terhadap Faktor-Faktor yang mempengaruhi Laju Inflasi

0 4 9

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengaruh Tingkat Suku Bunga dan Tingkat Inflasi Terhadap Minat Menabung Masyarakat di Kota Medan (Studi Kasus di Kecamatan Medan Petisah)

1 1 9

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Penerapan Analisis Jalur Untuk Mengetahui Faktor Yang Mempengaruhi Laju Inflasi Di Indonesia Tahun 2011-2012

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Inflasi - Analisis Peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Terhadap Pengendalian Inflasi (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara)

0 0 16