Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia

Interfidei

Daftar Isi

  Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi

  Tim Redaksi Setting/ Layout

  Enjoy your reading.

  Religious institutions are challenged to nurture this diversity to create justice and peace for all. The edition of the newsletter that is now in your hand wants to share various experience on the importance of fostering harmony with compassion and respect for differences.

  T o wh o m sh o u l d t h e questions on the future and the challenges of religious diversity in Indonesia be addressed? All of us, as a nation, are responsible for this matter. Such problems are challenges for every single Indonesian. Any religious polemics posted by several people recently seem to be turning point to the many problems within the society.

  struggles referring to the development of religious diversity in Indonesia these days.

  uestions arise of the future of p l u r a l i s m a m i d s t

  Selamat membaca.

  

Tantangan bagi institusi agama

a d a l a h b a g a i m a n a m e r a wa t keberagaman ini, untuk menciptakan kedamaian dan keadilan bagi semua. Pada Newsletter ini kami mencoba untuk berbagi dari pengalaman tentang pentingnya menjaga keharmonisan dalam bingkai semangat kasih dan saling menghormati serta adanya sikap penghargaan terhadap perbedaan.

  

Kepada si apa ak an ki t a

alamatkan semua pertanyaan tentang harapan dan tantangan kemajemukan di Bumi Pertiwi ini? Jawabannya ada pada diri kita yang merasa dan melihat bahwa sesungguhnya persoalan itu adalah tanggung jawab bersama elemen- elemen bangsa. Juga bagaimana hal ini menjadi tantangan bersama bagi agama- agama di Indonesia. Polemik teologis yang di bawa oleh beberapa orang ini menjadi semacam titik balik dari berbagai masalah yang timbul tersebut.

  di I n do n esia h ari in i, memunculkan pertanyaan bagaimana masa depan kemajemukan di tengah pusaran pertarungan berbagai ideologi.

  I NDONESIA encermati perkembangan serta dinamika keberagaman

  IN

  I NDONESIA C OMMON C HALLENGES TO R ELIGIONS

  Institute fo r Interfaith Dialo gue in Ind o nesia T ANTANGAN BERSAMA A GAMA - AGAMA DI

  E DITORIAL Newsletter

  Editorial ...................... 1 Fokus .......................... 2 Opini .......................... 6 Aktivitas ................... 12 Potret ........................ 20 Feature....................... 23 Refleksi ..................... 29 Agenda ..................... 31

  Bilingual Newsletter

Q

M

  E-mail dianinterfidei@yahoo.com Website Http://www.interfidei.or.id.

  Phone.:0274-880149. Fax.:0274- 887864

  Jl. Banteng Utama 59, Perum Banteng Baru Yogyakarta, 55581, Indonesia.

  Diterbitkan oleh Institut DIAN/ Interfidei

  Ira Sasmita Susanto

  Herry Metty Eko Putro Mardiyanto

  Sarnuji Dokumentasi

  Khairul Anwar, Listia,Herry Metty, Margaret, Indro Suprobo

  Distributor Elga Sarapung Indro Suprobo

  Keuangan Sekretariat

  • AGAMA DALAM M ENJAWAB P ERSOALAN

  A N

  Do you think religious institutions have been well engaged in answering social needs?

  I can see the role of Interfidei in regard to the challenges for religions. According to me, Interfidei centres on interfaith dialogue and has been fostering programs to nurture tolerance, peace, the integrity of humanity, and democracy. Interfidei has been nurturing not only inter-faith dialogue but also dialogue between humanitarian groups who daily deal with social, political, and economical issues, education, and employments. Dialogue is not merely about God and abstract religious teachings, but also about reality. This sort of dialogue on the real life has been being dealt with by humanitarian groups. There is a meeting point between religions and humanitarian activists, the wholeness of beings. That people struggle for poverty, economy, education, employment, which results in the vanishing human values, is another issue.

  How do you see DIAN/ Interfidei in promoting social needs as common challenges to religions to cultivate dialogue among religions?

  patients for 15 years, when she attended the national interfaith-network meeting on 8-10 August 2008 in Yogyakarta. The following is her comments on the role of religions in responding to humanitarian concerns.

  W

  e had a chance to interview Esti Susanti, an activist who has been working for HIV/AIDS

  ITH E STHI S USANTI

  I NTERVIEW W

  I N R ESPONDING T O H UMANITARIAN P ROBLEMS

  Interfidei newsletter Fokus

  T HE C HALLENGES T O R ELIGIONS

  Saya melihat Interfidei berperan penting menyangkut tantangan bersama yang dihadapi agama-agama. Menurut saya, Interfidei memusatkan perhatian pada dialog antar iman dan juga mengupayakan berbagai kegiatan untuk mendukung toleransi, perdamaian, integritas kemanusiaan, dan demokrasi. Interfidei, menurut saya, memupuk dialog antar penganut agama dan juga antar aktivis kemanusiaan yang sehari-hari bergumul dengan masalah sosial, politik dan ekonomi, dan juga pendidikan serta lapangan pekerjaan yang berdampak pada kemanusiaan. Dialog bukan semata-mata berbicara tentang Tuhan dan ajaran agama yang abstrak, tetapi juga tentang realita kemanusiaan. Hal inilah yang dikerjakan oleh teman-teman yang bergerak dalam isu kemanusiaan. Ada titik temu antara agama dan para aktivis kemanusiaan, yaitu keutuhan ciptaan. Bahwa manusia bergumul untuk mengatasi kemiskinan, masalah ekonomi, pendidikan, dan lapangan pekerjaan yang berakibat pada berkurangnya nilai- nilai kemanusiaan, merupakan permasalahan lain.

  Bagaimana menurut anda peran DIAN/ Interfidei dalam mengangkat masalah-masalah sosial sebagai tantangan bersama untuk agama-agama dalam proses membangun dialog antar iman?

  korban HIV/AIDS selama 15 tahun, ketika menghadiri pertemuan jaringan antariman nasional, 8-10 Agustus di Yogyakarta. Berikut ini adalah komentarnya tentang peran agama-agama dalam merespo n berbagai masalah kemanusiaan.

  K

  W AWANCARA DENGAN E STHI S USANTI am i b erkesempat an un t uk mewawancarai Esthi Susanti, seorang aktivis yang bekerja untuk

  K EMANUSIAAN

  Esthi Susanti T ANTANGAN B ERSAMA A GAMA

  In order to be able to embrace its adherents, a religion needs to emphasize on the process of humanizing the people. Karel Steenbrink views happiness and feeling good as the reason people hold

  Edisi Desember 2008 - Maret 2009 Focus

  Peserta mempertanyakan peran agama bagi kemanusiaan dalam studi bersama tentang Agama-agama dan Persoalan HIV/AIDS Menurut Anda apakah yang dilakukan institusi keagamaan untuk menanggapi persoalan kemanusiaan sudah memadai?

  Proses menj adi manusia merupakan problem yang harus dihadapi oleh agama, kalau tidak agama akan ditinggal oleh penganutnya. Menurut karel Steenbrink, sekarang ini orang mencari agama untuk happiness dan feeing good. Seharusnya ada perubahan, karena itu agama tidak bisa berdiri di menara gadingnya. Agama harus bekerja dan b ersen t uh an lan gsun g den gan pen gan ut - penganutnya dan berupaya mendatangkan feeling good, happiness dan wellness.

  Yang dilakukan oleh interfidei adalah bagian penting. Saya tertarik karena saya kira interfidei bergerak dan berhadapan dengan masyarakat, di bidang kemanusiaan. Pada waktu lalu apa yang dilakukan Interfidei terbatas pada wacana karena tidak m e l a k u k a n p e l a ya n a n t e r h a d a p k e b u t u h a n masyarakat. Memburuknya persoalan kemanusiaan ini berkaitan erat dengan wacana k e a ga m a a n , c o n t o h n ya pelacuran dan kematian yang tak bermartabat dari ODHA. Permasalahan ini merupakan p e l a n g g a r a n n i l a i kemanusiaan. Oleh karena itu, perlu kerjasama antara aktivis agama-agama dan aktivis kemanusiaan. Inilah cita-cita peerubahan yang diharapkan dari agama-agama.

  Menurut penilaian anda bagaimna pendekatan yang telah dilakukan oleh institusi agama-agama?

  Pendekatan institusi agama masih bersifat formal, seperti pengalaman saya berdialog dengan kelompok agama. Agama perlu menyuarakan suara kemanusiaan khususnya yang berkaitan dengan meninggalnya ODHA. Saya sangat terkejut dengan respons kelompok agama yang melakukan pendekatan secara formal. Mereka Mengatakan, ”kami (Institusi agama) akan melayani ODHA jika on to religions nowadays. For this reason, religions can no longer dwell in their ivory tower. They must work and touch their adherents to create happiness, feeling good, and wellness.

  Interfidei has an important role in initiating such a dialogue. I see that Interfidei has started to foster networks with many groups that deal with humanitarian affairs. It is different to what it did previously when dealing solely with discourse and not even a single concrete action to answer the needs of the people. The worsening of the problems of humanity has relation to religious discourse. Taking the example on prostitution and 'undignified' death because of HIV virus, both is humiliation of human values. However, the two can also be seen under the light of religions. For this reason, it is important for activists of religions to work hand in hand with humanitarian ones. Reality emerges from ideas as people witness incidents in everyday life. These incidents, which haven't been put into words by r e l i gi o n s , a r e t h e potentials for changes.

  How do you understand the way religious institutions approach the issues?

  As far as I've o b se r ve d, re l i gi o n s' a ppr o a c h t o so c i a l m a t t e r s a r e m e r e f o r m a l i t y. I t h i n k religions need to struggle more for humanity especially in dealing with HIV/AIDS patients. I was so surprised once witnessing a religious institution announced its willingness to help HIV/AIDS patients only if they had confessed their sins. A dialogue is crucial in such a situation for it is impossible for someone who is in that problem to follow the rule. I also put forward the idea of dignity of life and death when once engaged with another religious institution. This institution accepted this idea because it found its relation to the concept of husnul khatimah. Furthermore, it even established a shelter for HIV/AIDS patients. There were definitely so many obstacles to go through. The Fokus Permainan untuk mendalami materi

  m e r e k a t e l a h men gaku berdosa d a n m e l a k u k a n pertobatan”. Dalam kondisi seperti ini, oran g bermasalah tidak akan mengikuti peraturan yang ada di struktur, saya kira p e n d e k a t a n i n i sangat formal. Untuk situasi seperti ini, d i a l o g m e n j a d i penting. Satu ketika saat saya berdialog agama lain , saya menyuarakan tentang hidup dan mati secara bermartabat, mereka mengatakan bahwa ada konsep husnul khatimah (akhir yang baik) tentang orang mati, dan mereka mengakui itu diterima dan konsep ini lebih diterima oleh orang yang mempunyai masalah. Dan mereka juga menindaklanjuti dengan membuat lembaga penampung (shelter) ODHA. Ini tidak bejalan dengan mudah, orang yang ada di shelter juga ketakutan dengan mengatakan bahwa ODHA adalah orang yang berdosa. Seharusnya para ODHA dalam kondisi ini perlu merasa comfortable. Dan ini perlu dialog yang sangat panjang. Dalam kasus ODHA, perilaku yang diciptakan oleh manusia bisa ditanggulangi. Tetapi ternyata tidak ditanggulangi karena tidak ada perubahan cara berfikir. Masalahnya adalah praktik cara penularan ditanggapi dengan jalan keluar melalui pendekatan agama. Misal dalam konteks public health, kita ingin memutus mata rantai HIV dengan cara memakai kondom. karena hal ini adalah hal yang riil yang tidak bisa dengan bahasa agama, seperti berzinah itu dosa. Seharusnya orang berbicara dengan apa yang dia ketahui dan tidak berada di luar jalurnya. Ayat alkitab tidak bisa diubah, oleh sebab itu kita mengajak orang untuk berbuat baik, jangan dengan dialog yang berlawanan yang akan membuat masyarakat bingung dan tidak percaya karena pemimpin agama tidak kompak. people in the shelter were frightened and c o n d e m n e d HIV/AIDS patients as sinners, while on the contrary these people needed comfort. A long and extensive dialogue is needed to deal with such an i s s u e . F o r m e HIV/AIDS is because of human's conduct. It can be cured but is now left behind since p e o p l e r e f u se t o change their attitudes to the matter. I see how religion effects the way people treat HIV/AID as well as the patients. If we intend to cut the vicious cycle of HIV for instance, it would be better if we introduce condom to the people instead of declaring religious justification of the matter that it relates to adultery and so is against with religion. For this reason, we need to approach an issue under the light of its context; to understand a health problem from health perspective instead of religion and vice versa. It is impossible to change the Scripture, thus better to cite encouraging verses from it to promote dialogue. It is also important for religious leading figures to have one voice supporting dialogue to avoid misunderstanding among the adherents.

  How do you think religious institution should respond to HIV/ AIDS patients?

  Religious institutions are seen as tackling the attempts to prevent HIV. They must not agree on condom in terms of religious justifications, but they can at least address condom as a health instrument. In addition, religious institution can also inform the people of the way using it and that it is meant to save. There has been progress on the way religions viewing condom and HIV/AIDS. I think dialogue has been going on to bridge the two approaches, yet virus spreads faster than any of the approaches.

  We need to initiate the understanding on the importance to heed ourselves as well as our

  Interfidei newsletter

  Edisi Desember 2008 - Maret 2009 Focus

  Berkaitan dengan ODHA, bagaimana seharusnya sikap institusi agama?

  I n stitusi agama dian ggap sebagai penghambat untuk penanggulangan HIV. Kita tidak meminta mereka untuk menyetujui kondom dan/atau juga tidak ada justifikasi agama dalam hal itu. Tapi bisa saja dia bicara tentang kondom sebagai alat kesehatan, dan penggunaanya tergantung pada yang menggunakan. Dan niat ini adalah untuk menyelamatkan. Dari pihak agama sudah ada kemajuan besar dalam melihat kondom dan HIV, memilih dari yang terbaik dan yang buruk dan dipakai sebagai dasar. Saya kira dialog sudah mulai berjalan akan tetapi virus lebih cepat

  Diskusi tentang Agama dan HIV/AIDS dari pendekatan ini.

  Perlu ada bahasa dan konsep bahwa menjaga diri dan lingkungan sangat penting. Untuk environment. To preserve God's command can be menjaga amanah Tuhan, perlu dialog antara kaum also by promoting dialogue between theologians, teolog dan pekerja kemanusiaan dan korban. Orang humanitarian workers, and the victims. A powerful yang powerfull adalah yang tidak konflik dalam person is the one who can control the physical, integrasi antara fisik psikis dan spritiual. Jika hal ini psychological, and spiritual state. Therefore, sinkron akan menjadi lebih bagus. synchronization among the three thus very important. Kita hidup beberapa persen dikendalikan

  Mere interfaith dialogue is not enough since oleh kebiasaan, dialog antar agama saja belum selesai. life is also shaped by the habits of the people. We need Perlu dialog dengan realitas dan ini perlu dibangun. a dialogue which is in accordance with factual

  Perlu proses, tidak hanya bicara sistem tapi juga situations. We need to pay more attention to the proses. Dan memulai proses ini penting. Saya sedang process. It is important to start doing the process. I am menyusun sebuah buku tentang kematian now writing a book on dignified death and its concern bermartabat dan kaitannya dengan ODHA, dan saya to the HIV/AIDS patients. I hope this book will give berharap ini bisa menjadi bahan dialog dengan kaum contribution to develop dialogue with religious agamawan.[KHA] leading figures.[]

  IN

  I Wayan Sadra* s it has been widely known, Indonesia is the largest archipelago

  Opini

  • AGAMA

  I Wayan Sadra* eperti kita ketahui, Indonesia adalah negara yang terdiri dari lebih-kurang

  17. 0 0 0 b uah pulau seh in gga membentuk kepulauan terbesar di dunia. Dengan demikian kitapun paham bahwa hal inilah yang menimbulkan keberagaman dalam banyak hal seperti kondisi alam, suku, bahasa, tradisi, budaya, agama, dll. Dalam konteks kehidupan beragama, semua orang juga tahu bahwa penduduk negeri ini menganut beragam agama yang dalam kurun waktu cukup lama kita tida k pernah mendengar adanya singgungan antar agama yang berarti apalagi intern agama.

  Interfidei newsletter

  in the world that consists of more or less 17,000 islands. This condition results in diversity in many of its aspects, such as physical geography, ethnic, language, tradition, culture, religion, etc. In religious context, there had never been any significant conflicts within and among religions historically even though the people were from various different backgrounds of beliefs.

  C OMMON C HALLENGES TO R ELIGIONS

  I NDONESIA

S

A

  Fakta menunjukkan bahwa ada pihak yang memperlakukan agama seperti partai politik yaitu mencari masa sebanyak-banyaknya. Karena itu upaya untuk mengkonversi orang lain masuk ke agama tertentu terjadi begitu saja di tengah kehidupan masyarakat . S elan j ut nya ada pih ak yan g berkeyakinan bahwa pemahamannya terhadap

  In recent times, mass media is frequently broadcasting news on religious violence and conflicts that cost countless deaths of the people as well as properties. There are several reasons for such conflicts. Group interest is one of the possible causes. It manipulates problems which basically don't relate to religions to religious conflicts. The second cause is related to religion in itself. People understand religion differently. This is even more complicated as there is more than one religion; different understandings results in different approaches.

  There are religious groups who treat religion as a political party. They aim to gain more participants by inviting people to convert to particular religion; this action is apparently observable in our society. There are also groups that believe that certain religion is the most righteous one. They condemn other religions as false teachings thus demand to banish them. These groups try to impel their teachings to others with every possible way, including a violent one which later creates conflict. An endless debate on religion, especially which religion is true and right, has

  Belakangan ini media masa sangat sering menayangkan berita berita tentang pertentangan dan bahkan benturan fisik yang memakan banyak korban harta dan jiwa yang dilatarbelakangi oleh keagamaan. Kenapa ini bisa terjadi? Ada beberapa alasan. Pertama, adanya pihak yang karena kepentingan tertentu mempolitisir permasalahan, sehingga berkembang menjadi persoalan antar agama. Kedua, memang persoalannya adalah persoalan agama. Terjadinya hal ini tentu saja disebabkan oleh pemahaman kita tentang agama masih beragam sehingga perlakuan terhadap agamapun menjadi berbed a beda juga.

  I Wayan Sadra T ANTANGAN B ERSAMA A GAMA

  • The writer is the director of Gendong Gandhi Ashram Candi Dasa Karangasem Bali *Penulis adalah Pimpinan Gendong Gandhi Ashram Candi Dasa Karangasem Bali

Opinion

  agama paling benar sehingga semua paham yang berbeda adalah paham yang salah dan tidak boleh ada. Jika pihak yang disalahkan tidak mau mengikuti pahamnya, pemaksaan kehendak dengan beragam cara sering dilakukan sehingga tidak jarang berakhir pada benturan fisik. Disamping itu, ada pihak yang berkeyakinan bahwa agamanyalah yang benar dan agama yang lain salah. Dalam kehidupan sehari hari kita sering mendengar debat kusir tentang agama dimana masing masing pihak ngotot menyatakan bahwa keyakinannya paling benar. Inipun akan sangat mungkin menimbulkan benturan fisik yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kita tidak mampu menerima perbedaan padahal kalau kita mau jujur, perbedaan itu adalah takdir sehingga kita harus paham bahwa tidak mungkin bagi kita untuk menolaknya dan penolakan berarti pengingkaran terhadap kekuasaan Yang Maha Kuasa. Kenyataan di atas sebenarnya dapat dijadikan sebagai sebuah indikator dari pemahaman kita yang sempit terhadap agama. Jika persoalan semacam ini kita biarkan begitu saja maka selamanya kita akan terjebak dalam pertentan gan yang tidak kita inginkan. Untuk itu ada beberapa hal yang kiranya patut kita cermati.

  Bercermin pada catatan sejarah tentang kerukunan hidup antar umat beragama di masa lampau, dimana kita hampir tidak pernah mendengar adanya konflik antar agama seperti sekarang ini, maka catatan sejarah tersebut semestinya dapat kita jadikan acuan untuk mengarungi kehidupan bersama dalam masyarakat yang serba majemuk. Sebagai landasan untuk mengulangi catatan sejarah tersebut, mutlak harus kita sadari bahwa tidak ada agama yang mengajarkan manusia untuk saling membenci, apalagi saling membunuh. Semuanya mengajarkan kepada kita untuk saling membantu, saling menyayangi, dan saling menghormati. Sangat perlu pula disadari bahwa tidak ada aga ma yang dapat disalahkan karena tidak ada hakim di seluruh dunia yang dapat menjatuhkan vonis bersalah terhadap satu agama karena memang tidak ada alat ukur universal yang dapat dipergunakan untuk mengukur kesalahan agama tertentu. Permasalahannya sekarang adalah seringnya kita memvonis orang lain bersalah dengan menggunakan alat ukur sendiri tanpa mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya agama orang lain. Sikap seperti inilah yang membuat kehidupan kita also triggered violence and religious conflict. These violence and conflict reveal the difficulties to acknowledge diversity while diversity itself is undeniable, it is fate. Therefore, neglecting diversity means traversing the power of God. The facts mentioned above also indicate the narrow perception towards religion. Therefore, to some extent, there are some points to reckon in order to avoid similar conflicts to reoccur.

  Reflecting on the history of religious harmonious life in the past where no inter-religious conflict occurred, is indispensable. History teaches us to live harmoniously. In order to establish the ideal life as is figured out throughout the history, people must understand that there isn't even a single religion prescribes hatred and murder. Every religion teaches its adherents to serve, love, and respect others. There is also no point to blame certain religion for conflicts because of the absence of universal value to judge faults. People tend to apply their own beliefs to judge without attempting to understand others. This is potential to create jarring life.

  Gambar Diambil dari Jurnal Imparsial Edisi Desember 2008 - Maret 2009 Disamping itu, jika kita sadar bahwa setiap manusia memiliki hak dasar termasuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaan masing masing seperti yang tertuang dalam UUD'45, semestinya prilaku untuk saling menghormati pasti bisa terwujud. Tapi sayang sekali bahwa kita sepertinya tidak mau paham dan bahkan cenderung menolak apa yang sudah menjadi kesepakatan hidup bernegara hanya karena ego kita yang berlebihan sehingga kita ingin menegasikan hak orang lain. Patut kita sayangkan juga bahwa sifat egois yang termanifestasikan dalam bentuk ingin menguasai orang lain itu kita bungkus dengan kata “agama” yang jelas jelas kontraproduktif dengan ajaran agama itu sendiri. Paling tidak, dari sekian agama yang saya ketahui seperti: Islam mengatakan: “Lakum di-nukum wali yadi-n” yang artinya : “Bagimu agamamu, bagiku agamaku” ; Hindu menegaskan: “Sarva Dharma samaanatwa” yang artinya: “Hormat terhadap semua agama”. Bagi Hindu, sekedar toleransi terhadap agama lain tidaklah cukup sehingga sikap hormat adalah sebuah kewajiban. Raja Asoka, seorang penganut Buddha, mengatakan: “Ia yang menghina agama orang lain berarti sedang mencaci agamanya sendiri. Ia yang menghormati agama orang lain sedang mencintai agamanya sendiri”. Dari tiga ungkapan di atas sangat jelas bahwa masing masing agama mengekspresikan toleransi dan ras a hormatnya terhadap agama lain. Ungkapan luhur seperti inilah yang seharusnya disosialisasikan dengan baik dan benar, baik itu oleh tokoh tokoh agama maupun oleh institusi agama dan institusi pemerintah sehingga penghakiman terhadap agama lain dapat dihindarkan. Namun harapan seperti itu belum mampu diwujudkan secara maksimal, baik itu oleh institusi agama ataupun pemerintah dan bahkan keputusan keputusan yang mereka buat justru memicu terjadinya peningkatan ketegangan yang ti dak jarang melahirkan tindakan tindakan anarkis yang berakhir pada pembunuhan.

  D alam beberapa kasus yan g sempat ditayangkan oleh media elektronik, aparat kepolisian nampak sangat canggung dalam mengambil tindakan preventif terhadap tindak kekerasan yang berbau agama sehingga terkesan tidak mampu melindungi keamanan masyarakat yang menjadi sasaran. Kasus terbaru adalah PAKEM yang dikeluarkan Kejaksaan Agung. Di samping terkesan konyol karena menyatakan:

  In addition, if people eagerly admit the concept that every human is naturally born with basic rights, including religious right based on individual belief as stated in U U D 1945 (Indonesian Constitution 1945), harmonious life with respect to each other might be achieved. Unfortunately, the tendency to disregard the communal live as nation state, which is developed from ego, disrespects the rights. This ego is also manifested in contradictory action namely intimidation in the name of religion - even though religion never teaches its followers to intimidate other believers. Some religions view the harmonious religious live differently, for example, Islam states that Lakum di-nukum wali yadi-n that means “My religion is mine, your religion is yours”; while Hindu is emphasising on Sarva Dharma samaanatwa or “Respect to all religions.” Tolerating other religions is not enough hence respect is a must. King Asoka, a Buddhist, once proclaimed that “Those who disrespect other's religion are insulting their religion. Yet, those who respect other's religion are honouring their own religion”. These three quotations express tolerance and respect to other religion, and needed the support of religious figures, institutions, also the government. Contradictorily, the policies established so far direct people to conflicts of which mostly lead to persecution.

  In some cases publicized by electronic media, the police seem reluctant to prevent religious conflict, and this implies their failure to protect the people. The newest case is the rule decreed by the Attorney

   “I a yang menghina agama orang lain berarti sedang mencaci agamanya sendiri.

  I a yang menghormati agama orang lain sedang mencintai agamanya sendiri”

  Interfidei newsletter

Opini menjadi tidak nyaman

Opinion

  “Ahmadiyah tidak dilarang tetapi kegiatannya yang dilarang”. Keputusan ini jelas jelas bertentangan dengan UUD'45 sehingga akan terkesan lebih konyol karena yang melanggar Undang Undang Dasar tersebut adalah lembaga negara yang seharusnya menegakkannya. Disamping itu PAKE M yan g dikeluarkan memun culkan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sendiri yang bukan tidak mungkin dapat memicu konflik internal. Jika ini sampai terjadi, bukankah pemerintah itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Oleh karenanya ,secara pribadi saya setuju dengan pendapat beberapa teman yang mengatakan bahwa sebaiknya negara tidak perlu ikut campur dalam urusan agama lebih lebih kalau campur tangannya terkesan memihak kelompok terten tu at au mempolitisirnya. Jika campur tangan semacam itu terjadi dan kemudian melahirkan konflik, bukankah itu artinya negara sendiri yang dengan sengaja membuat konflik. Hal ini tentu saja tidak boleh terjadi karena sebenarnya persoalan yang terjadi di kalangan masyarakat bukanlah persoalan yang berak ar pada agama.

  Jika pemahaman kita terhadap agama memang benar, saya yakin tidak akan ada masalah yang patut kita beri label “konflik antar agama”. Dengan demikian sangat patut dipertanyakan apakah pemahaman kita tentang esensi atau definisi agama itu jelas atau tidak. Dengan kata lain, pertanyaan: “Apa itu agama?” sangat patut kita lontarkan dan perlu pula dicari jawabannya secara bersama. Jika pemahaman kita selalu berbeda beda, tentu saja kita paham bahwa konflik konflik yang muncul pantas terjadi.

  Sebenarnya akar penyebab dari persoalan konflik yang terjadi belakangan ini tidak lain dan tidak bukan adalah keserakahan umat manusia yang tentu saja berakibat pada terjadinya ketidakadilan. Ketika ketidak-adilan itu terjadi maka kemiskinan tidak dapat kita hindarkan; dan ketika kemiskinan itu terjadi orang akan sangat mudah menjadi putus asa. Keputus-asaan inilah yang sering menjadi pemicu tindakan kekerasan karena orang yang putus asa akan berpendapat bahwa mati sekarang atau besok sama saja. Kita patut bersedih jika ada pihak tertentu yang tega teganya menggunakan agama sebagai label dari sebuah konflik karena prilaku tersebut justru merupakan sebuah penghinaan terhadap agama itu sendiri. O leh karenanya

  General's Office which states “Ahmadiah is not banned but its teaching is”. This decree sounds absurd because it contradicts to the national Constitution. The government as a policy maker fails to protect the people. Besides, the rule itself is assumed to accommodate another conflict within Islam, thus is also indicated the government as its initiator. Thus, that nation-state should not involve in the people's religious lives. She also should not incline to privilege particular group and politicize it for certain aim. The nation-state induces conflict, in other words, it is on purpose creating the conflict if it intervenes religiosity of the people.

  If the concept of religion and religiosity is decently conceptualized, it will reduce inter-religious conflict. The question is on how religion is defined and conceptualized or on what religion is. It is valuable to answer them with open mind because different conceptions on religion consequently will develop conflict.

  The truth is that the source of all conflicts recently happened lay on covetousness and injustice. I n j ust ice st imulates pover t y an d pover t y accommodates despair. This despair articulates lawlessness because people do not think about life again because live and death is not important anymore. Perceiving religion as the source of conflict subsequently is an insult for the religion per se. Therefore, it is everyone responsibility, especially public figures in society, religious figures, religion and non-religion institutions, governmental and non-

  Pelarangan Ahmadiyah di Indonesia Gambar diambil dari Jurnal Ekonomi Edisi Desember 2008 - Maret 2009 merupakan tugas bersama bagi kita semua, khususnya tokoh masyarakat, tokoh agama, institusi agama dan non-agama, institusi pemerintah dan non-pemerintah untuk bergandengan tangan guna membangun komunikasi dan silaturahmi lintas agama dalam rangka membangun kerukunan melalui upaya peningkatan pemahaman terhadap agama sendiri dan agama orang lain secara benar sehingga apa yang menjadi kerinduan umat manusia yaitu hidup rukun dan damai dapat diwujudkan.

  Semestinya kita mampu bercermin pada alam. Jika kita melihat sebuah pemandangan yang indah, bukankah ia terdiri dari berbagai komponen yang berbeda beda namun mendapat ruang dan peran masing masing secara proporsional sehingga menjadi sebuah lukisan yang begitu indah sehingga menyejukkan dan menyenangkan yang melihatnya. Dengan demikian, perlukah kita mempertentangkan perbedaan ini? Jawabnya tentu saja “tidak” karena yang menentang perbedaan justru menentang kodrat. Perlu juga disadari bahwa penyeragaman tidak pernah melahirkan keindahan. Disamping bercermin pada p emandangan alam, kita juga dapat berguru pada sungai. Didunia ini ada ribuah sungai yang aliran airnya semua menuju ke satu tujuan yaitu laut. Ketika air dari sekian banyak sungai itu sampai di laut maka tidak lagi ada perbedaannya; semuanya jadi asin.

  Dengan kata lain tujuan semua agama itu sama namun jalan untuk mencapai tujuan boleh berbeda beda. Bukankah ada pribahasa yang mengatakan: “seribu jalan menuju Roma”. Hal lain yang patut kita renungkan adalah bahwa secara budaya masyarakat Indonesia terkenal memiliki rasa toleransi dan rasa hormat yang sangat tinggi. Di Bali, seperti juga ditempat tempat lain, hubungan antar umat beragama telah berjalan harmonis dalam kurun waktu yang begitu lama seperti tercermin dalam kegiatan saling bantu, termasuk kegiatan keagamaan. Bahkan di satu desa yang bernama desa Pegayaman di kabupaten Buleleng, Bali Utara, masyarakat muslim mengadopsi nama khas nama Bali seperti I Nyoman, I Ketut, I Wayan, dan I Made yang kemudian disamb ung dengan nama muslim seperti Muhammad, Karim dsb.

  Jika memang betul kita merasa membutuhkan kerukunan, keadilan, keharmonisan, kesejahteraan bersama, keindahan dll., hal-hal positif seperti terurai di atas dapat dijadikan modal dasar untuk membangun sebuah komunikasi dalam rangka membangun governmental institutions, to work together to build bridge for inter religious communication in order to explication and re-conceptualization of individual religion and other's religion correctly.

  Nature is the best teacher. Beautiful scenery consists of some components that each component possesses its own propositional space and role to form beautiful scenery. This analogy is in line with the present situation that requires us to rethink the endless debate over the diversity among us. Uniformity never leads to beauty. Apart from nature, river is also best teacher to admit the diversity. As every river ends up in sea, the water from each river amalgamate in the sea so there will be no more diversity but salty water, the water of the sea.

  In other words, every religion undergoes different path to achieve the same purpose. One thing to consider is that Indonesia, culturally, well known for her social tolerance and high respect. In Bali, as in other places, inter-religion relation has been established for long time that is observable from its mutual cooperation even in religious event. Moreover, in Pegayaman village district Bulleleng, North Bali, the Moslem society adopt Balinese name such as I Nyomana, I Ketut, I Wayan, and I Made which then combined with Islamic name like Muhammad, Karim etc.

  If it is true that people need harmony, justice, welfare, beauty, etc the positive points mentioned above are the foundations to build beneficial communication to establish power to form communal welfare. In other words, instead of

  K etika ketidak-adilan itu terjadi maka kemiskinan tidak dapat kita hindarkan; dan ketika kemiskinan itu terjadi orang akan sangat mudah menjadi putus asa. K eputus-asaan inilah yang sering menjadi pemicu tindakan kekerasan karena orang yang putus asa akan berpendapat bahwa mati sekarang atau besok sama saja

  Interfidei newsletter

Opini

  Edisi Desember 2008 - Maret 2009 Opinion kekuatan bersama demi kesejahteraan bersama.

  Dengan kata lain, disamping kita harus paham

  menjadi agama-agama yang

  bahwa setiap yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan

  “rahmatan lil a'lamin” yang

  kodratnya, kita harus lebih meningkatkan pemahaman kita terhadap agama sendiri untuk

  membebaskan,

  dapat memahami agama lain. Budaya dan tradisi- tradisi positif yang telah hidup bertahun tahun di

  mensejahterakan, yang

  tengah-tengah masyarakat hendaknya dijadikan cermin untuk hidup rukun dan damai serta mampu

  membawa keadilan bagi

  meneladani alam dalam mewujudkan hidup yang indah. Dengan kesadaran seperti ini saya sangat

  manusia dan alam

  yakin bahwa kerukunan hidup antar umat beragama pasti dapat diwujudkan. Agama-agama akan mampu menj alankan fungsi sosial- seluruhnya. kemanusiaannya. Tidak saja sibuk dengan urusan institusi, perbedaan teologi dan berkonflik, tetapi menjadi agama-agama yang “rahmatan lil a'lamin” perceiving human rights and responsibility as fate, yang membebaskan, mensejahterakan, yang membawa perception on religion and religiosity are crucial to seluruhnya. keadilan bagi manusia dan alam admit diversity in religion. The attitudes and traditions which have survived for generations might

  Candidasa, 30 April 2008 become good model to attain harmonious life by valuing nature to achieve beautiful harmony. This perspective will strongly lead to religious harmonious live accomplishment.

  Candidasa, April 30, 2008 Aktivitas Pembicara bedah buku Jurang Diantara Kita

  KITA : P ROBLEMATIKA D

  ITA : P ROBLEMATIKA D

  Interfidei newsletter

  Passion to teach and learn the phenomena appear in society was another consideration. The discussion tried to dismantle dialogue through Gadamer's and Paul Knitter's perspective. In daily

  Considering DIAN/Interfidei's experience to develop awareness on the importance to perceive diversity for more or less 17 years, it carried messages that diversity was splendid. The speakers of the discussion were Prof. E.G. Singgih, Ph.D., (Professor of Theology of UKDW Yogyakarta), Jaspert Slob (Activist of Percik Salatiga), and Mega Hidayati (Student of Doctoral Program of ICRS of UGM, the writer of “Jurang Diantara Kita”).

  IMPULSE Yogyakarta. The concern was starting from the goal and hopes to accommodate a continuous dialogue to respond to humanity issues especially interfaith dialogue in Indonesia.

  The book discussion was in cooperation with

  humanity. In its 17 anniversary on August 2, 2008, a book discussion entitled “Jurang Diantara Kita: Problematika Dialog Masyarakat Multikultur” was held.

  nstitute DIAN/Interfidei is now 17 years old. 17 years is long standing period to struggle for th

  IALOG M ASYARAKAT M ULTIKULTUR ”

  IANTARA K

  IALOG M ASYARAKAT M ULTIKULTUR ”

  “J URANG D

  1.B

  2. Pertemuan Jaringan antariman se Indonesia ke-4 di Jogjakarta Sikap masyarakat Indonesia terhadap pluralitas agama, dan adat istiadat semakin dipertanyakan. Belakangan ini banyak sekali konflik berkepanjangan yang terjadi hanya karena perbedaan pandangan, ideologi dan keyakinan. Bahkan kekerasan fisik pun tak jarang dilakukan. Hingga nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan budaya

  Disamping membahas buku Mega Hidayati di atas, juga dibahas pemikiran-pemikiran TH Sumartana tentang Pluralisme dan Dialog antar iman.[Anwr]

  Diskusi ini mengupas tentang dialog dalam perspektif Gadamer dan Paul Knitter. Dalam realitas sehari-hari kita hidup dengan prasangka, dan karena itu diperlukan usaha yang bersungguh-sungguh untuk mendorong terciptanya dialog yang komunika tif.

  Kegiatan ini menghadirkan pembicara : PROF. EG. Singgih, Ph.D, (Guru Besar Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta) Jaspert Slob (Aktivis Percik, Salatiga) serta Mega Hidayati (Mahasiswa Doktoral ICRS, penulis Buku “Jurang Di antara Kita”).

  Kegiatan tersebut direalisasikan dalam bentuk diskusi bedah buku bekerjasama dengan IMPULSE Yogyakarta. Hal yang diharapkan dari diskusi ini adalan membuka ruang dialog secara terus menerus untuk menjawab berbagai persoalan kemanusiaan terutama berkaitan dengan hubungan antar iman di Indo nesia.

  untuk kemanusiaan. Salah satu dari rangkaian kegiatan 17 tahun adalah diskusi buku dengan tema “Jurang di antara kita: Problematika Dialog Masyarakat Multikultur”. Diskusi ini berlangsung pada tanggal 2 A gustus 2008.

  idak terasa kehadiran InstitutDIAN/ Interfidei telah menapaki 17 tahun. Rentang waktu yang cukup panjang dalam berjuang

T

I

  Aktivity Karel Steenbrink dalam obrolan informal

  Indonesia menjadi tergerus oleh konflik perbedaan kepentingan, lingkungan hidup terabaikan, masalah-masalah kebangsaan dan kemanusiaan tidak diperhatikan dengan serius.

  Menyikapi kondisi ini, Institut DIAN (Dialog Antariman di Indonesia)/INTERFIDEI, sebagai lembaga yang menginisiasi pertemuan Jaringan Antariman se-Indonesia menyelenggarakan pertemuan ke IV di Puskat, Sinduharjo, Yogyakarta, tanggal 8-10 Agustus 2008 dengan tema ”Masa Depan Pluralisme Agama di Indonesia: Harapan untuk Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan”. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai lembaga dan individu yang memiliki concern yang sama di daerah masing-masing dilaksanakan. Pertama, konferensi berupa seminar nasional dengan menghadirkan dua pembicara, Karel Steenbrink (Profesor Emeritus Universitas Utrecht, Belanda) dan Jalaluddin Rahmat. Dalam seminar ini, Prof. Karel Steenbrink mencoba memaparkan perkembangan keberagaman di Belanda. Ia melihat Belanda mengalami perubahan yang cukup signifikan dari negara yang monokultur menjadi negara yang pluralis. Dalam 40 tahun saja, sejak tahun 1970, umat Islam dari hampir nol persen menjadi 6 % dan penduduk migran lainnya (Ghana, China, Curacao, Polandia, Romania, Bulgaria) mencapai 4 %. Kelompok-kelompok lebih banyak berada di kota-kota, seperti Amsterdam, Den Haag, Rotterdam dan Utrecht, sehingga keberadaan mereka lebih jelas kelihatan. Perubahan ini b u k a n n y a t a n p a masalah , melain kan j u s t r u s e b a l i k n ya . Contohnya, Islam selalu di po j o kk an se b agai a ga m a ya n g f a s i s , intoleran dan penuh kekerasan.

  S e d a n g k a n J al al u ddi n R ah m at men c o b a men gupas pluralisme di Indonesia. D a l a m t a t a r a n ke n e gar aan , b e l i au reality, prejudices against individual or institution belong to the community might exist, and therefore efforts to stimulate communicative dialogue is crucial. Besides Hidayati's book, the discussion was also $on T.H. Sumartana's book about Pluralism and Interfaith Dialogue (Anwar)

  2. Indonesian Fourth Interfaith-Network Meeting- Yogyakarta

  The way people behave toward religious pluralism and tradition these days is questionable. There have been many conflicts occur because of the different perspective, ideology, and faith among the people. Physical violence also arises as the effect of these differences. Values on humanity and local wisdom are discarded by the many different interests.

  Responding to such situation, Institute of DIAN/Interfidei (Interfaith Dialogue Institute), as an institution whose concern is religious pluralism, attempts to respond to such situation by organizing conference and workshop on 8-10 August 2008 at the center of Puskat Audiovisual, Sinduharjo, Yogyakarta. The conference and workshop was themed on” The Future of Religious Pluralism in Indonesia: Hope for Justice, Peace, and the Wholeness of Beings”. There were many participants from various organizations as well as individual ones all over Indonesia who shared the same concern attended the meeting.

  Interfidei had planned series of programs for this event. There was firstly a national seminar presented Karel Steenbrink (an Emeritus Professor from the University of

  Utrecht, the Netherlands) and Jalaludin Rahmat as the keynote speakers. K a r e l S t e e n b r i n k e x a m i n e d t h e development of religiosity in the Netherlands. He n o t e d t h a t t h e Netherlands underwent a s i g n i f i c a n t transformation from a monoculture nation to a plural one. The number

  Edisi Desember 2008 - Maret 2009

  Aktifitas Foto para pembicara

  menyebutkan dua orang presiden yang menghargai pluralisme, yaitu Soekarno dan Gus Dur. Sedangkan di kalangan internal agama, Islam misalnya, ada kelompok fundamentalis yang mengklaim kebenaran tunggal hanya milik mereka. Bahkan simbol-simbol agama sering dipahami secara formalistik. Munculnya kelompok ini dianggap karena pengaruh politik Islam dan secara umum, didukung oleh anak- anak muda yang tidak punya kerja dan mengalami kesulitan ekonomi.