Defenisi penghasilan dapat kita temukan

Syarat Subjektif dan Objektif
Wajib Pajak, sebagaimana defenisi dalam undang-undang adalah orang pribadi atau badan
yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan. Adapun NPWP adalah tanda pengenal bagi
wajib pajak. Ada 2 persyaratan untuk dapat dikategorikan sebagai wajib pajak yaitu syarat
subjektif dan objektif.Syarat subjektif termasuk diantaranya merupakan Warga negara
Indonesia, atau bukan warga negara tapi sebagai subjek pajak dalam negeri. Ada pun syarat
objektif adalah adanya penghasilan yang merupakan objek pajak.
# persyaratan subjektif adalah:
1. Orang Pribadi
Orang pribadi yang telah mengerti hukum dan telah memilki KTP sehingga dianggap mengerti
dan memaham. Contoh: artis cilik yang memiliki penghasilan di atas PTKP setahun, kewajiban
perpajakannya dibebankan kepada orang tuanya karena belum memenuhi syarat subjektif.
2. Badan
Badan Usaha atau Hukum yang melakukan kegiatan di Indonesia. Contoh:
3. Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berubah
Menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris, penunujukan warisan yang belum
terbagi.sebagai subjek penggannti dimkasudkan agara pengenaan pajak atas pengahsilan yang
berasal dari warsan tersebut dapta tetap dilaksanakan.
Misal : Bapak X meninggal dunia kemudaian meninggalkan sebidang tanah yang tidak dijual
atau dibaikan kepada anak atau istir. Sehingga kewajiban perpajakan tanah tersebut
ditanggung oeh ahli waris.

4. Bentuk Usaha Tetap (permanent establishment)
Bentuk usaha yang dipergunakan oelh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada yang berada di Indonesia X< 183 Hari dalam jngka waktu 12
bulan ,dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melaukuan kegiatan di Indonesia.
contoh BUT:
China Co. adalah sebuah perusahaan dari China yang memenangkan tender pembangunan
PLTU di Cilacap. Untuk membangun PLTU tersebut China Co. mendirikan BUT yang akan
beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut, sehingga setelah selesai maka BUT tersebut
akan bubar dan dapat mengajukan penghapusan NPWP. Kewajiban perpajakan BUT adalah

seperti wajib pajak badan dalam negeri. Perbedaannya terjadi apabila setelah pajak dari suatu
BUT dikirim ke luar negeri maka akan dikenakan pasal 26 UU PPhatauapabila ada tax treaty
atau P3B antara Indonesia dan China maka pengenaannya berddasarkan tariff pajak dalam tax
treaty tersebut.

Subjek Pajak dibedakan menjadi subjek Pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Subjek pajak Dalam negeri adalah:
Subjek Pajak Dalam Negeri Adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia

lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
contoh BUT:
China Co. adalah sebuah perusahaan dari China yang memenangkan tender pembangunan
PLTU di Cilacap. Untuk membangun PLTU tersebut China Co. mendirikan BUT yang akan
beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut, sehingga setelah selesai maka BUT tersebut
akan bubar dan dapat mengajukan penghapusan NPWP. Kewajiban perpajakan BUT adalah
seperti wajib pajak badan dalam negeri. Perbedaannya terjadi apabila setelah pajak dari suatu
BUT dikirim ke luar negeri maka akan dikenakan pasal 26 UU PPh atau apabila ada tax treaty
atau P3B antara Indonesia dan China maka pengenaannya berddasarkan tarif pajak dalam tax
treaty tersebut.
Subjek Pajak Luar Negeri Adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan


b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
persyaratan Objektif:
adanya penghasilan yang merupakan objek pajak. Defenisi penghasilan dapat kita temukan
dalam Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan:
“yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun.” Sedangkan yang termasuk objek pajak antara lain:
1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau
imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3. laba usaha;
4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

b. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta
kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilalihan usaha;
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
5.

penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;

6.

bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;


8.

royalti;

9.

sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. premi asuransi;
15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa
tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur

dengan Peraturan Pemerintah.
Jadi apabila Subjek Pajak tersebut memperoleh penghasilan sebagaimana penjelasan di atas
dalam masalah objek pajak dan/atau mempunyai kewajiban pelaksanaan pemotongan dan
pemungutan maka ini berarti subjek pajak tersebut telah memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif.

Setelah mengetahui Persyaratan Subjektif dan Objektif Wajib Pajak, maka selanjutnya yang perlu
kita ketahui adalah Kewajiban dan Hak Wajib Pajak. Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi
adalah mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)
Nomor Pokok Wajib Pajak merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan:
sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. 
menjaga ketertiban dalam

pembayaran pajak dan dalam

pengawasan administrasi


perpajakan. 
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan
Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri
untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai
sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Fungsi NPWP :
1. Sarana dalam administrasi perpajakan
2. Tanda pengenal diri atau identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan
3. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan
Saat pengajuan NPWP
Bagi Wajib pajak badan: WP badan harus mendaftarkan diri mendapatkan NPWP, paling lama 1
bulan setelah saat usaha mulai dijalankan, yaitu terjadi lebih dahulu antara pendirian dan usaha
nyata-nyata mulai dilakukan.
Pengajuan NPWP bagi WPOP
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor

Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan
Wajib Pajak dan kepadanya diberikan NPWP.
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas termasuk
Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dan Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri
untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan
bebas, apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
paling lama pada akhir bulan berikutnya.
Pengukuhan NPWP secara jabatan
Terhadap WP yang telah wajib untuk memiliki NPWP, tetapi tidak memenuhi kewajiban untuk
mendaftarkan diri maka dapat diterbitkan NPWP secara jabatan. Hal ini dilakukan berdasarkan
data yang diperoleh atau dimiliki oleh DJP ternyata OP atau Badan tersebut telah memenuhi

syarat untuk memperoleh NPWP. Pemberian NPWP jabatan tersebut dapat dilakukan
berdasarkan penelitian ataupun pemeriksaan oleh DJP berdasarkan data-data yang ada.
Kewajiban perpajakan bagi WP yang diterbitkan NPWP atau PKP jabatan dimulai sejak saat
WP memenuhi syarat subjektif dan objektif paling lama 5 tahun sebelum diterbitkannya NPWP
atau dikukuhkannya sebagai PKP.


Perlakuan NPWP bagi wanita menikah
Kepemilikian NPWP tetap wajib bagi wanita yang telah menikah dan bekerja memiliki
penghasilan diatas PTKP, bagi wanita yang telah menikah, pendaftaran dilakukan dengan:
Mendatangi langsung Kantor Pelayanan Pajak dimana NPWP Suami Terdaftar, ( Lihat alamat
KPP berdasarkan kode 3 digit dari 6 digit terakhir di NPWP Suami ) – lalu mengisi Formulir
pendaftaran dan melampirkan Copy NPWP Suami + Surat Nikah, maka wanita yang telah
menikah tersebut akan mendapatkan NPWP yang sama dengan suami hanya digit terakhirnya
saja yang berbeda, kirimkan Copy NPWP ke HRD tempat istri bekerja untuk diupdate di data
HRD.
Contoh NPWP Suami – istri (jika istri menginduk pada NPWP suami):
NPWP Suami 05.123.456.6-xxx.000 dan NPWP istri 05.123.456.6-xxx.001. Dengan NPWP
tersebut istri tidak perlu lagi membuat pelaporan SPT Tahunan pada akhir tahun, cukup
memberikan Form 1721 A1 ( Form yang dicetak oleh Pemberi kerja pada 2-3 bulan setelah
Tahun berakhir, feb-mar ) kepada suami, dan suami akan melaporkan pajak Tahunannya dan
dengan melampirkan 1721 A1 miliknya dan milik Istrinya.
Dengan syarat : Suami harus sudah memiliki NPWP Pribadi, jika belum maka harus menunggu
suami memiliki NPWP atau langsung mendaftarkan terlebih dahulu sebagai diri sendiri.
Wanita Menikah yang Memiliki NPWP Sendiri
Sesuai dengan UU PPh No 36 Tahun 2008 Pasal 8 Ayat (2) wanita yang telah menikah dapat
memiliki NPWP sendiri dengan memenuhi salah satu syarat berikut:



Suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim



Dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan



Dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri.

Jika sudah terlanjur memiliki NPWP , bagaimana jika ingin menginduk dengan NPWP
Suami ?
Sama dengan pendaftaran NPWP awal hanya saja kelengkapannya ditambah Copy NPWP Istri
yang sudah terlanjur dibuat terpisah dari suami, KPP akan menerbitkan NPWP Baru dengan
nomor sama dengan NPWP Suami hanya digit terakhir yang berbeda, dan NPWP Istri yang
lama akan dihapus, Copy NPWP baru ( yang sudah menginduk dengan suami ) dikirim ke HRD

untuk di update pada data HRD.
Untuk kepemilikan NPWP yang terpisah ada 3 syarat seperti penjalasan di atas. Dari 3 syarat
tersebut hanya 2 penerapan penghitungan dalam menghitung pajak yang terutang.
Lalu bagaimana dengan kasus penyelesaian persoalan apabila suami istri mengadakan
perjanjian pisah harta? Apakah merugikan Negara?
Sesuai dengan SE-29/PJ/2010 tentang pengisian Surat Pemberitahuan tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri, bahwa apabila pasangan sumai istri mengadakan perjanjian pisah harta
maka wajib hukumnya bagi istri untuk mempunyai NPWP sendiri. Dengan memiliki NPWP
sendiri maka dalam penghitungan NPWP-nya harus menggabungkan penghasilan suami dan
istri untuk mendapatkan penghasilan neto yang akan dipotong PTKP. Oleh karena itu apabila
kita melihat dari sudut pandang Negara, maka hal ini justru menguntungkan. Karena pajak yang
akan dibayarkan akan lebih besar dibanding menghitung pajak sendiri-sendiri.
Bila dibandingkan dengan suami istri yang tidak memiliki perjanjian pisah harta dan NPWP
sama dengan suami, istri tidak perlu membayar pajak. Dan kewajiban pelaporannya cukup
dilampirkan pada SPT milik suami. Namun, bila memiliki perjanjian pisah harta, otomatis akan
memiliki NPWP yang berbeda dengan suami. Dengan kata lain dalam menjalankan kewajiban
perpajakannya tidak dapat disatukan dengan suami, namun dalam penghitungannya PPh-nya

hanya terkena satu kali PTKP. Karen acara penghitungan penghasilan netonya digabungan
dengan penghasilan suami. Yang menyebabkan penghasilan neto menjadi besar, sehingga tarif
pajak yang dikenakan pun akan semakin tinggi akibat tarif progresif. Dengan semakin tingginya
pajak yang dibayarkan, tentu saja semakin menguntungkan Negara. Bukan sebaliknya!
Kesimpulan
Wajib Pajak, sebagaimana defenisi dalam undang-undang adalah orang pribadi atau badan
yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan. Adapun NPWP adalah tanda pengenal bagi
wajib pajak. Ada 2 persyaratan untuk dapat dikategorikan sebagai wajib pajak yaitu syarat
subjektif dan objektif.
Nomor Pokok Wajib Pajak merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan:


sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. 



menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi
perpajakan. 

Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan
Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri
untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi Wajib pajak badan: WP badan harus mendaftarkan diri mendapatkan NPWP, paling lama 1
bulan setelah saat usaha mulai dijalankan, yaitu terjadi lebih dahulu antara pendirian dan usaha
nyata-nyata mulai dilakukan.
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas termasuk
Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dan Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri
untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan
bebas, apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
paling lama pada akhir bulan berikutnya

Terhadap WP yang telah wajib untuk memiliki NPWP, tetapi tidak memenuhi kewajiban untuk
mendaftarkan diri maka dapat diterbitkan NPWP secara jabatan. Hal ini dilakukan berdasarkan
data yang diperoleh atau dimiliki oleh DJP ternyata OP atau Badan tersebut telah memenuhi
syarat untuk memperoleh NPWP. Pemberian NPWP jabatan tersebut dapat dilakukan
berdasarkan penelitian ataupun pemeriksaan oleh DJP berdasarkan data-data yang ada.
Sesuai dengan UU PPh No 36 Tahun 2008 Pasal 8 Ayat (2) wanita yang telah menikah dapat
memiliki NPWP sendiri dengan memenuhi salah satu syarat berikut:


Suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim



Dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan



Dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri.

Sesuai dengan SE-29/PJ/2010 tentang pengisian Surat Pemberitahuan tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri, bahwa apabila pasangan sumai istri mengadakan perjanjian pisah harta
maka wajib hukumnya bagi istri untuk mempunyai NPWP sendiri. Dengan memiliki NPWP
sendiri maka dalam penghitungan NPWP-nya harus menggabungkan penghasilan suami dan
istri untuk mendapatkan penghasilan neto yang akan dipotong PTKP. Oleh karena itu apabila
kita melihat dari sudut pandang Negara, maka hal ini justru menguntungkan. Karena pajak yang
akan dibayarkan akan lebih besar dibanding menghitung pajak sendiri-sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://padyangantaxcenter.blogspot.com/2013/08/subjek-pajak-dan-wajib-pajak.html
http://kang-dana.blogspot.com/2013/04/kapan-saat-wajib-memiliki-npwp.html
http://ekstensifikasi423.blogspot.com/2014/04/syarat-subjektif-dan-syarat-objektif.html
http://www.stpi-pajak.com/halkomentar-124-aspek-perpajakan-kawin-dengan-pisah-185.html
http://www.pajakpribadi.com/artikel/wanita_kawin.html

https://triyani.wordpress.com/tag/pisah-harta/

YANG MASIH KOSONG
Latar Belakang (Mutia)
Nama Kelompok
Cara mengajukan NPWP 1(Mutia)
Ex: fotokopi KTP
Bagaimana penyelesaian peroalan ynag tri suami psaih harta tu, merugikan Negara apa ngga
terus gmana jadinya(Sandiko)
Kesimpulan(Sandiko)

Dokumen yang terkait

Wajib membasuh air kencing dan najis-najis lain yang ada di mesjid dan bahwa tanah dapat disucikan dengan air tanpa harus menggalinya

0 26 1

Analisis perbandingan sebelum dan sesudah penerapan undang-undang perpajakan nomor 36 tahun 2008 mengenai zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak dan implikasinya terhadap perubahan jumlah wajib pajak orang pribadi (studi pada KPP Pratama Serpong)

2 24 111

Analisis pengaruh tingkat penghasilan dan sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk wajib pajak orang pribadi di wilayah Kembangan Jakarta Barat

2 47 67

Persepsi para guru tentang perpajakan dan pemotongan pajak penghasilan orang pribadi atas dana bantuan operasional sekolah (studi kasus SDN dan SMPN se-Jakarta Barat)

2 46 99

Sistem pemotongan pajak penghasilan pasal 21 di PT.PLN (persero) Unit Bisnis Distribusi Jawa Barat : laporan kerja praktek

0 12 45

Pengaruh penetapan pajak penghasilan pasal 21 terhadap pencatatan gaji pegawai Kantor Pelayanan Pajak Bandung Karees

0 6 49

Pelaksanaan penghitungan dan penyetoran pajak penghasilan badan pada PT.Pos Indonesia (persero)

0 3 1

Tinjauan terhadap penerimaan pajka penghasilan Pasal 21 pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Karees

0 8 68

Tinjauan atas sistem akuntansi pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai di PT.Pos Indonesia (persero)

1 5 54

Prosedur penghitungan dan pelaporan pajak penghasilan pasal 22 oleh Unit Pelayanan Pendapatan Daerah Propinsi Wilayah XXIII Padalarang pada Kantor Pelayanan Pajak Padalarang : laporan kerja praktek

0 3 39