KONDISI SOSIAL EKONOMI KOMUNITAS PEMULUNG DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) MUARA FAJAR RUMBAI PEKANBARU: FENOMENA DAN SOLUSI

KONDISI SOSIAL EKONOMI KOMUNITAS PEMULUNG DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) MUARA FAJAR RUMBAI PEKANBARU: FENOMENA DAN SOLUSI

Asliati

Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau [email protected]

Abstrak

Salah satu masalah sosial yang ada di tengah masyarakat adalah masalah kemiskinan. Adapun kemiskinan tidak akan bisa di berantas kalau hanya sebatas di jadikan bahan diskusi. Untuk itu perlu langkah konkrit untuk mengatasi kemiskinan tersebut. Karya tulisan ini hasil penelitian penulis di mana berusaha mengemukakan fakta sesuai fenomena yang ada dilapangan melalui hasil observasi dan wawancara dengan pemulung dan sumber terkait. Dalam tulisan ini penulis berupaya mengungkap fenomena pemulung di TPA Muara Fajar dan mengadakan analisis selanjutnya ditawarkan solusi. Tinjauan teori dikemukakan tentang seluk beluk pemulung dan konsep kemiskinan. Sangat banyak tinjauan definisi pemulung namun dapat disimpulkan pemulung adalah seorang atau sekelompok manusia yang penghidupannya diperoleh dari mencari atau mengumpulkan barang-barang bekas yang telah terbuang di tempat pembuangan sampah sebagai barang bekas. Sedangkan kemiskinan disimpulkan adalah kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Setelah data didapatkan dan dilakukan analisis maka diperoleh kesimpulan bahwa kondisi social ekonomi komunitas pemulung di TPA Muara Fajar Rumbai Pekanbaru adalah berada pada level memprihatinkan, hal ini berdasarkan tinjauan terhadap beberapa faktor berikut Faktor Pendidikan rata-rata pemulung hanya menamatkan Sekolah Dasar (SD). Faktor Pekerjaan bahwa pemulung tidak mempunyai pilihan lain karena keterbatasan akses kepada pekerjaan pada sektor formal. Faktor Penghasilan bahwa rata-rata hasil yang didapat dari pekerjaan sebagai pemulung hanya mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari dan sangat kesulitan ketika ingin memenuhi kebutuhan sandang dan papan. Faktor Perumahan kebanyakan pemulung yang ada di TPA Muara Fajar belum memiliki rumah sendiri dan hidup dalam rumah kontrakan yang sempit dengan jumlah keluarga tergolong besar dengan jumlah anak 3 sampai 6 orang. Faktor Pelayanan kesehatan bahwa pemulung cenderung ketika sakit tidak tidak buru-buru berobat ke Rumah Sakit atau ke Puskesmas dengan alasan keterbatasan biaya dan apabila berobat memakai kartu berobat gratis pemulung tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya. Adapun solusi yang ditawarkan adalah memberikan pelatihan life skill dengan harapan memperoleh penghidupan yang lebih baik.

Kata Kunci: isi, format, artikel .

PENDAHULUAN penduduk lebih padat dibandingkan dengan pedesaan muncul masalah yang sangat krusial

Masalah kemiskinan di Indonesia seperti sampah. Sampah sebagai hasil sampingan

merupakan masalah yang yang tidak habis- dari berbagai aktifitas dalam kehidupan manusia habisnya di bicarakan. Berbagai program maupun sebagai hasil dari proses alamiah, pemerintah digelontorkan

dalam usaha

seringkali menimbulkan permasalahan terutama pengentasan kemiskinan. Namun program

di perkotaan. Semakin berkembang suatu kota tersebut yang notabene memakan anggaran akibat pertambahan jumlah penduduk serta Negara yang tidak sedikit tetapi tidak mencapai

peningkatan aktifitas hidupnya menyebabkan hasil yang maksimal. Pada tahun 2012 APBN masalah yang ditimbulkan oleh sampah semakin mengeluarkan anggaran 1.548 Trilyun untuk

besar dan kompleks.

pengentasan kemiskinan namun anggaran Volume sampah yang semakin meningkat tersebut cenderung tidak tepat sasaran sehingga baik jumlah timbunan sampah maupun jenisnya, angka kemiskinan berkurang hanya berkisar serta kurangnya proses pengelolaan sampah yang antara 1-1.5 juta jiwa pertahun. memenuhi syarat kesehatan, merupakan masalah Pada saat ini dengan besarnya jumlah yang harus ditanggulangi secara benar dan penduduk di Indonesia tentu saja memerlukan terpadu sehingga memerlukan kerjasama dari lapangan pekerjaan yang banyak. Pemerintah berbagai pihak. Dalam hal ini pemerintah harus berpikir keras supaya bagaimana setempat mencari solusi bagaimana supaya penduduk miskin bisa diberdayakan. Di sampah tidak menimbulkan dampak bagi perkotaan misalnya dengan kuantitas jumlah

Sosial Budaya (e-ISSN 2407-1684 | p-ISSN 1979-2603)

Sosial Budaya, Volume 14, Nomor 02, Desember 2017, pp. 150 - 164 lingkungan

yang ruang lingkupnya pekerjaan dan Pembuangan Akhir (TPA).

kesejahteran sosial.

Awalnya TPA dibangun sudah tentu Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bertujuan untuk menampung segala jenis

kata sosial berarti segala sesuatu yang berkenaan sampah. Seharusnya sampah-sampah tersebut

dengan masyarakat (KBBI, 1996 : 958). dikelola sesuai dengan teori-teori yang ada.

Sedangkan dalam konsep sosiologi, manusia Namun kenyataan di lapangan bahwa

sering disebut sebagai makhluk sosial yang pengelolaan sampah tidak berjalan sebagaimana

artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa mestinya sehingga muncul masalah baru yakni

adanya bantuan orang lain di sekitarnya. terjadinya penumpukan sampah. Ditengah

Sehingga kata sosial sering diartikan sebagai hal- timbunan sampah yang menggunung terlihat

hal yang berkenaan dengan masyarakat. fenomena yang tak biasa. Tak jarang masyarakat

Sementara istilah ekonomi sendiri memanfaatkan tumpukan sampah-sampah

berasal dari kata Yunani yaitu “oikos” yang tersebut sebagai tempat untuk mencari nafkah.

berarti keluarga atau rumah tangga dan “nomos” Permasalahan sampah di Pekanbaru

yaitu peraturan, aturan, hukum. Maka secara berasal dari buangan sampah pemukiman,

garis besar ekonomi diartikan sebagai aturan sampah pasar, sampah pertokoan, sampah dari

rumah tangga atau manajemen rumah tangga. lembaga pendidikan, perkantoran, sarana atau

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , fasilitas umum dan lain sebagainya. Salah satu

ekonomi berarti ilmu yang membahas mengenai TPA yang terdapat di Kota Pekanbaru adalah

asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian TPA Muara Fajar yang berlokasi di jalan Yos

barang-barang serta kekayaan (seperti keuangan, Sudarso Rumbai. Keberadaan TPA ini

perindustrian dan perdagangan) (KBBI, 1996 : dimanfaatkan oleh komunitas para pemulung

dalam mencari rezeki untuk memenuhi Berdasarkan beberapa pengertian diatas, kebutuhan sehari-hari. Kehidupan keseharian

maka dapat disimpulkan bahwa sosial ekonomi komunitas pemulung di TPA Muara Fajar

adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Rumbai Pekanbaru tidak jauh berbeda dengan

pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain, komunitas pemulung di TPA lainnya di

sandang, pangan, perumahan, pendidkkan, Indonesia. Dari jam kerja yang panjang dan tak

kesehatan dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan tentu ( dari pagi hingga malam ), gangguan

tersebut berkaitan dengan penghasilan. kesehatan yang menghantui para pemulung

Menurut Melly G Tan bahwa kedudukan sampai masalah kondisi lingkungan TPA yang

sosial ekonomi mencakup 3 (tiga) faktor yaitu sewaktu-waktu dapat mengancam nyawa

pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan. mereka. Semua itu seakan tidak dapat

Berdasarkan pendapat ini masyarakat tersebut menghalangi mereka untuk mengais sampah

dapat digolongkan kedalam kedudukan sosial demi menghasilkan rupiah untuk kelangsungan

sedang dan tinggi kehidupan keluarganya di tengah desakan

ekonomi

rendah,

(Konntjoroningrat, 1981 : 35). Pendapat diatas kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi.

didukung oleh Mc. Mahbud UI Hag dari Bank Dunia bersama dengan James Grant dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

Overseas Development Council mengatakan

1. Pengertian Sosial Ekonomi bahwa kehidupan sosial ekonomi dititikberatkan

kesehatan, pendidikan, Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas

pada

pelayanan

perumahan dan air yanag sehat yang didukung secara bersamaan. Pengertian sosial dan oleh pekerjaan yang layak ( Melly dalam pengertian ekonomi sering dibahas secara

Susanto, 1984).

terpisah. Pengertian sosial dalam ilmu sosial

menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat.

Sedangkan pada

departemen

sosial

menunjukkan pada kegiatan yang ditunjukkan

pada untuk mengatasi persoalan yang dihadapi

oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan

Asliati : Kondisi Sosial Ekonomi Komunitas...

2. Pengertian Komunitas

Dinas Kebersihan DKI Jakarta Tahun Komunitas adalah sebuah kelompok soaial

1990 (Simanjuntak, 2002) mendefinisikan dari beberapa organisme yang berbagi

pemulung sebagai :

lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan

a. Pemulung merupakan bagian masyarakat atau habitat yang sama. Dalam komunitas manusia,

WNI yang mempunyai hak dan kewajiban individu-individu didalamnya dapat memiliki

yang sama sesuai dengan UUD 1945. maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi,

b. Pemulung adalah pelaku penting dalam kebutuhan, resiko dan sejumlah kondisi lain

proses daur ulang (recycling) sampah sebagai yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa

salah satu bagian dalam penanganan sampah Latin communitas yang berarti “kesamaan”,

perkotaan maupun pedesaan. kemudian dapat diturunkan dari communis yang

c. Pemulung adalah salah satu pemelihara berarti “sama, publik, dibagi oleh semua atau

lingkungan hidup yang menyerap sebagian banyak”. (Wenger, 2002 : 4). Menurut Crow dan

sampah untuk dapat diolah menjadi barang Allan, komunitas dapat terbagi menjadi 3

yang berguna bagi masyarakat. komponen : 1. Berdasarkan lokasi atau tempat

d. Pemulung adalah orang yang bekerja wilayah atau tempat sebuah komunitas dapat

memunguti dan mengumpulkan sampah dan dilihat sebagai tempat dimana sekumpulan orang

memanfaatkan sampah-sampah tersebut mempunyai sesuatu yang sama secara geografis.

untuk menambah penghasilan mereka.

2. Berdasarkan minat, sekelompok orang yang Pemulung dikategorikan menjadi dua, mendirikan suatu komunitas karena mempunyai

yaitu pemulung jalanan atau pemulung keliling, ketertarikan dan minat yang sama misalnya

yaitu pemulung yang hidup bebas dijalanan dan agama, pekerjaan, suku, ras, maupun

pemulung tetap, ayitu pemulung yang berdasarkan kelainan seksual. 3. Berdasarkan

mempunyai rumah (bedengan) yang berada komuni-komuni dapat berarti ide dasar yang

disekitar TPA atau sekitar lapak (tempat menjual dapat mendukung komunitas itu sendiri.

barang hasil pulungan pemulung) (Twikromo,

3. Pemulung

Usia pemulung sampah beraneka ragam, sekelompok manusia yang penghidupannya

Pemulung adalah

seorang

atau

mulai dari anak-anak yang secara substansial diperoleh dari mencari atau mengumpulkan

menganggur dipaksa untuk membantu ekonomi barang-barang bekas yang telah terbuang di

rumah tangga hingga usia diatas 40 tahunan. tempat pembuangan sampah sebagai barang

Lebih dari separuh pemulung tidak mengecap bekas (Pramuwito, 1992 dalam Ameriani, 2006).

pendidikan SLTP, mereka memang sempat Pemulung adalah mereka yang bekerja

sekolah namun hanya sekedar dapat baca tulis. mendayagunakan barang-barang yang diperoleh

Gambaran tepat tentang pemulung tidak dari sampah kota, tidak termasuk rumah tangga

diperoleh secara pasti. Hal ini karena lemahnya dan pembantu yang memilah-milah koran

perhitungan statistik karena para peneliti kemudian dijual bilamana waktunya tepat dan

mengalami kesulitan untuk menghitung mereka. pengusaha besar yang membeli dan menjual

Jumlah pemulung tidak pernah konstan, tetapi barang-barang bekas ( Birkbeck, 1976).

mengalami pasang surut. Pekerjaan pemulung itu Pemulung sampah merupakan komponen

mudah dan tidak memerlukan modal dan yang tampak dalam suatu sistem, ditandai

ketrampilan tinggi sehingga banyak orang yang dengan karung yang dibawa ataupun gerobak

terjun menjadi pemulung dalam tempo yang kecil.

singkat (Lumingkewas, 1997). pengangguran yang menggunakan waktu

Pemulung

tidak sama

dengan

Alasan menjadi pemulung sangat beragam, sambilan untuk mengumpulkan carikan kertas.

namun alasan yang paling banyak dikemukakan Banyak orang yang terjun menjadi pemulung

adalah profesi ini tidak memerlukan persyaratan dalam tempo yang singkat. Pemulung bukanlah

tertentu, seperti pendidikan, ketrampilan dan pekerja

modal, tidak ada alternatif pekerjaan lain, (Birkbeck, 1976).

Dinas Kebersihan

Kotamadya

pekerjaan ini mudah dilakukan dan ada relasi yang sudah bekerja lebih dulu di kota. Alasan berikutnya, pekerjaan memulung memiliki resiko

Sosial Budaya, Volume 14, Nomor 02, Desember 2017, pp. 150 - 164 rendah karena hanya bermodalkan tenaga (tidak

Pemulung merupakan ujung tombak bagi mengeluarkan modal seperti kita bercocok

para pedagang sampah daur ulang. Pemulung tanam) maka pemulung sudah dapat merasakan

tidak independen menentukan harga, bahkan hasilnya secara langsung asalkan pemulung

untuk memilih pembeli yang lebih baik pun tersebut rajin bekerja (Ameriani, 2006).

tidak bisa. Pabrik yang menentuka harga untuk Pemulung selalu diidentikkan oleh kaum

harga barang bekas, hal itu yang mendasari miskin, namun penelitian di Cali Colombia

pembatasan aliran pendapatan ke pemulung memaparkan bahwa pemulung merupakan suatu

sehingga para pemulung perlu menyatu dengan pekerjaan dan pendapatan mereka jauh lebih

rekannya dan berserikat kerja serta menuntut besar dari buruh pabrik (Birkbeck, 1976). Tetapi

harga yang lebih tinggi atau meningkatkan tetap saja walaupun penghasilan lebih tinggi dari

produktivitasnya (Santoso, 2000). Dalam hal ini buruh pabrik namun mereka dalam situasi yang

bukan menambah jam kerja mencari pulungan berbeda. Akan tetapi tempak jelas bahwa orang

tetapi lebih ke ketrampilan pemulung. akan keluar-masuk dari dan ke pekerjaannya

jalanan dalam sebagai pemulung dan pekerjaan tersebut lebih

Cara

pemulung

melaksanakan aktivitas dipandang sangat kotor, berfungsi sebagai penyangga hidup, yang

karena mereka bergulat dengan sampah setiap berlainan dengan konsep kemiskinan absolut

harinya. Walaupun jumlah penghasilan mungkin yang dikemukakan oleh Keith Hart tahun 1985.

lebih tinggi dari para pegawai negeri golongan Ada hal menarik dari hasil pengamatan

paling rendah, mereka tetap dipandang inferior. yang dilakukan di Cali, Colombia mengenai

Melihat pemulung dengan segala kekurangan pemulung yaitu suatu ungkapan bahwa

bukan berarti menganggap mereka sama sekali pemulung adalah cerminan dari kemiskinan dan

tidak memiliki profesi (Twikromo, 1999). bukan penyebab kemiskinan (Birkbeck, 1976).

Pemulung merupakan bagian dari kejelian Seperti yang kita ketahui bahwa pemulung

dan kegigihan seseorang melihat peluang dan adalah sekelompok orang yang terpaksa

mau bekerja keras yang didukung ekonomi kota melakukan pekerjaan memulung barang bekas

yang memberikan kemungkinan lebih besar bagi karena tidak ada pekerjaan yang dapat mereka

para anggota rumah tangga miskin untuk lakukan. Dan terkadang masyarakat dan

mengakses peluang kerja disekitar informal kota. pemerintah

tergantung dari pemulung merupakan suatu profesi (pekerjaan).

tidak menyadarinya

banyaknya hasil pulungannya. Jadi setiap Hal ini juga sesuai dengan konsep kerja menurut

pemulung mempunyai pendapatan yang berbeda Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun

tergantung seberapa gigih pemulung berusaha 1991 bahwa kerja adalah kegiatan melakukan

(Twikromo, 1999).

sesuatu. Pemulung jelas melakukan sesuatu yaitu Bagi pemulung sangat sulit untuk dapat mengumpulkan barang bekas. Oleh karena itu,

menyimpan uang. Kebanyakan diantara mereka pemulung bukanlah pengangguran yang tidak

terlibat hutang. Oleh karena itu, orang-orang mempunyai kegiatan. (Ameriani, 2006)

yang memberikan pinjaman kepada pemulung Dalam tulisan Crish Birkbeck menjelaskan

dapat menjadi tokoh yang berpengaruh dan bahwa pemulung bergantung pada pabrik.

berkuasa. Hubungan diantara pemulung dan Namun, pernyataan itu dibantah oleh Suparlan

bidang uang dengan para tetangga dapat (1981) yang menyatakan bahwa pemulung

berubah menjadi suatu ikatan hubungan merupakan armada murah buat pabrik.

pelindung dengan yang dilindungi (patron client Pemulung yang selalu mensuplai kebutuhan

relationship ) (Mangiang et al. 1979). pabrik namun ia dibayar dengan sangat rendah

Pemulung menjadi miskin bukanlah sekali. Pemulung bukanlah karyawan pabrik,

karena mereka tidak bekerja atau kurang jumlah namun mereka bagian dari sistem industri

kerjanya. Tetapi mereka miskin karena faktor- tersebut. Mereka bekerja untuk pabrik tetapi

faktor struktural yang menghalangi pemulung mereka tidak memperoleh gaji dari pabrik. Oleh

untuk memperoleh kelebihan keuntungan dari karena itu kemiskinan mereka terletak pada

kegiatan pulungan yang mereka lakukan dan hubungannya dengan industri.(Crish Birkbeck:

untuk pemulung mengakumulasikan uang. Selain 1976)

itu,

karena

pemulung tidak dapat

Asliati : Kondisi Sosial Ekonomi Komunitas... mendayagunakan kesempatan yang ada karena

bertempat tinggal dan merupakan benalu di kesempatan tersebut dikuassai oleh satu pihak

kota. Padahal pemulung mempunyai kontribusi dalam hal ini lapak ataupun bandar-bandar

yang besar pada lingkungan kota (Suparlan, (Mangiang: 1979).

Pada dasarnya, banyak batasan dihadapi

4. Pengertian Kemiskinan

oleh para pemulung yang hidup di daerah Sejauh ini studi tentang kemiskinan sudah perkotaan. Banyak peraturan dan common sense

sangat banyak dilakukan, namun pertanyaan masyarakat kota yang mendukung pembangunan

tentang apa itu kemiskinan dan faktor apa saja kota telah membuat pemulung hidup di bawah

yang menyebabkan kemiskinan itu sulit tekanan-tekanan

diberantas masih terdapat pendapat yang demikian, beberapa di antara mereka masih

sosial-budaya.

Walaupun

simpang siur. Berbeda pendapat para ahli dalam dapat

masalah ini. Levitan (1980) misalnya kehidupannya (Twikromo, 1999). Sebagian besar

mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan pemulung masih menyadari keberadaannya

barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dalam masyarakat kota.

dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup Pemulung

yang layak. Schiller (1979), mengemukakan diskriminatif masyarakat kota seperti tidak

menerima

sikap-sikap

bahwa kemiskinan adalah ketidaksanggupan diperbolehkan masuk ke daerah tertentu.

untuk mendapatkan barang-barang dan Banyaknya tulisan “pemulung dilarang masuk”

pelayanan-pelayanan yang memadai untuk di sudut-sudut perkampungan/perumahan

memenuhi kehidupan sosial yang terbatas. ataupun perkantoran

Selanjutnya dengan nada yang sama Emil Salim keberadaan mereka belum sepenuhnya dihargai

juga

menandakan

mendefinisikan kemiskinan sabagai kurangnya masyarakat. Larangan-larangan itu resistensi

pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang menyakitkan bagi kaum pinggiran seperi

yang pokok (Ala: 1981).

mereka (Twikroo, 1999). Banyak bukti menunjukkan bahwa yang Pemerintah cenderung menggunakan

disebut orang atau keluarga miskin pada langkah penekanan dari pada memberi

umumnya selalu lemah dalam kemampuan kelonggaran terhadap keberadaan orang jalanan

berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegitan termasuk pemulung. Dengan demikian,

ekonomi sehingga seringkali makin tertinggal pemulung akan terperangkap ke dalam suatu

jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi pengucilan sosial dari masyarakat kota pada

labih tinggi. Wignjosoebroto dkk (1992) umumnya. Masalah keindahan dan tata kota

melakukan studi tentang kehidupan masyarakat kerap menjadi alasan pemerintah untuk menata

rentan di kotamadya Surabaya dan menemukan kawasan kumuh. Padahal tidak sedikit juga

bahwa seseorang atau sebuah keluarga yang pemulung menata tempat yang dianggap kumuh

dijejas kemiskinan, mereka umumnya tidaklah menjadi lebih baik (Twikromo, 1999).

banyak berdaya, ruang geraknya serba terbatas, Pemulung tidak pernah terlibat atau

dan cenderung kesulitan untuk terserap dalam dilibatkan dalam proses perkembangan kota.

sektor-sektor yang memungkinkan mereka dapat Mereka juga jarang disentuh oleh dampak positif

mengembangkan usahanya. Jangankan untuk perkembangan kota. Kepentingan-kepentingan

mengembangkan diri menuju ke taraf sejahtera, mereka tidak pernah terwakili atau cenderung

sedangkan untuk bertahan menegakkan hidup diabaikan oleh pemerintah kota. Pengabaian ini

fisknya pada taraf yang subsistem saja bagi dimaksudkan untuk menekan peningkatan

keluarga miskin hampir merupakan hal yang jumlah orang jalanan di daerah perkotaan

mustahil bila tidak ditopang oleh jaringan dan (Twikromo, 1999).

pranata sosial dilingkungan sekitarnya. Pemulung mungkin dapat membentuk

Definisi yang lebih lengkap tentang masyarakat yang lebih stabil tanpa bantuan

kemiskinan dikemukakan oleh John Friedman pemerintah dan mengaitkan diri sendiri ke

kemiskinan adalah lapangan pekerjaan yang stabil. Gambaran ini

bahwa

ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis mengubah kesan yang sering melukiskan

kekuasaan sosial. Sementara yang dimaksud pemulung sebagai golongan yang tak layak

basis kekuasaan sosial itu menurut Friedman 154

Sosial Budaya, Volume 14, Nomor 02, Desember 2017, pp. 150 - 164 meliputi ; Pertama, modal produktif atas asset,

ilmuan sosial seringkali diidentikkan dengan misalnya tanah perumahan, peralatan dan

pengertian kemiskinan struktural. kesehatan. Kedua, sumber keuangan seperti

2. Menurut Selo Sumarjan yang dimaksud income dan kredit yang memadai. Ketiga,

dengan kemiskinan yang diderita oleh suatu organisasi sosial dan politik yang dapat

golongan masyarakat, karena struktur sosial digunakan unutk mencapai kepentingan

masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan bersama, seperti koperasi. Keempat, network

sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya atau jaringan sosial unutk memperoleh

tersedian bagi mereka. Secara teoritis, pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan

kemiskinan buatan atau kemiskinan struktural keterampilan yang memadai. Kelima, informasi-

dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan informasi yang berguna untuk kehidupan.( John

yang dialami oleh suatu masyarakat yang Friedman: 1979)

penyebab utamanya bersumber, oleh karena Ada beberapa penyebab kemiskinan

itu dapat dicari pada struktur sosial yang sebagai berikut :

berlaku adalah sedemikian rupa keadaannya

sehingga mereka yang termasuk kedalam melatarbelakangi, secara teoritis dapat

1. Menurut akar

penyebab

yang

golongan miskin tampak tidak berdaya untuk dibedakan menjadi dua. Pertama, kemiskinan

mengubah nasibnya dan tidak mampu alamiah, yakni kemiskinan yang timbul

memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang sebagai akibat sumber-sumber daya yang

berlaku telah mengurung mereka ke dalam langka jumlahnya atau karena tingkat

suasana kemiskinan secara turun-temurun perkembangan teknologi yang sangat rendah.

selama bertahun-tahun. Sejalan dengan itu Artinya faktor-faktor yang menyebabkan

mereka hanya mungkin keluar dari penjara suatu masyarakat menjad miskin adalah

kemelaratan melalui suatu proses perubahan secara alami memang ada, dan bukan bahwa

struktur yang mendasar. (Selo Sumarjan: akan ada kelompok atau individu di dalam

masyarakat tersebut akan diperlunak atau Definisi kemiskinan yang lebih lengkap dieliminasi oleh adanya pranata-pranata

dalam arti sesuai dengan kenyatan dan secara tradisional, seperti pola hubungan patron-

konseptual jelas, dikemukakan oleh Robert client, jiwa gotong royong dan sejenisnya

Chamber (1987). Menurutnya inti dari yang

kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial.

disebut deprivation trap atau perangkap Kedua, kemiskinan buatan adalah kemiskinan

kemiskinan. Secara rinci deprivation trap terdiri yang terjadi karena struktur sosial yang ada

dari lima unsur sebagai berikut : membuat anggota atau kelompok masyarakat

1. Kemiskinan itu sendiri

tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-

2. Kelemahan fisik

fasilitas secara merata. Dengan demikian

3. Keterasingan atau kadar isolasi sebagian anggota masyarakat tetap miskin

4. Kerentanan

walaupun sebenarnya umlah totsl produksi

5. Ketidakberdayaan

yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila Kelima unsur ini seringkali sering saling dibagi rata dapat membebaskan semua

berkait satu dengan lain sehingga merupakan anggota masyarakat dari kemiskinan.

perangkap kemiskinan yang benar-benar Kemiskinan buatan dalam banyak hal terjadi

berbahaya dan mematikan peluang hidup orang bukan karena seorang individu atau anggota

atau keluarga miskin.

keluarga malas bekerja atau karena mereka terus menerus sakit. Berbeda dengan perspektif modernisasi yang cenderung menvonis kemiskinan bersumber dari lemahnya etos kerja, tidak dimilikinya etika wirausaha atau karena budaya yang tidak terbiasa dengan kerja keras, kemiskinan buatan dalam perbincangan dikalangan

Asliati : Kondisi Sosial Ekonomi Komunitas... pemerintah daerah berkewajiban untuk

menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuarangan terbuka (open dumping) paling lambat 5(lima) tahun sejak undang-undang tersebut diberlakukan dengan terlebih dahulu membuat perencanaan penutupan TPA. Ini berarti bahwa semua kabupaten/kota

Indonesia dilarang mengoperasikan TPA dengan sistem open dumping mulai 2013.

di

Di penghujung 2012 walikota Pekanbaru Firdaus, MT meninjau lokasi TPA Muara Fajar.

Tinjauan Lokasi TPA

Setelah melihat kondisi TPA yang sudah overload Walikota memerintahkan untuk segera

Pada awal berdirinya TPA Muara Fajar proses pengolahan sampahnya dengan desain

melakukan penutupan lokasi tumpukan sampah yang lama. Sebagai gantinya diaktifkan kembali

sanitary landfill, yaitu pembuangan dan penumpukan sampah kesuatu lokasi yang

pengelolaan sampah dengan sistem sanitary landfill. Hal ini juga sesuai dengan amanat

cekung, kemudia dilakukan pemadatan sampah tersebut dan menutupnya dengan tanah. Sistem

Undang-undang persampahan bahwa tidak ada alternatif lain kecuali meningkatkan pengelolaan

sanitary landfill seharusnya dilakukan secara sistematis dimana setiap hari ada proses

sistemnya. Maka pada tahun 2013 TPA Muara Fajar dalam pengelolaan sampah di TPA Muara

penyebaran dan pemadatan sampah pada area pengurugan dan penutupan sampah serta

Fajar mulai memakai sistem sanitary landfill dan diharapkan mampu menetralisir limbah sampah

penutupan sel sampah harus dilakukan setiap hari. Metode ini merupakan metode standar

hasil pembuangan seluruh kecamatan di kota Pekanbaru. Lokasi sanitary landfill tersebut tepat

yang dipakai secara internasional. Untuk meminimalkan potensi gangguan yang timbul,

berada di bawah tumpukan sampah TPA saat ini dan memiliki luas ½ hektar lebih.dengan sistem

maka penutupan sampah dilakukan setiap hari. Dan untuk menerapkan sistem ini diperlukan

tersebut, limbah sampah tidak akan mengotori lingkungan dan dinilai lebih ramah lingkungan.

penyediaan sarana dan prasarana yang cukup mahal.

Hal ini diungkapkan oleh bapak Usman Namun, seiring berjalannya waktu dan selaku pengawas yang di tugaskan oleh Dinas bertambahnya jumlah penduduk serta biaya

Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Pekanbaru pada wawancara penulis tanggal 29

pengelolaan yang mahal maka sistem sanitary landfill tidak lagi mampu dilakukan dan

September 2013. Namun lebih lanjut beliau mengatakan bahwa dalam rangka penilaian

operasional TPA berubah menjadi sistem open dumping. Pada sistem terbuka atau open

Adipura saat ini TPA Muara Fajar berusaha untuk membenahi kawasan TPA dengan

dumping adalah sampah dibuang begitu saja dalam sebuah tempat pembuangan akhir tanpa

membangun sumur lindi serta melakukan penghijauan diatas timbunan bekas urugan

ada perlakuan apapun. Tidak ada penutupan tanah. Pada metode pembuangan ini juga

sampah. Program terbaru dari TPA Muara Fajar dalam rangka penilaian Adipura adalah dan

menumpuk sampah hingga tinggi tanpa dilapisi dengan lapisan geotekstil dan saluran lindi. Tak

memanfaatkan sampah yang ada adalah pengolahan sampah menjadi gas metan. Saat ini

heran bila sistem ini dinilai sangat mengganggu lingkungan.

gas sudah produksi dan akan disalurkan ke rumah-rumah warga di sekitar TPA. Untuk

Sistem open dumping yang diberlakukan di TPA Muara Fajar pada akhirnya juga

sementara gas belum produksi maksimal. Apabila kapasitas jumlah sampah cukup banyak

menimbulkan dampak yang signifikan terhadap lahan TPA sendiri dan lingkungan sekitar TPA.

maka ke depan akan digunakan sebagai pembangkit untuk energi listrik.

Berdasarkan pasal 44 undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah,

Sosial Budaya, Volume 14, Nomor 02, Desember 2017, pp. 150 - 164 Di TPA Muara Fajar, sebagaimana TPA-

TPA sampah lain di Indonesia ada pemandangan yang tak biasa. Di tengah tumpukan sampah yang menggunung terdapat sebanyak lebih kurang 300 pemulung menggantungkan nasib mereka pada tempat pembuangan akhir sampah.

1. Fenomena Pemulung di TPA Muara Fajar Rumabai Pekanbaru

Di TPA Muara Fajar terdapat tak kurang dari 300 pemulung yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Diantara pemulung dewasa juga terdapat

mewawancarai pemulung yang dianggab mewakili keberadaan mereka secara umum yakni, 5 orang perempuan dewasa, 3 orang laki- laki dewasa dan 5 orang anak-anak yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan maka penulis memperoleh gambaran umum tentang alasan pemulung memilih profesi sebagai pemulung tersebut antara lain, pertama, para pemulung tidak memiliki profesionalisme tertentu karena faktor rendahnya pendidikan, kedua, untuk bekerja pada sektor informal lain seperti berdagang mereka tidak punya modal.

Pemulung yang ada di TPA Muara Fajar terbagi atas beberapa kelompok berdasarkan sip jam kerja, ada yang pagi sampai siang, siang sampai sore dan sore sampai malam dan ada juga yang pagi sampai sore. Rata-rata jenis barang yang di kumpulkan oleh pemulung adalah sama seperti : kardus, logam, plastik, kaleng dan apa saja yang bernilai jual. Namun ada sebagian pemulung yang mengumpulkan sisa-sisa makanan, baik untuk dijual kepada peternak maupun untuk ternak (babi) sendiri. Para pemulung berpendapatan setiap hari berkisar antara Rp. 10.000 sampai Rp. 70.000. Namun tidak jarang mereka pulang tidak membawa uang sama sekali. Hal ini penyebabnya adalah pada saat tertentu pengepul tidak membeli barang hasil pulungan seperti plastik, dengan alasan stok masih banyak. Dalam kondisi seperti ini para pemulung merasa sangat prihatin karena kebutuhan sehari-hari tetap berjalan.

Berikut pemaparan kondisi sosial pemulung di TPA Muara Fajar Rumbai Pekanbaru.

1. Faktor Pendidikan.

Salah satu penyebab memilih pekerjaan pemulung adalah faktor pendidikan. Dalam wawancara yang penulis lakukan di lokasi penelitian dengan para pemulung terungkap fakta berikut ; R. Napitupulu adalah seorang perempuan berumur 40 tahun yang merantau dari daerah asal Sumatera Utara ke Pekanbaru dan memilihi pekerjaan memulung dan sudah dijalaninya pekerjaan ini selama lebih kurang 4 tahun. Pendidikan yang pernah dijalaninya hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) membuatnya tidak mempunyai banyak pilihan untuk memilih jenis pekerjaan. Hidup dirumah kontrakan yang kecil dengan 4 orang anak dan pekerjaan suami yang serabutan mengharuskan ibu ini bekerja untuk menunjang ekonomi keluarga dan satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan adalah menjadi pemulung. R. Napitupulu juga tidak mau bermimpi untuk mendapatkan pekerjaan lain seperti berdagang karena tidak mempunyai modal.

Tidak jauh berbeda dengan R. Napitupulu, R. Siahaan juga mengungkapkan bahwa dengan dia memilih pekerjaan menjadi pemulung sampah di TPA Muara Fajar adalah untuk membantu ekonomi keluarga. Pekerjaan lain pada sektor formal juga tak bisa didapatkan karena hanya menamatkan pendidikan SMP. Walaupun sudah mempunyai rumah sendiri yang masih gubug namun karena himpitan ekonomi pekerjaan sebagai pemulung adalah menjadi pilihan. R. Siahaan bekerja dari pagi hingga sore hari bersama suaminya disamping untuk kebutuhan hidup sehari-hari juga untuk menyekolahkan anaknya. Ia termotivasi bekerja sebagai pemulung adalah karena merasa perlu memberikan pendidikan bagi anak-anaknya dengan harapan kelak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Peneliti mencoba menanyakan mengapa tidak mencoba pekerjaan lain seperti pekerjaan rumah tangga (Pembantu Rumah Tanggga), R. Napitupulu berujar bahwa bekerja dengan orang lain dengan gaji bulanan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, berbeda dengan bekerja sebagai pemulung tiap hari bisa membawa uang pulang asal saja mau bekerja keras.

Br. Hutagalung yang mempunyai 7 orang anak dan 3 orang ikut serta menjadi pemulung dan juga tidak ketinggalan suaminya juga sebagai

Asliati : Kondisi Sosial Ekonomi Komunitas... pemulung di TPA Muara Fajar. Berlatang

dari fisiknya tergolong cantik dengan usia belakang pendidikan terakhir hanya tamatan

berkisar 30 tahun. Wanita tersebut bernama N. Sekolah Dasar (SD) menurutnya tidak mungkin

Simamora berpendidikan tamat SMEA. mendapat pekerjaan yang bagus selain menjadi

Mempunyai 4 orang anak membuatnya harus seorang pemulung. Br. Hutagalung bekerja

bekerja dan memilih jadi pemulung karena tidak sebagai pemulung sudah berjalan 6 tahun.

jauh berbeda dengan alasan para pemulung lain Aktifitas memulung dia lakoni dari pagi jam

bahwa susah mendapatkan pekerjaan di sektor

07.00 WIB sampai sore hari jam 18.00 WIB. formal. N. Simamora juga pendatang yang tidak Perasaan jijik sudah hilang karena sampah

mempunyai KTP di Pekanbaru, inilah awalnya baginya adalah uang yang dapat menghidupi

dia sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal keluarga. Hasil dari memulung disamping bisa

karena pada saat Ia mencoba melamar pekerjaan memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari juga

syarat utama adalah KTP. Mengetahui bisa menyekolahkan sebagian anaknya. Br.

keberadaan TPA dari teman-temannya yang Hutagalung beringinan bahwa anak-anaknya

sudah lebih dulu menjadi pemulung maka ia yang bisa bersekolah kelak juga bisa

tidak berfikir panjang untuk memilih pekerjaan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

ini. 4 tahun sudah ia jalani pekerjaan sebagai Seorang anak yang berusia sekolah yakni

pemulung dan tidak lagi berfikir mencari kelas IV SD, sempat penulis wawancara bahwa

pekerjaan lain karena bekerja sebagai pemulung dia juga melakoni pekerjaan memulung karena

tidak harus memenuhi syarat-syarat lain selain himpitan ekonomi keluarga dan kuatnya

adanya kemauan dan menhilangkan rasa malu. keinginan untuk bersekolah. Putri Marbun

Mmuenurutnya dengan menjadi pemulung dia namanya. Putri membagi waktu antara sekolah

mungkin tidak bisa kaya namun dia bisa dan bekerja. Sepulangnya sekolah setiap hari

menyekolahkan anak-anaknya dan bisa putri menuju TPA dan berbaur dengan

membantu suami dalam memenuhi kebutuhan Pemulung dewasa demi membantu oarangtuanya

sehari-hari.

yang juga berprofesi sebagai pemulung di TPA Secara umum para pemulung mengetahui tersebut. Ketika ditanyakan apakah teman-teman

dan menyadari bahwa pendidikan sangat penting mengetahui pekerjaan sampingan setelah

dan sangat berpengaruh terhadap pekerjaan sekolah, Putri mengatakan bahwa teman-

seseorang. Dengan pendidikan yang tinggi juga temannya tahu dan Dia merasa tidak malu

diharapkan bisa menjamin kelangsungan karena bisa bersekolah adalah impiannya.

ekonomi keluarga. Ini juga dasarnya bahwa Aritonang salah seorang pemulung laki-

sebagian besar pemulung di TPA Muara Fajar laki sudah menjalani pekerjaan sebagai pemulung

mempunyai motivasi untuk menyekolahkan dan merangkap ketua di kelompoknya sempat

anak-anak mereka.

mengenyam pendidikan setingkat SMA.

2. Faktor Pekerjaan

Berbagai pekerjaan sudah pernah dilakoni Para pemulung yang ada di TPA Muara sebelum menjadi Pemulung seperti Sopir,

Fajar memiliki alasan yang beragam untuk berdagang, pekerja bangunan namun semua

menjadi Pemulung. Alasan klasik yang sering pekerjaan itu dia tinggalkan sebab banyak hal

mereka kemukakan adalah untuk menjadi dan memilih bekerja sebagai pemulung

pemulung ini karena keterbatasan keahlian (skill) menurutnya tidak mempunyai ikatan tertentu,

dan persaingan yang keras serta keterbatasan bekerja dengan jam kerja yang diatur sendiri

modal. Namun tentu tidak semua alasan ini serta bisa menyekolahkan anak-anaknya yang

dibenarkan karena diantara pemulung tersebut berjumlah 3 orang dan sudah ada yang kuliah di

ada juga yang mempunyai keahlian (skill) seperti perguruan tinggi. Namun Aritonang juga

berdagang, bertani, menjahit, sopir dan menyadari bekerja sebagai pemulung adalah hina

sebagainya. Hanya saja satu alasan yang juga menurut sebagaian orang tetapi perasaan minder

tergolong klasik yakni tidak mempunyai modal sudah ia tepis jauh-jauh dan ia sudah menjalani

maka pada akhirnya mereka memilih menjadi pekerjaan ini selama lebih kurang 8 tahun.

pemulung yang menurut mereka tidak Lebih lanjut penulis berdialog dengan

dibutuhkan skill tertentu dan juga tidak salah seorang wanita muda yang kalau dilihat

membutuhkan modal. Alasan lain memilih 158

Sosial Budaya, Volume 14, Nomor 02, Desember 2017, pp. 150 - 164 pekerjaan sebagai pemulung adalah karena

antara lain sebagai pemulung, dimana pemulung hasilnya jelas setiap hari dan bekerja tidak ada

merupakan suatu pekerjaan yang memiliki tekanan. Setiap hari pemulung bisa membawa

tingkat penghasilan yang sangat rendah karena pulang uang berkisar Rp. 10.000 – 70.000, tentu

terkait dengan jenjang pendidikan dan saja ini untuk satu orang, namun apabila dalam

keterampilan yang dimiliki.

satu keluarga ada suami, istri dan juga ada anak- Di TPA Muara Fajar sendiri tercatat tidak anak mereka bawa serta maka bisa dibayangkan

pemulung yang hasilnya akan berkali lipat. Hanya saja kondisi ini

menggantungkan hidupnya dari sampah TPA belum bisa mencukupi segala jenis kebutuhan

ini, dengan rata-rata penghasilan antara 10.000 hidup karena tingginya nilai ekonomi dan

sampai 70.000 perhari. Mereka yang mahalnya harga barang serta besarnya biaya

berpenghasilan mencapai 70.000 perhari bekerja sekolah di kota Pekanbaru maka para pemulung

tak kenal lelah dari pagi hingga sore hari. Namun kesulitan untuk mencukupi kebutuhan setiap

tak sedikit mereka juga hanya mengantongi uang bulannya, maka secara umum kehidupan sosial

10.000 dan tak jarang juga pemulung tidak ekonomi pemulung masih tergolong miskin.

membawa uang sama sekali pulang kerumah. Penulis mewawancarai beberapa pemulung

Hal ini terjadi akibat pengepul tidak mengirim diantaranya, Br. Hutagalung yang mengatakan ia

barang ke Medan dengan alasan persediaan di memilih pekerjaan sebagai pemulung karena

pabrik masih menumpuk. Maka kalau hal ini tidak ada lagi pekerjaan lain yang bisa dengan

terjadi pemulung harus berusaha mencari cepat mendapatkan hasil. Jika memulung setiap

pinjaman uang kepada pengepul, dan tentu saja hari mendapatkan uang walaupun sedikit namun

keesokan harinya uang yang didapat sudah tentu jelas asal saja ada hasil pulungan setiap harinya.

juga untuk menutup hutang yang ada. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Siahaan,

R. Napitupulu misalnya, pria asal Sumatera dia memilih jadi pemulung karena jelas setiap

Utara ini mengaku terkadang tidak membawa hari mendapatkan uang dan bisa memenuhi

uang sepeserpun pulang kerumah dikarenakan kebutuhan hari itu walaupun sebenarnya jauh

pengepul tidak membeli barang pada saat-saat dari cukup. Br. Simamora berpendapat bahwa

tertentu. Pria yang mempunyai anak 4 0rang ini suka tidak suka pekerjaan ini harus ia jalani dan

mengaku sangat kesusahan kalau hal ini terjadi karena sulitnya mendapatkan pekerjaan maka ia

karena anak-anak butuh makan. Belum lagi menjadikan pemulung sampah sebagai profesi

Napitupulu mengatakan bahwa penghasilan yang dan tidak lagi berfikir untuk mencari pekerjaan

didapat setiap harinya tergantung kerja keras dan lain. Ibu Epi salah seorang pemulung

kesehatan badan. Kalau badan lagi tidak fit maka mengatakan bahwa ia memilih pekerjaan sebagai

menuturnya penghasilan berkurang dan bahkan pemulung karena himpitan ekonomi. Awalnya Ia

tidak bekerja memulung pada hari itu. tidak menyukai pekerjaan ini karena tidak tahan

Pria yang tidak tamat Sekolah Dasar ini dengan bau busuk dan menyengat. Namun

mengaku menjadi pemulung memang bukan karena termotivasi oleh inginnya mendapat

tujuan hidupnya, namun karena lapangan penghasilan maka lama kelamaan Ia pekerjaan yang sedikit untuk tingkat pendidikan

kesampingkan perasaan jijik tersebut. Ibu sadar yang dia miliki maka mau tidak mau pekerjaan betul karena pendidikannya yang tidak tamat

memulung harus dijalani dan bisa menutup sekolah dasar maka ia tidak dapat memilih

kebutuhan sehari-hari walaupun jauh dari cukup. pekerjaan pada sektor formal. Lebih lanjut Ibu

Lebih lanjut Napitupulu mengatakan bahwa Epi mengatakan bahwa dengan memulung ia

sewaktu-waaktu ada pekerjaan yang lebih baik dapat memenuhi kebutuhan keluarga setiap hari

maka dia siap meninggalkan profesi sebagai dan bisa menyekolahkan anak-anaknya.

pemulung.

3. Faktor Penghasilan Hal yang sama juga diungkapkan oleh Fenomena pemulung yang ada di TPA

seorang ibu yakni Simamora, wanita yang Muara Fajar merupakan gambaran kehidupan

mengaku berumur 48 tahun ini bekerja sebagai kaum migran yang mempunyai kualitas sumber

pemulung karena melihat ada penghasilan yang daya yang rendah sehingga untuk tetap bertahan

didapat tiap hari walaupun jauh dari yang hidup mereka harus bekerja di sektor informal

diinginkan. Simamora berangkat dari rumah jam

Asliati : Kondisi Sosial Ekonomi Komunitas...

6 pagi sampai pulang ke rumah jam 6 sore. perbulannya tentu tidak mencukupi semua Dalam

kebutuhan apalagi biaya sekolah bagi anak-anak mengumpulkan jenis sampah seperti plastik,

mereka. Bukan saja kebutuhan makan tetapi juga karton, dan sejenisnya tapi juga mengumpulkan

ketika sakit akan membutuhkan biaya ekstra sisa-sisa makanan untuk ternak sendiri (babi)

untuk berobat.

dan selebihnya juga dijual kepada tetangga yang Kalau dilihat dari keseluruhan pemulung membutuhkan. Simamora mengaku bisa

di TPA Muara Fajar dengan penghasilan yang mengantongi uang seharinya mencapai Rp.

ada maka bisa dipastikan mereka tidak bisa 40.000 hingga 70.000 namun penghasilan ini

keluar dari jerat kemiskinan dan dengan kondisi belum memadai karena besarnya kebutuhan

sosial ekonomi yang ada membuat para sehari-hari dan perbulannya. Wanita ini mengaku

pemulung tidak memiliki akses untuk mempunyai anak 4 0rang, yang paling besar

mendapatkan pekerjaan yang berpenghasilan sudah kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP)

memadai.

dan satu lagi Sekolah Dasar (SD) dan yang

4. Faktor Perumahan.

lainnya belum bersekolah. Wanita ini juga Tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena mengaku bahwa sekeras apapun usaha yang ia

pemulung di TPA sampah di beberapa daerah di lakukan pagi hingga sore harinya tidak merubah

Indonesia menyuguhkan pemandangan tak kehidupannya yang saat ini juga dia masih

biasa. Di lingkungan TPA tersebut tampak mengontrak rumah. Namun ia tetap menjalani

rumah-rumah gubug atau rumah bedeng. Tak pekerjaan ini disamping penghasilannya jelas

jarang para pemulung membangun rumah- perhari, bekerja tidak ada paksaan dan yang

rumah tersebut dengan materil bangunan yang membuat alasan kuat adalah tidak bisanya ia

tidak layak pakai seperti karton bekas sebagai memasuki lini pekerjaan formal. Pernah ia

dinding, lantai beralas plastik, dan atap seadanya. mencoba bekerja sebagai pembantu rumah

Maka dilihat dari kenyataan ini tentu saja tangga namun karena uang yang ditunggu

fenomena sosial kemiskinan sangat menonjol perbulannya tidak mencukupi akhirnya ia

pada para pemulung tersebut. menjalani pekerjaan sebagai pemulung yang

Salah satu indikator kemiskinan adalah sudah ia jalani hingga saat ini lebih kurang 5

ketidakmampuan memiliki rumah layak huni. tahun.

Menurut data BPS salah satu indikator Pengalaman sebagai pemulung juga

kemiskinan adalah luas lantai bangunan tempat dirasakan oleh seorang anak yang menjadi

tinggal kurang dari 8 m2 per orang dan jenis pemulung karena mengikuti orang tuanya.

lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari Sempat bersekolah namun karena keterbatasan

tanah/bambu/kayu berkualitas murahan serta biaya akhirnya berhenti dan ikut orang tua

jenis dinding tempat tinggal terbuat dari memulung. Tomas nama anak ini. Ia memulung

bambu/rumbia/kayu berkualiras rendah. karena disamping ingin membantu orang tua

Kondisi ini juga dialami oleh para juga bisa mendapatkan sekedar uang jajan.

pemulung di TPA Muara Fajar Rumabi Penghasilan yang didapat tidak seberapa

Pekanbaru. Menurut hasil wawancara penulis dibanding para orang tua namun cukup

dengan responden terungkap bahwa sebagian membuat ia mempunyai pengalaman dalam

besar para pemulung tidak memiliki rumah mencari uang. Namun ketika ditanya apakah

sendiri. Diantara mereka ada yang masih tidak ada lagi keinginan untuk bersekolah Tomas

mengontrak rumah dan kalaupun memiliki mengatakan masin ingin bersekolah supaya ke

rumah sendiri namun kebanyakan mereka depan bekerja yang layak dan tidak sebagai

menempati rumah tidak layak huni. pemulung.

Br. Hutapea mengaku memiliki rumah Kondisi seperti yang dialami oleh R.

sendiri namun masih berdinding papan dan Napitupulu, Simamora dan Tomas tentu tidak

ukurannya tergolong sangat kecil yang dihuni jauh berbeda dengan yang dialami oleh

suami istri dan 4 orang anak. Ia mengatakan kebanyakan pemulung di TPA Muara Fajar.

memiliki rumah ini juga membangun diatas Dengan penghasilan yang tergolong rendah

tanah orang lain, dengan diizinkan oleh pemiliki berkisar antara Rp.500.000 sampai 1.000.000

tanah membangun sekalian menjaga tanah 160

Sosial Budaya, Volume 14, Nomor 02, Desember 2017, pp. 150 - 164 pemiliknya tersebut. Br. Hutapea juga

harus dari segi seluruh segi yang ada mengatakan bahwa rumahnya juga jauh dari

pengaruhnya terhadap kesehatan tersebut perkampungan masyarakat dan tidak memiliki

(Notoatmojo, 1997).

penerangn listrik. Terwujudnya derajat kesehatan dalam Br. Simamora mengungkapkan bahwa

masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor sampai saat ini ia belum memiliki rumah sendiri.

sebagaimana yang dikemukakan oleh Hendrik L. Dia mengontrak rumah kecil dengan suami dan

Blum. Faktor-faktor yang dimaksud adalah

5 orang anaknya. Tentu saja mengontrak rumah faktor keturunan, faktor pelayanan kesehatan, yang

faktor prilaku dan faktor lingkungan. Diantara kontrakannya terjangkau. Simamora mengaku

sangat sederhana

supaya

biaya

faktor-faktor tersebut, faktor lingkungan mengontrak rumah perbulannya Rp. 150.000. Ini

merupakan faktor yang paling besar memegang saja dirasa cukup berat karena semua kebutuhan

peranan dalam status kesehatan masyarakat digantungkan pada hasil pekerjaan sebagai