Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial | Wahyono | Jurnal Pemikiran Sosiologi 23421 45936 2 PB

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1 , Mei 2012

TRANSFORMASI KULTURAL MENUJU DEMOKRASI SUBSTANSIAL
Oleh:

Sugeng Bayu Wahyono

Abstrak
Demokrasi diyakini telah membawa perubahan politik dan kultural. Namun, sebenarnya masyarakat telah
mempunyai tradisi yang sesuai dengan prinsip demokrasi tersebut. Nilai-nilai demokrasi seperti menghargai
pendapat orang lain, toleransi, dan keterbukaan, terus hidup laten di kalangan akar rumput. Kondisi tersebut
menunjukkan potensi akar rumput sebagai agen pembaruan menuju masyarakat transformatif secara kultural
ke arah demokratisasi sepertinya jauh lebih besar, dibandingkan dengan kelas menengah. Ini artinya, budaya
politik kalangan akar rumput yang bertingkah laku politik yang bersih justru perlu ditiru oleh kalangan elite
politik. Tingkah laku politik yang bersih akan menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi nilai
kejujuran sebagaimana yang ditunjukkan oleh kalangan akar rumput pada level komunitas RT-RW justru perlu
ditiru oleh elit politik pada level politik nasional

Kata kunci: transformasi, agen, akar rumput

Abstract

Democracy is believed already bring social and cultural changes. However, actually people already has tradition
that is approriate with principles of democracy. Principles of democracy such as respect another people
argument, tolerance and inclusiveness, latently lives in grassroots people. This condition shows bigger
potentiality from grassroots people as an renewal agent towards culturally transformative society into
democratization rather than people from middle class. This means clean political culture of grassroots people
should become a model for political elite. Clean political behavior will produce culture of politics that uphold the
value of honesty as shown by grassroots people in community level (RT/RW), this should become a model for
political elite in nasional level.

Keywords : transformation, agent, grassroots

16

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

A. Pendahuluan

tidak bisa bertahan hidup menuju demokrasi.1

Meski tesis Fukuyama ini ditentang oleh Avineri2

Meskipun terdapat sisi kelemahan, tetapi
bagaimanapun
sebagai

demokrasi

sistem

tetap

yang

yang mengatakan bahwa nasionalisme, dan

dianggap

terbaik


bukan demokrasi liberal yang ternyata sukses

untuk

menuju komunisme, yang berarti sejarah masih

penyelenggaraan pemerintahan pada suatu

belum

negara. Dengan pilihan demokrasi, kedaulatan

tetapi

bagaimanapun

demokrasi liberal tetap menjadi pilihan utama.

berada di tangan rakyat, hak-hak sipil terjaga,
suara dari bawah tersalur, dan Hak Asasi


Di

Manusia (HAM) dijamin. Karena itu, hampir di

pengakuan

setiap negara bangsa mempunyai cita-cita

merdeka dan berdaulat, perjalanan sejarah

menyelenggarakan sistem pemerintahan yang

demokrasi juga mengalami pasang-surut. Pada

demokratis, kendatipun dalam pencapaiannya

awal kemerdekaan, dengan dipelopori oleh

sering kali harus ditempuh dengan perjuangan


kaum terdidik, ide demokrasi terus diintrodusir

panjang. Bahkan tidak sedikit, negara yang harus

sebagai dasar bagi sistem pemerintahan yang

membayar dengan ongkos kemanusian tinggi

dicita-citakan.

tatkala

dari

terpilih sebagai kepala negara dan kepala

penindasan rezim otoriter, yaitu jatuhnya

pemerintahan untuk pertama kalinya, spirit


korban jiwa dalam jumlah cukup signifikan.

demokrasi

memperjuangkan

demokrasi

sejak

internasional

Ketika

terasa

memperoleh

sebagai


kemudian

begitu

negara

Soekarno

menguat

dan

Soekarno menerapkan apa yang ia sebut sebagai

antara kekuatan otoritarian berhadapan dengan

demokrasi

kekuatan pro demokrasi, dan pada akhirnya


terpimpin,

maka

seketika

itu

demokrasi menjadi surut hingga kekuasaannya

demokrasi keluar sebagai pemenang. Fukuyama
perkembangan dunia,

sendiri

berjalan amat demokratis. Akan tetapi setelah

sendiri senantiasa diwarnai oleh tarik-menarik


menganalisis

Indonesia

puncaknya terselenggaranya Pemilu 1955 yang

Sejarah perjalanan sebuah bangsa di dunia itu

jatuh ke tangah rezim militer pimpinan

bahwa

Soeharto, dan Indonesia memasuki masa yang

setelah jatuhnya negara-negara komunis yang

dikenal dengan Orde Baru.

ditandai runtuhnya Uni Soviet, maka demokrasi
liberal berdiri sendiri tanpa ada pesaing, dan


Pada masa Orde Baru, demokrasi semakin terasa

sejarah perjalanan dunia telah berakhir dengan

surut

kemenangan

Fukuyama

Soeharto yang lebih memilih sistem politik

beranggapan bahwa kaum nasionalis irasional

otoriter dengan kekuasaan politik memusat

demokrasi.

Francis Fukuyama, 1992, The End of History andThe Last

Man, New York: Free Press. Shlomo Avineri, 1992, The
Return to History:
2The Breakup of the Soviet Union, Brookings Review 10;
dan uraian lebih lengkap bisa dilihat Ghia Nodia,
1

berakhir;

sebagai

konsekuensi

pilihan

sadar

Nationalism and Democracy, dalam Larry Diamond and
Marc F. Plattner (ed) Nationalism, Ethnic Conflict, and
Democracy, London: Johns Hopkins University Press. 1994.

17

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

pada

eksekutif.

diupayakan
melegitimasi

Seluruh

aspek

legalitas

sedemikian

rupa

untuk

kekuasaan

yang

sentralisasi

penekan

terhadap

seluruh

dan

bahkan

represif.
Sudah bisa diduga, dalam situasi politik seperti

politik pemusatan, Soeharto melakukan kontrol
ketat

dijinakkan

adakalanya dilumpuhkan dengan kekuatan

berporos pada Presiden. Dengan menerapkan

secara

berhasil

itu maka kehidupan demokrasi mengalami masa

kekuatan

surut, dan Parpol sebagai salah satu pilar

masyarakat yang terorganisir, tidak terkecuali

demokrasi eksistensinya sangat lemah. Parpol

partai politik. Pelan tapi pasti, Soeharto

tidak lebih sekadar ornamen politik, yang hanya

melakukan penyederhanaan Parpol melalui
strategi fusi dengan menerapkan asas tunggal
Pancasila. Negara tampil begitu perkasa, yang

berfungsi

untuk

eksekutif

dalam

melegitimasi
proses

kehendak

penyelenggaraan

pemerintah yang penuh formalisme. Pemilu

melakukan politik pengendalian dan politik

sekadar menjalankan rutinitas politik yang

perizinan terhadap aktivitas sosial politik

meskipun berhasil terselenggara secara tertib,

masyarakat, sehingga tidak ada satu kekuatan

tetapi kualitas demokrasinya sangat rendah, dan

alternatif yang mampu mengimbangi kekuasaan

bahkan cenderung anti-demokrasi.

eksekutif.
Setelah Soeharto jatuh, Indonesia memasuki
Para teoritisi menjelaskan bahwa fenomena

negara transisi demokrasi, dan Pemilu kembali

seperti itu merupakan kas negara korporasi.3 Di

ke multipartai dengan sistem semi-distrik.

bawah kendali Soeharto, Indonesia merupakan

Secara sederhana masa transisi demokrasi

negara yang korporatis. Peran negara di masa

dipahami sebagai proses perubahan menuju

Orde Baru begitu dominan di segala aspek

kualitas sistem politik dan pemerintahan yang

kehidupan, dan secara efektif menjalankan

lebih demokratik.4 Pada Pemilu 1999 PDI-P

fungsi kontrol terhadap masyarakat yang

tampil sebagai pemenang, dan Pemilu 2004

eksesnya terhadap kehidupan demokrasi sangat

Golkar kembali tampil sebagai pemenang.

buruk. Melalui mekanisme politik pengendalian,
Setelah

negara masuk ke berbagai wilayah publik yang

Indonesia

memasuki

apa

yang

disepakati sebagai era reformasi, kekuasaan

perlahan tapi pasti mampu melumpuhkan

tidak lagi terkonsentrasi pada negara dengan

berbagai kekuatan pro demokrasi. Partai Politik,

pelaku utama militer, birokrasi, dan kaum

Ormas, lembaga legislatif, pers, organisasi

konglomerat yang ketiganya menjadi agen

profesi, mahasiswa, dan berbagai kelompok

kekuatan kapitalisme global, maka muncul
Rauf, Pendekatan-Pendekatan Dalam Ilmu Politik: Studi
Penjajagan , Ilmu dan Budaya. No. 7, April 99 , hlm.
526.
4 Dikutip dari Kusnanto Anggoro, 1999, Gagasan Militer
Mengenai Demokrasi, Masyarakat Madani dan Transisi
Demokratik, Jakarta: CSIS, hlm.8.

3Negara

korporatis adalah negara yang mengendalikan
semua komponen kekuatan politik, baik kekuatan di
seluruh lini institusi negara sendiri maupun kelompokkelompok masyarakat diluarnya. Uraian lengkap dapat
dilihat pada Alfred Stepan, 1978, State and Society: Peru in
Corporative Perspective. New Jersey: Princetton University
Press. Untuk klasifikasi negara-negara lihat juga Maswardi

17

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

kekuatan baru yaitu elit Parpol. Kemudian elit

strategis menjadi perebutan kekuatan politik

baru inilah yang kemudian menjadi kelompok-

baru. Situasi ini kemudian menjadi momentum

kelompok penekan yang mengontrol kebijakan

kekuatan oligarki yang belum sepenuhnya

negara melalui jalur politik di parlemen.

rontok, berusaha keras untuk mempertahankan

Fenomena

bahwa

diri. Mereka ini menjadi diuntungkan karena

perkembangan politik Indonesia mengalami

pemerintahan baru tidak mampu menyelesaikan

pergeseran karakter dari negara korporasi

kasus-kasus besar utang konglomerat dan

(corporatist state), menuju negara organis

praktik KKN kelas kakap, sehingga mereka ini

(organic state).5

semakin mendominasi kembali.

Dalam situasi negara seperti itu, penjelasan

Kekuatan oligarki ini kemudian ikut bermain

teoretik yang berangkat dari konsep hubungan

dengan kekuatan politik baru. Hasil Pemilu 1999

negara-masyarakat,

relevan.

yang melahirkan lima kekuatan politik besar,

yang

PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan PAN, dan karena itu

berkembang, maka kekuasaan oligarki lebih

kekuatan oligarki harus beradaptasi dengan

dapat menjelaskan. Keberadaan kekuasaan

kekuatan ini. Repotnya, aktor-aktor politik baru

oligarki

merupakan

tidak akan dapat menghilangkan kebiasaan

tuntasnya

lama, yaitu bahwa politisi baru itu terbukti

ini

Berdasarkan

mengindikasikan

lagi

kenyataan

masih

konsekuensi

tidak

tetap

logis

dari

empiris

kuat
tidak

pergantian elite bentukan Orde Baru. Mereka ini

melakukan

memang lahir dari sistem politik Orde Baru, dan

dilakukan Soeharto bersama oligarkinya. Kini

terus

aktor-aktor politik baru menjadikan negara

melakukan

penyesuaian

dengan

perubahan politik di Indonesia.
Munculnya

BJ

Habibie

sebagai

yang

kekuasaan adalah menu politik mereka, dan ini
terjadi tidak hanya di pusat pemerintahan, tetapi
juga di daerah-daerah memanfaatkan era

Habibie. Semua pertarungan ini bermuara

otonomi daerah.6 Kekuatan oligarki ini terbukti

makin rontoknya basis-basis oligarki yang

mampu beradaptasi dengan perkembangan

dibangun oleh Soeharto. Sejak saat itu pusataset-aset

seperti

menjadi rebutan diantara mereka. Bagi-bagi

reformasi dan pro Soeharto maupun pro-

dan

sama

Pusat-pusat kekuasaan dan aset-aset ekonomi

pengganti

pertarungan berbagai kelompok, baik yang pro-

kekuasaan

yang

sebagai sasaran penjarahan atau sapi perah.

Soeharto pada tahun 1998 turut memperluas

pusat

hal

ekonomi

Negara organis adalah negara yang posisinya
dikendalikan oleh salah satu kelompok atau beberapa
kelompok elit sosial. Negara organis dapat berbentuk
negara fascis yang dikendalikan oleh kelompok tertentu
atau perorangan seperti rezim Nazi di bawah Hitler di
Jerman; dapat pula negara dijadikan alat pertarungan oleh
kelompok-kelompok elit sosial untuk memperjuangkan
kepentingan sempit mereka sendiri seperti negara-negara
liberal Eropa Barat dan Amerika Serikat abad 17-19. Uraian

lengkap dapat dilihat pada Alfred Stepan, 1978, State and
Society: Peru in Corporative Perspective. New Jersey:
Princenton University Press. Untuk klasifikasi negaranegara lihat juga, Maswardi Rauf, Pendekatan-Pendekatan
Dalam Ilmu Politik: Studi Penjajagan , Ilmu dan Budaya
No.7, April 1991, hlm. 524-526.
6 Lihat Richard Robinson dan Vedi R Hadiz, 2004,
Reorganizing Power in The Politics of Oligarchy in an Age of
Markets, London and New York: Routledge Curzon.

5

18

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

politik baru, termasuk membangun koalisi

Untuk menyebut beberapa teoretisi yang masuk

dengan kekuatan reformis.

kategori pendukung kulturalis yang pernah
melakukan studi di Indonesia antara lain, Don

Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana

Emerson, Ben Anderson, Clifford Geertz, Bill

dinamika kehidupan politik pada era pasca Orde
Baru

dengan

berbagai

Liddle, Karl Jackson, dan Harold Crouch.

kompleksitas

Sementara itu, suatu studi yang bersifat

permasalahan di seputar isu politik Indonesia

kulturalis adalah Gabriel Almond dan Sidney

kontemporer, melalui perspektif sosial budaya.

Verba, ketika keduanya melakukan kajian di

Harapannya dengan memberikan penjelasan
secara

sosio-kultural

dapat

lima negara yang kemudian melahirkan buku

membantu

yang sangat berpengaruh pada dekade 1970-an,

mengidentifikasi permasalahan fundamental

The Civic Culture.

dalam upaya membangun Indonesia sebagai
negara demokrasi yang substansial.

Budaya politik, kata Almond dan Verba,
merupakan sikap individu terhadap sistem
politik dan komponen-komponennya, juga sikap
individu terhadap peranan yang dimainkan

B. Perspektif Budaya Politik

dalam sebuah sistem politik. Budaya politik
upaya

tidak lain adalah orientasi psikologis terhadap

menjelaskan fenomena politik, akan tetapi yang

obyek sosial, dalam hal ini sistem politik yang

paling sederhana dapat dibedakan dengan

kemudian mengalami proses internalisasi ke

pendekatan struktural dan kultural. Penjelasan

dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif,

ekonomi politik misalnya, termasuk bersifat

afektif, dan evaluatif.

strukturalis

menjelasakan

Orientasi yang bersifat kognitif merupakan

dengan mengaitkan antara persoalan politik

pemahaman dan keyakinan individu terhadap

dengan masalah ekonomi. Ada juga pendekatan

sistem politik dan atributnya, seperti tentang

lain yang lebih cenderung strukturlis yaitu

ibukota negara, lambang negara, kepala negara,

dengan menjelaskan fenomena politik dari

batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan

analisis hubungan negara dan masyarakat

sebagainya. Sementara itu orientasi afektif

dengan kata kunci civil society. Pendekatan ini

menyangkut ikatan emosional yang dimiliki

cukup mampu menjelaskan fenomena politik di

individu

era Orde Baru dengan negara berposisi sebagai

menyangkut feelings terhadap sistem politik.

variabel utama dalam mempengaruhi berbagai

Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif

peristiwa politik yang ada.

menyangkut kapasitas individu dalam rangka

Sementara pendekatan yang bersifat kulturalis

memberikan penilaian terhadap sistem politik

meyakini bahwa kultur lebih dominan dalam

yang sedang berjalan dan bagaimana peranan

mempengaruhi

individu di dalamnya.

Terdapat

beberapa

yang

cara

mencoba

berbagai

dalam

fenomena

politik.
19

terhadap

sistem

politik.

Jadi

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

Dalam suatu masyarakat yang sikap dan

Meskipun format dan struktur politik sudah jauh

orientasi

oleh

lebih demokratis jika dibandingkan dengan era

akan

Orde Baru, tetapi kultur politiknya masih belum

parokial.

mengalami transformasi, karena itu demokrasi

Sementara, dalam sebuah masyarakat yang

di Indonesia masih dalam tataran prosedural,

sikap dan orientasi politiknya diwarnai oleh

belum merupakan demokrasi yang substansial.

politiknya

karakteristik
terbentuk

yang

bersifat

budaya

karakteristik

didominasi

politik

yang

kognitif
yang

bersifat

afektif,

akan

Pernyataan seperti itu semakin kuat jika

terbentuk budaya politik yang bersifat subyektif.
Akhirnya,

masyarakat

yang

dikaitkan

memiliki

mampu

memberikan

karakter

sosiologis

masyarakat Indonesia yang masih lebih terasa

kompetensi politik yang tinggi, di mana warga
masyarakat

dengan

sebagai masyarakat patrimonialistik. Dalam

evaluasi

masyarakat seperti itu, maka persoalan budaya

terhadap proses politik yang sedang berjalan,

politik menjadi lebih penting. Relasi dalam

akan terbentuk sebuah budaya politik yang

pergaulan sosial yang masih didasarkan pada

bersifat partisipatif.7

pola patron-klien, di mana orang kecil akan

Almond dan Verba mengemukakan tesis bahwa

banyak mengikuti apa yang dilakukan oleh

budaya politik yang demokratik, dalam hal ini

mereka yang dianggap menjadi panutan, tanpa

budaya

akan

mempersoalkan sendiri apakah yang dilakukan

mendukung terbentuknya sistem politik yang

oleh panutan itu benar atau salah. Dalam suatu

demokratik dan stabil. Ia mengemukakan bahwa

masyarakat dengan pola dasar patron-klien,

berdasarkan hasil penelitiannya di sejumlah

suatu budaya politik yang sangat tergantung

negara yaitu di AS, Inggris, Jerman, Italia, dan

kepada tingkah laku elit politiknya. Jika tingkah

Meksiko, menemukan di negara-negara yang

laku politik para elit politik baik, maka para

mempunyai

pengikutnya juga baik, dan begitu sebaliknya.

politik

yang

budaya

partisipatif,

politik

tinggi

akan

menopang demokrasi yang stabil. Sebaliknya,

Masih dominannya budaya politik seperti itu

negara-negara yang memiliki budaya politik

mempunyai implikasi terhadap kesulitan dan

rendah tidak mendukung terwujudnya sistem

mendorong terjadinya transformasi menuju civil

politik demokratik yang stabil.

society. Demokrasi kemudian hanya pada

Apabila menggunakan model dari Almond dan

tataran bentuk, sementara perilaku warga masih

Verba, dan kemudian melihat fenomena budaya

jauh dari nilai demokrasi. Budaya politik dalam

politik di Indonesia, maka banyak yang sepakat

organisasi politik seperti Parpol pun juga sangat

bahwa dominasi sikap dan orientasi politik yang

terasa nuansa patrimonialistiknya. Kondisi ini

parokial

semakin mapan, ketika lahirnya berbagai parpol

masih

terasa

hingga

sekarang.

Lihat Gabriel A Almond dan Sidney Verba, 1963, The Civic
Culture, Princenton, New Jersey: Princenton University
Press.

7

20

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

justru merupakan cermin dari karakteristik

Tesis Almond dan Verba ini telah banyak

sosio-kultural

dikritik, antara lain oleh Brian Barry yang

masyarakatnya.

Karena

itu,

parpol yang bermunculan masih berakar pada

mengatakan,

demikian,

baik

secara

ternyata

struktural

ciri

primordialistik

tengah berbicara pengaruh struktur politik
(realitas) yang kemudian dipersepsikan oleh

kewenangan dan bahkan konsentrasi kekuasaan
ketimbang

struktur

berbicara tentang kognisi, sebenarnya kita

stabil. Birokrasi parpol pun lebih memberi

politik,

bahwa

Arend Lijphart mengatakan, bahwa ketika kita

sistem pemerintahan yang demokratis dan

elit

membuktikan

hasilnya

disebut budaya politik tersebut.8 Sementara

yang

menjadi faktor penyulit bagi upaya membangun

kepada

menggunakan

politiklah yang melahirkan sikap-sikap yang

maupun kultural, parpol di Indonesia masih
mengedepankan

dengan

teori ekonomi tentang demokrasi

basis ideologis dan politik aliran.
Dengan

bahwa

masyarakat dan akhirnya menggumpal menjadi

misalnya

kognisi (kultur) yang kita maksud.9

memberikan peluang bagi penguatan daya
tawar basis konstituennya. Proses pencalonan

Kritik lain terhadap tesis Almond dan Verba

pemimpin nasional, pemimpin daerah dalam

adalah dianggap terlalu positivistik, yang

Pilkada, dan penyusunan daftar urut Caleg,

mengandaikan dinamika perkembangan budaya

masih sangat terasa dominasi elit politik, dan

politik secara linier dengan pretensi bahwa di

bukan melalui proses dari bawah. Rakyat hanya

tingkat perkembangan yang paling awal lebih

menjadi

buruk,

obyek

Parpol

yang

dan

begitu

seterusnya.

Perspektif

merepresentasikankepentingan elit politik, dan

positivistik-linieristik seperti itu mengandaikan

kemudian dijadikan alat legitimasi untuk

bahwa rakyat bersifat pasif dan hanya mengikuti

memperoleh

saja apa yang dilakukan oleh patronasenya,

kekuasaan.

Caranya

tidak

diperoleh melalui tawaran program yang

karena

rasional dan berorientasi kepada pelayanan

kompetensi

rakyat, tetapi dimobilisasi melalui sentimen

Argumen kaum positivistik seperti itu akan

primordialistik, seperti etnis, agama, dan

senantiasa menyetujui bahwa untuk mendorong

kedaerahan. Dengan demikian, kemunculan

terjadinya transformasi kultural menuju sistem

banyak Parpol dalam sepuluh tahun terakhir ini

pemerintahan yang demokratis, maka rakyat

tidak berarti mendorong terciptanya sistem

harus

politik demokratis dan stabil, tetapi justru yang

ditentukan, misalnya harus terdidik, sejahtera

terjadi sebaliknya, yaitu elitis, pragmatik, dan

secara ekonomi, dan memerlukan waktu yang

anarkis yang semuanya anti nilai demokrasi.

cukup untuk menunggu ke tahap perkembangan

rakyat

dianggap

untuk

memenuhi

kurang

bertindak

prasyarat

memiliki

demokratis.

yang

telah

yang diidolakan. Ungkapan yang khas dari
Lihat Brian Barry, 1970, Sociologists, Economists, and
Democracy. Chicago: University of Chicago Press.

9
Arend Lijphart, 1984: Democracies: Patterns of
Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One
Centuries. New Heaven Conn: Yale University Press.

8

21

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

pandangan positivistik-linieristik itu misalnya,

perkembangan awal itu, mampu menjadi agen

Amerika Serikat bisa mencapai tahap demokrasi

untuk kehendak bersama berubah menjadi

seperti sekarang diperlukan waktu sekitar 200

masyarakat yang demokratis.

tahun, sedangkan Indonesia kan baru belum

Itulah sebabnya, di era Orde Baru berkembang

lama merdeka, jadi jangan berharap terjadi

amat pesat pandangan developmentalistik yang

demokratisasi yang berkualitas. Logika kaum
positivistik

memang

dilandasi oleh teori-teori modernisasi dalam

mengandaikan

usaha

perkembangan masyarakat secara linier, sama
sekali

tidak

memperhitungkan

mengubah

masyarakat

tradisional.

Melalui program-program pembangunan sosial,

bahwa

ekonomi, dan politik mengandaikan masyarakat

perkembangan sejarah masyarakat yang zig-zag.

Indonesia masih sangat tertinggal dan bahkan

Karena itu pendukung perspektif ini, termasuk

primitif, serta senantiasa pasif. Akibatnya

Almond dan Verba, kurang menyinggung

muncul ironi-ironi, misalnya mensosialisasikan

misalnya program-program lompatan ke depan.

Pancasila melalui program P-4 ke masyarakat

Pandangan positivistik juga sama sekali kurang

desa,

memperhitungkan adanya kemungkinan bahwa

masyarakat desa sudah jauh lebih intens dalam

masyarakat

mengamalkan

yang

secara

substantif

warga

pada

tataran

memiliki

tradisi

pengembangan seperti itu juga terjadi di era

berdemokrasi. Ini merupakan implikasi logis

reformasi, ketika pemerintah dan beberapa

dari asumsi bahwa konstruksi perkembangan

aktivis LSM terus mendorong demokratisasi

masyarakat harus dimulai dari angka 1 dan

desa, padahal warga masyarakat desa jauh

kemudian

sebelumnya

perkembangan

berada

padahal

awal,

berkembang

ke

arah

angka

nilai-nilai

telah

Pancasila.

menerapkannya

Model

dalam

berikutnya secara linier dengan memenuhi

berkomunitas

prasyarat yang telah ditetapkan menurut tafsir

demokrasi. Sebagai ilustrasi, warga masyarakat

dari kelompok dominan yang menyebarkan

dalam

wacana. Oleh karena itu, tidak mengandaikan

senantiasa

menggunakan

adanya

akuntabilitas,

transparans,

fakta

tradisional

empiris
telah

bahwa

masyarakat

melakukan

tradisi

dengan

berkomunitas

di

prinsip-prinsip

tingkat

RT-RW

mekanisme
dan

partisipatif

sebagaimana prinsip demokarasi. Penggunaan

berdemokrasi. Bahkan melalui penjelasan teori-

dana

teori

tradisional

pembangunan misalnya, senantiasa dilaporkan

dianggap sulit berkembang menjadi masyarakat

secara transparan di depan forum-forum

yang

pertemuan

modernisasi,

demokratis

masyarakat

dan

sejahtera

karena

bersama

dalam

warga.

RT-RW

Dalam

untuk

perencanaan

terkungkung oleh nilai-nilai feodalistik dan

pembangunan pun, warga selalu menggunakan

patrimonial yang bersifat permanen. Tidak

mekanisme dari bawah (bottom-up) dengan

diandaikan sama sekali bahwa masyarakat

mempertimbangkan aspirasi warga.

tradisional

yang

diposisikan

pada

level

22

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

Oleh karena itu, menginginkan terjadinya

substansial.

transformasi

kultural

menuju

kompetensi dalam berdemokrasi, tetapi tidak

demokratisasi

secara

melalui

mempunyai

dalam
substansial

Kelompok

elit

komitmen

mempunyai

tinggi

dalam

eksperimen model konseptualisasi pandangan

menerapkan kehidupan berdemokrasi secara

kaum positivistik, mempunyai konsekuensi

lebih substansial, karena pada hakekatnya

waktu lama. Dominasi budaya politik parokial

mereka lebih pro kemapanan.

misalnya, harus diubah lebih dulu menjadi
setapak lebih maju ke arah budaya politik
subyektif, dan akhirnya ke budaya politik
partisipan. Untuk mengurangi budaya politik

C. Essensialisme
Budaya

parokial, maka orientasi politik yang didominasi

Budaya politik juga bisa dijelaskan dari

koginitif perlu diubah menjadi orientasi politik

perspektif esensialisme dan konstruktivisme

afektif, dan kemudian menuju orientasi politik

budaya.

evaluatif.

kognitif

mengatakan bahwa budaya politik adalah

diasumsikan terjadi pada masyarakat level

seperangkat nilai, norma dan kebiasaan yang

bawah, tidak diperhitungkan sama sekali bahwa

menjadi dasar bagi tingkah laku para elit politik.

justru orientasi politik pada level kognitif itu

Seterusnya diandaikan pula bahwa budaya

terjadi pada masyarakat yang berada strata

politik tersebut didasarkan pada nilai-nilai

kelas atas. Bahkan kalangan elit politik yang

budaya dominan yang sedang berlaku. Kaum

menganggap dirinya mempunyai tingkat melek

esensialisme budaya mengandaikan bahwa nilai,

politik tinggi, justru orientasi politiknya hanya

norma, dan ketentuan normatif lainnya adalah

terbatas pada kognisi, sementara pada tataran

sesuatu yang baku, tetap, dan permanen.

tindakan (action) kurang mendorong sistem

Berangkat dari asumsi itu, maka kubu ini

demokrasi. Logikanya, mereka yang menikmati

percaya jika ada tingkah laku politik yang tidak

struktur sosial yang tidak adil justru adalah

sesuai dengan seperangkat rumusan normatif

kaum elit, karena itu mereka cenderung

itu maka terjadi penyimpangan budaya politik.

memapankan.

mereka

Pandangan ini mengandaikan bahwa warga

mempunyai kognisi demokrasi yang tinggi, dan

negara bersifat pasif, selalu mengikuti ketentuan

mampu evaluasi terhadap sistem politik yang

normatif, dan tidak mampu menjadi agen untuk

berlaku,

melakukan perubahan.

Repotnya

Karena

tetapi

orientasi

itu

cenderung

meski

memapankan

dan

Pandangan

Konstruktivisme

kaum

esensialis

struktursosial-politik yang tidak egalitarian.
Mengikuti pengertian seperti itu, maka budaya

Dengan kata lain, yang sering terjadi di

politik tidak lain dari nilai dan kebiasaan yang

Indonesia, bahwa kelompok yang memiliki

berkembang di kalangan elit politik, dan menjadi

orientasi politik evaluatif dan berbudaya politik

semacam

partisipan, justru tidak mendorong terjadinya
transformasi

ke

arah

sistem

sub-kultur

dalam

kalangan

ini.

Masalahnya timbul karena nilai-nilai dan

demokrasi
23

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

kebiasaan tersebut dianut oleh sekelompok

bukanlah suatu yang tetap, baku, dan permanen.

orang yang relatif berkuasa dan berpengaruh

Dengan demikian dalam berbicara budaya

secara politik. Akibatnya, nilai-nilai, pandangan,

politik yang perlu diperhatikan adalah, bahwa

kebiasaan dan tingkah laku kelompok sosial ini

kebudayaan tidaklah hanya berisikan nilai-nilai

dengan mudah menyebar, diikuti dan diterima

dan norma-norma, tetapi sekaligus memberikan

oleh kalangan masyarakat yang lebih luas.

kemungkinan yang sama besarnya bahwa nilai

Dengan demikian, kalau dalam bidang ekonomi

dan norma tersebut diselewengkan untuk

gaya hidup kelas menengah kota mudah

kepentingan ekonomi, kepentingan kekuasaan,

menjalar dan ditiru oleh strata sosial lainnya

atau

(juga kalau pendapatn mereka sebenarnya tidak

penyelewengan tersebut juga dengan mudah

mencukupi

gaya hidup

dilakukan atas nama nilai-nilai budaya yang

tersebut), maka budaya politik adalah semacam

sama. Secara teoretis dapatlah dikatakan:

gaya hidup

untuk membiayai

kepentingan

lainnya,

dimana

yang dengan mudah menular

budaya politik tidak sekadar menjadi dasar bagi

kepada warga negara biasa yang tidak menjadi

tingkah laku politik, tetapi juga dibentuk dan

bagian dari elit politik (meskipun tingkah laku

diberi wujud nyata oleh tingkah laku politik.

tersebut tidak selalu disetujuinya secara sadar).

Hubungan antara budaya politik dan tingkah

Jika

mengandaikan

adanya

laku politik bukanlah bahwa yang pertama

transformasi

mempengaruhi yang kedua, tetapi jugabahwa

kultural dalam perilaku politik di Indonesia

tingkah laku politik mempengaruhi wujud dan

menuju ke arah yang lebih demokratis, maka

sifat budaya politik. Ini berarti, tingkah laku

gugatan terhadap perspektif teoretik kaum

politik yang bersih akan menghasilkan budaya

esensialisme budaya, perlu dilakukan. Artinya,

politik

tidak mungkin ada transformasi kultural jika

yang

menjunjung

tinggi

nilai-nilai

kejujuran, dan sebaliknya tingkah laku politik

berkembang persepsi bahwa suatu nilai dan

yang korup akan menghasilkan budaya politik

norma bersifat tetap, dan tidak terbuka

yang dengan mudah memaafkan (dan pada

kemungkinan untuk berubah menyesuaikan

akhirnya

dengan realitas empiriknya. Oleh karena itu jika

membenarkan),

berbagai

penyelewengan.10

ingin tetap konsisten dalam diskusi tentang
budaya politik, dan mengandaikan adanya

Itu berarti mengandaikan adanya agen bagi

transformasi kultural, maka perlu mengadopsi

upaya

perspektif budaya politik dari pandangan kaum

demokratis. Persoalannya siapa yang berpotensi

konstruktivisme budaya.

menjadi agen perubahan kultural ke arah

Pandangan

kaum

konstruktivisme

transformasi

budaya

politik

yang

perilaku politik demokratis secara masif? Dalam

budaya

berbagai kajian ilmu politik, kelas menengah

meyakini bahwa nilai, norma, dan kebiasaan itu

Lihat Ignas Kleden, Budaya Politik atau Moralitas
Politik?. Artikel, Kompas, 12 Maret 1998, hlm.4-5.

10

24

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

sering dianggap sebagai lokomotif demokrasi

mampu mendorong transformasi kultural ke

yang berpotensi menarik gerbong masyarakat

arah politik demokratis yang substansial?

yang berkehendak terhadap terwujudnya sistem

Banyak studi menginformasikan bahwa kelas

pemerintahan yang demokratis. Di negara-

menengah di Indonesia relatif kurang mampu

negara berkembang, kelas menengah sering

menjadi lokomotif pembaruan, termasuk dalam

diandalkan untuk tampil sebagai agen kekuatan

mendorong demokratisasi. Pada era Orde Baru

pembaruan dari sebuah sistem politik yang anti

kelas menengah Indonesia praktis tidak berdaya

demokrasi. Korea Selatan misalnya, sering

di tengah kuatnya pemberlakuan sistem politik

disebut-sebut sebagai cerita sukses kelas

yang otoriter. William Liddle melihat bahwa

menengah yang mampu mendorong masyarakat

tersendatnya demokratisasi di Indonesia pada

ke arah pemerintahan demokratis, setelah

era Orde Baru adalah dikarenakan pertumbuhan

negara tersebut berada dalam pemerintahan

kelas menengah yang tertatih-tatih. Liddle

junta militer yang otoriter.

menunjuk kelas menengah itu sebagai kaum
majikan, wiraswastawan atau pengusaha yang

Sementara itu, negara-negara di Eropa Timur
pasca

Perang

Dingin

merupakan

tak kelewat besar sampai menjadi konglomerat,

contoh

tapi cukup makmur. Ciri mereka independen, tak

kegagalan negara-negara yang tidak mampu

bergantung

memanfaatkan momentum transisi demokrasi.

seharusnya

negara di kawasan Eropa Timur masuk dalam
negara

yang

memasuki

negara

tinggi

berjalan lamban, karena kelas menengah kurang

instrumen

lantaran

pada

pemerintah.
karena

selama

Mereka
ini

merasa

mendapat

Liddle ingin menunjukan bahwa ada hubungan
antara keberadaan kelas menengah dengan

politik, dan bahkan elit politik menggunakan
sebagai

Tetapi

yang terakomodir. Dengan demikian, maka

proses

demokrasi hanya berlangsung di kalangan elit

demokrasi

otoriter.

perlindungan dan banyak kepentingan mereka

demokrasi ke kelas bawah. Dengan kata lain,
bahwa

yang

tergantung

mentransformasikan

disebabkan

posisi

kelompok yang mempunyai ketergantungan

tersebut mengalami kegagalan, atau paling tidak

itu

memperkuat

independen maka yang sering terlihat adalah

tetapi transisi demokrasi di negara-negara

kegagalan

dapat

terbatasnya kaum menengah pengusaha yang

dan beberapa negara pecahan Uni Soviet. Akan

dalam

pemerintah.

masyarakat ketika berhadapan dengan kekuatan

transisi

demokrasi, seperti Polandia, Bulgaria, Rumania,

berperan

kebaikan

Keberadaan kelas menengah ini menurut Liddle,

Setelah runtuhnya Uni Soviet, banyak Negara-

kategori

pada

berlangsungnya demokratisasi, dimana kelas

untuk

menengah yang tertaih-tatih (misal di Indonesia

memperoleh kekuasaan baru.

pada waktu zaman Orde Baru) juga dapat
Bagaimana peran kelas menengah di Indonesia,

memberikan dampak kepada tersendatnya

dalam konteks membangun sistem pemerintah

proses demokratisasi.

yang demokratis? Apa- kah kelas menengah
25

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

Kelas menengah yang tidak mempunyai otonomi

bukan semata-mata tekanan dari dalam negeri

relatif terhadap negara, karena memang kelas

yang digalang oleh mahasiswa, tetapi tekanan

menengah bentukan pemerintah atau mendapat

krisis ekonomi yang melibatkan permainan

fasilitas dari pemerintah, maka kurang mampu

kekuatan kapitalisme global justru terasa lebih

menjadi lokomatif pembaruan. Oleh karena itu,

signifikan pengaruhnya terhadap perubahan

perubahan signifikan situasi politik di Indonesia

politik di Indonesia.

meski terdapat peran kelas menengah, tetapi

Semua itu menjadi indikator lemahnya kelas

secara substantif tidak cukup signifikan. Sikap

menengah sebagai pendorong perubahan dalam

kritis memang selalu ditunjukan oleh golongan

sejarah

kelas menengah, tetapi dalam sejarah politik di

lepas

dari

faktor

eksternal,

yaitu

menuju sistem pemerintahan demokratis secara
lebih substansial. Boleh jadi itu juga merupakan

misalnya, perubahan dari era pemerintahan

implikasi logis

kolonial Belanda ke era kemerdekaan, meski

terpeliharanya

peran kaum terpelajar dan pergerakan yang

menengah

politik representasi dengan terus berusaha

di Eropa dan Asia. Demikian pula perubahan

mengartikulasikan suara dari kelompok akar

politik dari era pemerintahan Soekarno ke era

rumput. Akan tetapi, pada saat situasi politik

cukup

relatif stabil kelas menengah justru dengan

menonjol, akan tetapi tidak lepas dari skenario

cepat menjadi bagian dari elit politik yang

politik Amerika Serikat dalam kaitan dengan

menghuni struktur kelas atas. Pada titik itulah

tarik-menarik kepentingan ekonomi-politik di

kemudian hubungan kelas menengah dengan

era Perang Dingin.

kelas akar rumput menjadi renggang.

Sementara itu, perubahan politik dari era Orde

Ketika kelas menengah masuk menjadi bagian

Baru yang otoriter ke era reformasi meski tidak

dari sistem, keterlibatan mereka dalam proses

mengecilkan peran kelas menengah, terutama
mahasiswa,

kelas

krisis politik, kelas menengah sering melakukan

dunia yang dilanda oleh perang berkepanjangan

kalangan

hubungan

Dalam momen tertentu, atau pada saat- saat

tidak lepas dari perubahan konstelasi politik

dari

dari kurang intensif dan

dengan kelompok akar rumput (grassroot).

dipolopori oleh kaum kelas menengah, juga

peran mahasiswa

Indonesia.

ketidaklancaran proses transformasi kultural

dari dunia internasional. Sebagai ilustrasi

meski

di

pembaruan menjadi titik lemah terjadinya

perubahan atau kehendak yang dikendalikan

Soeharto,

politik

Ketidakmampuan kelas menengah sebagai agen

Indonesia adanya perubahan politik senantiasa
tidak

pergulatan

namun

pengambilan keputusan seringkali terasa lebih

faktor

pro kemapanan dan bahkan pemilik modal.

eksternal dalam bentuk pengkondisian krisis

Berbagai produk perundangan legislatif yang

ekonomi nasional yang tidak lepas dari skenario

merupakan lembaga perwakilan rakyat, banyak

negara-negara besar, sepertinya akan sulit

yang tidak pro rakyat kelas bawah, tetapi justru

terjadi. Jatuhnya rezim pemerintahan Soeharto,

pro kaum kapital. Meskipun proses politik
26

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

lahirnya sebuah undang-undang pada era

substansial yang ditandai kesejahteraan rakyat

reformasi terasa lebih demokratis, tetapi secara

dan proses politik yang damai.

substansial kurang bermuatan kepentingan
rakyat. Elit politik legislatif yang kebanyakan
D. Kesimpulan: Akar Rumput sebagai Agen

dari kelas menengah justru mengalami erosi
kepekaan terhadap aspirasi rakyat bawah. Alih-

Jika kelas menengah tidak bisa menjadi

alih mendengar suara aspirasi rakyat, malah di

tumpuhan dalam transformasi kultural ke arah

antara mereka banyak yang lupa sebagai

demokrasi

substansial,

pembawa

golongan

akar

mandat

rakyat.

Mereka

justru

mengkonsolidasikan

rumput

sebagai

agen

kemudian menyalahgunakan kekuasaan dengan

transformasi bisa menjadi tawaran menarik.

ramai-ramai

Tawaran ini mengandaikan bahwa perilaku

melakukan

penyimpangan,

sehingga banyak di antara mereka terlibat kasus

budaya

tindak pidana korupsi.

dikendalikan oleh sistem yang berlaku atau juga

yang diyakini kebenarannya oleh elit politik. Di

Banyak kebijakan yang tidak pro rakyat, tetapi

sini diandaikan terjadi proses dekonstruksi atas

demi orientasi pertumbuhan mereka antusias

mengeksplorasi

sektor

ekstraktif

semata-mata

berarti bisa dilepaskan begitu saja dari nilai-nilai

pencerabutan dari akar basis demokrasinya.

asing

tidak

yang cenderung pro kemapanan. Budaya politik

masuk dalam jajaran eksekutif juga mengalami

investor

rakyat

tidak mengikuti perilaku budaya politik elitnya

Sementara itu, kalangan kelas menengah yang

mengundang

politik

konstruksi yang telah terbentuk secara mapan

untuk

tetang nilai-nilai yang pada prinsipnya anti

atau

demokrasi.

pertambangan dan hasil hutan. Hampir semua
Kepala Daerah dalam era Otonomi Daerah,

Dalam kehidupan politik keseharian di kalangan

justru menempuh kebijakan yang pro kapital

masyarakat

sebenarnya

dan

melakukan

praktik

padat

modal

yang

berorientasi

sudah

banyak

demokrasi.

Prinsip

pertumbuhan ekonomi daerah. Sementara itu

partisipasi misalnya, dalam unit komunitas RT-

tidak banyak yang berusaha mengedepankan

RW telah mengedepankan prinsip partisipasi

kebijakan pro rakyat yang padat karya dan

dalam

beriorientasi

pada pemerataan. Akibatnya,

pembangunan di seputar lingkungan sosialnya.

kesenjangan sosial ekonomi tetap lebar dengan

Prinsip mengedepankan transparansi juga telah

elit daerah sebagai penikmat atau yang lebih

menjadi

dikenal sebagai penerima berkah otonomi

mekanisme

pertanggungjawaban

dana

daerah. Semua itu mengindikasikan bahwa

pembangunan

yang

dana

demokrasi yang dijalankan masih berada pada

masyarakat. Perencanaan yang dibuat, kegiatan

tataran prosedural, dan belum berjalan secara

yang dilaksanakan, dan kebijakan yang diambil,

setiap

kultur

melaksanakan

yang terus

digalang

aktivitas

hidup dalam

dari

semuanya dapat dipertanggungjawabkan di

27

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

depan

publik

sesuai

dengan

prinsip

level komunitas RT-RW justru perlu ditiru oleh

akuntabilitas.
Jadi

elit

dalam

berkomunitas

pemerintahan

masyarakat

pada

unit

bawah

telah

Sebaliknya,

Nilai-nilai

demokrasi

transformatif

secara

rumput

ke

berpotensi

mendorong

korup

yang

menjadi

budaya

agen

politik

bersih

dalam
dan

demokratis.

masyarakat

kultural

politik

nasional.

menunjukkan bahwa justru kalangan akar

rumput. Karena itu potensi akar rumput sebagai
menuju

perilaku

politik

rumput dalam politik pada level desa. Itu semua

seperti

keterbukaan, terus hidup laten di kalangan akar

pembaruan

level

tidak akan pernah ditiru oleh kalangan akar

menghargai pendapat orang lain, toleransi, dan

agen

pada

ditunjukkan oleh elit politik pada level nasional,

mempunyai tradisi yang sesuai dengan prinsip
demokrasi.

politik

arah

Dalam

perspektif

budaya

politik

yang

nilai-nilai

yang

demokratisasi sepertinya jauh lebih besar,

konstruktivistik,

dibandingkan dengan kelas menengah yang

mendasari

selama ini telah diasumsikan sebagai agen

penyimpangan akan bisa diubah oleh kalangan

demokrasi

akar

di

negara-negara

berkembang.

bahwa

perilaku

rumput.

politik

Pandangan

yang

penuh

konstruktivistik

Karena itu jika fungsi kelas menengah sebagai

memposisikan akar rumput sebagai subyek yang

lokomotif demokrasi kurang bisa berjalan

aktif dan mampu melakukan dekonstruksi

secara efektif, maka fungsi itu bisa diambil alih

terhadap budaya politik mapan yang tidak

oleh kalangan akar rumput.

bersih

rumput

demokrasi dalam kehidupan berkomunitas.
budaya

Transformasi

dan kemudian meniru budaya politik akar

rumput yang telah menunjukkan perilaku politik

asumsi

demokrasi.

bawah dengan kesediaan elit untuk bercermin

bercermin pada budaya politik kalangan akar

demikian

anti

kultural dalam berdemokrasi bisa berjalan dari

Atau paling tidak, kalangan elit politik bisa

Dengan

dan

yang

justru

telah

sejak

lama

menjalankan prinsip demokrasi secara lebih

politik

substansial.

esensialistik yang mengandaikan perilaku elit
politik yang senantiasa akan ditiru oleh rakyat,
sekalipun perilaku bertentangan dengan nilai

Daftar Pustaka

demokrasi, tidak berlaku. Yang terjadi justru
sebaliknya,

budaya

politik

kalangan

Arend, Lijphart. 1984. Democracies: Patterns of

akar

Majoritarian and Consensus Government

rumput yang bertingkahlaku politik yang bersih

in Twenty-One Countries, New Heaven

justru perlu ditiru oleh kalangan elit politik.
Tingkah

laku

politik

yang

bersih

Conn: Yale University Press.

akan

Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba.1963. The

menghasilkan budaya politik yang menjunjung
tinggi

nilai

kejujuran

sebagaiman

Civic Culture. Princeton, New Jersey:

yang

Princeton University Press.

ditunjukkan oleh kalangan akar rumput pada
28

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012
Sugeng Bayu Wahyono
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial

Avineri, Shlomo. 1992, The Return to History:
The Breakup of the Soviet Union ,
Brookings Review 10
Barry, Brian. 1970, Sociologists, Economists and
Democracy.

Chicago:

University

of

Chicago Press.
Fukuyama, Francis.1992. The End of History and
The Last Man. New York: Free Press.
Ghia

Nodia.

1994.

Nationalism

and

Democracy , dalam Larry Diamond and
Marc F. Plattner (ed) Nationalism, Ethinic
Conflict, and Democracy. London: Johns
Hopkins University Press.
Ignas Kleden, Budaya Politik atau Moralitas
Politik?, artikel, Kompas, 12 Maret 1998,
hal. 4-5.
Kusnanto Anggoro. 1999. Gagasan Militer
Mengenai
Madani,

Demokrasi,
dan

Masyarakat

Transisi

Demokratik.

Pendekatan

–Pendekatan

Jakarta: CSIS
Maswardi

Rauf,

Dalam Ilmu Politik: Studi Penjajagan ,
Ilmu dan Budaya. No. 7, April 1991

Robinson, Richard dan Hadiz, Vedi R. 2004,
Reorgananising Power in The Politics of
Oligarchy in an Age of Markets. London
and New York: Routledge Curzon.
Stepan, Alfred. 1978. State and Society: Peru in
Corporative Perspective. New Jersey:
Princetton University Press.

29