Isi Kumpulan Makalah Menuju Arsitektur BerEmpati
Kumpulan Makalah
Seminar Nasional
Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, 4 – 5 Mei 2012
Dies 45 Jurusan Arsitektur
Universitas Kristen Petra
Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Kristen Petra
Bekerjasama dengan
Ikatan Arsitek Indonesia
Daerah Jawa Timur
Penerbit
Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Kristen Petra
Reviewer
Ir. Benny Poerbantanoe, MSP.
Ir. Bisatya W. Maer, MT.
Ir. Danny Santoso Mintorogo, M. Arch.
Ir. J. Loekito Kartono, MA.
Ir. Joyce M. Laurens, M. Arch.
Ir. Liliany Sigit, M. Sc.
Ir. M.I. Aditjipto, M.Arch
Timoticin Kwanda, B.Sc., MRP., Ph.D (Cand.)
Ir. V.P. Nugroho Susilo, M.Bdg.Sc.
Editor
Rony Gunawan Sunaryo, ST., MT.
Altrerosje Asri, ST., MT.
Katalog dalam Terbitan
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Kumpulan Makalah Seminar Nasional Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, 2012, xviii, 615 hlm, 21x21 cm
Hak Cipta dilindungi Undang‐undang
UU RI no 19 tahun 2002
Gambar Sampul :
Permukiman tepi Kali Code, Yogyakarta, sumber : koleksi foto Erwinton Napitupulu
Sambutan
Sambutan Rektor Universitas Kristen Petra
Syalom dan salam damai sejahtera bagi kita semua!
Dalam rangka Dies Natalis ke‐45, Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra kembali
menyelenggarakan Seminar Nasional Arsitektur (di) kota. Seminar yang berlangsung pada
tanggal 4‐5 Mei 2012 kali ini bertajuk “Menuju Arsitektur yang Berempati”. Diharapkan,
seminar ini kembali menjadi wadah untuk menghimpun keragaman perspektif dari berbagai
elemen dunia arsitektur, baik pengguna, praktisi, akademisi, peneliti bahkan birokrat dalam
memaknai arsitektur yang berempati.
Ulasan beberapa materi terkait dengan aspek empati dalam keilmuan arsitektur
merupakan dukungan yang nyata terhadap komitmen UK Petra sebagai kampus yang peduli
terhadap lingkungan (green campus) sejak tahun 2009. Sebagai salah satu jurusan yang
didirikan pada awal pendirian UK Petra, Arsitektur telah dan terus diharapkan berperan dalam
memberikan kontribusi nyata khususnya dalam bidang keilmuan untuk mendukung
pengembangan masyarakat.
Terselenggaranya seminar nasional ini tentunya tidak terlepas dari dukungan banyak
pihak, khususnya para pembicara kunci dan peserta sebagai kontributor makalah.
Perkenankan saya menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar‐besarnya atas
segala pertisipasi dan dukungannya. Akhir kata, saya juga mengucapkan terima kasih kepada
rekan‐rekan dari Jurusan Arsitektur, khususnya panitia pelaksana yang telah bekerja keras
demi terselenggaranya seminar ini.
Biarlah segala puji hormat dan kemuliaan hanya bagi Tuhan kita Yesus Kristus!
Prof. Ir. Rolly Intan, M.A.Sc., Dr.Eng.
Rektor Universitas Kristen Petra
iii
Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, ‐ Mei
iv
Sambutan
Sambutan Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Salam sejahtera dalam Kasih Kristus,
Memasuki tahun 2012 ini, Jurusan Arsitektur merayakan Dies Natalisnya yang ke 45.
Jurusan Arsitektur UK Petra telah membuktikan dirinya mampu bertahan lebih dari 45 tahun
pengabdian dalam kiprahnya di dunia pendidikan Arsitektur. Kiprahnya tidak hanya dalam
pendidikan, pengajaran, penelitian tetapi juga pengabdiannya kepada masyarakat. Saat ini
Jurusan Arsitektur banyak berpartisipasi di pemerintah kotamadya Surabaya, baik sebagai nara
sumber maupun sebagai staf ahli.
Jurusan ini telah menghasilkan sekitar 3000 alumni yang tersebar di Indonesia, bahkan
beberapa di antaranya ada di luar negeri. Telah banyak karya‐karya Arsitektur yang dihasilkan
baik oleh dosen, alumni dan mahasiswa mewarnai kota Surabaya hingga mancanegara.
Sistem studio dalam pengajaran di dunia pendidikan Arsitektur yang saat ini dipakai
hampir di seluruh program studi Arsitektur di Indonesia, diperkenalkan pertama kali di Jurusan
Arsitektur UKP. Menjadi kebanggaan bagi kita semua jika sistem studio di Jurusan Arsitektur
menjadi benchmark bagi perguruan tinggi lain di Indonesia.
Di jajaran Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UK Petra, Jurusan Arsitektur memiliki
keberlanjutan yang cukup baik dalam hal jumlah calon mahasiswa yang masuk dan jumlah
lulusan yang dihasilkan. Pada keadaan seperti sekarang, di mana pesaing semakin banyak, hal
ini merupakan keberhasilan dalam menjaga mutu dan kepercayaan dari masyarakat.
Kebanggaan dan kesuksesan ini merupakan hasil kerja keras dari seluruh jajaran di
Jurusan Arsitektur dari generasi ke generasi.
Melalui Seminar Nasional dalam memperingati Dies Natalis Jurusan Arsitektur FTSP UK
Petra yang ke 45, diharapkan sharing dari berbagai elemen masyarakat, baik para akademisi,
praktisi arsitektur maupun perkotaan, instansi pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat,
dan elemen masyarakat lainnya; untuk bergandeng tangan mewujudkan perancangan
Arsitektur yang berempati terhadap lingkungan, aspek ekonomi dan sosial, serta keamanan,
v
Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, ‐ Mei
kesehatan sebagai kesadaran makin peliknya tantangan perkembangan kota di masa kini dan
masa depan.
Selamat berseminar & berdiskusi ”Menuju Arsitektur berEmpati”
SELAMAT UNTUK JURUSAN ARSITEKTUR, jangan lengah dengan keberhasilan yang
telah dicapai, tetapi jadikan itu teladan untuk dapat menciptakan inovasi‐inovasi baru sesuai
dengan tuntutan jaman demi kemajuan dunia pendidikan arsitektur di Indonesia.
DIRGAHAYU JURUSAN ARSITEKTUR UK PETRA !!!!!
Tuhan memberkati!
Ir. Handoko Soegiharto, MT.
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Kristen Petra
vi
Sambutan
Sambutan Ketua Jurusan Arsitektur
Salam sejahtera dalam kasih Kristus,
Pada perjalanan usia yang ke‐45 atau Lustrum IX Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan, Universitas Kristen Petra, mari kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan
karena penyertaan‐Nya Jurusan Arsitektur semakin mantap menunjukan eksistensinya.
Ucapan terimakasih juga sepatutnya diberikan kepada para pendiri Jurusan Arsitektur yang
pada 1967 dan sebelumnya telah mempersiapkan pembukaan jurusan ini.
Saat ini Jurusan Arsitektur semakin memantapkan visinya yaitu menghasilkan sarjana
arsitektur yang berintegritas, unggul dalam bidang akademik pada taraf nasional dan
internasional serta berwawasan pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan nilai‐
nilai budaya lokal. Sampai saat ini jurusan telah meluluskan 3071 sarjana arsitektur yang
berkarya baik sebagai arsitek maupun profesional di bidang lain . Misi jurusan juga telah
diperbaharui yaitu mendidik mahasiswa arsitektur agar dapat menjadi sarjana Arsitektur yang
mampu berkarya secara kreatif dalam merancang lingkungan binaan, yang peka dan berempati
pada kebutuhan manusia, berwawasan lingkungan, dan selalu mengembangkan diri sesuai
dengan perkembangan jaman. Perkembangan jurusan dan peningkatan kualitas dosen,
mahasiswa dan lulusan yang lebih mantap tidak lepas dari komitmen yang tinggi dari seluruh
civitas akademika, alumni dan masyarakat.
Dalam rangka memperingati Dies Natalis ke‐45, Jurusan Arsitektur menyelenggarakan
serangkaian acara dengan tema: Menuju Arsitektur yang Berempati Tema ini diangkat sebagai
pengejawantahan visi dan misi jurusan dan sebagai awalan dalam perumusan road map
penelitian untuk lima tahun ke depan. Seminar sebagai puncak acara Dies Natalis diharapkan
dapat menghimpun keragaman perspektif kekinian tentang tema diatas, sehingga selanjutnya
dapat dikembangkan dalan kaitannya dengan pelaksanaan Tri Darma Pendidikan Tinggi.
Rangkaian acara Dies Natalis ini dapat terselenggara dengan baik atas dukungan
seluruh civitas akademika, juga kerjasama dan partisipasi yang erat dari para pendukung dana
vii
Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, ‐ Mei
dan seluruh peserta baik pameran, lomba disain, maupun seminar. Untuk itu, atas dukungan
dan kerjasamanya, jurusan mengucapkan terimakasih. Jurusan juga mengucapkan terimakasih
atas dukungan dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Timur.
Selamat merayakan Dies Natalis ke‐45, kiranya Tuhan menyertai kita semua.
Viva Jurusan Arsitektur UK Petra !
Agus Dwi Hariyanto ST., M.Sc
Ketua Jurusan Arsitektur FTSP Universitas Kristen Petra
viii
Kata Pengantar
Kata Pengantar
Berempati adalah suatu proses ketika seseorang merasakan perasaan orang lain dan
menangkap arti perasaan itu, kemudian mengkomunikasikannya dengan kepekaan sedemikian
rupa hingga menunjukkan bahwa ia sungguh‐sungguh mengerti perasaan orang lain itu.
Empati bukanlah suatu diagnosis dan evaluasi terhadap orang lain tetapi lebih merupakan
pemahaman. Empati menekankan kebersamaan dengan orang lain lebih dari sekedar
hubungan yang menempatkan orang lain sebagai obyek manipulatif (Bullmer, K., 1975).
Arsitektur dipahami secara luas sebagai proses sekaligus produk pemenuhan
kesejahteraan manusia melalui perancangan dan perencanaan. Fenomena kekinian
memperlihatkan hegemoni arsitektur sebagai produk dan komoditas kapital dengan arsitek
sebagai aktornya. Konteks tersebut mengarahkan pada timbulnya eksklusivitas yang
memposisikan arsitektur seolah hanya bagi dan dari golongan manusia tertentu saja. Selain itu
tumbuh pula pemahaman dan gerakan yang melihat arsitektur sebagai jalan untuk
memanusiakan manusia.
Untuk memperkuat gerakan yang bertujuan menempatkan arsitektur sebagai jalan
untuk memanusiakan manusia, maka dalam rangkaian acara Dies Natalis ke‐45 Jurusan
Arsitektur, Fakultas Tekink Sipil dan Perencanaan, Universitas Kristen Petra
menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema Menuju Arsitektur yang Berempati.
Seminar ini dilaksanakan pada tanggal 4‐5 Mei 2012 di Auditorium UK Petra. Selain itu
seminar ini juga sebagai bagian dari implementasi visi dan misi jurusan dalam mendidik
mahasiswa menjadi sarjana yang mampu berkarya secara kreatif dalam merancang lingkungan
binaan, yang peka dan berempati pada kebutuhan manusia, berwawasan lingkungan, dan
selalu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan jaman. Selain itu seminar ini
bertujuan menghimpun keragaman perspektif kekinian dalam memaknai arsitektur yang
berempati dengan melibatkan para akademisi dan praktisi yang berkepentingan dalam
mewujudkan Arsitektur yang Berempati dari berbagai perspektif. Melalui keragaman
perspektif diharapkan mucul kekayaan khasanah pemaknaan arsitektur yang berempati.
ix
Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, ‐ Mei
Seminar Menuju Arsitektur yang Berempati dibagi dalam lima topik meliputi :
1. Kenyamanan Fisik dan Psikis
2. Keselamatan, Keamanan dan Keterlindungan
3. Konservasi: Kearifan Lokal, Budaya dan Sejarah
4. Teknologi & Rekayasa Arsitektur
5. Pembelajaran Arsitektur
Kepada para pembicara dan pemakalah, kami sampaikan penghargaan atas
partisipasinya untuk berbagi pemikiran dalam seminar ini. Semoga pemikiran‐pemikiran yang
terhimpun dalam seminar ini dapat menjadi kontribusi yang berarti bagi penerapan dan
pengembangan Arsitektur yang Berempati di Indonesia.
Surabaya, Mei 2012
Gunawan Tanuwidjaja, ST., M.Sc.
Ketua Bidang Seminar
x
Penyelenggara
Penyelenggara
Panitia Pengarah
Ir. Bisatya W. Maer, MT.
Ir. Danny Santoso Mintorogo, M. Arch.
Ir. Joyce M. Laurens, M. Arch.
Timoticin Kwanda, B.Sc., MRP., Ph.D (Cand.)
Panitia Dies 45 Jurusan Arsitektur
Ketua
Sekretaris
Bendahara
Sie Sekretaris, Bendahara, dan Pendaftaran
Penanggungjawab
Koordinator
Anggota
Sie Acara, Makalah, Layout, dan Publikasi
Penanggungjawab
Koordinator
Sie Akomodasi dan Transportasi
Koordinator
Anggota
Sie Dokumentasi
Koordinator
Anggota
Sie Konsumsi
Penanggungjawab
Koordinator
Anggota
Sie Perlengkapan dan Dekorasi
Koordinator
Anggota
Agus Dwi Hariyanto, ST., M.Sc
Esti Asih Nurdiah, ST., MT.
Eunike Kristi J, ST., M.Des.Sc (Hons)
Anik Juniwati, ST., MT.
Ailin Easterina
Eunike Christina, Della Alfreda, Stephanie Seaver
Rony Gunawan Sunaryo, ST., MT.
Altrerosje Asri, ST., MT.
Mellisa Maria
Terry Christianto Suroso, Desyanne Raffin, Andre Sugianto, Nico
Alexander, Renata Odilia , Elyne Widyanto, Jacklyn Stephanie,
Mohammad Yosua
Erwin Suwignyo, Shelvi Chandra, Steven Fandianto, Vincent
Ridwanto
Angeline Thresdy W.
Tommy Prayogo, Zefanya Christian , Wongso Michael
Ir. Maria I. Hidayatun, MA
Maria Veronica
Melissa Eprillia, Sheilla C.Chiu, Titus
Rudy Gunawan
Robert Budiono, Silvia Luciana, Veronica Yuliani Tirto, Hendy
Gunawan, Yungga Fianto H., Bilan Saputro
xi
Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, ‐ Mei
xii
Daftar Isi
Daftar Isi
Kata Sambutan Rektor
Kata Sambutan Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Kata Sambutan Ketua Jurusan Arsitektur
Kata Pengantar
Penyelenggara
Daftar Isi
Pembicara Kunci
Ikaputra
Berempati Kepada Arsitektur Marjinal
Pembicara Tamu
Timoticin Kwanda
The Emphatic Conservation: theTradition of Conservation in Java and the Eurocentric
Conservation
Jimmy Priatman
”Konsep Desain Biophilia” sebagai Dimensi Hijau pada Arsitektur Empatik
Robert Vale & Brenda Vale
“Empathic Architecture – is this Architecture for a Sustainable Future”
Subtema 1 : Kenyamanan Fisik dan Psikis
1.
Christine Wonoseputro
Ruang yang Terlipat sebagai Ruang Bermain Anak
iii
v
vii
ix
xi
xiii
1
9
35
47
55
xiii
Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, ‐ Mei
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11.
12.
xiv
Dimyati
Kebersamaan Masyarakat pada Perkembangan Kawasan Bisnis di Perkotaan :
Studi Kasus : Kegiatan Ekonomi di Jalan Kebon Kacang I Kawasan Tanah Abang‐Jakarta
Ketut Suwantara
Karakteristik Thermal pada Uma Lengge di Desa Mbawa, NTB
Purnama Esa Dora
Analisa Hubungan Arah Pencahayaan Buatan terhadap Kenyamanan dan Efisiensi Kerja
Mohammad Ischak
Desain Rumah Susun Sederhana dengan Pendekatan Perilaku Penghuni Untuk Meminimalkan
Terjadinya Penurunan Kualitas Bangunan
Studi Kasus : Rumah Susun Sederhana Tambora, Jakarta Barat
Olga Nauli Komala
Tinjauan Permasalahan dalam Proses Penghunian Rumah Susun Sederhana sebagai Akibat
Hilangnya Empati dalam Proses Perancangan Arsitektur
Farida Murti
Kajian Teritorialitas Pasar dan Perilaku Studi Kasus Pasar Genteng Baru Surabaya
Bertha Bintari
Rumah Dome New Nglepen Yogyakarta: Bukan Sebuah Pendekatan Perancangan yang
Berempati
Agus Dwi Haryanto
Kualitas Elemen Arsitektur sebagai Penunjang Kemudahan Wayfinding dan Orientasi di Gedung
Universitas Kristen Petra
Edi Purwanto
Karakteristik Ruang Komunal di Rumah Susun Bandarharjo Semarang
Nur Fauziah
Karakter Visual Fasad Bangunan di Koridor Jalan Kayutangan Malang
Ririn Dina Mutfianti
Pemanfaatan Potensi Karakter Tempat (Spirit of Place) sebagai Objek Wisata Kota Lama : Studi
Kasus Koridor Kalimas Timur Surabaya
67
77
87
97
117
127
137
149
161
175
185
13.
14.
Daftar Isi
Rr. Putri
Fleksibilitas Ruang dalam Tradisi Sinoman dan Biyada di Dusun Karang Ampel Malang dengan
Pendekatan Teritori
Poerwadi
Lansekap di Area Publik, Siapa Peduli
Subtema 2 : Keselamatan, Keamanan dan Keterlindungan
15.
Bontor Jumaylinda Gultom
Pengaruh Jalur Pejalan Kaki pada Kualitas Visual Fasad Bangunan Studi Kasus : Jalan Sultan
Muhammad, Pontianak, Kalimantan Barat
16.
Agus S Sadana
Jalur Pejalan Kaki yang Ramah bagi Warga Kota Jakarta
17.
Roy Adiwijaja
Studi Tingkat Keandalan Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Apartemen Studi Kasus
Apartemen di Surabaya
18.
Dian Fitria
Menuju Lingkungan Inklusif: Perempuan Penyandang Cacat Mobilitas dan Kondisi Rumah yang
Penuh Hambatan
Subtema 3 : Konservasi : Kearifan Lokal, Budaya dan Sejarah
19.
Udjianto Pawitro
Menelaah Fenomena Masyarakat ‘Kampung Kota’ sebagai Bagian Dari Emphatic Architecture
(Kasus Kampung Kota di RW‐07 Kelurahan Gemuruh) Binong Jati Kota Bandung
20.
Damayanti Desak Putu
Trend “Konservasi Fisik” Jineng dalam Transformasinya sebagai Penunjang Pariwisata
21.
Titien Saraswati
Pemaknaan Penduduk Pedesaan terhadap Bangunan Vernakular sebagai Fasilitas Akomodasi
Wisata di Desa Paga, Flores, NTT
22.
Hardiyati
Metoda dan Proses Rancang Bangun Sebuah Transformasi Aspek‐Aspek Kearifan Lokal
Arsitektur di Era Kehampaan untuk Menghadirkan Karya Arsitektur yang Empati
23.
Sugiri Kustedja
Elemen Kritis bagi Konservasi Klenteng Tua, Makna Kosmologi Tradisional Denah Coutyard, si‐
he‐yuan 四合院
195
205
210
223
231
241
251
261
269
279
289
xv
Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, ‐ Mei
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
xvi
Pudji Wismantara
Konservasi Masjid Ampel Surabaya : Upaya Rekontekstualisasi Arsitektur Nusantara
Kartika Eka Sari
Pelestarian Kawasan Pecinan Kembang Jepun Kota Surabaya Berdasarkan Persepsi Masyarakat
Alwin Suryono
Pelestarian Arsitektur Gereja Katedral Peninggalan Kolonial Belanda di Kota Bandung
Dianisari Rinda A Munarto
Keberlanjutan dan Masa Depan Arsitektur Ume K’Bubu Di Suku Atoni, Kampung Maslete
Munichy B. Edrees
Membentuk Lingkungan Binaan yang Berkelanjutan dengan Pendekatan Kearifan Lokal dan Etika
Lingkungan
Muhammar Khamdevi
Pola Kampung Lengkong Ulama : Kekhasan yang Sudah Lama Ingin Didengar
Parmonangan Manurung
Arsitektur Berempati yang Terpinggirkan
Studi Kasus : Omo Hada, Nias, Rumah Tongkonan, Toraja ; Biara Chi Lin, Hong Kong
Agung Wahyudi
Eksistensi Arsitektur Tradisional Cina di Antara Budaya Sunda dan Betawi di Teluk Naga,
Tanggerang
Johannes Adiyanto
Belajar Berempati dari Arsitektur Nusantara
Bachtiar Fauzy
Memahami Relasi Konsep Fungsi, Bentuk dan Makna Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Kota,
Pesisir Utara di Kawasan Jawa Timur
Ayu Siwalatri
Tektonika Arsitektur Tradisional Bali
297
311
333
347
361
371
381
393
403
407
421
Daftar Isi
Subtema 4 : Teknologi dan Rekayasa Arsitektur
35.
Sherly De Yong
Panoptisisme pada Interior Kantor Biro Administrasi Keuangan
36.
Erna Krisnanto
Keandalan Struktur Bangunan terhadap Gempa Bumi pada Bangunan Rumah Tinggal pada
Penduduk di Perkotaan
37.
Freddy Marihot R Nainggolan
Perancangan KBA di Ruang Kerja Untuk Peningkatan Produktivitas Kerja
38.
Silvia Maycella Yufica Chandra
CCTV Multifungsi Penjaga Orang Lanjut Usia di Rumah Tinggal
39.
Dianisari Rinda A Munarto
Prototype Model Rumah Murah Sejahtera Berbasis Potensi Bahan Bangunan Lokal di Provinsi
Nusa Tenggara Timur
40.
Bisatya W. Maer
Struktur Rumah Joglo Hanya Mengandalkan Santen?
Subtema 5 : Pembelajaran Arsitektur
41.
Joyce M.Laurens
Melalui Pendekatan Desain Inklusi Menuju Arsitektur yang Humanis
42.
Filipus Priyo Suprobo
Penerapan Design Thinking dalam Inovasi Pembelajaran Desain dan Arsitektur
Penyaji Poster
43.
Ratih Dyah A
Rumah Penginapan dengan Kecerdasan Buatan
44.
Cornelia Hildegardis
Kamar Mandi Cerdas “Pemanfaatan Shower Mandi Sebagai Alat Terapi Kesehatan”
45.
Andjar Widajanti
Kenyamanan Sebagai Salah Satu Kebutuhan Ruang Berkumpul Informal Mahasiswa Studi Kasus:
Universitas Mercu Buana
429
439
459
473
483
495
509
519
527
539
547
xvii
Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, ‐ Mei
Wanda Widigdo C.
Cakupan Empathy manusia pada karya Arsitektur
Iwan Suprijanto
Peningkatan Kualitas Rumah Rakyat Menggunakan Papan Bebak Laminasi (Rumbela) Di Provinsi
NTT
Ibrahim Tohar
Kajian Keandalan Bangunan Gedung di Surabaya Objek Studi : Masjid Al Akbar Surabaya
Sri Winarni
Transformasi Ruang Semi Privat dan Privat sebagai Ruang Komunal Temporal di Dukuh Krajan,
Desa Kromengan, Kabupaten Malang
46.
47.
48.
49.
xviii
555
569
579
591
PEMBICARA
Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, ‐ Mei
Berempati Kepada Arsitektur Marjinal
Ikaputra1
Abstrak
Para arsitek dalam memenuhi kebutuhan masyarakat masih secara subyektif memilih “klien” yang jelas
problematikanya, normative prinsip analisa‐sintesanya, pasti jadwal kerja penyelesaiannya, dan bahkan cenderung
menguntungkan secara finansial. Hal ini menempatkan pengalaman melayani para “klien favorit” tersebut
mendominasi diskursus profesionalisme para arsitek. Sementara “klien” yang tidak favourable atau klien yang
kurang dipedulikan menjadi “klien terpinggirkan”. Klien marjinal—kelompok masyarakat yang tak teruntungkan—
akan dipedulikan para arsitek jika arsitek memiliki rasa empati. Rasa empati tersebut diharapkan mampu
menempatkan klien marjinal pada prioritas utama kerja para arsitek. Persoalan utamanya adalah bagaimana
membawa Arsitektur terpinggirkan ke tengah arena profesi mulia arsitek berbekal empati?
Kata Kunci: Teori Empati, Klien Marjinal, Arsitektur Marjinal
“Teoritisasi Empati”
Memahami terminology baru “arsitektur yang berempati” tentu tidak lepas dari dari arti kata
“empati.” Kata “empathy” dalam bahasa Inggris berasal dari kata yunani “empatheia” (em + pathos)
yang artinya adalah gairah, atau perasaan kuat atau emosi. 2 Dalam disiplin ilmu perilaku atau
psikologi, “empati” banyak didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami perasaan orang yang
sedang mengalami kesusahan, kesulitan, penderitaan, keteraniayaan (Hoffman, 2000; Singer et al.,
2004; Decety & Jackson, 2006 dalam Unnever & Cullen, 2009: 288) Berbagi perasaan—sharing feeling
for others—merupakan prinsip empati. Perasaan empati akan muncul secara spontan (automatic
activation of emotion) jika seseorang mampu menyelami perasaan atau emosi orang lain. (de
Vignemont,2006;180) Kemampuan individu untuk mentransfer situasi kesusahan atau rasa teraniaya
orang lain ke dalam dirinya merupakan salah satu kunci keberhasilan membangun empati.
1
Dosen Jurusan Teknik Arsitektur & Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, E‐mail:
ikaputra_2001@yahoo.com
2
Lihat web dictionary seperti: http://www.merriam‐webster.com/dictionary/empathy diakses tanggal 14 April
2012; http://www.thefreedictionary.com/empathy, diakses tanggal 14 April 2012
Ikaputra
Empati menurut Decety & Jackson (2004: 73) bisa muncul dari rasa galau, gundah, atau
kegelisahan seseorang ketika melihat kejadian yang tak menyenangkan (an unpleasant situation).
Kejadian‐kejadian yang tak menyenangkan yang dialami oleh seseorang atau kelompok masyarakat
dapat dikategorikan dalam beberapa tipe. Kejadian yang tidak menyenangkan tetapi melekat seumur
hidup—misalnya yang dialami oleh kelpmpok masyarakat difabel—suatu situasi individu atau kelompok
masyarakat yang mengalami kesulitan karena lingkungannya tidak bersahabat dengan mereka. Bisa juga
kejadian yang relatif melekat secara permanen tetapi suatu saat bisa menjadi lebih baik jika dibantu,
misalnya yang dialami oleh masyarakat dhuafa yang hidup kurang layak. Atau kejadian yang bisa
menimpa siapa saja kapan saja di mana saja terkait dengan bencana baik bencana buatan (kebakaran,
kecelakaan, dll) maupun bencana alam (gempa, tsunami, tanah longsor, puting beliung, dll). Korban
paska bencana tersebut biasanya melewati tahapan‐tahapan tertentu untuk bisa kembali bangkit
memulihkan semua situasi dari kejadian tak menyenangkan kepada kondisi yang lebih baik. Dalam
istilah populernya adalah building back better—membangun kembali lebih baik.
Biasanya gagasan dari teori empati terkait dengan respon spontan melalui sikap dan tindakan.
(de Vignemont,2006;181) Perasaan galau yang berujung pada empati ini bagi beberapa orang
memunculkan “niat” untuk menolong (helping intention) (Decety & Jackson, 2004: 73) Namun dengan
berbagai situasi, kondisi, maupun latar belakang masing‐masing individu yang berempati, niatan
membantu tidak berarti berlaku secara fisik, tetapi bisa berupa sikap spiritual melalui berdoa bagi
kebaikan orang yang terempati, melalui ekpsresi (mimik) keprihatinan, melalui ungkapan belasungkawa,
maupun sikap dan tindakan nyata memberi bantuan pemikiran, material dan tenaga demi meringankan
semua kesulitan dan kesusahan yang dialami oleh seseorang atau kelompok tertentu. (Gambar 1)
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Gambar 1. Kerangka Teori Empati
Pada abstraksi konsepsual niat atau motivasi yang pro‐sosial akan memunculkan tujuan mulia
membantu meningkatkan individu atau masyarakat yang teraniaya atau terpinggirkan pada ranah ideal
“kesejahteraan sosial masyarakat”. Empati kepada orang lain, terutama yang mengalami kesulitan baik
permanen atau sementara bisa membangun semangat keberpihakan sesama dan memunculkan
gerakan‐gerakan Pro‐poor, Pro‐difabel, dan Pro‐survivors tanpa pamrih melainkan semata‐mata demi
kebaikan masyarakat yang terpinggirkan ini. Rasa empati ini sebenarnya modal dasar setiap anak bangsa
dalam membangun negri yang berlandaskan sila empati Pancasila kita, Kemanusiaan yang adil dan
beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. The big question atau pertanyaan
mendasarnya adalah “mengapa masih banyak masyarakat marjinal yang masih tidak terpedulikan?”
Klien Marjinal Arsitek
Istilah “marginal” digunakan untuk menunjukkan posisi seseorang, atau kelompok, atau suatu
status situasi, yang berada pada batas terendah (lower limit, lower class, lower standard) sehingga
membutuhkan upaya dan kerja keras untuk bisa memenuhi standar minimum yang dipersyaratkan.3
Ter‐marjinal‐kannya seseorang, sekelompok, atau suatu situasi terjadi ketika sekelompok yang dianggap
3
Lihat: http://www.wordreference.com/definition/marginal; The American Heritage® Dictionary of the English
Language, Fourth Edition copyright ©2000 by Houghton Mifflin Company. Updated in 2003. Published by
Houghton Mifflin Company. All rights reserved; http://www.thefreedictionary.com/marginal
Ikaputra
mampu (powerfull) atau mayoritas masyarakat (wider society) mengabaikan atau tidak mempedulikan
individu atau kelompok yang tidak mampu (powerless) tersebut. 4
Istilah “marjinal” seringkali dipadankan dengan kata “pinggiran” atau “terpinggirkan” dan lazim
digunakan sebagai atribut dari beberapa kata, seperti masyarakat marjinal atau masyarakat
terpinggirkan (marginal community), budaya terpinggirkan (culture marginality), terpinggirkan secara
struktural (structural marginality) yakni terpinggirkan secara politik, sosial dan ekonomi sekaligus dalam
masyarakat. (Billson, 1998: 185 in Babitsky and Salmons, 2006: 66). Proses “terpinggirkannya” individu,
kelompok, kondisi, bidang minat, atau aspek kehidupan, menyebabkan semakin melebarnya
“kesenjangan” antara mereka terhadap kelembagaan atau masyarakat “normal atau konvensional’
lainnya. (Eldering & Knorth, 1998).
Beberapa alasan terabaikannya individu atau kelompok marjinal, terutama terkait dengan tidak
adanya “keuntungan” (no profit gain, atau extremely small merit) yang bisa didapatkan dari “mengurusi”
kelompok marjinal tersebut. Bahkan jika kita mempedulikan kelompok marjinal, kita juga tidak
mendapatkan “jaminan” akan dapat menyelesaikan masalah‐masalah yang dihadapi (extremely small
probability of winning). Pada situasi yang demikian, kelompok marjinal semakin terabaikan, tidak terlihat
di mata mayoritas, bahkan muncul stigmanisasi ketidak‐mampuan,5 sehingga menyebabkan proses
degradasi kualitas hubungan dan kesenjangan sosial, budaya, ekonomi, psikologis maupun fisik yang
simultan dari kelompok tersebut terhadap kelompok mayoritas atau yang “berkuasa”. (Babitsky and
Salmons, 2006: 93) Jika banyak pihak tidak mempedulikan, melupakan, bahkan mengabaikan
keberadaan masyarakat marjinal maka bagaimana dengan para arsitek yang lekat dengan “ke‐elitis‐an”
profesinya? Tergugahkah para arsitek menempatkan klien marjinal—dengan segudang kesulitan,
keterbatasan, dan keteraniayaan mereka‐‐pada prioritas utama atas nama berbagi rasa empati melalui
aksi profesional arsitek sejatinya?
Arsitektur Marjinal: Aspek dan Prinsip
Di negara manapun, selalu ada kelompok masyarakat yang terpinggirkan (marginal community)
atau yang tidak beruntung (disadvantage group) untuk memanfaatkan berbagai peluang yang tersedia
atau bisa diakses oleh masyarakat lainnya. Ada berbagai alasan ketidak mampuan kelompok masyarakat
4
Lihat situs‐situs internet seperti: www.lib.uconn.edu/~mboyer/ms2001‐02glossary.html;
www.ekd.de/english/1714‐ekdtext91_7.html;
5
Lihat: informahealthcare.com/doi/pdf/10.1081/JA‐120018091
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
ini untuk mememanfaatkan peluang‐peluang tersebut. (Rahman, 2006: vii). Sangat mungkin mereka
tidak mampu memanfaatkan peluang karena mereka miskin. Atau sebagian dari kelompok tersebut
kondisi secara fisik dan mental kurang mendukung, seperti kelompok yang lazim disebut penyandang
cacat atau dalam istilah yang lebih baik adalah masyarakat difabel (differently able, atau person with
different ability). Sebagian lain adalah kelompok yang mengalami kesulitan memanfaatkan peluang
karena mereka adalah perempuan atau kelompok minoritas. (Fillip, 2002 dalam Rahman, 2006: vii).
Anak‐anak dan Lanjut Usia juga dapat digolongkan dalam kelompok terpinggirkan, karena mereka
kesulitan mengakses informasi dan memanfaatkan fasilitas karena kesenjangan pendidikan, kemampuan
fisik dan keahlian, sehingga mengalami masalah‐masalah ekonomi dan sosial. (Rahman, 2006: vii).
Sementara tidak banyak pustaka atau referensi tentang pengertian Arsitektur Marjinal yang
bisa menjelaskan definisi secara komprehensif istilah tersebut, sekalipun kita mencoba menelusuri di
internet. Namun dari sedikit sumber pustaka, istilah Arsitektur marjinal dapat didiskusikan dalam
beberapa pengertian dan sudut pandang. Arsitektur menjadi terpinggirkan bisa dipandang dari berbagai
aspek, antara lain:
- Aspek Geografis: Terpinggirkan karena lokasi geografis (pinggiran kota, di puncak gunung, dll)
- Aspek Teknis:Terpinggirkan karena memiliki bentuk struktur dan jenis material yang berada pada
pilihan konstruksi permanen (high‐tech/prestisius) dan non‐permanen (low‐tech/non‐elitis
arsitektur)
- Aspek Sosial: Terpinggirkan karena digunakan bagi masyarakat yang terabaikan karena masalah
sosial dan ekonomi seperti arsitekrur bagi masyarakat miskin, bagi penyandang cacat atau difabel,
dll6
- Aspek Ekonomi: Terpinggirkan karena tidak menguntungkan secara material bagi sementara arsitek,
seperti arsitektur bagi korban bencana. Bisa juga terjadi pada arsitektur pusaka, yang banyak
memiliki rambu‐rambu pemanfaatannya yang anti‐ekonomi (non‐economic profit) serta lebih kepada
socio‐cultural advantages.
Ke empat aspek di atas menunjukkan keterpingiran suatu arsitektur karena “kurangnya”
aksesibilitas orang ke lokasi di mana arsitektur tersebut berada, karena “kurangnya” kebanggaan arsitek
dalam mengembangkan suatu struktur atau bahan karena sifat ketidak‐permanennya, karena
6
Newsletter Editorial, Society For Post‐Medieval Archaeology, Newsletter, ISSN 1357‐8340, Second Series No. 67
Autumn 2008.
Ikaputra
“kurangnya” kemampuan klien yang notabene masyarakat yang terpinggirkan dalam mengakses layanan
jasa arsitek, yang paling menyedihkan adalah “masih banyaknya” arsitek yang berpaling pada klien
marjinal karena tidak memberikan keuntungan ekonomi sepeserpun. Dalam persepektif yang lebih luas,
masyarakat pengungsi paska bencana yang bertahan dengan keterbatasan dan standar kehidupan
minimal juga merupakan kelompok marjinal yang perlu perhatian.
Definisi Arsitektur Marjinal mirip dengan istilah yang diperkenalkan Berescu (2008: 51) sebagai
“Arsitektur tanpa estetika” atau “non‐architecture” yakni “deskripsi arsitektur tanpa imej”
mendefinisikan arsitektur melalui esensi atau prinsip daripada estetika seperti rancangan rumah “cepat,
murah, sederhana”. Barovic Zlatsko (1983: 13) mencoba mendefinisikan arsitektur marjinal sebagai
bentukan arsitektur yang minim fasilitas, berkembang melalui proses adaptasi terhadap kebutuhan,
sehingga memenuhi kelayakan fungsional dan kenyamanan minimal tinggal. Para arsitek ditantang
untuk merancang dengan konsep dan prinsip esensial bagi kaum dhuafa, masyarakat pengungsi
bencana, maupun kelompok difabel tanpa mengedepankan estetika lebih dulu, dan sudah barang tentu
mengesampingkan “bayaran” yang menggiurkan. Tantangan tersebut tentu hanya bisa ditanggapi jika
arsitek memiliki “EMPATI” terhadap kondisi klien marjinal. Permasalahannya adalah ada atau tidak ada
rasa empati para arsitek klien marjinal tetap berada di sekitar kita.
Kendala Berempati pada Arsitektur Marjinal
Arsitektur Marjinal dapat juga dipandang dalam perspektif “keberpihakan” arsitek terhadap
klien atau layanan bagi semua terutama yang membutuhkan jasa arsitek untuk membangun kehidupan
masyarakat yang lebih baik. Adalah Laurent Guidetti, (50, 2008) dalam artikel berjudul Ar[t]ogance!
mengungkap kesombongan para arsitek yang menjadi penyebab terpinggirkannya suatu Arsitektur.
Menurutnya para arsitek yang berkarya semata‐mata karena “Art” dan prestasi pencitraan estetika
karya sebenarnya tidak secara sungguh‐sungguh mendengarkan atau berbicara kepada publik (“They do
not listen to and talk with the public!”). Lebih lanjut Guidetti menyatakan:
The image that the public has of architecture is more or less monopolized by a handful of star
architects. But they are not representative of the rest of the profession: they do a different job. They
can choose their commissions. They are hired by special clients because of the image they offer and
for their signature style. In fact, they provide a publicity image, an expression of status rather than a
response to a need. They do an artist job and de facto belong to a completely different category than
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
their colleagues who are confronted with quite different realities…… the star architects forget that
the main objective of his discipline is the Human Being. (Guidetti, 50, 2008)
Pandangan masyarakat terhadap karya arsitektur kurang lebih dimonopoli oleh para arsitek
bintang. Namun mereka tidak mewakili (etika dan) kerja profesi yang sebenarnya: Para bintang
mengerjakan lainnya. Mereka menentukan komisi atau bayaran mereka. Mereka dipakai klien khusus
karena menawarkan “tampilan dan gaya” arsitektur. Fakta mengatakan, para arsitek bintang ini
menawarkan citra publik, ekspresi yang menunjukkan status klien, dari pada menanggapi “tuntutan
kebutuhan” rancangan. Para bintang berlaku layaknya artis, dan fakta ini, menunjukkan mereka berada
pada kategori yang berbeda dengan kolega arsitek lainnya yang menghadapi kenyataan berbeda dalam
berkarya arsitektur. Para arsitek bintang telah melupakan tujuan utama disiplin profesinya yakni
dedikasi kepada umat manusia (human being) bukan dedikasi kepada sekelompok klien yang kaya dan
melupakan sekelompok besar masyarakat dengan keterbatasan‐keterbatasan nyata yang membutuhkan
uluran “kepedulian” para arsitek.
Keberpihakan para arsitek terhadap persoalan‐persoalan sebagian besar masyarakat yang tidak
mampu atau dengan keterbatasan‐keterbatasan tertentu menjadi sangat penting dan relevan untuk kita
permasalahkan. Membawa Arsitektur Marginal dari pingiran menjadi pusat perhatian bagi semua yang
mengaku arsitek menjadi penting. Salah satu cara yang manjur tidak lain adalah “do design for marginal
community”. Dan kendala utama melibatkan diri arsitek dalam membantu klien marjinal adalah
menumbuhkan EMPATI—berbagi perasaan kepada mereka dengan sikap dan tindakan nyata.
Daftar Pustaka
Babitsky, Timlynn T. and Salmons, James F. (2006) Affecting Change from the Grassroots: Making a
Difference without Power, Prestige, or Money. In Book edited by Rahman, Hakikur (2006)
Empowering Marginal Communities with Information Networking, Hershey: Idea Group Publishing.
Barovic, Zlatko (1983) Concentrated Forms of Individual Dwellings. A Preliminary Report. International
Fellow, Yugoslavia.
Berescu, Cãtãlin (2008) What do you stand for? In Where is it leading to? Four practices share their
views. Platform for Architecture, Wonderland Magazine #3. Brugge (Belgium): Die Keure.
Billson, Janet Mancini (1988). No owner soil: The concept of marginality revisited on its sixtieth birthday.
International Review of Modern Sociology, 18, 183‐204.
Ikaputra
de Vignemont, Frédérique (2006) When do we empathize? In Empathy and Fairness N. 278 (Frith, C.,
ed.), John Wiley & Sons
Decety, Jean and Jackson, Philip L. (2006) ‘A Social‐Neuroscience Perspective on Empathy’, In Current
Directions in Psychological Science 15(2): 54–8.
Decety, Jean dan Jackson, Philip L. (2004) The Functional Architecture of Human Empathy, In Behavioral
and Cognitive Neuroscience Reviews Volume 3 Number 2, June 2004 71‐100, Sage Publications.
Eldering, Lotty and Knorth, Erik J. (1998) Marginalization of immigrant youth and risk factors in their
everyday lives: The European experience (Electronic version). Child and Youth Care Forum, 27(3),
153‐169.
Fillip, Barbara (2002). Information and communication technologies (ICTs) to help Disadvantaged groups
help themselves. JICA/USA.
Guidetti, Laurent (2008) Ar[t]ogance! In Where is it leading to? Four practices share their views. Platform
for Architecture, Wonderland Magazine #3. Brugge (Belgium): Die Keure.
Hoffman, Martin L. (2000) Empathy and Moral Development. Cambridge: Cambridge University Press.
Newsletter Editorial, Society For Post‐Medieval Archaeology, Newsletter, ISSN 1357‐8340, Second Series
No. 67 Autumn 2008,
Rahman, Hakikur (2006a) Empowering Marginal Communities with Information Networking, Hershey:
Idea Group Publishing.
Rahman, Hakikur (2006b) Empowering Marginal Community Through Information‐Driven Learning. In
Book edited by Rahman, Hakikur (2006) Empowering Marginal Communities with Information
Networking, Hershey: Idea Group Publishing.
Singer, Tania, Ben Seymour, John O’Doherty, Holger Kaube, Raymond J. Dolan and Chris D. Frith (2004)
Empathy for Pain Involves the Affective But Not Sensory Components of Pain, in Science 20(5661):
1157–62.
Unnever, James D, and Cullen, Francis T. (2009), Empathetic identification and punitiveness: A middle‐
range Theory of Individual Differences, In Journal of Theoretical Criminology Vol. 13(3): 283–312.
Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, ‐ Mei
The Emphatic Conservation: theTradition of Conservation in Java and the
Eurocentric Conservation
Timoticin Kwanda1
Abstract
The notion of European tradition of conservation and its authenticity principle originated from Western
Europe which has been dominated and widely disseminated within conservation profession in the World. This
‘unfamiliar’ concept refers to the classical theory that place considerable importance on the building as object,
reflecting an interest in it as valuable entity’. The conservation of De Javasche Bank Surabaya is raised to
comprehend the classical theory. Recently the shifting of conservation theory from the classical theory that centred
around the object to the inclusive contemporary theory which centre on the subject. In line with the contemporary
theory, the case of the Memayu and the Ganti Sirap tradition in Ki Buyut Trusmi complex in Cirebon is discussed
that tries to reconstruct the notion of conservation that rooted from the long traditions of Asia society that
emphasize the spiritual meanings of the people reflecting through the object and the tradition of fabric renewal of
the perishable structure.
Keywords: Emphatic Conservation, Tradition of Conseration, Inclusive Approarch
Introduction
1.1 Background
In Asia, conservation of architectural heritage is a recent issue as response to the pressure of
rapid growth of urban development.2 In 1990s, the opening of the economy to market forces and
development opportunities causes an increase risk with architectural heritage as new buildings and
infrastructures have been constructed altering the character of the old district in Asia. These
phenomena the so‐called ‘disappearing Asian city’ have happened in many Asian cities, such as the
destruction of architectural heritage in Intramuros of Manila, the old district of Pudong in Shanghai, and
George Town (Logan 2002).
1
Department of Architecture, Petra Christian University, cornelia@peter.petra.ac.id
The term cultural heritage is used to mean all heritages in this case architectural heritage, intangible and tangible,
that is intentionally constructed and biased toward a p