PENILAIAN MATEMATIKA DIDAKTIK SUMARYANTA

PENILAIAN DIDAKTIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh: Sumaryanta, Staf PPPPTK Matematika

Abstrak
Kurikulum 2013 menghadirkan paradigma baru dalam sistem penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia. Pendidikan tidak hanya diorientasikan untuk
mengembangkan pengetahuan semata, tetapi menyeimbangkan penguasaan
pengetahuan dengan sikap dan keterampilan peserta didik. Kurikulum 2013 juga
menuntut pengembangan secara seimbang soft skill dan hard skill peserta didik.
Hal ini menuntut adanya sistem penilaian alternatif yang menjanjikan
pemerolehan informasi lebih holistik tentang proses dan hasil belajar matematika
siswa. Sistem penilaian tradisional, yaitu penilaian yang hanya berorientasi pada
hasil, kecakapan matematis terbatas dan dangkal, melalui pengukuran berdasarkan
prinsip psikometri yang mengarah domain tunggal, dianggap tidak lagi relevan.
Penilaian seharusnya dikembangkan berbasis pada the didactics of mathematics
sehingga mampu memberikan gambaran kemampuan matematis siswa lebih luas
dan mendalam.
Kata kunci: penilaian, matematika, didaktik
A. Tuntutan pembaharuan sistem penilaian pendidikan matematika

Page | 1


!

Perubahan paradigma pembelajaran dalam Kurikulum 2013 menuntut
adaptasi dalam penilaian. Setiap upaya melakukan pembaharuan sistem
pendidikan harus disertai dengan pembaharuan sistem penilaian (Djemari
Mardaphi, 2008: 5). Sistem penilaian merupakan bagian integral yang tidak dapat
dipisahkan dari sistem pendidikan matematika sehingga setiap usaha memperbaiki
sistem pendidikan matematika tanpa disertai perbaikan sistem penilaian tidak
akan dapat memberikan hasil yang optimal, bahkan mungkin akan sia-sia. Setiap
metode pendidikan matematika membutuhkan sistem penilaian yang berbeda
(Van den Heuvel-Panhuizen, 1996: 99).
Pembaharuan sistem penilaian pendidikan matematika di Indonesia saat ini
mendesak dilakukan. Hal ini selaras dengan tuntutan perubahan tentang
pendidikan matematika itu sendiri, baik menyangkut tujuan, isi, maupun proses.
Reorientasi penilaian, serta perbaikan prosedur dan instrumen yang digunakan,
harus diarahkan pada pewujudan pendidikan matematika yang lebih bermakna,
yang mendukung pengembangan pribadi siswa secara utuh. Hal ini mengingat
semakin tinggi pula tuntutan terhadap pendidikan matematika dalam mendukung
pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang unggul serta tuntutan

kebutuhan penggunaan matematika dalam tataran praktis.

B. Refleksi kritis terhadap psikometri
Gerakan ke arah pengembangan sistem penilaian baru pendidikan
matematika telah dimulai dalam beberapa dekade lalu. Sejak 20 tahun yang lalu
Romberg, Zarinnia dan Collis (1990, dalam Van den Heuvel-Panhuizen, 2001:
170) telah memprediksi “new world view of assessment in mathematics”.
Page | 2

Paradigma baru penilaian pendidikan matematika ini tidak lepas dari refleksi kritis
terhadap psikometri yang mendominasi praktek penilaian pendidikan abad 20.
Paradigma kuantitatif, walaupun memuat keunggulan, dirasakan tidak lagi
memadai untuk memenuhi kebutuhan penilaian pendidikan matematika saat ini.
Van den Heuvel-Panhuizen (2001: 174-175) menegaskan bahwa di masa
yang akan datang tidak mungkin melakukan reformasi pendidikan matematika
jika hanya mengandalkan desain penilaian berbasis psikometri. Menurut asumsi
psikometri, masalah matematika selalu hanya memiliki sebuah jawaban benar dan
masalah matematika seharusnya diselesaikan, atau selalu diselesaikan, dengan
jalan yang tetap. Kedua asumsi tersebut sangat beresiko bagi kepentingan
penilaian yang berorientasi pemahaman mendalam siswa. Masalah matematika

seharusnya tidak dibatasi solusi tunggal, karena masalah matematika yang
memiliki ketidaktunggalan pemecahan justru lebih tepat untuk mengetahui lebih
jauh pemahaman matematika siswa.
Kritik lain terhadap praktek penilaian pendidikan berbasis psikometri salah
satunya dialamatkan pada penggunaan standardized tests. Standardized tests
disinyalir mengandung banyak kelemahan, bahkan dianggap membahayakan
pendidikan matematika, sekolah, guru, siswa, bahkan masyarakat. Dinamika
refleksi kritis tersebut diungkapkan kembali Van den Heuvel-Panhuizen (2001:
170), yaitu bahwa bahaya yang bisa ditimbulkan dari tes tersebut: “damaging
education” (National Center for Fair and Open Testing, 2001), “ruining schools”
(Kohn, 2000), menjadi “the most serious threat to good teaching” (Kohn, 2001),
“focusing on low skills and costing valuable instruction time” (Casas and
Meaghan, 2001), having a “negative influence on equity” (Froese-Germain,
2001), “an adverse effect on job satisfaction” (Rotberg, 2001), dan “measuring
what students have learned in school [...] is not the measuring function of
traditional achievement tests” (Popham, 2001) .
Kesadaran terhadap kelemahan sistem penilaian berbasis psikometri di
atas membawa pemikiran baru bahwa pendidikan matematika membutuhkan
sistem penilaian alternatif yang lebih menjanjikan pemerolehan informasi holistik
dan mendalam terhadap proses dan hasil belajar matematika (Jerry Becker & Van

Page | 3

den Heuvel-Panhuizen. 2003: 699). Penilaian seharusnya tidak terjebak dalam
filosofi psikometri, tetapi perlu dikembangkan model dan alat penilaian berbasis
pada “the didactics of mathematics”. Penilaian didaktik diharapkan dapat
menghadirkan suatu penilaian pendidikan matematika yang mampu mengungkap
“kaya informasi” dari seluruh domain belajar matematika siswa.

C. Penilaian Didaktik
Penilaian didaktik awalnya dikembangkan di Belanda sebagai respon
kebutuhan penilaian terhadap berkembangnya Pendidikan Matematika Realistik
(Realistic Mathematics Education/RME). Tokoh pengembangan penilaian
didaktik ini adalah Van den Heuvel-Panhuizen yang gagasannya diungkapkan
dalam buku berjudul “Assessment and Realistic Mathematics Education”.
Penilaian didaktik (didactical assesment) merupakan penilaian yang bertujuan
untuk mendukung proses pembelajaran dimana tujuan, isi, prosedur, dan alat
penilaian bersifat didaktis (Van den Heuvel-Panhuizen, 1996: 85-87).

1. Tujuan bersifat didaktis
Tujuan bersifat didaktis, yaitu berusaha mengumpulkan data yang menyakinkan

tentang siswa dan proses pembelajarannya guna membuat keputusan-keputusan
pembelajaran. Keputusan tersebut dapat meliputi keputusan tentang keberhasilan
atau kegagalan, pengenalan hal baru, pendampingan ekstra siswa, atau pemilihan
desain pembelajaran. Keputusan-keputusan yang didasarkan dari berbagai
informasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal
tersebut selaras dengan pernyataan De Lange (1987a, p. 179), yaitu “The first and
main purpose of testing is to improve learning”
2. Isi bersifat didaktis
Isi bersifat didaktis, yaitu isi penilaian tidak hanya khusus (terbatas) pada
ketrampilan yang mudah dinilai, tetapi beberapa tujuan pembelajaran yang lebih
mendalam. Penilaian harus mampu memberikan pengetahuan mendalam tentang
aktivitas matematis siswa. Penilaian didaktik pada dasarnya memprioritaskan
pada penilaian proses, bukan semata-mata hasil. Keluasan, kedalaman, dan
Page | 4

hubungan antara proses dan hasil diformulasikan oleh De Lange (1987a, p. 180):
“The third principle is that the task should operationalize the goals as much as
possible. [...] This also means that we are not interested in the first place in the
product (the solution) but in the process that leads to this product”.
3. Prosedur bersifat didaktis

Prosedur bersifat didaktis, yaitu prosedur yang diterapkan merupakan integrasi
pengajaran dan penilaian serta merupakan bagian proses pembelajaran. Integrasi
proses pembelajaran dan penilaian juga berarti bahwa penilaian akan memainkan
peran selama proses pembelajaran. Implikasinya, penilaian akan melihat
belakang-depan. Melihat ke belakang berarti melihat apakah siswa telah belajar,
dalam konteks hasil belajar. Melihat ke depan berarti memusatkan perhatian untuk
menemukan pijakan bagi pembelajaran selanjutnya. Metode penilaian harus
sesuai dengan praktek pendidikan dan harus bisa diterapkan. Prinsip ini selaras
dengan prinsip De Lange (1987a, p. 183): “Our fifth and last principle is that,
when developing alternative ways of evaluating students, we should restrict
ourselves to tests that can readily be carried out in school practice”.
4. Alat bersifat didaktis
Alat bersifat didaktis, yaitu harus dapat menggambarkan siswa secara lengkap dan
utuh, sehingga alat yang digunakan bervariasi sesuai informasi yang diperlukan.
Ini membutuhkan metode penilaian terbuka yang memberi kesempatan siswa
menunjukkan kemampuan. Penekanan penilaian pada “apa yang sudah diketahui
siswa” tidak berarti bahwa “apa yang tidak diketahui siswa” tidak dianggap
penting. Penekanan pada apa yang mampu dilakukan siswa juga dinyatakan dalam
prinsip yang diformulasikan De Lange (1987a, p. 180): “Methods of assessment
[...] should be such that they enable candidates to demonstrate what they know

rather than what they do not know”. Permasalahan utama di sini bukan
membedakan “mengetahui” atau “tidak mengetahui”, “mampu” atau “tidak
mampu”, tetapi membedakan tingkat pengetahuan dan pemahaman siswa. Hal ini
juga dinyatakan dalam prinsip De Lange (1987a, p. 180): “....the quality of a test
is not defined by its accessibility to objective scoring”.

Page | 5

D. Penilaian didaktik: alternatif penilaian pendidikan matematika di Indonesia
Pengembangan sistem penilaian pendidikan matematika di Indonesia perlu
mencermati ulang sistem penilaian yang saat ini dan sebelumnya diterapkan.
Penilaian tradisional, penilaian yang hanya berorientasi pada hasil, klasifikasi,
seleksi, sertifikasi dan penempatan siswa, melalui pengukuran berbasis tes yang
mengukur domain tunggal, dianggap tidak lagi relevan dengan kebutuhan
mengembangan pendidikan matematika yang bermakna, pendidikan matematika
yang berorientasi lebih luas dalam mendukung pengembangan pribadi siswa.
Tujuan, isi, prosedur, dan alat penilaian pendidikan matematika perlu
dikembangkan untuk mendukung pendidikan matematika yang beroirentasi pada
hasil belajar matematika yang lebih luas dan mendalam.
Tidak dapat dipungkiri sampai saat ini penilaian pendidikan matematika

lebih banyak mengandalkan tes. Tes yang selama ini digunakan belum banyak
mengarah pada penggalian informasi kompetensi matematis yang komplek dan
cenderung mengukur domain sempit dan dangkal. Pada penilaian selama ini: 1)
masalah matematika sering hanya memiliki satu jawaban benar, 2) pada masalah
matematika yang baik seluruh data yang diperlukan harus disediakan, 3) masalah
matematika yang baik seharusnya memiliki independensi lokal, 4) pengetahuan
matematika yang belum diajarkan tidak dapat dinilai, 5) masalah matematika
seharusnya diselesaikan, atau selalu diselesaikan, dengan cara tetap, dan 6)
jawaban masalah matematika hanya menunjukkan indikator tingkat prestasi siswa.
Penilaian seperti itu belum mengarah pada penggalian informasi kompetensi
matematis yang holistik dan hal ini merisaukan beberapa pemikir pendidikan
matematika, termasuk Van den Heuvel-Panhuizen (2001: 175).
Beberapa tahun terakhir sempat berkembang model penilaian baru
pendidikan matematika di Indonesia, yaitu menggali informasi aspek afektif selain
mengukur aspek konitif. Sistem penilaian ini muncul seiring dikembangkannya
kurikulum baru di Indonesia, mulai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK, tahun
2002-2004), Kurikulum 2004 (tahun 2004-2006), dan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP, tahun 2006-sekarang). Namun dalam prakteknya, penilaian
afektif tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Keluhan guru bahwa menilai afektif
Page | 6


sulit, menambah beban penilaian, dan lain-lain, berimplikasi pada kurang
optimalnya dampak penilaian yang ditimbulkan. Selain itu, pada Penilaian
Berbasis Kelas (PBK) yang diluncurkan menyertai KTSP, aspek penilaian
pendidikan matematika dikelompokkan menjadi 3 aspek yaitu: (a) pemahaman
konsep, (b) penalaran dan komunikasi, serta (c) pemecahan masalah. Saat ini
kecenderungan yang muncul adalah kembali kepada model penilaian sebelumnya,
yaitu menggunakan sistem angka tunggal sebagai representasi gambaran hasil
belajar matematika siswa.
Mencermati dinamika perubahan sistem penilaian di atas tentu
menimbulkan keprihatinan sekaligus kekhawatiran terhadap dampaknya pada
pendidikan matematika di Indonesia. Perubahan terlalu dinamis, dalam waktu
yang relatif sangat singkat, menunjukkan bahwa penilaian pendidikan matematika
di Indonesia belum memiliki konsep yang jelas dan matang sehingga tidak bisa
diterapkan secara mantap. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa sampai saat ini
kualitas pendidikan matematika di Indonesia terus saja terpuruk, tidak saja terlihat
dari rendahnya nilai belajar matematika siswa, tetapi fakta yang menunjukkan
bahwa banyak siswa yang memiliki nilai matematika tinggi pun senyatanya tidak
memiliki kecakapan matematis yang memadai. Hal ini tentu sangat ironis
mengingat dua kemungkinan: 1) anak-anak Indonesia memang tidak memiliki

kompetensi matematika, atau 2) sistem penilaiannya yang salah. Kemungkinan
pertama dapat dipahami dari rendahnya prestasi belajar matematika serta
kecakapan matematis anak-anak Indonesia. Sedangkan kemungkinan kedua yang
lebih mengkhawatirkan, bagaimana bisa siswa yang dianggap berprestasi dalam
matematika tidak memiliki kecakapan matematis yang memadai. Hal ini
menunjukkan ada yang tidak beres dalam pendidikan matematika, termasuk
mungkin dalam penilaian yang diterapkan.
Penilaian didaktik merupakan salah satu alternatif penilaian yang
diharapkan dapat memberi solusi atas berbagai permasalahan di atas. Penilaian
didaktif memberikan kemungkinan lebih luas bagi upaya perbaikan penilaian,
baik dari sisi tujuan, isi, proses, maupun alat penilaian yang digunakan. Tujuan,
isi, proses, maupun alat penilaian yang bersifat didaktis sangat sesuai dengan
Page | 7

harapan bahwa penilaian yang dilaksanakan dapat mendorong peningkatan
kualitas pembelajaran matematika, sehingga siswa dapat belajar matematika
dengan semakin baik, memperoleh ruang lebih longgar untuk mengembangkan
kecakapan-kecakapan matematis yang holistik, bermakna, dan tidak dangkal.
Sesuai dengan prinsip penilaian didaktik, tujuan penilaian pendidikan
matematika di Indonesia seharusnya dimaksudnya untuk mengumpulkan data

yang menyakinkan tentang siswa dan proses pembelajarannya guna membuat
keputusan-keputusan pembelajaran. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan
Vera Gouveia & Jorge Valadares (2004: 1) yang menyatakan bahwa
pengembangan penilaian harus didasarkan asumsi bahwa penilaian memegang
peranan penting dalam mengorganisasi dan mengatur proses pembelajaran,
penguatan kontrol siswa terhadap belajarnya, dan memfasilitasi pembelajaran
yang bermakna. Dengan demikian penilaian pendidikan matematika di Indonesia
harus didisain tidak semata-mata sebagai wahana untuk menghakimi keberhasilan
atau kegagalan pembelajaran, melainkan harus menjadi instrumen yang
mendukung terselenggaranya pembelajaran dengan sebaik-baiknya.
Dilihat dari sisi isi, penilaian pendidikan matematika tidak seharusnya
hanya terbatas pada ketrampilan-ketrampilan yang mudah dinilai, tetapi juga
harus meliputi berbagai aspek matematis yang bermakna bagi siswa. Penilaian
perlu difokuskan untuk melihat proses belajar, tidak sekedar mengukur outcomes.
Hal ini penting ditekankan mengingat dalam beberapa waktu terakhir kesadaran
dan dorongan tentang pentingnya penilaian proses sudah mulai berhembus, akan
tetapi dalam prakteknya tetap saja belum bisa keluar dari orientasi sekedar
penilaian hasil. Penggunaan tes sebagai salah satu, bahkan mungkin satu-satunya
teknik penilaian, merupakan sebagian penyebab disorientasi penilaian tersebut.
Lebih buruknya, masalah pada tes kurang bermakna, kurang informatif, kurang
menyasar kemampuan berpikir tingkat tinggi, tunggal kebenaran, tidak
menampakkan sisi proses, dan tidak memiliki kejelasan konteks. Hal ini tentu
kontradiktif dengan kebutuhan penilaian yang diharapkan mampu memfasilitasi
belajar matematika siswa yang lebih baik. Oleh karena itu, penting diupayakan

Page | 8

pemilihan dan penggunaan masalah-masalah matematika yang memiliki nilai
dikdaktis tinggi, sehingga isi penilaian akan mendorong siswa belajar lebih baik.
Prosedur penilaian pendidikan matematika di Indonesia juga perlu
dipayakan lebih bersifat didaktis, penilaian terintegrasi dengan pengajaran dan
merupakan fase dalam proses belajar mengajar. Selama ini walaupun telah
dianjurkan penggunaan berbagai teknik penilaian, namun pada akhirnya pilihan
yang paling mudah dan banyak digunakan dalam penilaian adalah tes. Tentu saja
tes tidak bisa diterapkan setiap saat dalam pembelajaran, sehingga integrasi
penilaian dalam proses pembelajaran relatif sulit dilaksanakan. Oleh karena itu,
penilaian pendidikan matematika juga membutuhkan teknik penilaian selain tes.
Observasi selama pembelajaran, mengajukan pertanyaan, serta wawancara
merupakan sebagian teknik penilaian yang diperlukan dalam penilaian pendidikan
matematika. Beberapa teknik penilaian tersebut dapat mendorong terlaksananya
penilaian yang terintegrasi dalam proses pembelajaran. Observasi, bertanya, dan
wawancara dapat dilakukan selama pembelajaran berlangsung, sehingga siswa
dapat merasakan hadirnya proses penilaian selama proses pembelajaran.
Alat penilaian pendidikan matematika di Indonesia juga perlu diupayakan
lebih bersifat didaktis sehingga dapat memberi gambaran siswa secara holistik.
Jika tes digunakan, maka masalah yang terkadung dalam tes tersebut harus
bermakna, informatif, menyasar kemampuan berpikir tingkat tinggi, tidak terjebak
pada ketunggalan kebenaran, menampakkan sisi proses, memberi kesempatan
peserta didik untuk menunjukkan kemampuan yang sesungguhnya, serta harus
memiliki kejelasan konteks. Selain tes, alat penilaian juga perlu memanfaatkan
instrumen-intrumen lain yang sesuai dengan kebutuhan penilaian, misal lembar
observasi, catatan anekdot, kamera, atau yang lain. Bahkan guru dapat mengambil
peran sebagai instrumen (human instrument). Guru adalah orang yang setiap saat
berada bersama-sama siswa selama pembelajaran di kelas. Guru memiliki
kesempatan mengidentifikasi dan mengerti dinamika belajar matematika siswa,
dan berdasarkan informasi tersebut guru dapat mengambil kesimpulan tertentu
mengenai proses dan hasil belajar matematika siswa. Guru juga tidak harus selalu
menunggu saat akhir kegiatan pembelajaran, guru dapat memberikan respon
Page | 9

langsung terhadap dinamika belajar siswa sekaligus selama proses pembelajaran
berlangsung. Mekanisme respon langsung guru ini akan semakin mendorong
integrasi penilaian dengan proses pembelajaran. Siswa juga berkesempatan
memperoleh umpan balik secara langsung tentang belajarnya, tidak harus
menunggu vonis akhir pelajaran atau ketika kenaikan kelas.

E. Penutup
Mencermati paparan di atas dapat diketahui bahwa penilaian didaktik
menjanjikan beberapa keunggulan yang diharapkan memperbaiki sistem penilaian
pendidikan matematika di Indonesia. Menerapkan penilaian didaktik dalam
praktek pendidikan matematika di Indonesia bukanlah kejadian pertama di dunia
karena penilaian didaktik saat ini memang telah menjadi trend umum di berbagai
negara. Amerika, Australia, dan Inggris, merupakan sebagian negara yang telah
menerapkan prinsip-prinsip penilaian didaktik. Hal ini menunjukkan bahwa
penilaian didaktik memiliki keunggulan yang bisa dipertimbangkan untuk
diimplementasikan di Indonesia. Penilaian didaktik merupakan alternatif menarik
dalam rangka pembaharuan sistem penilaian pendidikan matematika di Indonesia.
Penilaian didaktik diharapkan menjadi penyokong upaya semakin meningkatkan
kualitas pendidikan matematika di Indonesia, sehingga pendidikan matematika
yang bermakna dan berdaya-guna dapat terwujud di bumi Indonesia.
Referensi
Djemari Mardhapi. 2008. Teknik penyusunan instrumen tes dan nontes.
Jogyakarta: Mitra Cendikia Offset
Jerry Becker & Van den Heuvel-Panhuizen. 2003. Towards a Didactic Model for
Assessment Design in Mathematics Education. Second International
Handbook of Mathematics Education, 689–716 A.J. Bishop, M.A.
Clements, C. Keitel, J. Kilpatrick and F.K.S. L eung (eds.) Dordrecht:
Kluwer Academic Publishers. Printed in Great Britain.
Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan
Pendidikan Dasar dan Menengah
Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar
dan Menengah
Page | 10

Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan
Permendikbud Nomor 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar Dan Struktur
Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
Permendikbud Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar Dan Struktur
Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
Permendikbud Nomor 69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar Dan Struktur
Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar Dan Struktur
Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan
Van den Heuvel-Panhuizen. 1996. Assessment and realistic mathematics
education. Utrecht: Technipress, Culemborg
------------------------------------------. 2001. Towards a didactic-based model for
assessment design in mathematics education. Proceedings of 2001 The
Netherlands and Taiwan Conference on Mathematics Education, Taipei,
Taiwan, 19 – 23 November 2001.
Vera Gouveia & Jorge Valadares. 2004. Concept Maps: Theory, Methodology,
Technology. Proc. of the First Int. Conference on Concept Mapping A. J.
Cañas, J. D. Novak, F. M. González, Eds. Pamplona, Spain

Page | 11