definisi spinal

Rabu, 21 Desember 2011

Spinal Anestesi
Spinal Anestesi pertama kali ditemukan pada tahun 1885 oleh
Leonard Corning, seorang ahli saraf di New York. Beliau
bereksperimen dengan memasukan kokain pada saraf tulang
belakang Anjing, kemudian ia melihat Anjing tersebut
kehilangan rasa sakit, meskipun disayat dengan pisau.
Eksperimen awal Leonard Corning, membawa perubahan
penting di bidang Kedokteran Anestesi dan sampai saat ini
teknik Spinal Anestesi sangat bermamfaat di dunia kesehatan
untuk menolong pasien di kamar operasi.
Spinal Anestesi itu Apa?
Spinal Anestesi adalah pembiusan dengan memasukan obat
berupa suntikan jarum halus melalui tulang belakang (tulang
punggung) sehingga pasien tidak mengalami rasa nyeri ketika
di sayat dengan pisau, namun pasien tetap sadar dan bisa
bicara dengan petugas dan mengetahui bahwa dia sedang
menjalani operasi.
Apa mamfaat Spinal Anestesi bagi dunia kesehatan ?
Teknik Spinal Anestesi sangat berguna pada pasien yang tidak

bisa dilakukan pembiusan umum dengan teknik Intubasi
endotrakeal, seperti pasien yang mengalami gangguan saluran
napas, yaitu asma bronkial, bronkitis alergi dan kelainan
anatomi saluran nafas.
( Intubasi endotrakeal adalah salah satu tindakan untuk
pembiusan umum)
Jadi dengan adanya teknik Spinal Anestesi, pembiusan tetap
dapat dilakukan tanpa pembiusan umum pada pasien yang
mengalami gangguan saluran pernafasan.
Apa Tujuan Spinal Anestesi ?
Spinal Anestesi bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri pada
daerah pinggang atas sampai ujung jari kaki, jika diberi
perlakuan atau rangsangan nyeri, pasien tidak akan merasakan
sakit, sebab persyarafan sebagai pengantar rasa sakit telah

diblok dengan obat bius pada daerah punggung.
Kasus apa saja yang bisa di lakukan Spinal Anestesi?
Spinal Anestesi dapat dilakukan pada tindakan Sectio Caesaria,
pasien dengan Hernia, pasien yang akan di operasi dengan
patah tulang kaki dan Amputasi anggota gerak bawah.

Apa saja efek negatif atau Komplikasi dari Spinal Anestesi?
Dapat secara luas diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu
Komplikasi langsung (di meja operasi), seperti terjadinya Shock
Spinal, Cauda equina cedera, pendarahan, hematoma dan
jarum patah saat melakukan penusukan.
Kemudian komplikasi tidak langsung (di unit perawatan pasca
operasi), yaitu berlangsung dalam waktu enam jam setelah
Anestesi Spinal, dimana pasien akan mengalami sakit kepala
dan sakit tulang belakang.
Terakhir, Komplikasi lanjut, yaitu terjadinya Infeksi, seperti
meningitis.
• KOMPLIKASI NEUROLOGIS DARI ANESTESI SPINAL
Komplikasi neurologis yang berkaitan dengan SA mencakup
sakit kepala post- dural, radikulopati, nervus kranial palsy.36
Contoh yang jarang yaitu emfiema, meningitis aseptik,
arachnoiditis, hematoma epidural dan mielitis telah
dilaporkan.36 Pada sebuah survei observasi, komplikasi
neurologis ditemukan 34 dari 40.640 anestesi spinal dengan
lima kasus dengan gejala yang bertahan melewati 3 minggu
dan disebut permanen.37 Pada survei skala besar lain, insiden

sequelae neurologis permanen adalah 1 dari 65.000 prosedur.
Studi ini dan yang lainnya mendukung pernyataan bahwa SA
adalah teknik yang relatif aman.

Anestesi Spinal
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.

Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal adalah jenis obat,
dosis yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat,
posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang,
operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan
penyebaran obat.
Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan
tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga
digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi
urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah

obstetri, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak
kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat
dilakukan pungsi lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok),
koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Kontraindikasirelatif meliputi neuropati, prior spine surgery,
nyeri punggung, penggunaan obat-obatan praoperasi golongan
AINS (antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin, novalgin,
parasetamol), heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang
tidak stabil, dan a resistant surgeon.
Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed concent) meliputi pentingnya tindakan ini dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisis dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi
seperti infeksi. Perhatikan juga adanya skoliosis atau kifosis.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah
penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa

tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah.
Kunjungan praoperasi dapat menenangkan pasien. Dapat
dipertimbangkan pemberian obat premedikasi agar tindakan
anestesi dan operasi lebih lancar. Namun, premedikasi tidak
berguna bila diberikan pada waktu yang tidak tepat.
Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien,
pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.

Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal
memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya
dan ukuran 16-G sampai dengan 30-G. Obat anestetik lokal
yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau
bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi
aliran obat dan perluasan daerah yang teranestesi. Pada
anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis
cairan serebrospinal (hiperbarik), akan terjadi perpindahan obat
ke dasar akibat gaya gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat

akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama
(isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan. Pada suhu 37°C cairan serebrospinal memiliki
beratjenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine,
alkohol, dan duk.
Jarum Spinal
Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya
runcing seperti ujung bambu runcing (jenis Quinke-Babcock
atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil
(Whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang
menyebabkan nyeri kepala pascapenyuntikan spinal.
Teknik
1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk
merupakan posisi termudah untuk tindakan punksi lumbal.
Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada kursi,
bersandar ke depan dengan tangan menyilang di depan. Pada
posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring dengan salah
satu sisi tubuh berada di meja operasi. Panggul dan lutut
difleksikan maksimal. Dada dan leher didekatkan ke arah lutut.

2. Posisi penusukan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di
daerah antara vertebra lumbalis (interlumbal).
3. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah
punggung pasien.
4. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan
pada bidang medial dengan sudut 10-30° terhadap bidang
horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan menembus
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,
ligamentum flavum, lapisan duramater dan lapisan
subaraknoid.
5. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.
6. Suntikkan obat anestetik lokal yang telah dipersiapkan ke
dalam ruang subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperlama

kerja obat ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah nyeri saat
penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala, retensio urin,
meningitis, cedera pumbuluh darah dan saraf, serta anestesi
spinal total.


Friday, November 7, 2008
ANESTESI SPINAL PADA SEKSIO CESARIA
ANESTESI SPINAL PADA SEKSIO CESARIA
PENDAHULUAN
Tahun 1973 di Inggris terdapat 50 kematian ibu. Kebanyakan
kematian ibu ini sehubungan dengan anestesi umum, 50%
diantaranya karena aspirasi isi lambung. Tahun 1980 di Inggris
terdapat 29 kematian ibu dengan anestesi umum, 16 orang di
antaranya disebabkan aspirasi isi lambung, sedangkan yang 11
orang mengalami cardiac arrest karena kesukaran intubasi.
Dengan anestesi regional ibu masih dalam keadaan sadar,
refleks protektif masih ada, sehingga kemungkinan terjadinya
aspirasi isi lambung kecil sekali. Ibu tidak menerima banyak
macam obat dan perdarahannya lebih sedikit. Dari segi janin,
anestesi regional ini bebas daripada obat-obat yang
mempunyai efek depresi terhadap janin.
Tahun 1970, menurut American College of Obstetric and
Gynecologists untuk Sectio caesarea elektif 50% digunakan
anestesi spinal. Sampai tahun 1975 di klinik-klinik swasta masih

banyak digunakan anestesi spinal dibandingkan dengan anal
gesi epidural. Di dalam tulisan ini kami melakukan anestesi
spinal pada penderita-penderita yang akan dioperasi sectio
caesarea dengan pemikiran bahwa :
Analgesi epidural lebih banyak membutuhkan waktu dan
ketrampilan, juga adanya stimulasi alat-alat dalam yang
menimbulkan perasaan tidak enak pada waktu manipulasi
(terutama manipulasi segmen bawah uterus) serta adanya
kegagalan-kegagalan walaupun dilakukan oleh seorang ahli
(1,4% Bromage 1954; 6% Bonica 1957).
Sedangkan anestesi spinal lebih mudah dilakukan, onset lebih

cepat, blokade sarafnya meyakinkan, kemungkinan toksisitas
tidak ada karena dosis yang rendah, dan karena adanya
blokade saraf sakral yang sempurna, perasaan tidak enak
seperti pada anestesi epidural tidak ada.
Teknik apapun yang dipakai, agar keadaan ibu dan anak tetap
baik. Usahakan :
mempertahankan kestabilan sistim kardiovaskular
oksigenisasi yang cukup

mempertahankan perfusi placenta yang cukup.
Pemberian cairan pre-operatif, pencegahan aortacaval
compression (tilting, uterine displacement), oksigenisasi dan
pemberian efedrin merupakan hal-hal yang penting sekali
dilakukan.
ANESTESI SPINAL (SUB ARACHNOID NERVE BLOCK)
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik
untuk tindakan-tindakan bedah, obstetrik, operasi operasi
bagian bawah abdomen dan ekstremitas bawah. Teknik ini baik
sekali bagi penderita-penderita yang mempunyai kelainan
paru-paru, diabetes mellitus, penyakit hati yang difus dan
kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan gangguan
metabolisme dan ekskresi dari obat-obatan.
Bagian motoris dan proprioseptis paling tahan terhadap
blokade ini dan yang paling dulu berfungsi kembali. Sedangkan
saraf otonom paling mudah terblokir dan paling belakang
berfungsi kembali. Tingginya blokade saraf untuk otonom dua
dermatome lebih tinggi daripada sensoris, sedangkan untuk
motoris dua-tiga segemen lebih bawah. Secara anatomis dipilih
segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung

bawah daripada medula spinalis setinggi L2 dan ruang
interegmental lumbal ini relatif lebih lebar dan lebih datar
dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya.
Lokasi interspace ini dicari dengan menghubungkan crista iliaca
kiri dan kanan. Maka titik pertemuan dengan segmen lumbal
merupakan processus spinosus L4 atau L4 - 5
interspace. Ligamenta yang dilalui pada waktu penusukan yaitu
:
• Ligamentum supraspinosus
Ligamentum interspinosus•
Ligamentum flavum•
Pada orang tua biasanya terjadi kalsifikasi legamentum teratas,
sehingga menyulitkan penusukan. Untuk mengatasi hal ini, kita

sarankan penusukan paramedian, dimana jarum hanya melalui
otot dan fascia kemudian ligamentum flavum. line approach
yaitu apabila kita menusukkan jarum tepat digaris yang
menghubungkan processus spinosus satu dengan yang lainnya,
pada sudut 800 dengan punggung. Sedangkan paramedian
approach penusukan 1 jari lateral dari garis jarum diarahkan ke
titik tengah pada garis median dengan sudut sama dengan
midline approach.
Pada penusukan mungkin yang keluar bukan liquor tapi darah,
sebab di bagian anterior maupun posterior medula spinalis
terdapat sistim arteri dan vena. Apabila setelah 1 menit liquor
yang keluar masih belum jernih sebaiknya jarum dipindahkan
ke segmen yang lain. Bila liquor tidak jernih, sebaiknya anestesi
spinal ini ditunda dan dilakukan analisa dari liquor. Adapun
jarum yang dipakai paling besar ukuran 22, kalau mungkin
pakai jarum 23 atau 25. Makin kecil jarum yang kita pakai,
makin kecil kemungkinan terjadinya sakit kepala sesudah
anestesi (post spinal headache).
Obat spinal anestesi yang paling menonjol adalah tetrakain dan
dibukain, yang mempunyai efek kuat dan kerjanya lebih lama.
Di bagian Anestesi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin yang ada
hanya xilokain 5% hiperbarik, buatan Astra dengan B.D. 1,030 1,035. Onsetnya cepat, kurang dari 4 menit dengan lama
kerjanya antara 60 - 90 menit. Dosis untuk wanita hamil 25% 30% lebih rendah dari wanita yang tidak hamil. Rata-rata
dipakai 1,25 - 1,50 cc. Tingginya lebel anestesi tergantung
dari :
• Posisi penderita waktu penyuntikkan dan sesudahnya.
• Tingginya segemen yang dipilih pada penusukkan, makin ke
arah kranial makin tinggi.
• Volume dari obat yang disuntikkan, makin banyak makin
tinggi.
• Kekuatan dan kecepatan penyuntikkan.
Hal-hal tersebut diatas dapat kita atur, tetapi ada faktor lain di
luar kemampuan kita, yaitu keinginan mengejan waktu
persalinan. Apabila pada saat dimasukkan obat anestesi atau
pun segera setelah obat masuk liquor, wanita mengejan, maka
tinggi level anestesi akan bertambah yang kadang-kadang
sangat jauh sampai th. 4, sehingga penderita akan mengalami
hipotensi yang hebat dan kesukaran bernafas, bahkan sampai
menimbulkan sianosis.
Pemberian Oksigen

Pada akhir kehamilan akan terjadi kenaikan alveolar ventilation
sampai 70%, untuk mengimbangi kenaikan konsumsi oksigen
sekitar 20% atau lebih. Hal ini mengakibatkan turunnya pCO2
sampai 30 - 32 mmHg. Pada persalinan hiperventilasi terjadi
lebih hebat lagi, disebabkan rasa sakit dan konsumsi oksigen
dapat naik sampai 100%. Oleh karena itu apabila terjadi
hipoventilasi baik oleh obat-obat narkotika, anestesi umum
maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang
berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
• Turunnya FRC sehingga kemampuan paru-paru untuk
menyimpan O2menurun.
• Naiknya konsumsi oksigen
Airway closure•
• Turunnya cardiac output pada posisi supine.
Maka mutlak pemberian oksigen sebelum induksi, dan selama
operasi.
Letak Penderita
Kompresi dari pembuluh-pembuluh darah besar di pinggiran
pelvis merupakan hal yang berbahaya bagi ibu dan anak.
Kompresi aortokaval ini terutama terjadi apabila penderita
dalam keadaan supine terlentang. Karena perfusi plasenta
sangat tergantung pada tensi, maka penurunan cardiac output
yang berakibat penurunan tensi akan mengakibatkan
penurunan perfusi plasenta yang menyebabkan terjadinya
depresi fetal. Apalagi kalau seandainya penderita mendapat
blokade simpatis oleh regional anestesi, maka tonus vena di
ekstremitas bawah makin berkurang, venous return akan lebih
kurang lagi berarti cardiac output juga akan rendah sekali,
sehingga terjadi hipotensi yang berat dan perfusi plasenta akan
lebih buruk lagi.
Begitu posisi diubah menjadi letak miring, kompresi pada vena
cava inferior berkurang, venous return kembali normal, maka
cardiac output dan tensipun akan baik kembali. Jadi, semua
penderita yang akan di sectio caesarea dengan anestesi spinal
harus diletakkan miring ke kiri dengan jalan memberi bantal
pada bokong penderita. Teknik Anestesi Spinal :
o Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 - 1500 ml.
o Oksigen diberikan dengan masker 6 - 8 L/mt.
o Posisi lateral merupakan posisi yang paling enak bagi
penderita.
o Kepala memakai bantal dengan dagu menempel ke dada,
kedua tangan memegang kaki yang ditekuk sedemikian rupa

sehingga lutut dekat ke perut penderita.
o L3 – 4 interspace ditandai, biasanya agak susah oleh karena
adanya edema jaringan.
o Skin preparation dengan betadin seluas mungkin.
o Sebelum penusukan betadin yang ada dibersihkan dahulu.
o Jarum 22 - 23 dapat disuntikkan langsung tanpa lokal infiltrasi
dahulu, juga tanpa introducer dengan bevel menghadap ke
atas.
o Kalau liquor sudah ke luar lancar dan jernih, disuntikan
xylocain 5% sebanyak 1,25 - 1,5 cc.
o Penderita diletakan terlentang, dengan bokong kanan diberi
bantal sehingga perut penderita agak miring ke kiri, tanpa
posisi Trendelenburg.
o Untuk skin preparation, apabila penderita sudah operasi
boleh mulai.
o Tensi penderita diukur tiap 2 - 3 menit selama 15 menit
pertama, selanjutnya tiap 15 menit
o Apabila tensi turun dibawah 100 mmHg atau turun lebih dari
20 mmHg dibanding semula, efedrin diberikan 10 – 15 mgl.V.
o Setelah bayi lahir biasanya kontraksi uterus sangat baik,
sehingga tidak perlu diberikan metergin IV oleh karena sering
menimbulkan mual dan muntah-muntah yang mengganggu
operator. Syntocinon dapat diberikan per drip.
o Setelah penderita melihat bayinya yang akan dibawa
keruangan, dapat diberikan sedatif atau hipnotika.
KEPUSTAKAAN
Aboulesh EA. Pain control in obstetries, JB Lippincott Comp.
Philladelphia-Toronto: 1977; 305-341.
Shnider SM, Levinson G. Anesthesia for cesarean section. In
Shnider SM, Levinson G, Eds Anesthesia for obstetric,
Baltimore: The William & Wilkin Comp 1979; 254 - 275.
Bonica JJ. Obstetric analgesia and anesthesia, World Federation
of Societies of Anaesthesiologist, Amsterdam: 1980; 162 - 173.
Hodgkinson R, Bhatt M, Kim SS, Grewel G, Marx GH. Neonatal
neurobehavioral test following cesarean section under general
and spinal anesthesia. Am J Obstet Gynecol 1978; 132 - 670.
Holmes HI, Jouppila R, Koivesto M, Maata L, Pihlajaniemi R,
Puuka M, Rantakyila P. Neurologic aktivity of infants following
anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1978; 48 : 350.

Levinson G, Shnider SM. Vasopressor in obstetrics. Clin Anesth
1973; 10 : 78.
Ueland K, Gills R, Hansen JM. Maternal cardiovascular dynamics.
Am J Obstet Gynecol. 1968; 100: 42.
Weaver JB, Pearson JF, Rosen M. Posture and epidural block
inpregnant woman at term. Anaesth. 1975; 30 : 752.
Datta S. Analgesia for cesarean section. In : 32 nd Annual
refresher course lectures 1981; 218A.
Datta S, Alper MH, Ostheimer GW, Weiss JB. Method of
ephedrine administration and nausea and hypotension during
spinal anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1982;
56 : 68.
Datta S, Brown WU. Acid-base status in diabetic mothers and
their infantsfollowing general or spinal anesthesia for cesarean
section. Anesthesiology 1977; 47 : 272.
Datta S, Kitzmiller Jl, Naulty JS, Ostheimer GW, Weiss JB. Acid
base status of diabetic mothers and their infants following
spinal anesthesia for cesarean section. Anesth Analg 1982; 61 :
662.
Ralston DH, Shnider SM. The fetal and neonatal effects of
regional anesthesia in obstetrics. Anesthesiology 1978; 48, 34.
Giasi RM, D'Agostino E, Covino BG. Absorption of lidocaine
following subarachnoid and epidural administration. Anesth
Anal 1979;58 : 360.
Bonnardat JP, Mallet M, Calau JC, Millot F, Deligue. Maternal and
fetal concentration of morphine after intrathecal administration
during labour. Br J Anaesth 1982; 54 : 487.
Corke BC, Datta S, Ostheimer GW, Weiss JB, Alper MH. Spinal
anaesthesia for caesarion section. Anaesth. 1982; 37 : 658.
Datta S, Alper MH, Ostheimer GW, Brown WU, Weiss JB. Effect
of maternal position on epidural anesthesia for cesarion
section, acid-base status, and bupicaine consentrations at
delivery. Anesthesiology 1979;50 : 205.
Moya F, Smith B. Clinical anesthesia for cesarean section;
clinical and biochemical studies of effect on maternal
physiology. JAMA 1962; 179 : 609.
Wollmann SB, Marx GF. Acute hydration for preventing of
hypotension of spinal analgesia in parturients. Anesthesiology,
1968; 29 : 374.
Mendiola J, Grylock LI, Scanlon JW. Effect of intrapartum
maternal glucose infusion on the normal fetus and new born.
Anesth Analg 1982; 61 : 32.

Mathru M, Rao TLK, Kartha RK, Shanmaghan M. Jacobs HK.
Intravenous albumin administraion for prevention of spinal
hypotension during cesarean section. Anesth Analg 1980; 59 :
655.
Kenepp NB, Shelley WC, Kumar S. Dextrose hydration in
cesarean section patients. Anesthesiology 1980; 53 : S304.
Bulky RJ, Downing JW, Brock-Utne JG, Cuerden C. Right versus
left lateral tilt for cesarian section. Br J Anaesth 1977; 49 :
1009.
Clark RB, Thomson DS, Thomson CH. Prevention of spinal
hypotension associated with cesarion section. Anesthesiology
1976;45 : 670.
Guthe K, Gill RE, Hensen JM. Prophylactic ephedrine preceding
spinal anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1976;
45: 462.
Shnider SM. Uterine blood flow. In : 32nd Annual refresher
course lectures. 1981; 107.
Ralston DH, Shnider SM. Effect on equipotent ephedrine,
metaraminol, mephentermine and metho xamme on uterine
blood flowin pregnant ewe. Anesthesiology 1974; 40 : 354.
Wright RG, Robin SH, Shnider SM, Levinson G. Maternal adini
nistration of ephedrine increases fetal hearth rate and
variability. In : American Society of Anesthesiologist. Annual
meeting 1977; S131.
Cassady GN, Moore DC Bridenbaugh LD. Post partum
hypertension after the use vascontrictor and oxytoxic drugs,
JAMA 1960; 172: 1011.
Sprague DH. Effects of position and uterine displa cement on
spinal anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1976;
44 : 164.
Johnson GN, palahnink RJ, Tweed WA, Jones MV, Wade JG.
Regional cerebral blood flow changes during servere fetal
asphyxia by slow partial umbilical cord compression Am J Obs
Gynecol 1979; 135 : 48.
Jouppilla R, Jouppilla P, Kulkka J, Hollmen A. Placental blood flow
during caesarean section under lumbar extradural analgesia. Br
J Anaesth 1978; 50 : 275.