Pola Perlawanan Rakyat atas Perluasan Kawasan Hutan Lindung di Desa Hutaginjang Kecamatan Muara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat
pentinng karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan dimana
tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan (Boedi, 1994). Tanah dan pola
pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan
kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
2.1.
Masyarakat Petani
Masyarakat petani secara umum sering dipahami sebagai suatu kategori sosial yang
seragam dan bersifat umum. Sebagai masyarakat mayoritas yang hidup di pedesaan, petani
merupakan masyarakat yang tidak primitif, tidak pula modern. Masyarakat petani sebagai
masyarakat
desa
yang
dilatarbelakangikesatuan
agroekosistem
(alam/geografi)dan
kebudayaan. Kesatuan lingkungan geografisnyaterutama terkait dengan penguasaandan
pengusahaan sumberdaya lahan. Sedangkankesatuan kebudayaan (kultural) meliputiberbagai
aturan-aturan sosial yang berlakudalam masyarakat petani tersebut. Berbagaiaturan tersebut
antara lain meliputi aturanadat, penduduk asli, tanah, lahan garapan, hubungankekeluargaan,
dan kehidupan ekonomimasyarakat (rakyat) desanya.Poerwadarminta (1985) mendefinisikan
petani sebagai orang yangbermatapencaharian dengan bercocok tanamdi tanah.
19
Universitas Sumatera Utara
2.2.
Hutan Lindung
Hutan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 41 tahun 1999
tentang kehutanan yaitu suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan lindung adalah hutan yang keberadaannya
dilindungi untuk memelihara fungsinya sebagai penyangga system kehidupan.Melindungi
suatu wilayah dari bahaya banjir, kekeringan, tanah longsor, dan bencana ekologis lainnya.
Hutan dan masyarakat merupakan dua unsur yang berbeda , dimana hutan merupakan
sekelompok pohon dan masyarakat merupakan sekelompok manusia, namun diantara
keduanya tidak dapat dipisahkan. Hubungan yang dimaksud tapak pada interaksi antara
masyarakat dan hutan yang sudah berlangsung berabad-abad. Oleh karena itu pada setiap
pengelolaan hutan masyarakat di sekitar hutan juga ikut serata karena masyarakat disekitar
hutan menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan. Hal ini diperkuat dengan UUD
pasal 33 yang disebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun
pengelolaan yang terjadi di lapangan tidak selalu sama dengan apa yang tercantum dalam
Undang-undang. Sehingga banyak bermunculan konflik yang terjadi antara masyarakat adat
dengan pemerintah seperti kegiatan pemerintah dalam perubahan status dan fungsi hutan adat
menjadi hutan lindung tidak dilakukan secara transparan terhadap masyarakat adat sehingga
hal ini sudah sangat menyimpang dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah,perbedaan
pandangan tentang tata batas dan pelanggaran adat oleh pengusaha hutan yang sulit
diselesaikan karena memang dari awal pengelolaan hutan selama ini tidak melibatkan
masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan sebagai salah satu stakeholder yang memegang
peranan penting dalam hal tersebut.Permasalahan kawasan hutan baik status maupun
20
Universitas Sumatera Utara
persoalan tata batas dan pemanfaatanya secara langsung untuk kepentingan masyarakat sesuai
dengan pasal 33 UUD 1945 terus berkelanjutan.
2.3.
Pola Perlawanan Rakyat
Konflik pada pasca perluasan hutan lindung tidak lepas dari komponen masyarakat
yang mempunyai andil besar dalam perubahannya. Masyarakat dan pemerintah berdiri pada
posisi yang berlawanan akibatnya muncul perbedaan kepentingan pendayagunaan,
penguasaan lahan dan pengelolaannya. Proses konflik diawali ketika lahan pertanian oleh
masyarakat adat masuk sebagai pasca perluasan hutan lindung. Hal inilah yang mendorong
masyarakat untuk mempertahankan dan melindungi lahan pertanian yang sudah lama diwarisi
dari nenek moyang. Peningkatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan sangat penting
untuk menghindari terjadinya konflik antara pemerintah dengan masyarakat dalam usaha
pemanfaatan hutan.
Perlawanan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas,
frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan ditengah-tengah mereka. Jika situasi ketidakadilan
dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan apa yang disebut sebagai
gerakan sosial. Timbulnya perlawanan Alisjahbana (2005:167-169) terurai ketika
menggambarkan bagaimana pertarungan antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang
tidak berkuasa, antara mereka yang memilikki aksesbilitas dengan mereka yang tidak
memiliki, antara mereka yang memiliki modal kecil terus terjadi dalam setiap kebijakan yang
dirumuskan pemerintah dalam pengembangan kota.
Resistensi rakyat menurut Scott dalam Alisjahbana (2005:39-41) dapat dibedakan
menjadi dua kategori yaitu, resistensi yang disebabkan oleh penyebab secara langsung seperti
penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik
21
Universitas Sumatera Utara
modal atau pihak lain. Resistensi yang secara tidak langsung dilakukan melalui perlawanan
secara sembunyi-sembunyi. Resistensi secara sembunyi-sembunyi mampu mencapai hasil
yang lebih besar dibandingkan resistensi yanng dilakukan secara terang-terangan.
Alisjahbana (2005: 130) mengatakan bahwa perlawanan yang dilakukan oleh sektor informal
berdasarkan perlawanannya dapat digolongkan menjadi dua yitu :
a) Resistensi (perlawanan) secara terang-terangan
Merupakan perlawanan secara terbuka dimana masyarakat berhadapan langsung
dengan pemerintah yang bersifat konfrontatif. Bentuk-bentuk melawan petugas
secara langsung saat akan ditertibkan seperti eker-ekeran, memblokade jalan dan
membakar alat peraga, mengitimidasi dengan senjata tajam, resistensi dengan
kekerasan, menolak relokasi, melakukan demonstrasi, yang terakhir mendatangi
camat dan meminta izin secara paksa.
b) Resistensi (perlawanan) tersembunyi
Perlawanan yang dilakukan dalam bentuk siasat-siasat untuk menghindari
konfrontasi langsung denngan aparat pemerintah kota, resistensi ini bersifat
menghindar. Bentuk resistensi dengan tipe seperti ini ditemukan dalam resistensi
kongkalingkong dengan “oranng dalam”, mencri dukungan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan melawan kekuatan.
Scott (2000:51-52) mengatakan bahwa perlawanan sebagai pemikiran dan simbol.
Scott berusaha memahami perlawanan “binatang yang berpikir” dan berjiwa sosial yang
namanya petani itu, tidak berhasil mengesampingkan kesadaran mereka yaitu makna yang
mereka berikan pada tindak-tanduk mereka. Simbol, norma, dan bentuk-bentuk ideologis
yang mereka ciptakan merupakan latar belakang yang tidak dapat mereka hilangkan dari
22
Universitas Sumatera Utara
perilaku mereka. Betapapun parsialnya atau tidak sempurnanya pemahaman mereka tentang
situasi itu, namun mereka diilhami oleh itikad, nilai dan tujuan yang mengkondisikan aksiaksi mereka.
Hubungan antara pemikiran dan aksi, untuk mengatakannya dengan halus adalah
suatu isu yang kompleks. Dua hal yang jelas dan tegas adalah pertama, baik invensi maupun
aksi bukanlah “penggerak yang tidak digerakkan”. Aksi yang dilahirkan dari intensi berputar
kembali, sebagaiman adanya untuk mempengaruhi kesadaran dan dari sinilah timbul intensi
dan aksi selanjutnya. Makna aksi perlawanan adalah selalu berkomunikasi, selalu dalam
dialog. Kedua, itikad atau kesadaran intensi tidak dikaitkan dalam bentuk seluruhnya sama
denngan dunia materi sebagaimana perilakunya. Akhirnya, bagaimana kita dapat memahami
bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari tanpa merujuk pada itikad atau intensi, gagasan, dan
bahasa manusia yang mempraktekkannya.
2.4.
Teori Konflik
Teori konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu terdapat dalam setiap
masyarakat dalam setiap kurun waktu. Teori konflik merupakan masyarakat sebagai satu
sistem yang terdiri dari bagian atau komponen yang mempunyai kepentingan yang berbedabeda dimana komponen yang satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain guna
memenuhi kepentingannya. Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap
fungsionalisme structural.
Dahrendorf dalam George Ritzer (2014: 148-149) mengatakan bahwa masyarakat
terintegrasi karena adanya kelompok kepentingan dominan yang menguasai masyarakat
banyak. Teoritisi konflik lainnya, setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses
perubahan, dimana teoritisi koflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Toritisi
23
Universitas Sumatera Utara
konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan
terhadap anggotanya oleh mereka yang berada
diatas dengan penekanan pada peran
kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat. Menurut Dahrendorf bahwa
teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan
kekerasan yang
mengikat masyarakat bersama dihapan tekanan itu dimana masyarakat disatukan oleh
“ketidakbebasan yang dipaksakan.” Dengan demikian, posisi tertentu didalam masyarakat
mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.
Selanjutnya Dahrendorf membedakan tiga tipe utama kelompok. Pertama adalah
kelompok semu (quasi group) yaitu sejumlah posisi dengan kepentingan yang sama
(Dahrendorf, 1959:180) kelompok semu ini adalah calon anggota tipe kedua yaitu kelompok
kepentingan yakni mode perilaku yang sama dalah karakteristik dari kelompok kepentingan
yang direkrut dari kelompok semu yang lebih besar, kelompok ini adalah kelompok agen riil
dari konflik kelompok. Aspek terakhir dari teori konflik Ralf Dahrendorf adalah hubungan
konflik
dengan perubahan yang memusatkan perhatian pada fungsi konflik
dalam
mmepertahankan status quo. Tetapi, Dahrendorf menganggap fungsi konservatif dari konflik
hanyalah satu bagian realitas social yang juga menyebabkan perubahan dan perkembangan.
Teori konflik merupakan kepentinngan
yaitu kelompok yang berada diatas dan
dibawah didefenisikan berdasarkan kepentingan bersama. Konflik antara berbagai struktur
posisi merupakan sumber struktur konflik harus dicari didalam tatanan peran sosial yang
berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan.Tugas pertama analisis konflik adalah
mengidentifikasi berbagai peran otirotas di dalam masyarakat, karena memusatkan perhatian
pada tingkat individual.Otoritas yang melekat pada posisi bukan pada orangnya yang adalah
unsur kunci dimana secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi.Mereka yang
24
Universitas Sumatera Utara
menduduki posisi otoritas diharapakan menngendalikan bawahan artinya mereka berkuasa
karena harapan dari orang yang berada disekitar mereka (George Ritzer, 2014: 149-150).
2.5.
DefenisiKonsep
Konsep adalah proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam
suatu penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan penelitian ini antara lain:
1. Masyarakat petani yaitu sebagai orang yang bermata pencaharian dengan
bercocok tanam di tanah.
2. Petani penggarap yaitu masyarakat yang menggarap hutan untuk dijadikan sebagai
lahan pertanian atau perkebunan ataupun persawahan.
3. Pola perlawanan yaitu bagaimana pola dan strategi masyarkat dalam
mempertahankan tanah yang akan dijadikan sebagai perluasan hutan lindung.
4. Pemegang otoritas yaitu, adapun yang menjadi pemegang otoritas atau kekuasaan
di Desa Hutaginjang ialah Badan Dewan Perwakilan Daerah (BPD), Kepala Desa
5. Tanah warisan yaitu tanah yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek
moyang kepada anak-anaknya yang harus dijaga dan dilindungi.
6. Masyarakat ulayat yaitu masyarakat batak toba yang mempunyai nilai dan aturan
tertentu didalam masyarakat yang dipegang serta dianut untuk menjaga stabilitas
sosialnya.
7. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu.Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut
hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan warganya, di mana kewenangan ini memperbolehkan
25
Universitas Sumatera Utara
masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah,
dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
8. Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh
masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
warganya, di mana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang
dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan
26
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat
pentinng karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan dimana
tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan (Boedi, 1994). Tanah dan pola
pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan
kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
2.1.
Masyarakat Petani
Masyarakat petani secara umum sering dipahami sebagai suatu kategori sosial yang
seragam dan bersifat umum. Sebagai masyarakat mayoritas yang hidup di pedesaan, petani
merupakan masyarakat yang tidak primitif, tidak pula modern. Masyarakat petani sebagai
masyarakat
desa
yang
dilatarbelakangikesatuan
agroekosistem
(alam/geografi)dan
kebudayaan. Kesatuan lingkungan geografisnyaterutama terkait dengan penguasaandan
pengusahaan sumberdaya lahan. Sedangkankesatuan kebudayaan (kultural) meliputiberbagai
aturan-aturan sosial yang berlakudalam masyarakat petani tersebut. Berbagaiaturan tersebut
antara lain meliputi aturanadat, penduduk asli, tanah, lahan garapan, hubungankekeluargaan,
dan kehidupan ekonomimasyarakat (rakyat) desanya.Poerwadarminta (1985) mendefinisikan
petani sebagai orang yangbermatapencaharian dengan bercocok tanamdi tanah.
19
Universitas Sumatera Utara
2.2.
Hutan Lindung
Hutan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 41 tahun 1999
tentang kehutanan yaitu suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan lindung adalah hutan yang keberadaannya
dilindungi untuk memelihara fungsinya sebagai penyangga system kehidupan.Melindungi
suatu wilayah dari bahaya banjir, kekeringan, tanah longsor, dan bencana ekologis lainnya.
Hutan dan masyarakat merupakan dua unsur yang berbeda , dimana hutan merupakan
sekelompok pohon dan masyarakat merupakan sekelompok manusia, namun diantara
keduanya tidak dapat dipisahkan. Hubungan yang dimaksud tapak pada interaksi antara
masyarakat dan hutan yang sudah berlangsung berabad-abad. Oleh karena itu pada setiap
pengelolaan hutan masyarakat di sekitar hutan juga ikut serata karena masyarakat disekitar
hutan menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan. Hal ini diperkuat dengan UUD
pasal 33 yang disebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun
pengelolaan yang terjadi di lapangan tidak selalu sama dengan apa yang tercantum dalam
Undang-undang. Sehingga banyak bermunculan konflik yang terjadi antara masyarakat adat
dengan pemerintah seperti kegiatan pemerintah dalam perubahan status dan fungsi hutan adat
menjadi hutan lindung tidak dilakukan secara transparan terhadap masyarakat adat sehingga
hal ini sudah sangat menyimpang dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah,perbedaan
pandangan tentang tata batas dan pelanggaran adat oleh pengusaha hutan yang sulit
diselesaikan karena memang dari awal pengelolaan hutan selama ini tidak melibatkan
masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan sebagai salah satu stakeholder yang memegang
peranan penting dalam hal tersebut.Permasalahan kawasan hutan baik status maupun
20
Universitas Sumatera Utara
persoalan tata batas dan pemanfaatanya secara langsung untuk kepentingan masyarakat sesuai
dengan pasal 33 UUD 1945 terus berkelanjutan.
2.3.
Pola Perlawanan Rakyat
Konflik pada pasca perluasan hutan lindung tidak lepas dari komponen masyarakat
yang mempunyai andil besar dalam perubahannya. Masyarakat dan pemerintah berdiri pada
posisi yang berlawanan akibatnya muncul perbedaan kepentingan pendayagunaan,
penguasaan lahan dan pengelolaannya. Proses konflik diawali ketika lahan pertanian oleh
masyarakat adat masuk sebagai pasca perluasan hutan lindung. Hal inilah yang mendorong
masyarakat untuk mempertahankan dan melindungi lahan pertanian yang sudah lama diwarisi
dari nenek moyang. Peningkatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan sangat penting
untuk menghindari terjadinya konflik antara pemerintah dengan masyarakat dalam usaha
pemanfaatan hutan.
Perlawanan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas,
frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan ditengah-tengah mereka. Jika situasi ketidakadilan
dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan apa yang disebut sebagai
gerakan sosial. Timbulnya perlawanan Alisjahbana (2005:167-169) terurai ketika
menggambarkan bagaimana pertarungan antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang
tidak berkuasa, antara mereka yang memilikki aksesbilitas dengan mereka yang tidak
memiliki, antara mereka yang memiliki modal kecil terus terjadi dalam setiap kebijakan yang
dirumuskan pemerintah dalam pengembangan kota.
Resistensi rakyat menurut Scott dalam Alisjahbana (2005:39-41) dapat dibedakan
menjadi dua kategori yaitu, resistensi yang disebabkan oleh penyebab secara langsung seperti
penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik
21
Universitas Sumatera Utara
modal atau pihak lain. Resistensi yang secara tidak langsung dilakukan melalui perlawanan
secara sembunyi-sembunyi. Resistensi secara sembunyi-sembunyi mampu mencapai hasil
yang lebih besar dibandingkan resistensi yanng dilakukan secara terang-terangan.
Alisjahbana (2005: 130) mengatakan bahwa perlawanan yang dilakukan oleh sektor informal
berdasarkan perlawanannya dapat digolongkan menjadi dua yitu :
a) Resistensi (perlawanan) secara terang-terangan
Merupakan perlawanan secara terbuka dimana masyarakat berhadapan langsung
dengan pemerintah yang bersifat konfrontatif. Bentuk-bentuk melawan petugas
secara langsung saat akan ditertibkan seperti eker-ekeran, memblokade jalan dan
membakar alat peraga, mengitimidasi dengan senjata tajam, resistensi dengan
kekerasan, menolak relokasi, melakukan demonstrasi, yang terakhir mendatangi
camat dan meminta izin secara paksa.
b) Resistensi (perlawanan) tersembunyi
Perlawanan yang dilakukan dalam bentuk siasat-siasat untuk menghindari
konfrontasi langsung denngan aparat pemerintah kota, resistensi ini bersifat
menghindar. Bentuk resistensi dengan tipe seperti ini ditemukan dalam resistensi
kongkalingkong dengan “oranng dalam”, mencri dukungan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan melawan kekuatan.
Scott (2000:51-52) mengatakan bahwa perlawanan sebagai pemikiran dan simbol.
Scott berusaha memahami perlawanan “binatang yang berpikir” dan berjiwa sosial yang
namanya petani itu, tidak berhasil mengesampingkan kesadaran mereka yaitu makna yang
mereka berikan pada tindak-tanduk mereka. Simbol, norma, dan bentuk-bentuk ideologis
yang mereka ciptakan merupakan latar belakang yang tidak dapat mereka hilangkan dari
22
Universitas Sumatera Utara
perilaku mereka. Betapapun parsialnya atau tidak sempurnanya pemahaman mereka tentang
situasi itu, namun mereka diilhami oleh itikad, nilai dan tujuan yang mengkondisikan aksiaksi mereka.
Hubungan antara pemikiran dan aksi, untuk mengatakannya dengan halus adalah
suatu isu yang kompleks. Dua hal yang jelas dan tegas adalah pertama, baik invensi maupun
aksi bukanlah “penggerak yang tidak digerakkan”. Aksi yang dilahirkan dari intensi berputar
kembali, sebagaiman adanya untuk mempengaruhi kesadaran dan dari sinilah timbul intensi
dan aksi selanjutnya. Makna aksi perlawanan adalah selalu berkomunikasi, selalu dalam
dialog. Kedua, itikad atau kesadaran intensi tidak dikaitkan dalam bentuk seluruhnya sama
denngan dunia materi sebagaimana perilakunya. Akhirnya, bagaimana kita dapat memahami
bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari tanpa merujuk pada itikad atau intensi, gagasan, dan
bahasa manusia yang mempraktekkannya.
2.4.
Teori Konflik
Teori konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu terdapat dalam setiap
masyarakat dalam setiap kurun waktu. Teori konflik merupakan masyarakat sebagai satu
sistem yang terdiri dari bagian atau komponen yang mempunyai kepentingan yang berbedabeda dimana komponen yang satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain guna
memenuhi kepentingannya. Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap
fungsionalisme structural.
Dahrendorf dalam George Ritzer (2014: 148-149) mengatakan bahwa masyarakat
terintegrasi karena adanya kelompok kepentingan dominan yang menguasai masyarakat
banyak. Teoritisi konflik lainnya, setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses
perubahan, dimana teoritisi koflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Toritisi
23
Universitas Sumatera Utara
konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan
terhadap anggotanya oleh mereka yang berada
diatas dengan penekanan pada peran
kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat. Menurut Dahrendorf bahwa
teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan
kekerasan yang
mengikat masyarakat bersama dihapan tekanan itu dimana masyarakat disatukan oleh
“ketidakbebasan yang dipaksakan.” Dengan demikian, posisi tertentu didalam masyarakat
mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.
Selanjutnya Dahrendorf membedakan tiga tipe utama kelompok. Pertama adalah
kelompok semu (quasi group) yaitu sejumlah posisi dengan kepentingan yang sama
(Dahrendorf, 1959:180) kelompok semu ini adalah calon anggota tipe kedua yaitu kelompok
kepentingan yakni mode perilaku yang sama dalah karakteristik dari kelompok kepentingan
yang direkrut dari kelompok semu yang lebih besar, kelompok ini adalah kelompok agen riil
dari konflik kelompok. Aspek terakhir dari teori konflik Ralf Dahrendorf adalah hubungan
konflik
dengan perubahan yang memusatkan perhatian pada fungsi konflik
dalam
mmepertahankan status quo. Tetapi, Dahrendorf menganggap fungsi konservatif dari konflik
hanyalah satu bagian realitas social yang juga menyebabkan perubahan dan perkembangan.
Teori konflik merupakan kepentinngan
yaitu kelompok yang berada diatas dan
dibawah didefenisikan berdasarkan kepentingan bersama. Konflik antara berbagai struktur
posisi merupakan sumber struktur konflik harus dicari didalam tatanan peran sosial yang
berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan.Tugas pertama analisis konflik adalah
mengidentifikasi berbagai peran otirotas di dalam masyarakat, karena memusatkan perhatian
pada tingkat individual.Otoritas yang melekat pada posisi bukan pada orangnya yang adalah
unsur kunci dimana secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi.Mereka yang
24
Universitas Sumatera Utara
menduduki posisi otoritas diharapakan menngendalikan bawahan artinya mereka berkuasa
karena harapan dari orang yang berada disekitar mereka (George Ritzer, 2014: 149-150).
2.5.
DefenisiKonsep
Konsep adalah proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam
suatu penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan penelitian ini antara lain:
1. Masyarakat petani yaitu sebagai orang yang bermata pencaharian dengan
bercocok tanam di tanah.
2. Petani penggarap yaitu masyarakat yang menggarap hutan untuk dijadikan sebagai
lahan pertanian atau perkebunan ataupun persawahan.
3. Pola perlawanan yaitu bagaimana pola dan strategi masyarkat dalam
mempertahankan tanah yang akan dijadikan sebagai perluasan hutan lindung.
4. Pemegang otoritas yaitu, adapun yang menjadi pemegang otoritas atau kekuasaan
di Desa Hutaginjang ialah Badan Dewan Perwakilan Daerah (BPD), Kepala Desa
5. Tanah warisan yaitu tanah yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek
moyang kepada anak-anaknya yang harus dijaga dan dilindungi.
6. Masyarakat ulayat yaitu masyarakat batak toba yang mempunyai nilai dan aturan
tertentu didalam masyarakat yang dipegang serta dianut untuk menjaga stabilitas
sosialnya.
7. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu.Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut
hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan warganya, di mana kewenangan ini memperbolehkan
25
Universitas Sumatera Utara
masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah,
dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
8. Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh
masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
warganya, di mana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang
dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan
26
Universitas Sumatera Utara