ABSTRAKSI-ABSTRAK DALAM PROGRESI RITME, BENTUK DAN RUANG PADA KARYA SENI LUKIS - ISI Denpasar

  

SENI LUKIS

NASKAH PENELITIAN/PENCIPTAAN

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

  

JUDUL:

ABSTRAKSI-ABSTRAK DALAM PROGRESI RITME, BENTUK DAN RUANG

PADA KARYA SENI LUKIS

Oleh:

  

Drs. I Made Bendi Yudha, M.Sn (Ketua)

NIP. 196112251993031002

  

I Made Gede Putra Jaya, S.Sn (Anggota)

Nip. 197111062001121002

Dibiayai oleh DIPA ISI. Denpasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, sesuai dengan Surat

  

Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor 2761//IT5/PPK/V/2017, tanggal 16 Mei

2017

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

  

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

2017

ABSTRAKSI-ABSTRAK DALAM PROGRESI BENTUK DAN RUANG

  Oleh: I Made Bendi Yudha

  I Made Gede Putrajaya Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar

  ABSTRAK Seni bagi masyarakat Bali adalah bagian dari sebuah persembahan, karena melalui persembahan karya seni akan diperoleh nilai pengabdian yang didalamnya tersurat nilai ketulusan yang berorientasi pada penyerahan diri pada alam. Sikap penyerahan diri ini melahirkan nilai-nilai kebersamaan yang dikenal dengan istilah, segilik, seguluk,

  

salunglung sabayantaka, paras-paros sarpanaya. Hingga saat ini, nilai-nilai kebersamaan

  itu nampaknya telah melekat dalam kehidupan orang Bali serta telah menjadi pranata sosial dalam menata kehidupan masyarakatnya untuk mencapai kesejahteraan lahir maupun batin (jagaddhita).

  Dalam bidang seni rupa khususnya menyangkut seni ragam hias Ornamen Bali, nilai nilai yang mendasari jiwa masyarakat Bali tetap memberikan warna tersendiri bagi munculnya berbagai keragaman gaya maupun motif yang menghiasi berbagai tempat ibadah, rumah-rumah adat tradisi Bali, serta tempat-tempat rekreasi lainnya baik yang bersifat simbolik maupun estetik. Motif ragam hias pada Ornamen Bali yang sarat dengan nilai simbolis magis, sebagai hasil imajinasi maupun abstraksi oleh seniman terdahulu, adalah sebagai wujud penyerahan diri dan pengabdian yang tulus ikhlas terhadap kebesaran alam sebagai manifestasi Tuhan Yang Esa. Sebagaimana diketahui bahwa persoalan alam dan lingkungan yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini, merupakan persoalan yang sangat krusial, karena fenomena kerusakannya semakin hari semakin kompleks bahkan mencapai titik kulminasi kerawanan yang dapat mengancam keselamatan manusia.

  Abstraksi-abstrak dalam progresi ritme, bentuk dan ruang, dimaknai sebagai suatu visualisasi alam semesta yang merupakan olahan dari objek-objek atau gagassan dalam bentuk abstraksi-abstrak, bersumber dari bentuk motif ornamen Bali yang telah mengalami proses penggayaan/stilisasi terhadap bentuk-bentuk yang terdapat di alam. Jadi dalam penciptaan ini wujud serta proses visualisasi karya lebih mengarah pada bentuk-bentuk abstraksi-abstrak melalui pencitraan penuh makna tentang fenomena alam serta lingkungan dengan segala problematika yang dihadapinya. Menyikapi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Bali dewasa ini menyangkut fenomena alam yang terjadi, menjadikan persoalan tersebut sebagai issue yang sangat strategis serta menyentuh jiwa pencipta untuk dijadikan subject matter penelitian yang inspiratif. Dari persoalan inilah akan dapat melahirkan ide-ide kreatif, kemudian dituangkan ke dalam karya seni lukis melalui elemen-elemen visual beserta nilai estetiknya, kemudian disusun agar dapat merepresentasikan konsep dari segi pewacanaan maupun kekaryaan. Adapun pengekspresiannya adalah ke dalam bentuk karya seni lukis dengan melakukan perubahan serta pengembangan bentuk serta teknik, mengarah pada bentuk-bentuk abstraksi-abstrak, kemudian dikolaborasikan dengan medium dan elaborasi teknik kolase secara kreatif dan inovatif, untuk mencapai uniqueness dalam suatu karya. Sedangkan di dalam mengartikulasi gagasan/konsep penciptaan, mengacu pada nilai-nilai kekinian yang berorientasi pada nilai pencerahan, bersifat simbolik serta membangkitkan berbagai interpretasi, pencitraan, pemahaman bahkan dapat melahirkan kesadaran baru dalam menyikapi fenomena kehidupan yang terjadi saat ini.

  

Kata-kata kunci: Seni Lukis, Abstraksi-abstrak, menuju progresi ritme, bentuk dan ruang

  ABSTRACTIONS IN THE PROGRESSION OF RHYTHM, FORM AND SPACE

ON ART PAINTING WORK

  By: I Made Bendi Yudha

  I Made Gede Putrajaya The Faculty of painting art and design, Institut Seni Indonesia Denpasar

  ABSTRACT Art for the Bali people is a part of an offering, because through the art of offerings will be obtained the value of devotion in which the expression of the sincerity value oriented is our submission to nature. This self-giving attitude gave birth to the values of togetherness which is known by the term, segilik, seguluk, salunglung sabayantaka, paras- paros sarpanaya. Until now, the values of togetherness seem to have been embedded in the Balinese life and has become a social in order to organize the community life especially to achieve the physical and spritityual (jagaddhita) welfare. In the field of arts painting especially the art of Bali ornament concerned , the values of the Balinese people still provide its own color for the emergence of a variety of styles and motifs that decorate various places of worship, Balinese traditional houses, as well as other recreational places either symbolic and esthetic. The motif of ornaments for Balinese Ornaments laden with magical symbolic value, as a result of imagination and abstraction by previous artists, is as a form of self-giving and sincere devotion to the greatness of nature as the manifestation of the God. As is known that the problems of nature and environment occured in various parts of the world today, is a very crucial problem, because the phenomenon of complex damage increasingly even reached the point of culmination of vulnerability that can threaten human safety. Abstractions in the progression of rhythm, form and space, is interpreted as a visualization of the universe which is the preparation of objects or the idea in the form of abstractions, derived from the form of Balinese ornamental motifs that have undergone the process of stylization of the forms contained in nature. So in this creation the form and process of the visualization of work leads more to the abstract-abstraction forms through the full of imagery phenomena of nature and the environment with all the problems faces. Addressing the problems faced by the people of Bali today concerning the natural phenomenon that occurs, making the issue as a very strategic issue and touch the soul of the creator to be the subject matter of inspiring research. From this problem will be able to produce creative ideas, then poured into the works of painting through visual elements and aesthetic value, and then compiled in order to represent the concept of terms of pewacanaan and kekaryaan. The expression is in the form of painting by changing and developing forms and techniques, leading to abstractions forms, then collaborating with creative and innovative medium and elaboration of collage techniques to achieve uniqueness in a work. While in articulating the idea / concept of creation, referring to the values of contemporary-oriented value of enlightenment, are symbolic and generate a variety of interpretations, images, understandings and even can give birth to a new awareness in addressing the phenomenon of life that happens today.

   

  Keywords: Art, Abstractions, toward the progressive rhythm, form and space

    PENDAHULUAN

  Perkembangan sejarah seni rupa Bali tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah seni rupa indonesia, baik meliputi seni lukis, seni patung, arsitektur, kerajinan, seni ukir maupun seni ragam hias lainnya. Dalam bidang seni rupa khususnya menyangkut ragam hias Ornamen Bali telah banyak ditemukan pada zaman prasejarah yang menurut periode perkembangannya dapat melalui dua zaman besar yaitu; zaman batu dan zaman logam, pada masa kehidupan bercocok tanam dan perundagian. Pada masa itu di Bali sudah diketemukan ornamen berupa kedok muka terdapat pada Sarkofagus yang bersifat simbolis dan magis. Di samping bentuk ornamen berupa kedok muka, pada zaman logam terdapat peninggalan ragam hias ornamen berwujud; ornamen geometrik, ornamen menyerupai bentuk-bentuk ilmu ukur meliputi; garis lurus, garis putus-putus, lingkaran (bulan, matahari) dan bentuk-bentuk geometrik lainnya.

  Bentuk ragam hias ornamen Bali dalam perkembangannya dilandasi oleh ornamen Floralistis yaitu ornamen yang menyerupai tumbuh-tumbuhan, ornamen Antropomorfis yang menyerupai wayang, manusia dalam bentuk sederhana, serta ornamen Zoomorfis yaitu ornamen bentuk-bentuk binatang yang digunakan untuk kepentingan berbagai upacara seperti yang terdapat pada motif ornamen pada kain gringsing, songket, endek dan lainnya (Rinu, 1990:4-5). Berbagai bentuk dan jenis ornamen di atas, aplikasinya dapat ditemukan pada tempat-tempat ibadah/Pura atau pada bangunan tradisi Bali, baik yang memiliki nilai-nilai simbolis ataupun sebagai penunjang nilai estetis semata, untuk mempercantik atau memperindah bangunan yang dimaksud.

  Mencermati motif ragam hias pada Ornamen Bali yang sarat dengan nilai simbolis magis, sebagai hasil imajinasi yang diabstraksikan oleh seniman terdahulu, melalui media tertentu seperti terlihat pada bangunan suci maupun bangunan tradisi Bali lainnya, adalah sebagai wujud penyerahan diri dan rasa pengabdian yang tulus ikhlas terhadap kebesaran alam beserta isinya sebagai manifestasi Tuhan Yang Esa. Adapun visualisasi motif ornamen tersebut disusun secara hirarkis, disesuaikan dengan bentuk, makna, fungsi maupun nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, agar merepresentasikan wujud alam secara estetik dan simbolistik meliputi; bentuk manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan serta bentuk-bentuk imajinatif lainnya, kemudian diabstraksikan ke dalam media dua dimensi maupun tiga dimensi.

  Di Bali pemujaan terhadap alam sudah menjadi bagian yang integral dan tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya, di mana dalam aktivitas kesehariannya tidak pernah luput dari berbagai bentuk persembahan/upakara yang terkait dengan Panca

  

Yadnya (lima jenis korban suci yang dilakukan dengan tulus ikhlas), sebagai suatu

  kewajiban dalam mengiplementasikan prinsip-prinsip keseimbangan alam yang melandasi konsep Tri Hita Karana. Di samping persembahan upakara berupa sesajen, juga berupa pendirian bangunan suci yang monumental religius, sebagai bagian dari yadnya dalam bentuk pengabdian (karma yoga) untuk menopang kehidupan keagamaan masyarakatnya dalam menjalankan ibadah maupun aktivitas ritual, inisiasi serta prosesi-prosesi keagamaan dalam Panca Yadnya. Dengan demikian diharapkan Bali tetap terjaga keasrian serta kelestariannya dari waktu ke waktun, baik Sekala maupun Niskala, terutama dalam bidang keagamaan, seni budaya tradisi maupun menyangkut kesuburan dan keindahan alamnya karena hal tersebut berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnmya. Sebagaimana diketahui bahwa persoalan alam dan lingkungan yang terjadi di berbagai belahan dunia dewasa ini, merupakan persoalan yang sangat krusial, oleh karena itu pewacanaannya tidak habis-habisnya untuk dibicarakan, baik di tingkat lokal, nasional ataupun global, karena fenomena kerusakan alam dan lingkungan semakin hari semakin kompleks bahkan hampir mencapai titik kulminasi kerawanan yang dapat mengancam keselamatan manusia. Kondisi ini disebabkan karena sifat dan tindakan manusia tidak lagi bersahabat serta tidak mengindahkan apa yang seyogyanya dilakukan demi menjaga keasrian ataupun kelestarian alam. Hanya karena alasan agar hidup lebih nikmat, manusia memandang sumber daya alam sebagai sesuatu potensi yang harus digali dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, akhirnya tega merusak bahkan menghancurkan alam, tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkannya, utamanya akan mewariskan penderitaan bagi anak cucunya sebagai generasi pewaris di masa akan datang. Sebagaimana pernyataan yang diungkap oleh: Seyyed Hossein Nasr, dalam bukunya “Antara Tuhan, Manusia Dan Alam” terjemahan Ali Noer Zaman menyebutkan bahwa; manusia modern telah mendesakralisasi alam, alam telah dipandang sebagai sesuatu yang harus digunakan dan dinikmati semaksimal mungkin. Alam bagi manusia modern telah menjadi seperti seorang pelacur, dimanfaatkan namun tanpa ada arti kewajiban dan tanggungjawab terhadapnya. Persoalannya adalah, alam yang telah dijadikan pelacur ini semakin dikuras hingga ke tingkat yang mustahil (2003:29). Pandangan ini memberikan pemahaman bahwa; manusia sebagai bagian terkecil dari alam, semestinya harus selalu bertanggung jawab secara lahir batin terhadap eksistensi alam maupun lingkungan yang ada, dan memandangnya sebagai sumber kekuatan kosmik yang mengalirkan energi suci (energi kehidupan), bukan sebaliknya menyakiti alam. Apabila tidak didasari oleh kesadaran yang demikian, tentu akan berakibat pada terjadinya kerusakan alam yang semakin kronis, kemudian mengancan keselamatan manusia. Oleh karena itu pola pikir maupun tindakan hendaknya lebih mengutamakan pada pemuliaan alam dan bukan menawarkan tantangan, sebab konsep memuliakan alam adalah sebagai sebuah kewajiban serta cerminan rasa tahkluk pada alam, yang bermula dari kesadaran diri untuk mencapai keharmonisan, kedamaian dan sekaligus untuk kemuliaan diri yang sejati dalam upaya mencapai Jagaddhita. Berdasarkan atas fenomena yang terjadi, dalam hal ini Pulau Bali sebagai daerah tujuan wisata domestik maupun mancanegara, tidak luput dari persoalan krisis ekologi sebagaimana yang dihadapi oleh hampir sebagian besar masyarakat di dunia. Kondisi alam ini nampak menjadi lebih terpuruk terutama semakin berkurangnya lahan pertanian akibat meningkatnya pembangunan hotel-hotel di kawasan penghijauan yang strategis, sedangkan batas wilayah penghijauan yang ditetapkan oleh pemerintah semakin hari semakin tidal jelas sangsi hukumnya bila terjadi pelanggaran. Andaikata ini tidak diantisipasi dengan tindakan sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku, tentu akan terjadi peningkatan pelanggaran hukum menyangkut penguasaan ataupun penggunaan lahan secara ilegal tanpa kompromi, yang berdampak pada sikap arogansi yang berlebihan, akhirnya mengabaikan dampak lingkungan yang lebih luas. Di sisi lain masalah yang tidak kalah pentingnya adalah menyangkut meningkatnya produksi barang-barang industri pabrik berupa benda-benda plastik, di mana limbah-limbah tersebut belum mampu diolah serta dimanfaatkan secara maksimal, sehingga kandungan kimia yang terdapat pada limbah plastik sulit diurai di dalam tanah, hal ini tentu akan memperburuk kondisi ekologi terutama hilangnya tingkat kesuburan tanah, akhirnya merugikan masyarakat yang mengembangkan usahanya di bidang pertanian, maupun perkebunan. Nampaknya gejala ini telah meluas ke mana-mana sampai pada sebagian besar masyarakat di desa maupun di perkotaan, sehingga aksi ini nampaknya sebagai salah satu bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai kehidupan yang luhur, dikarenakan hilangnya kesadaran diri dalam mengembangkan prinsip-prinsip keselalarasan ataupun keseimbangan, sebagaimana tertuang dalam konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana sebagai salah satu konsep hidup orang Bali yang menuntun pola pikir dan tindakan agar selalu eling, serta meningkatkan nilai humanis agar menjadi manusia yang berakhlak mulia, beriman serta bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu dalam bersosialisasi dan berinteraksi hendaknya senantiasa menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan,

manusia dengan manusia lainnya, demikian juga manusia dengan alam lingkungannya. Adapun pengejawantahan terhadap konsep tersebut adalah dikembangkannya tiga aspek kehidupan yang bernilai dalam kehidupan di antaranya; menghormati alam sebagai wujud kuasa Tuhan yang tertinggi, sikap toleransi dan rasa saling hormat-menghormati di antara sesama, sebagai kunci penyebab kebahagian atau keharmonisan. Apabila konsep tersebut diabaikan, sudah barang tentu akan berdampak pada instabilitas internal menyangkut keyakinan diri sendiri dalam usaha mencapai keseimbangan material dan spiritual, di sisi lain memudarnya hubungan harmonis di antara sesama, yang akan bermuara pada terjadinya disharmoni berpotensi terjadinya konflik horisontal yang mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara. Demikian juga halnya, harmonisasi antara manusia dengan alam yang telah terjalin secara alami, lalu kemudian berubah mengarah pada sikap perusakan terhadap eksistensi alam, baik dengan cara distorsi maupun eksploitasi yang berlebihan, hal ini tentu menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat karena telah melanggar prinsip-prinsip keseimbangan alam. Andaikata ini tidak diantisipasi secara dini melalui pendekatan sosio kultural yang humanistik, maka tentu akan menjadi penyebab terjadinya bencana alam seperti; pemanasan global, bencana banjir, gempa bumi, dan bencana lainnya yang secara general dapat membahayakan keselamatan serta mengancam kelangsungan hidup manusia.

  Abstraksi-abstrak dalam progresi ritme, bentuk dan ruang, dalam penelitian ini dimaknai sebagai suatu visualisasi alam semesta yang merupakan olahan dari objek-objek atau gagassan dalam bentuk abstraksi-abstrak, bersumber dari bentuk motif ornamen Bali yang telah mengalami proses penggayaan/stilisasi terhadap bentuk-bentuk yang terdapat di alam. Jadi dalam penciptaan ini wujud serta proses visualisasi karya lebih mengarah pada bentuk-bentuk abstraksi-abstrak melalui pencitraan penuh makna tentang fenomena alam, lingkungan dan manusia dengan segala problematika yang dihadapinya. Hal ini menjadi penting karena ketiga aspek ini merupakan bagian yang integral, masing-masing memiliki kontribusi yang saling melengkapi dan menguntungkan, bermuara pada keharmonisan maupun keutuhan ekosistem pada semua lini kehidupan. Bentuk-bentuk abstraksi-abstrak yang secara eksplisit tersurat pada bentuk motif ornamen Bali, selalu ditemukan pada hiasan arsitektur bangunan tradisional Bali, alat-alat upacara, prabot rumah tangga dan sejenisnya, umumnya berupa bentuk garis-garis geometris yang disusun berulang-ulang secara ritmik, kemudian dikembangkan menjadi stilisasi bentuk, menyerupai; fauna maupun flora, daun, bunga, binatang khayal, mitologi dan lain sebagainya. Motif-motif tersebut disusun secara harmoni maupun estetik, sedangkan penempatan tokoh-tokoh penting disesuaikan menurut pangkat, drajat serta peranan dari ketokohannya secara hirarkis. Abtraksi bentuk ornamen yang diterapkan pada bangunan tersebut merupakan ekspresi dari perwujudan harmonisasi manusia, dengan bhuwana agung maupun bhuwana

  

alit/, hubungan manusia dengan alam secara berkelanjutan dalam tatanan konsep

  kosmologi alam Bali. Adapun idealisasi pelaksanaan konsep ini secara operasional, telah menghadapi tantangan besar di era globalisasi ini, di mana telah terjadi kerusakan alam yang berdampak pada disharmoni ekologis maupun keutuhan ekosistem alam Bali. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan sikap mental masyarakat yang mulai pragmatis serta memandang alam sebagai suatu komuditi yang memiliki nilai jual tinggi serta dapat memberikan keuntungan yang besar pula secara ekonomi. Menyikapi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Bali dewasa ini menyangkut fenomena alam Bali, menjadikan persoalan tersebut sebagai issue yang sangat strategis serta menyentuh jiwa pencipta untuk dijadikan subject matter penelitian yang inspiratif. Dari persoalan inilah dapat melahirkan ide-ide kreatif, kemudian dituangkan ke dalam karya seni lukis menggunakan elemen- elemen visual beserta pertimbangan estetiknya, kemudian disusun sedemikian rupa agar dapat merepresentasikan konsep yang ingin diwujudkan, baik dari segi pewacanaan maupun kekaryaan. Adapun pengekspresiannya adalah ke dalam bentuk karya seni lukis, di mana telah dilakukan perubahan serta pengembangan bentuk yang mengarah pada bentuk-bentuk abstraksi-abstrak, kemudian dikolaborasikan dengan medium dan elaborasi teknik secara kreatif dan untuk mencapai uniqueness dalam suatu karya. Sedangkan di dalam mengartikulasi gagasan sebagai wujud konsep karya cipta, mengacu pada nilai-nilai kekinian yang berorientasi pada nilai pencerahan, bersifat simbolik serta melahirkan berbagai interpretasi, pencitraan, pemahaman bahkan melahirkan kesadaran baru dalam menyikapi fenomena kehidupan yang terjadi saat ini.

  Sehubungan dengan fenomena tentang kerusakan alam di berbagai belahan dunia yang terjadi saat ini, dan apabila ditinjau dari esensi “Abstraksi-Abstrak dalam Progresi Ritme, Bentuk dan Ruang Dalam Karya Seni Lukis” yang berkaitan dengan bentuk ornamen Bali, adalah sebagai refleksi dari gejolak jiwa yang menimbulkan berbagai kegelisahaan serta obsesi pada ruang imajinasi, tentang fenomena alam yang terjadi saat ini di mana alam telah mengalami perubahan akibat rusaknya lingkungan maupun keutuhan ekosistem yang ada. Maka dalam penelitian ini terdapat beberapa rumuskan masalah meliputi; 1) Bagaimana mewujudkan serta mengartikulasikan “Abstraksi-Abstrak Dalam Progresi Ritme, Bentuk dan Ruang Pada Karya Seni Lukis” pada bentuk ornamen Bali yang sarat dengan makna dan nilai filosofis ke dalam karya seni lukis, agar mencapai keutuhan kreativitas yang harmonis baik dalam tataran tekstual maupun kontekstual? 2) Bagaimana memanfaatkan potensi material serta teknik secara kreatif, yang dapat mewadahi imajinasi maupun intuisi dalam upaya menafsirkan berbagi gejala artistik dari esensi “Abstraksi- Abstrak” pada bentuk ornamen Bali tentang fenomena alam, manusia dan lingkungan dalam karya seni lukis? 3) Bagaimana menghayati serta menjelmakan setiap teks yang ada, apabila dikaitkan dengan konteks penciptaan, terjadi korelasi yang representatif antara ide, visualisasi maupun konsep, sebagai suatu metafor yang diekspresikan pada karya seni lukis?

  Perwujudan suatu hasil karya seni rupa bisa dihampiri atau didekati dengan berbagai cara; menurut Dan Suwarjono dalam Sudarmaji, dkk. (1985:9) meliputi; pendekatan fisioplastis dan ideoplastis. Ideoplastis yang lahir atas dasar ide dalam melahirkan bentuk, menuntun kelahiran perwujudannya (seni secara visual). Sedangkan fisioplastis, penghampiran bentuk seni melalui aspek tehnis tanpa mementingkan segi ide terciptanya seni itu sendiri. Kedua aspek tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena keduanya masing-masing memiliki peran dan pemaknaan yang berbeda, tergantung dari sisi mana karya cipta itu mau difokuskan untuk dikaji, agar dapat memberikan pemahaman bagi udiens yang mengamati, mengapresiasi maupun mengevaluasi karya tersebut. Secara kasat mata, aspek-aspek karya seni tersebut dapat ditinjau dari sisi visual (segi tekstualnya) maupun ide/konsep (berkaitan dengan kontekstualnya), di mana untuk membedah persoalan-persoalan yang ditawarkan atau diwacanakan dibutuhkan piranti berupa pengetahuan yang holistik, bersumer dari literasi- literasi aktual dan akurat, agar tidak menyimpang serta menyalahi makna ataupun arti dalam pengapresiasiannya.

  Untuk memperkuat konsep dalam penelitian ini, baik dari segi konsep estetis maupun konsep gagasan teoritis, pembahasan mengenai hal-hal yang terkait dengan kekaryaan, didasarkan atas berbagai literasi tertulis maupun merujuk pada karya cipta seniman-seniman, yang telah memiliki reputasi nasional maupun internasional. Langkah ini menjadi sangat penting dilakukan, karena melalui literasi yang aktual dan relevan pencipta mendapatkan pengetahuan teoretis tentang nilai-nilai yang bisa dipakai sebagai landasan berpikir, untuk memperkuat argumentasi di dalam mempertahankan konsep karya seni yang diperjuangkan. Di samping melakukan penjelajahan (searching) untuk mendapatkan literasi yang dimaksud, juga dilakukan pengamatan langsung terhadap bentuk ornamen Bali untuk dijadikan sebagai subject matter, yang terdapat pada bangunan suci, rumah adat tradisional Bali, serta “Bade” yaitu bangunan yang menyerupai tower untuk tempat jenasah bagi orang Bali yang telah meninggal ketika dilaksanakan upacara kremasi atau“Ngaben”. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap wujud-wujud bermakna dari bentuk ornamen Bali, dapat membangkitkan pengalaman keindahan, kemudian melalui inteleksi, muncul persepsi yang melahirkan ide-ide baru kreatif, serta menstimulasi imajinasi, untuk mengekspresikannya ke dalam karya seni lukis. Sejalan dengan pengalaman estetik yang terjadi, Clive Bell dalam Mudji Sutrisno merumuskan diktun estetiknya sebagai berikut: “ Keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri punya pengalaman yang bisa mengenali wujud bermakna dalam satu karya seni tertentu dengan getaran /rangsangan keindahan. “ Tidak cukuplah hanya mempunyai rangsangan/getar keindahan.Tidak cukup pula kalau Cuma mengenali bentuk/wujud bermakna. Keduanya harus terjadi serta saling mengisi secara pas (1999:19).

  Bali telah dikenal sebagai sosok pulau yang amat kecil ini, banyak menyimpan misteri, karena pada pancaran keindahan alamnya yang mempesona itu, juga tersembunyi nilai-nilai religius magis yang menggetarkan jiwa, serta seirng dengan eksotisme seni budaya Bali yang terus berlangsung, Bali tetap eksis, tidak tercabut dari akar budaya tradisi, maupun nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki. Memang telah menjadi kebanggaan bagi masyarakat Bali untuk mencintai tradisinya, sebagaimana yang diungkap oleh Miguel Covarrubias dalam bukunya “ Islad of Bali ” menyebutkan: The Balinese are

  

extremely proud of their tradition,...all sorts of influences from the outside, have left their

mark on Balinese art, but they are always translated into their own manner and they

become strongly Balinese in the proses (1965:163). Kesadaran yang tinggi dari orang Bali

  terhadap tradisi yang diwariskan oleh pendahulunya, menjadikannya bangga akan seni budaya yang dimilikinya, segala pengaruh yang datang dari luar, telah meninggalkan jejaknya pada kesenian Bali, namun itu semua selalu dicerna dan diterjemahkan dengan cara mereka sendiri dan dalam prosesnya benda-benda itu menjadi Bali yang kuat. Dalam kaitannya dengan pelestarian maupun pengembangan menyangkut nilai-nila tradisi, dalam hal ini dilakukan eksplorasi terhadap kandungan makna/simbolis serta konsep estetis yang terdapat pada bentuk motif ornamen Bali, kemudian melalui intuisi serta imajinasi kreatif, melahirkan asosiasi yang cenderung abstraksi-abstrak, untuk memaknai berbagai fenomena tentang problematika kehidupan saat ini. Pengertian Abstraksi-abstrak

  Pengertian tentang Abstraksi-Abstrak yang dipaparkan “Dalam Diksi Rupa”, Susanto menjelaskan; “ Abstraksi “ meliputi seni-seni dari upaya menyederhanakan sebuah obyek dan masih berkenaan dengan unsur dasar obyek. Banyak karya-karya seni non-Barat disebut abstrak sebagai sebuah bentuk representasi tubuh manusia dan binatang. Abstraksi memiliki beberapa arti :1. Proses atau perbuatan memisahkan. 2). Proses penyusunan abstrak/kesimpulan. 3). Metode untuk mendapatkan pengertian melalui penyaringan terhadap gejala atau peristiwa. Dalam seni rupa proses ini kerap menjadi jalan untuk menangkap secara sederhana dari sebuah obyek/peristiwa, gejala. Dalam seni rupa, proses ini kerap menjadi jalan untuk menangkap secara sederhana dari sebuuah obyek/gejala/peristiwa. Di abad ke 20 munculnya kubisme dianggap sebagai jalur perkembangan seni abstrak yang merspon tema lukisan stillife. Abstraksi bentuk dan warna secara berbeda digunakan oleh aliran Faufisme, kaum Orphis atau pada Leger dan sebagainya. Kandinsky menggunakan abstraksi sebagai jalan untuk memurnikan ruang secara pribadi, di mana dia mengembangkan teori yang berhubungan antara bentuk, warna dan spiritualitas. Gerakan lain seperti De Stijl di Belanda, Konstruktivisme di Rusia dan Abstrak Ekspresionisme di Amerika disokong seni bentuk yang jenuh terhadap realitas.

  Tipe-tipe yang telah diterangkan di atas dapat pula disebut Abstrak, meskipun istilah

  Abstrak menjadi frase untuk memayungi berbagai seni yang berbasis pada warna dan bentuk dari pada sebuah imitasi realitas ((2011:4) Sedangkan menurut Wisetrotomo menjelaskan bahwa tema abstraksi-abstrak ini, termasuk pula kecenderungan dekoratif, merupakan tanda munculnya titik keragaman dalam seni rupa indonesia (sejak 1960-an hingga sekarang ini). Sebagai contoh, dapat disebut beberapa karya yang menunjukkan kecenderungan abstraksi-abstrak ini, baik yang berhenti sebagai tonggak awal pelukisnya (seperti A.D. Pirous, yang kini berada di barisan depan pelukis kontemporer islami), maupun yang sejak awal merupakan bahasa pilihannya hingga kini. Mereka adalah, A.D. Pirous dengan karya “Kucing” (1960) yang menunjukkan gejala awal seni lukisnya. Lukisan lainnya yang menunjukkan gejala abstraksi misalnya, “Alam Benda” karya Popo Iskandar, “Burung Mati” (1976) karya Zaini, “Rampogan” (1974) karya Aming Prayitno, “Tiga Figur” (1955) karya Mustika, “Sunset” (1974) karya Srihadi Sudarsono, “Citra Bali II” (1990) karya Pande Gde Supada, “Dua Torso Putih” (1987) karya Subroto SM, “Pasar” (1961) karya Lian Sahar, “Gerhana

  

Matahari” (1991) karya karya Made Budiana, “Fragmentasi yang Pertama” (1982) karya

  Agus Burhan, dan “Gelombang” (1991) karya Sri Warso Wahono. Karya-karya itu merupakan olahan dari obyek-obyek atau gagasan pelukisnya, kemudian divisualisasikan dalam bentuk abstraksi: suatu wujud yang menunjukkan proses yang mengarah kepada bentuk-bentuk abstrak (1997/1998:31-32).

  Dari kedua pendapat yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa yang dimaksud dengan abstraksi-abstrak dalam hal ini adalah, Lahirnya suatu gaya seni lukis yang tumbuh dari indivudu-individu atas dasar “perlawanan” yang personal sifatnya, dari generasi yang berbeda-beda. Tema abstraksi-abstrak ini, termasuk pula kecenderungan dekoratif, merupakan tanda munculnya titik keragaman dalam seni rupa indonesia (sejak 1960-an hingga sekarang ini). Suatu wujud karya seni meliputi seni-seni dari upaya menyederhanakan sebuah obyek dari unsur dasar obyek, yang visualisasi obyek-obyek atau gagasannya telah diolah oleh pelukisnya dalam bentuk abstraksi yaitu suatu wujud yang menunjukkan proses yang mengarah kepada bentuk-bentuk abstrak.

  Dalam penelitian ini, abstraksi-abstrak yang dimaksudkan adalah suatu wujud karya seni lukis di mana akan dilakukan upaya menyederhanakan sebuah obyek dari unsur dasar obyek, yang diolah sedemikian rupa baik dari segi visualisasi obyek ataupun gagasannya, menunjukkan proses yang mengarah kepada bentuk-bentuk abstrak, yang lebih terhubung pada pengaruh simbol-simbol dan budaya Bali. Adapun tahapan proses visualisasi karya, akan dilakukan dengan cara menggali, menyelami serta memahami, lalu kemudian mengartikulasikan makna dari bentuk motif ornamen tersebut, terkait dengan fenomena kehidupan saat ini. Dengan bekal pengetahuan, serta didukung oleh pengalaman maupun keterampilan yang dimiliki, dapat menggugah perasaan yang membangkitkan gairah emosi dan imajinasi, akhirnya hasil pengamatan terhadap obyek ataupun gagasan- gagasan tersebut di ekspresikan ke dalam karya seni lukis.

  Pengertian Imajinasi menurut Susanto dalam “Diksi Rupa” menguraikan imajinasi sebagai daya pikir untuk membayangkan atau mengangan-angan atau menciptakan gambar-gambar kejadian berdasarkan pikiran dan pengalaman seseorang. Imajinasi terpaut erat dengan proses kreatif, serta berfungsi untuk menggabungkan berbagai serpihan informasi yang didapat dari bagian-bagian indera menjadi suatu gambaran utuh dan lengkap. Imajinasi lebis terpaut pada sikap mental, bukan pada proses visual-jasmaniah yang dilakukan seketika oleh manusia. Karena proses mengimajinasikan itu selalu merupakan proses membentuk gambaran tertentu, dan ini terjadi secara mental (2011:190). Sedangkan Tedjoworo, dalam bukunya”Imaji Dan Imajinasi” menguraikan bahwa secara umum yang dimaksud dengan istilah imajinasi adalah “daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep mental yang secara tidak langsung didapatkan dari sensasi

  (pengindraan)”. Jadi imajinasi adalah suatu daya, dan karenanya imajinasi itu berkaitan langsung dengan manusia yang memiliki daya tersebut. Hanya manusialah yang memiliki daya itu, bukan mahluk hidup yang lain seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Imajinasi dalam pemahaman di atas mengandalkan pula adanya imaji (citra) atau gambaran yang merupakan unsur sangat penting di dalamnya. Oleh karena itu, proses mengimajinasikan itu selalu merupakan proses membentuk gambaran tertentu, dan ini terjadi secara mental. Artinya gambaran tersebut tidak berada secara visual (tampak oleh mata) dan tekstural (terasa serta teraba oleh tangan dan kulit). Dari pengertian imajinasi di atas, terkait pula pengertian bahwa proses mental tersebut tidak hanya meliputi citra atau gambaran saja, melainkan juga konsep-konsep mental. Akan tetapi konsep-konsep mental ini tetaplah berkaitan dengan imaji atau gambaran tersebut. Imajinasi ternyata memainkan peran yang sangat penting dalam proses pengetahuan, Imajinasi sebagai sebentuk daya manusiawi, disadari bukan hanya sebagai daya yang terbatas pada peran-peran estetis saja. Imajinasi bahkan meliputi daya manusia untuk menciptakan suatu “dunia” nilai dan kebenaran yang orisinal. Bahkan ia telah menjadi pernyataan otonomi diri manusia sendiri, terutama oleh kemampuan produktifnya, lebih dari kemampuan reproduktifnya (Tedjoworo, 2001:22, 45- 46). Dalam kaitannya dengan proses komunikasi, dapat digambarkan sebagai penyampaian pesan-pesan, (massages) dari seorang atau pihak tertentu kepada orang atau pihak yang lain secara berhasil. Pada konteks tersebut komunikasi meliputi juga “penularan” pengetahuan tentang sesuatu hal. Akan tetapi, proses komunikasi lebih lanjut bukan sekadar proses penyampaian informasi saja, melainkan proses interaksi pengetahuan dan kebenaran antara pihak pertama dan kedua atau ketiga. Dalam arti ini, akan senantiasa pentinglah peran dan fungsi bahasa dan metafor. Komunikasi tanpa bahasa adalah sesuatu yang mustahil, dengan mengandalkan bahwa bahasa tersebut tidaklah selalu bahasa verbal, melainkan bahasa tubuh, bahasa imajerial dan imajinatif, bahasa isyarat, dan berbagai bahasa non verbal lainnya (Tedjoworo, 2001:46).

  Tak heran bila Max Black mengatakan bahwa “suatu metafor yang kuat memiliki kemampuan untuk menggabungkan dua medan yang berbeda ke dalam suatu hubungan emosional dan kognitif, dengan menggunakan bahasa dari yang satu sebagai lensa untuk melihat yang lainnya; implikasi dan sugesti yang disarankan oleh ungkapan metafor itu memungkinkan kita melihat inti masalaah secara baru. Jadi dapatlah kita katakan bahwa berkat imajinasi yang bermetaforlah fakta-fakta bisa di kategorisasi, ide-ide dan teori dirajut secara baru untuk melahirkan teori baru lagi, teori dan pengalaman dikaitkan sedemikian sehingga kita mendapatkan yang biasa kita sebut “pengetahuan” baru. Karena itu menjadi jelas bahwa imajinasi itu bersifat sentral. Imaji adalah kemampuan primer, bukan sekunder, untuk memahami “realitas”. Imajinasilah yang bertanggungjawab atas tekstur pengalaman aktual kita dan yang menyebabkan hidup kita menjadi seperti sebuah teks pula. Maka dalam imajinasi yang bermetaforalah sebenarnya wacana filosofis dan metafor (sebagai bentuk semantik khas) bertemu (Sugiharto, 1996: 160-161).

   Rhythm atau ritme atau irama dalam seni rupa menyangkut persoalan warna,

  komposisi, garis maupun lainnya. Menurut E.B. Feldman rhythm atau ritme adalah urutan atau perulangan yang teratur dari sebuah elemen atau unsur-unsur dalam karya lainnya.

  

Rhythm terdiri dari bermacam-macam jenis, seperti repetitip, alternatif, progresif, dan

flowing (ritme yang memperlihatkan gerak keberlanjutan) (Susanto, 2011:334). Jadi

  berdasarkan pendapat di atas, kaitannya dengan karya bertemakan abstraksi-abstrak, adalah karya seni lukis di mana ritme juga menjadi bagian yang menambah progresi/dinamika ruang, agar mampu menghadirkan impresi-impresi yang diharapkan dalam mendukung konsep.

  Pengertian bentuk sebagaimana diuraikan dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” berkonotasi kata benda yang berarti rupa, sedangkan dalam bahasa inggris disebut form. Bentuk adalah sebagai manifestasi luar dari suatu obyek yang hidup, sebagaimana yang diungkap Feldman Edmund Burke dalam bukunya”Art As Image And Idea”, terjemahan SP. Gustami, (1991:28-29), memaparkan bahwa;Bentuk adalah “manifestasi dari suatu obyek yang hidup, tetapi bidang adalah “manifestasi dari suatu obyek yang mati”. Hasil berbagai bentuk dapat memiliki kualitas linier jika perhatian kita diarahkan pada batas- batas mereka, tetapi kontur-kontur itu biasanya mempunyai efek membuat kita menyadari bentuk, yakni mereka menghadirkan warna-warna silhouette pada bidang atau ruang yang mereka pagari” (1991:28-29). Menurut Djelantik, terjemahan tentang pengertian bentuk, ditegaskan sebagai bentuk yang paling sederhana adalah titik. Titik sendiri tidak memiliki ukuran atau dimensi. Titik sendiri belum memiliki arti tertentu. Kumpulan dari beberapa titik yang ditempatkan di area tertentu akan mempunyai arti. Kalau titik-titik berkumpul dekat sekali dalam suatu lintasan titik akan membentuk garis. Beberapa bidang bersama akan membentuk ruang. Titik, garis, dan ruang merupakan bentuk-bentuk yang mendasar bagi seni rupa (2001:18).

  Pengertian ruang yang dikutip dalam buku “Diksi Rupa” disebutkan bahwa; ruang merupakan istilah yang dikaitkan dengan bidang dan keluasan, yang kemudian muncul istilah dwimatra dan trimatra. Dalam seni rupa orang sering mengaitkan ruang adalah bidang yang memiliki batas atau limit, walaupun kadang-kadang ruang bersifat tidak terbatas dan tidak terjamah. Ruang juga dapat diartikan secara pisik adalah rongga yang berbatas maupun yang tidak berbatas. Sehingga pada suatu waktu, dalam hal berkarya seni, ruang tidak lagi dianggap memiliki batas secara fisik, yang terlihat pada seni lingkungan (environmental art), happening art dan lain-lain (2011:388). Sehubungan dengan pemahaman ruang menurut Edi Sunaryo di dalam Wisetrotomo (2003:16-17), memaparkan bahwa ruang dalam karya Edi Sunaryo merupakan sajian utama dan menjadi indikator terkuat dalam keseluruhan tata rupa setiap karyanya. Ruang sama dominannya dengan kehadiran bentuk-bentuk yang digubah secara (kadang) mengejutkan. Edi Sunaryo hampir secara cermat berhasil membangun tatarupa yang seimbang; ruang kosong dan bentuk yang cenderung minimal, dan keduanya saling meneguhkan eksistensinya. Eksistensi ruang yang kuat justru dibangun oleh kehadiran benda-benda yang secukupnya dan seperlunya. Demikian pula eksistensi benda-benda yang kuat, didukung oleh ruang yang yang memadai. Ruang dalam karya-karya Edi Sunaryo dapat dilihat sebagai indikator bagaimana ia melibatkan diri dalam proses perenungan atau proses kontemplasi. Dalam kehidupan sehari-hari, kesadaran terhadap eksistensi ruang biasanya diperoleh ketika seseorang memiliki kemampuan melibatkan diri secara intensif dalam proses pemahaman terhadap semesta. Pemahaman terhadap asal-usul, ada dan tiada, serta kemampuannya dalam asketisme (asceticism), merupakan modal utama untuk menghayati eksistensi, ruang dan waktu. Kesadaran semacam itu, ketika diaplikasikan dalam tataran praktis, sangat berguna dalam mengontrol keseimbangan untuk mengolah tata rupa. Seklumit Tentang Sejarah Ornamen Bali

  Perkembangan sejarah seni rupa Bali tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah seni rupa indonesia, baik meliputi seni lukis, seni patung, arsitektur, kerajinan, seni ukir maupun seni ragam hias lainnya. Dalam bidang seni rupa khususnya menyangkut ragam hias Ornamen Bali telah banyak ditemukan pada zaman prasejarah yang menurut periode perkembangannya dapat melalui dua zaman besar yaitu; zaman batu dan zaman logam, pada masa kehidupan bercocok tanam dan perundagian. Pada masa itu di Bali sudah diketemukan ornamen berupa kedok muka terdapat pada Sarkofagus yang bersifat simbolis dan magis. Di samping bentuk ornamen berupa kedok muka, pada zaman logam terdapat peninggalan ragam hias ornamen berwujud; ornamen geometrik, ornamen menyerupai bentuk-bentuk ilmu ukur meliputi; garis lurus, garis putus-putus, lingkaran (bulan, matahari) dan bentuk-bentuk geometrik lainnya. Bentuk ragam hias ornamen Bali dalam perkembangannya dilandasi oleh ornamen Floralistis yaitu ornamen yang menyerupai tumbuh-tumbuhan, ornamen Antropomorfis yang menyerupai wayang, manusia dalam bentuk sederhana, serta ornamen Zoomorfis yaitu ornamen bentuk-bentuk binatang yang digunakan untuk kepentingan berbagai upacara seperti yang terdapat pada motif ornamen pada kain gringsing, songket, endek dan lainnya (Rinu, 1990:4-5). Berbagai bentuk dan jenis ornamen di atas, aplikasinya dapat ditemukan pada tempat- tempat ibadah/Pura atau pada bangunan rumah adat tradisi Bali, baik yang memiliki nilai- nilai simbolis filosofis ataupun sebagai penunjang nilai estetis semata, untuk mempercantik atau memperindah bangunan yang dimaksud.

  Terkait dengan sejarah perkembangan ornamen tradisional Bali, Radiawan dkk, (2012: t.hal.) , dalam bukunya “Seni Dan Ornamen Tradisi Bali”, menguraikan ada tiga hal yang saling berhubungan antara lain; Pertama: Sebagai konsep kehidupan beragama di Bali, khususnya Hindu, berkaitan dengan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam kehidupan masyarakat muncullah aktivitas-aktivitas kehidupan adat dan juga berkesenian seperti dalam upacara yadnya. Pada proses upacara ini, diperlukan alat upacara yang diwujudkan agar terlihat seindah-indahnya, seperti dalam pembuatan banten atau sesaji yang dipersembahkan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan). Lalu pada bentuk bangunan (pelinggih) yang ada di areal Pura, dibuatlah hiasan dengan berbagai motif ornamen seperti keketusan, pepatran, dan kekarangan yang beraneka ragam sebagai wujud bakti kepada Tuhan. Kedua: Sebagai konsep benda-benda sejarah, di mana daerah Bali sangat potensial dengan penemuan benda-benda prasejarah dan sejarah, seperti Nekara Pejeng, ditemukan di desa Pejeng dan nekara perunggu tersebut ditempatkan di Pura Penataran Pejeng, nekara ini berhiaskan ornamen tatahan topeng yang diperkirakan berumur 1500 tahun. Juga ornamen berupa reliefyang ditemukan di Yeh Pulu, Goa Gajah, Gunung Kawi, Patung Dewi di Kutri blahbatuh, arca di Pura Puseh Batuan, Puncak Penulisan, Pusering Jagat dan lain-lainnya. Ketiga: Sebagai konsep pemerintahan raja-raja di Bali. Pada masa pemerintahan Bali Age, yang diperintah para Arya dari Majapahit tahun 1343 Masehi. Pusat pemerintahan yang semula di Samprangan Gianyar dengan rajanya yang pertama yakni Sri Kresna Kepakisan dan dipindahkan ke klungkung oleh raja Waturenggong di mana pusat kebudayaan dan kesenian saat itu berada di kerajaan Gelgel- Klungkung, terbukti dengan adanya gambar wayangyang tertera di langit-langit bangunan Kertagosa. Pada masa kerajaan ini, seniman atau perajin atau undagi mengabdi di istana dan mempersembahkan karya indah yang kemudian diterapkan di Pura dan Puri. Kegiatan hias-menghias masa kerajaan Gelgel saat itu banyak ragam yang bermunculan, yaitu ada ragam hias tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang dipahatkan di pintu, pilar dan tembok bangunan berupa jenis ornamen pepatran, keketusan, dan kekarangan (fauna- flora). Dan ketika jaman kolonial Belanda, ornamen tradisi ini mendapat pengaruh dari luar dan digubah secara kreatif oleh undagi menjadi berbagai teknik dan motif ornamen, seperti adanya motif patra Olanda atau Wolanda (Belanda), patra China (Tiongkok) dan

  patra Mesir (Timur tengah).