BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - MOCH. ARIFUDIN BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai penamaan ini bukanlah penelitian yang pertama. Banyak

  penelitian lain yang membahas mengenai penamaan yang telah dilakukan oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Penulis akan mencantumkan beberapa mahasiswa yang telah melakukan penelitian mengenai penamaan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya.

1. Kajian Semantik Penamaan Diri Pedagang di Pasar Jatibarang dan Pasar Brebes, oleh Dian Setyarini, 2006.

  Dalam mengkaji penelitiannya, penulis menggunakan teori makna, penamaan, bahasa nama diri, dan bentuk-bentuk penamaan yang menyangkut pemilihan kata untuk nama diri, arti nama diri, jumlah kata nama diri, dan susunan kata nama diri. Data yang digunakan adalah nama dari para pedagang di Pasar Jatibarang dan Pasar Brebes yang meliputi data lisan dan data tertulis. Sedangkan sumber datanya adalah Pedagang di Pasar Jatibarang dan Pasar Brebes. Metode penyediaan data yang digunakan adalah metode wawancara dan dokumentasi. Setelah data terkumpul, kemudian data dianalisis menggunakan metode padan dan teori yang sudah ada.

  Dengan demik ian, berdasarkan analisis “Kajian Semantik Penamaan Diri Pe dagang di Pasar Jatibarang dan Pasar Brebes”, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang sekarang mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah pada penggunaan teori makna dan penamaan, Metode penyediaan data yang digunakan

  5 adalah metode wawancara. Kemudian metode analisis data menggunakan metode padan. Perbedaan antara penelitian yang dulu dengan yang sekarang adalah pada teori, penelitian sebelumnya menggunakan teori nama diri, sedangkan pada data dan sumber data juga banyak ditemukan perbedaan. Penelitian sebelumnya menggunakan data nama-nama pedagang yang ada di Pasar Jatibarang dan Pasar Brebes dimana sumber datanya adalah para pedagang yang ada di Pasar Jatibarang dan Pasar Brebes, sedangkan penelitian yang sekarang menggunakan nama-nama kendaraan dan suku cadang yang digunakan di Lingkungan Kacamatan Moga, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Sumber data di peroleh dari para montir dan penyalur kendaraan bermotor yang ada di lingkungan Kecamatan Moga.

2. Makna Referensial Pemakaian Nama Panggilan Mahasiswa Kos Di Purwokerto, Oleh Emi Herowati, 2005.

  Teori yang digunakan dalam menganalisis skripsi yang berjudul Makna Referensial Pemakaian Nama Panggilan Mahasiswa Kos Di Purwokerto, Oleh Emi Herowati adalah mengenai makna, jenis makna yang meliputi makna sempit, makna meluas, makna kognitif, makna konotatif, makna emotif, makna konstruksi, makna leksikal, makna gramatikal, makna ideasional, makna proposisi, makna pusat, makna piktorial, makna idiomatik, makna peribahasa, makna denotatif, makna konseptual,makna asosiatif, dan makna kiasan. Selain itu juga penelitian tersebut menggunakan teori penamaan seperti peniruan bunyi, penyebutan bagian, penyebutan sifat dan ciri khusus, penemu dan pembuat, tempat asal, bahan, keserupaan, bentuk kependekan, penamaan baru, dan bentuk yang diplesetkan. Data yang digunakan adalah nama mahasiswa yang berada di kota Purwokerto, yaitu di Kelurahan Dukuhwaluh, Karangalam, Karangwangkal, dan Kelurahan Grendeng. Sumber datanya adalah mahasiswa kos atau tempat kos di Kelurahan Dukuhwaluh, Karangsalam, Karangwangkal, dan Grendeng. Dalam mengumpulkan data menggunakan teknik wawancara, teknik simak dan teknik catat. Data kemudian dianalisis menggunakan metode padan kemudian disajikan dalam pemaparan hasil menggunakan metode penyajian informal.

  Dengan demikian, berdasarkan analisis “Makna Referensial Pemakaian Nama Panggilan Mahasiswa Kos Di Purwokerto”, Oleh Emi Herowati dapat disimpulkan bahwa penelitian yang sekarang mempunyai persamaan dan perbedaan.

  Persamaannya adalah pada penggunaan teori makna dan Penamaan, Metode penyediaan data yang digunakan adalah metode wawancara, simak dan catat.

  Kemudian metode analisis data menggunakan metode padan. Perbedaan antara penelitian yang dulu dengan yang sekarang adalah pada teori, penelitian sebelumnya pada data dan sumber data juga banyak ditemukan perbedaan. Penelitian sebelumnya menggunakan data nama-nama panggilan mahasiswa kos di Purwokerto dimana sumber datanya adalah mahasiswa kos di Kelurahan Dukuhwaluh, Karangsalam, Karangwangkal, dan Grendeng. Sedangkan penelitian yang sekarang menggunakan nama-nama kendaraan dan suku cadang yang digunakan di Lingkungan Kacamatan Moga, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Sumber data di peroleh dari para montir dan penyalur kendaraan bermotor yang ada di lingkungan Kecamatan Moga.

3. Analisis Semantik Penamaan Tempat Pemberhentian Bus Mini Jurusan Magelang Yogyakarta, Oleh Rurun Kuntarti, 2006.

  Teori yang digunakan dalam menganalisis skripsi yang berju dul “Analisis Semantik Penamaan Tempat Pemberhentian Bus Mini Jurusan Magelang Yogyakarta,” adalah mengenai penamaan dan jenisnya yang terdiri dari (1) berdasarkan peniruan bunyi, (2) berdasarkan parsprototo. (3) berdasarkan totem pro

  

parte, (4) berdasarkan penyebutan sifat khas, (5) berdasarkan penemu dan pembuat,

  (6) berdasarkan tempat asal, (7) berdasarkan bahan, (8) berdasarkan keserupaan, (9) berdasarkan singkatan atau akronim, dan (10) berdasarkan penggalan. Penulis juga menggunakan teori jenis makna seperti (1) makna leksikal, (2) makna gramatikal, (3) makna sempit, (4) makna meluas, (5) makna kognitif, (6) makna kontatif, (7) makna denotatif, (8) makna emotif, (9) makna referensial, (10) makna konstruksi, (11)makna indensional, (12) makna preposisi, (13) makna pusat, (14) makna piktorial, (15) makna idiomatik, (16) makna konseptual, dan (17) makna kiasan. Data yang digunakan adalah nama-nama tempat pemberhentian bus mini jurusan Magelang- Yogyakarta, berupa data yang diucapkan oleh kernet maupun sopir serta penumpang atau warga yang menjadi informan. Pada tahap pengumpulan data, penulis menggunakan metode simak, kemudian dianalisis menggunakan metode padan yang selanjutnya diterapkan menggunakan teori yang sudah ada.

  Dengan demikian, berdasarkan analisi s “Analisis Semantik Penamaan Tempat Pemberhentian Bus Mini Jurusan Magelang Yogyakarta,”, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang sekarang mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah pada penggunaan teori Makna dan Penamaan, Metode penyediaan data yang digunakan adalah metode simak. Kemudian metode analisis data menggunakan metode padan. Perbedaan antara penelitian yang dulu dengan yang sekarang adalah pada teori, penelitian sebelumnya pada data dan sumber data juga banyak ditemukan perbedaan. Penelitian sebelumnya menggunakan data nama-nama tempat pemberhentian bus mini jurusan Magelang-Yogyakarta, berupa data yang diucapkan oleh kernet maupun sopir serta penumpang atau warga yang menjadi informan atau sumber data. Sedangkan penelitian yang sekarang menggunakan nama-nama kendaraan dan suku cadang yang digunakan di Lingkungan Kacamatan Moga, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Sumber data di peroleh dari para montir dan penyalur kendaraan bermotor yang ada di lingkungan Kecamatan Moga.

B. Landasan Teori 1. Pengertian Bahasa dan Fungsi Bahasa a. Pengertian Bahasa

  Kridalaksana (1994: 32) mengungkapkan pengertian bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Wibowo juga (2001:3), berpendapat bahwa bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.

  Selain pendapat dari para ahli, penulis juga mengambil sumber lain sebagai referen tambahan yang bersumber dari website yaitu Wikipedia (2005). Dalam Wikipedia disebutkan bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Setelah memahami pengertian- pengertian yang telah disebut, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sistem simbol bunyi atau lambang bunyi yang arbitrer dan konvensinal yang dipakai sebagai alat komunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran sebagai perwujudan budaya, baik lewat lisan, tulisan atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain.

  Setiap ilmu pengetahuan lazim dibagi atas bidang-bidang bawahan atau cabang. Misalnya, ilmu kimia dibagi atas kimia organik dan kimia anorganik, ilmu psikologi dibagi atas psikologi klinis dengan psikologi sosial. Hal tersebut dikarenakan oleh luasnya bahan ilmu pengetahuan, dan demi alasan praktis para ahli suka untuk membagi ilmunya menjadi berbagai bidang bawahan atau cabang. Sama halnya dengan ilmu bahasa, pada dasarnya ilmu bahasa dibagi atas lima macam yaitu fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam penelitian kali ini penulis membatasi pada semantik.

b. Fungsi Bahasa

  Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai (1) alat untuk mengekspresikan diri, (2) sebagai alat untuk berkomunikasi, (3) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan (4) sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3). Sedangkan Goffrey (1997: 74) menjelaskan bahwa bahasa paling sedikit memiliki lima fungsi di dalam masyarakat: (1) membawa informasi (informasional), (2) mengungkapkan perasaan atau sikap penutur (ekspresif), (3) mengarahkan atau mempengaruhi perilaku (direktif), (4) menciptakan efek artistik (estetik), (5) memelihara ikatan sosial (phatik).

  Warga Masyarakat Pemalang, khususnya di Kecamatan Moga seringkali menyebut dan menamai kendaraan, baik kendaraan sepeda motor, mobil penumpang, mobil barang, dan suku cadang dengan nama yang baru dan tidak sesuai dengan nama yang telah diberikan oleh pabrik, tentunya di balik semua itu terdapat satu maksud dan tujuan tertentu. Hal tersebut sangat sesuai dengan fungsi bahasa yang disebutkan oleh para ahli bahasa; yaitu: 1) sebagai alat untuk berkomunikasi. Kaitannya dengan penamaan adalah bahwa pembentukan penamaan baru pada kendaraan dan suku cadang di daerah Moga membawa informasi bagi penuturnya, bahwa ujaran yang disampaikan oleh masyarakat mempunyai makna dan maksud tertentu. Yaitu tentang nama-nama kendaraan dan suku cadang yang digunakan oleh masyarakat akan membentuk satu komunikasi yang sudah disepakati sebelumnya;

  2) alat untuk mengekspresikan diri, yaitu dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penuturnya. Pembentukan penamaan yang baru dan berbeda dengan pabrik pada nama kendaraan dan suku cadang yang kemudian ekspresikan dengan benda yang lain merupakan salah satu contoh fungsi bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri;

  3) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu atau memelihara ikatan sosial, yaitu, fungsi untuk menjaga hubungan sosial secara baik. Penamaan kendaraan beserta suku cadangnya yang diberikan oleh pabrik ternyata tidak dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Moga, sehingga terjadi kesulitan komunikasi, akhirnya masyarakat membentuk atau memberikan istilah lain untuk menamai kendaraan dan suku cadang dengan tujuan untuk menjaga agar garis komunikasi tetap terbuka.

2. Semantik: Pengertian, Jenis, dan Penamaan a. Pengertian Semantik

  Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti „tanda atau lambang‟. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti „menandai‟ atau „melambangkan‟. Verhaar (1999: 13) mendefinisikan pengertian semantik bahwa semantik adalah cabang linguistik yang membahas arti atau makna. Subroto (2011: 1) juga menyebutkan bahwa semantik adalah salah satu bidang kajian atau cabang linguistik yang mengkaji arti bahasa atau arti linguistik (lingual meaning atau linguistic meaning) secara ilmiah. Setelah melihat pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa semantik merupakan cabang linguistik yang membahas atau mengkaji mengenai makna secara ilmiah.

  b. Jenis-Jenis Semantik

  Subroto (2011: 31), menyatakan bahwa jenis-jenis semantik dapat dibagi menjadi dua, yaitu semantik leksikal dan gramatikal, semantik leksikal berkaitan dengan arti leksikal. Arti leksikal adalah arti yang terkandung dalam kata-kata sebuah bahasa yang lebih kurang bersifat tetap. Sedangkan semantik gramatikal berkaitan dengan arti struktural atau arti yang timbul karena relasi satuan gramatikal baik dalam konstruksi morfologi, frase, klausa/kalimat. Data penelitian ini adalah nama-nama kendaraan dan suku cadang yang diambil di Kecamatan Moga, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Nama-nama dari kendaraan dan suku cadangnya secara keseluruhan berupa kata. Jadi dalam penelitian ini menggunakan semantik leksikal.

  c. Penamaan

  Djajasudarma (2009: 35) mengungkapkan bahwa unsur semantik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu menyangkut (1) tanda dan lambang, (2) makna leksikal dan hubungan referensial, (3) penamaan. Dalam hal ini akan dibatasi pada hal penamaan. Menurut Chaer (2009: 43), penamaan adalah buah proses pelambangan suatu konsep untuk mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa. Chaer (2009: 44) juga mengungkapkan mengenai peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya sistem penamaan yang meliputi: (1) peniruan bunyi, (2) penyebutan bagian, (3) penyebutan sifat khas, (4) penemu dan pembuat, (5) tempat asal, (6) bahan, (7) keserupaan, (8) pemendekan, dan (9) penamaan baru.

  Penelitian ini membatasi teori peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya sistem penamaan hanya enam, yaitu: (1) peniruan bunyi, (2) penyebutan bagian, (3) penyebutan sifat khas, (4) tempat asal, (5) bahan, (6) pemendekan, (7), keserupaan, dan (8) penamaan baru. Hal ini dikarenakan untuk menyesuaikam dengan data yang hendak dianalisis, yaitu mengenai nama kendaraan dan suku cadang di Kecamatan Moga, Kabupaten Pemalang. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan penjelasannya sebagai berikut.

  1) Peniruan Bunyi

  Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang terbentuk sebagai hasil peniruan bunyi, maksudnya, nama-nama benda atau hal tersebut dibentuk berdasarkan bunyi dari benda tersebut atau suara yang ditimbulkan oleh benda tersebut. Misalnya kata knalpot, pada kendaraan sepeda motor terdapat dua jenis knalpot, yaitu knalpot standar dan knalpot dor. Dikatakan knalpot dor karena suaranya yang terkesan seperti bunyi “dor”.

  2) Penyebutan Bagian

  Penyebutan bagian merupakan penyebutan bagian dari suatu benda atau hal, akan tetapi menyangkut keseluruhannya. Maksudnya, bagian suatu benda atau hal, bisa dari tubuh yang disebutkan mempunyai arti secara keseluruhan dari benda tersebut. Misalnyakata ekor yang menyebutkan bagian keseluruhan daripada suatu bagian keseluruhan dari tubuh suatu hewan, padahal ekor merupakan bagian dari tubuh binatang yang paling belakang.

  3) Penyebutan Sifat Khas

  Penyebutan sifat khas merupakan penamaan suatu benda berdasarkan sifat yang khas dari benda itu. Gejala ini merupakan peristiwa semantik karena dalam peristiwa itu terjadi transposisi makna dalam pemakaian yakni perubahan kata sifat menjadi kata benda. Akibatnya terjadi perkembangan yaitu berupa ciri makna yang disebut dengan kata sifat itu mendesak kata bendanya karena sifatnya yang amat menonjol itu; sehingga, kata sifatnya itulah yang menjadi nama bendanya. Contoh orang yang sangat kikir disebut si kikir atau si bakhil.

  4) Tempat Asal Sejumlah benda dapat ditelusuri berasal dari nama tempat asal benda tersebut.

  maksudnya bahwa suatu benda memperoleh sebutan atau nama berdasarkan atas tempat benda tersebut pertama kali ditemukan atau berasal. Misalnya kata magnet berasal dari nama tempat Magnesia. Contoh lain yang sering kali kita dengar adalah pada kata kenari. Kenari merupakan nama jenis burung yang berasal dari Pulau Kenari di Afrika.

  5) Bahan Sejumlah benda dapat ditelusuri berdasarkan bahan dasar dari benda tersebut.

  maksudnya bahwa suatu benda memperoleh sebutan atau nama berdasarkan atas bahan pokok yang ada dari benda itu. Misalnya, kata kaca adalah bahan. Barang- barang lain yang dibuat dari kaca disebut juga kaca seperti kaca mata, kaca jendela,

  , dan kaca mobil. Contoh lain adalah karet. Barang-barang lain yang dibuat

  kaca spion dari karet disebut juga karet seperti karet kopling, karet gear dsb.

  6) Keserupaan

  Kata digunakan dalam suatu ujaran yang maknanya dipersamakan atau diperbandingkan dengan makna leksikal dari kata itu. Misalnya kata raja pada frasa

  

raja jalanan. Raja adalah orang yang paling berkuasa atau paling tinggi

  kedudukannya di sebuah negara kerajaan. Oleh karena itu, raja jalanan dapat diartikan sebagai „orang yang paling cepat dan berani dalam hal berkendara di jalanan.‟ Contoh lain adalah kata kaki pada frase kaki meja dan kaki kursi yang ciri- cirinya sama-sama berada dibawah.

  7) Pemendekan

  Pemendekan merupakan pembentukan sebuah nama akibat dari penggabungan unsur-unsur awal atau suku kata dari beberapa kata yang digabungkan menjadi satu.

  Misalnya adalah kata rudal untuk peluru kendali, iptek untuk ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tipikor untuk tindak pidana korupsi. Kata-kata yang terbentuk sebagai hasil penyingkatan ini lazim disebut akronim. Kata-kata yang berupa berupa akronim ini didapati hampir dalam semua bidang kegiatan, termasuk dalam hal penamaan kendaraan bermotor.

  8) Penamaan Baru

  Penamaan baru disebabkan karena ada kata-kata yang kurang tepat sehingga digantikan dengan kata baru. misalnya kata suku cadang untuk menggantikan kata

  

onderdil. Penggantian kata-kata baru atau sebutan baru bisa disebabkan karena

  masyarakat menganggap kurang tepat, tidak rasional, tidak halus, atau kurang ilmiah sehingga masyarakat memilih untuk mengganti kata yang baru karena alasan-alasan itu.

3. Makna: Pengertian, Jenis, dan Perubahan Makna a. Pengertian Makna

  Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang ilmu tertentu, yakni dalam bidang linguistik. Ada tiga hal yang dicobajelaskan oleh para filusuf dan para linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal itu, yakni (1) menjelaskan makna kata secara alamiah, (2) mendeskripsikan kalimat secara alamiah, dan (3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi. (Kempson dalam Pateda 2010: 79).

  Verhaar (1992: 127) mengungkapkan bahwa makna adalah sesuatu yang berada di dalam ujaran itu sendiri, atau makna adalah gejala-gejala ujaran (utterance-

  

internal phenomenon , Inggrisnya). Ogden dan Richard dalam Pateda (2010: 82) juga

  menyimpulkan bahwa makna adalah: (1) konotasi kata, (2) suatu aktivitas yang diproyeksikan ke dalam objek, (3) sesuatu yang secara aktual dihubungkan dengan suatu lambang oleh hubungan yang telah dipilih. Dengan demikian makna adalah gejala-gejala ujaran yang diproyeksikan ke dalam objek yang secara aktual dihubungkan dengan suatu lambang oleh hubungan yang telah dipilih dalam proses komunikasi.

b. Jenis Makna

  Pateda (2010: 96), mengungkapkan bahwa jenis makna meliputi: (1) makna afektif, (2) makna denotatif, (3) makna deskriptif, (4) makna ekstensi, (5) makna emotif, (6) makna gereflekter, (7) makna gramatikal, (8) makna idesional, (9) makna intensi, (10) makna khusus, (11) makna kiasan, (12) makna kognitif, (13) makna kolokasi, (14) makna konotatif, (15) makna konseptual, (16) makna konstruksi, (17) makna kontekstual, (18) makna leksikal, (19) makna lokusi, (20) makna luas, (21) makna piktorial, (22) makna proposisional, (23) makna pusat, (24) makna referensial, (25) makna stilistika, (26) makna tekstual, (27) makna tematis, (28) makna umum, dan (29) makna sempit. Sedangkan Djajasudarma (2009: 8) mengungkapkan bahwa jenis makna meliputi: (1) makna sempit, (2) makna luas, (3) makna kognitif, (4) makna konotatif dan emotif, (5) makna referensial, (6) makna konstruksi, (7) makna leksikal dan makna gramatikal, (8) makna idesional, (9) makna proposisi, (10) makna pusat, (11) makna piktorial, dan (12) makna idiomatik.

  Penelitian ini membatasi teori jenis makna hanya tujuh, yaitu: (1) makna umum, (2) makna kognitif, (3) makna konotatif, (4) makna emotif, (5) makna referensial, (6) makna khusus, dan (7) makna sempit. Hal ini dikarenakan untuk menyesuaikam dengan data yang hendak dianalisis, yaitu mengenai nama kendaraan beserta suku cadangnya di Kecamatan Moga, Kabupaten Pemalang. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan penjelasannya sebagai berikut.

  1) Makna Umum

  Makna umum (general meaning) adalah makna yang menyangkut keseluruhan atau semuanya, tidak menyangkut yang khusus atau tertentu. Makna unun dapat juga dikatakan makna luas, makna yang luas pengertiannya. Makna umum bisa digunakan untuk menyatakan gagasan atau ide yang lebih khusus. Misalnya kata kendaraan dengan kata motor. Kata kendaraan dikatakan sebabagai makna umum karena masih ada makna khususnya yaitu motor.

  2) Makna Kognitif

  Makna kognitif adalah makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan yang sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, objek, atau gagasan dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponennya. Sebagai contoh adalah apabila seseorang mengatakan pohon maka yang ada dalam pikiran mereka adalah tumbuhan yang memiliki batang dan daun dengan bentuk tinggi, besar, dan kokoh.

  3) Makna Konotatif

  Makna konotatif adalah makna semua komponen pada kata ditambah beberapa nilai mendasar yang biasanya berfungsi menandai. Biasanya makna konotatif sangat berhubungan dengan nilai rasa pemakai bahasa. contohnya adalah kata buaya yang biasanya dijadikan lambang kejahatan. Padahal binatang buaya itu sendiri tidak tahu menahu kalau dunia manusia Indonesia menjadikan mereka lambang yang tidak baik.

  4) Makna Emotif

  Makna emotif adalah makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara mengenai/terhadap apa yang diperkirakan atau dirasakan. Misalkan kata kerbau dalam kalimat “engkau kerbau”. Kata itu tentunya menimbulkan perasaan tidak enak bagi pendengarnya, dengan kata lain kerbau tersebut dihubungkan dengan sikap atau perilaku malas, lamban, dan dianggap sebagai penghinaan. Orang yang dituju atau pendengarnya tentunya akan merasa tersimggung atau merasa tidak nyaman. Bagi orang yang mendengarkan hal tersebut sebagai sesuatu yang ditujukan kepadanya tentunya akan menimbulkan rasa ingin melawan.

  5) Makna Referensial

  Menurut Chaer (2007: 291) sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensnya, atau acuannya. Sedangkan menurut Pateda (2010: 125) makna referensial adalah makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata. Referen atau acuan dapat diartikan berupa benda, peristiwa, proses atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yangditunjuk oleh suatu lambang. Makna referensial mengisyaratkan tentang makna yamg langsung menunjuk pada sesuatu, baik benda, gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses Jadi makna referensial adalah makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata.

  6) Makna Khusus

  Makna khusus adalah makna kata atau istilah yang pemakaiannya terbatas pada bidang tertentu. Sebagai misal adalah kata operasi. Bagi dokter kata operasi berarti „upaya menyelamatkan nyawa orang dengan jalan mengoperasi sebagian anggota tu buh pasien‟. Bagi kepolisian, kata operasi artinya „menertibkan warga masyarakat dengan cara terjun kemasyarakat‟. Jadi makna khusus adalah makna yang pemakaiannya terbatas hanya pada bidang tertentu saja.

  7) Makna Sempit

  Makna sempit berbeda dengan makna luas. Makna sempit (specialized

meaning) merupakan makna yang berwujud sempit pada keseluruhan ujaran.

  Maksudnya makna yang terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang diperkirakan. Misalnya kata kendaraan, untuk mempersempit maknanya harus ditambah kata sebagai pembatas yaitu menjadi kendaraan umum, kendaraan roda dua, kendaraan roda empat dsb.

c. Perubahan Makna 1) Jenis-Jenis Perubahan Makna

  Pateda (2010: 168) mengungkapkan bahwa jenis perubahan makna dibagi atas (a) perubahan makna dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia, (b), perubahan makna akibat perubahan lingkungan, (c) perubahan makna akibat pertukaran indra, (d) perubahan makna akibat gabungan leksem atau kata, (e) perubahan makna akibat tanggapan pemakai bahasa, (f) perubahan makna akibat asosiasi, (g) perubahan makna akibat perubahan bentuk, (h) perluasan makna, (i) melemahkan makna, (j) kekaburan makna, (k) lambang tetap, acuan berubah, dan (l) makna tetap, lambang berubah. Sedangkan Djajasudarma (2009: 79), mengungkap bahwa ada enam jenis perubahan makna, yaitu: (a) perubahan makna dari bahasa Daerah ke dalam bahasa Indonesia, (b), perubahan makna akibat lingkungan, (c) perubahan makna akibat pertukaran tanggapan indera, (d) perubahan makna akibat gabungan kata, (e) perubahan makna akibat tanggapan pemakai bahasa, dan (f) perubahan makna akibat asosiasi.

  Penelitian ini membatasi teori jenis perubahan makna hanya sembilan, yaitu: (a) perubahan makna dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia, (b), perubahan makna akibat lingkungan, (c) perubahan makna akibat pertukaran tanggapan indera, (d) perubahan makna akibat gabungan kata, (e) perubahan makna akibat tanggapan pemakai bahasa, (f) perubahan makna akibat asosiasi, (g) perubahan makna akibat perubahan bentuk, (h) perluasan makna, dan (i) melemahkan makna. Hal ini dikarenakan untuk menyesuaikam dengan data yang hendak dianalisis yaitu mengenai nama kendaraan dan suku cadang di Kecamatan Moga, Kabupaten Pemalang. Jenis perubahan makna tersebut agar lebih jelas akan diuraikan sebagai berikut.

a) Perubahan Makna dari Bahasa Daerah ke Bahasa Indonesia

  Kosakata bahasa daerah tertentu yang masuk ke dalam bahasa Indonesia dirasakan tidak layak diucapkan bagi daerahnya, tetapi di dalam bahasa maknanya menjadi layak dan dipakai oleh masyarakat bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa daerah lain. (Djajasudarma, 2009: 79). Jadi, yang dimaksud di sini adalah kata yang diserap dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Di dalam bahasa daerah, kata tersebut dirasa tidak layak diucapkan, akan tetapi jika dipakai dalam bahasa Indonesia kata tersebut dirasa layak untuk dipakai. Misalnya kata tele. Kata tele bagi masyarakat Gorontalo berarti alat kelamin perempuan; di dalam, bahasa Indonesia terdapat atau dipakai kata bertele-tele (Chaer, 2010: 169)

  b) Perubahan Makna Akibat Perubahan Lingkungan

  Pateda (2010: 171) berpendapat bahwa lingkungan masyarakat dapat menyebabkan perubahan makna. Bahasa atau kata yang dipakai pada lingkungan masyarakat tertentu belum tentu sama maknanya dengan kata yang dipakai di lingkungan lain. Misalnya kata podium, bagi para pembalap berarti „mendapatkan peringkat juara‟, akan tetapi jika didalam lingkungan tertentu podium berarti „tempat yang disediakan untuk berpidato‟.

  c) Perubahan Makna Akibat Pertukaran Tanggapan Indra

  Perubahan makna akibat pertukaran indra, disebut juga sinestesi (kata Yunani: sun = sama dan aesthetikos = tampak). Pertukaran indra dimaksud, misalnya indra pendengaran dengan indra pengelihatan, indra perasa ke indra pengelihatan.

  (Pateda 2010: 174). Misalnya kata manis yang berhubungan dengan indra perasa, akan tetapi kalau orang mengatakan “Mobil itu manis” maka hal itu berhubungan dengan indera pengelihatan.

  d) Perubahan Makna Akibat Gabungan Leksem atau Kata

  Menurut Djajasudarma (2009: 82), perubahan makna dapat terjadi akibatgabungan kata. Perubahan makna akibat gabungan kata merupakan kata atau leksem yang digabungkan yang maknanya akan berubah. Misalnya dari kata surat (kata umum): (1) kertas yang bertulis; (2) secarik kertas sebagai tanda atau keterangan; (3) tulisan, dapat bergabung dengan kata lain dan maknanya berbeda, seperti pada surat jalan, surat perintah, surat keterangan dan surat kaleng. Contoh lain adalah pada paduan leksem turun mesin, leksem turun mempunyai arti „bergerak ke arah yang lebih rendah‟, dan karena telah digabungkan dengan mesin sehingga menjadi turun mesin, maka maknanya menjadi menurunkan mesin untuk diperbaiki bagian-bagiannya yang rusak.

  e) Perubahan Makna Akibat Tanggapan Pemakai Bahasa

  Pateda mengungkapkan (2010: 176) makna kata kadang-kadang berubah akibat tanggapan pemakaian bahasa. Perubahan makna ini menjurus kepada hal-hal yang menyenangkan amelioratif atau ke hal-hal yang tidak menyenangkan peioratif. Kata cuci tangan, dahulu dihubungkan dengan kegiatan cuci tangan setelah bekerja atau makan. Sekarang kata tersebut dihubungkan dengan makna tidak bertanggung jawab di dalam suatu persoalan atau tidak mau ikut campur karena kegiatannya membahayakan diri sendiri.

  f) Perubahan Makna Akibat Asosiasi

  Slametmuljana dalam Pateda (2010: 178) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan asosiasi adalah hubungan antara makna asli, makna di dalam lingkungan tempat tumbuh semula kata yang bersangkutan dengan makna yang baru; yakni makna di dalam lingkungan tempat kata itu dipindahkan ke dalam pemakaian bahasa.

  Makna asosiasi dapat dihubungkan dengan waktu atau peristiwa. Contoh tanggal 17

  Agustus adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Namun, kadang-kadang kita berkata, “Mari kita bertujuh belasan di Bandung.” Di sini yang dimaksud bukan peristiwanya, tetapi bergembira, merayakan peristiwa tersebut.

  g) Perubahan Makna Akibat Perubahan Bentuk

  Perubahan bentuk suatu kata atau leksem dapat menyebabkan perubahan makna, misalnya kata lompat. Dari leksem lompat dapat diturunkan kata:

  

berlompatan, berlompat-lompat, melompat, pelompat, terlompat. Bentuk kata

  berlompatan tidak sama dengan bentuk kata melompat. Akibat perubahan bentuk terjadi perubahan makna (Pateda, 2010: 183). Contoh lain adalah pada kata

  

pukul setelah mengalami proses afiksasi akan berubah menjadi memukul, pemukulan,

  dan terpu kul. Contoh kalimatnya “tiba-tiba ia memukul lenganku”, pada kata

  

memukul bermakna mengenakan benda yang keras dengan kekuatan. Pada kata

pemukulan bermakna proses.

  h) Perluasan Makna

  Contoh kata kunci yang biasanya dihubungkan dengan alat untuk mengunci rumah, peti. Kini muncul urutan kata jurukunci, kunci perdamaian, kunci

  

keberhasilan. Urutan kata mengunci rumah mengacu kepada kegiatan menutup dan

  membuka rumah dengan kunci. Kunci keberhasilan mengacu kepada kegiatan utama, kegiatan membuka agar kita berhasil didalam suatu usaha. Tampak di sini hubungan maknanya tetap ada, meskipun makna kata kunci telah meluas (Pateda, 2010: 187).

i) Melemahkan Makna

  Pateda (2010: 193) mengungkapkan bahwa melemahkan makna disebabkan oleh beberapa hal yaitu (a) pertimbangan psikologis, maksudnya agar orang tidak tersinggung perasaannya; (b) pertimbangan secara politis, maksudnya agar masyarakat tidak terganggu ketenteramannya; (c) pertimbangan sosiologis, maksudnya agar masyarakat tidak resah; (d) pertimbangan religius, maksudnya agar orang tidak tertekan imannya; dan (e) pertimbangan kemanusiaan, manusia mempunyai hak asasi manusia. Misalnya kata pelayan toko dilemahkan dengan kata pramuniaga (Pateda, 2010:193).

2) Faktor-Faktor Perubahan Makna

  Bahasa berkembang berkembang terus sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Pemakaian bahasa juga diwujudkan di dalam bentuk kata- kata dan kalimat. Manusialah yang menggunakan kata dan kalimat itu dan manusia pula yang menambahkan kosakata yang sesuai dengan kebutuhannya. (Pateda: 2010: 158). Dengan demikian, perubahan bahasa dalam lingkungan masyarakat dapat terjadi, dan banyak faktor yang dapat menyebabkan perubahan makna kata atau kalimat.

  Djajasudarma (2009: 76), mengungkapkan bahwa perubahan makna terjadi sebagai akibat (a) faktor kebahasaan, (b) faktor kesejarahan, (c) faktor sosial, (d) faktor psikologis, (e) pengaruh bahasa asing, dan (f) kebutuhan akan kata-kata baru. Ullmann dalam Pateda (2010: 163) menyebutkan beberapa hal sebagai penyebabnya yaitu, (a) faktor kebahasaan, (b) faktor kesejarahan, (c) faktor sosial, (d) faktor psikologis, (e) pengaruh bahasa asing, (f) karena kebutuhan kata yang baru. Penelitian ini menggunakan enam perubahan makna, yakni terjadi sebagai akibat (a) faktor kebahasaan, (b) faktor kesejarahan, (c) faktor sosial, (d) faktor psikologis, (e) pengaruh bahasa asing, dan (f) kebutuhan akan kata-kata baru.

  a) Faktor Kebahasaan

  Pateda (2010: 163) mengungkapkan perubahan makna karena kebahasaan berhubungan dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis.misalnya kata sahaya yang semula bermakna hamba, abdi, budak, akan tetapi karena berubah menjadi saya (gejala sinkope atau penghilangan fonem ditengah kata) artinya berubah menjadi orang pertama yang hormat. Kata sah yang berarti berlaku atau diakui kebenarannya oleh pihak resmi sering dihafalkan dan ditulis syah (gejala hiperkorek) padahal syah berarti raja.

  b) Faktor Kesejarahan

  Mengenai faktor kesejarahan, Pateda (2010: 164) dan Djajasudarma (2009: 76) mengungkapkan bahwa faktor kesejarahan atau historis adalah hal-hal yang berhubungan dengan faktor kesejarahan yang dapat diuraikan atas; objek, institusi,

  

ide, dan konsep ilmiah. Hal yang berhubungan dengan objek, misalnya kata wanita

  yang sebenarnya dari kata bertina. Kata betina selalu dihubungkan dengan hewan, misalnya ayam betina. Kata betina dalam perkembangannya menjadi batina, lalu fenem /b/ berubah menjadi /w/ menjadi wanita. Hal yang berhubungan dengan

  

institusi, misalnya dalam Bahasa Indonesia terdapat kata rukun, seperti dalam urutan

  kata Rukun Tetangga dan Rukun Warga. Dahulu kata tersebut dihubungkan dengan

  

kerukunan antar warga, baik antara tetangga dengan tetangga maupun warga dengan

  warga selingkuhan dalam satu desa. Kini pengertian tersebut sudah menjadi institusi resmi, maknanya bukan lagi mengenai soal kerukunan, tetapi sudah lebih luas dari itu.

  Hal yang berhubungan dengan ide, misalnya kata simposium. Dahulu kata

  

simposium idenya untuk bergembira, yakni duduk-duduk di restoran sambil minum, makan roti, dan berdansa. Kini ide itu berubah, yakni menjadi pertemuan ilmiah untuk membicarakan sesuatu dalam disiplin ilmu tertentu yang dibahas dari berbagai segi. Hal yang berhubungan dengan konsep ilmiah, misalnya makna kata volt. Dahulu kata volt dikaitkan dengan nama penemunya, yaitu Allessandri Voltas. Kini makna tersebut lebih ditekankan kepada satuan potensial listrik yang diperlukan untuk mengalirkan satu ampere listrik melalui satu ohm.

  c) Faktor Sosial

  Perubahan yang disebabkan oleh faktor sosial dihubungkan dengan perkembangan makna kata dalam masyarakat. Misalnya kata gerombolan yang pada mulanya bermakna orang yang berkumpul, tetapi kini kata itu tidak disukai lagi sebab selalu dihubungkan dengan pemberontak atau pengacau Pateda (2010: 165).

  Sedangkan menurut Parera (2004: 112), dua gejala yang perlu dicatat dalam hubungan dengan pengaruh sosial terhadap pergeseran dan perubahan makna, ialah generalisasi dan spesifikasi.

  Generalisasi muncul berdasarkan pengalaman masyarakat ketika mereka hendak mengidentifikasi yang berlaku di mana saja dan kapan saja. Misal kata virus yang hanya berhubungan dengan penyakit, sekarang menjadi kata umum untuk mengartikan semua yang menganggu dan menghambat kelancaran pengerjaan sesuatu, misalnya virus komputer, dan virus masyarakat. Spesifikasi makna dilakukan masyarakat berdasarkan pengalaman awal pemakai bahasa.

  d) Faktor Psikologis

  Menurut Pateda (2010: 165) perubahan makna karena faktor psikologis bisa berhubungan dengan emosi dan lainnya, misalnya penggunaan kata bangsat. Dahulu kata tersebut mempunyai makna binatang kecil yang biasa hidup di sela-sela anyaman rotan yang suka menggigit. Kini didalam lingkungan masyarakat kata tersebut berubah makna menjadi manusia yang malas yang kelakuannya dan suka menyakitkan hati.

  e) Pengaruh Bahasa Asing

  Pateda (2010: 165) mengungkapkan bahwa perubahan bahasa yang satu terhadap bahasa yang lain tidak dapat dihindari, hal tersebut terjadi karena adanya interaksi antar bangsa. Perubahan makna karena pengaruh bahasa asing, misalnya kata keran yang pada awalnya berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata crunk yang kemudian dalam bahasa Indonesia bermakna keran, pancuran air ledeng yang dapat dibuka dan ditutup.

  f) Karena Kebutuhan Kata Baru

  Perubahan makna karena faktor kebutuhan terhadap kata baru merupakan manusia berhadapan dengan ketiadaan kata atau istilah baru yang mendukung pemikirannya. Kebutuhan tersebut bukan saja kata atau istilah tersebut belum ada, tetapi juga orang merasa bahwa perlu untuk menciptakan kata atau istilah baru untuk suatu konsep hasil penemuan manusia. Misalnya, karena bangsa Indonesia merasa kurang enak menggunakan kata saudara, kemudian diganti menggunakan kata anda Pateda (2010: 167). Kebutuhan akan kata baru sebagai akibat perkembangan pikiran manusia. kebutuhan tersebut bukan saja kata atau istilah itu belum ada, tetapi orang merasa perlu menciptakan istilah baru untuk suatu konsep. (Djajasudarma: 2009: 78).

4. Relasi Makna

  Relasi makna berkaitan dengan relasi makna leksikal, satuan-satuan leksem dalam sebuah bahasa juga berelasi dalam hal maknanya. Maksudnya relasi dalam hal maknanya antara leksem bahasa itu sendiri. Relasi makna itu diantaranya adalah sinonim, antonim, homonim/homograf, polisemi, dan hiponim yang akan lebih terperinci dengan penjelasan sebagai berikut.

  a. Sinonim

  Sinonim (Inggris: synonymy berasal dari bahasa Yunani Kuno; onoma = nama dan syn = dengan). Makna harfiahnya adalah nama lain untuk benda yang sama.

  (Pateda, 2010: 222). Sinonim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa lain (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 1464). Keraf (1980: 34) juga mengungkap, sinonim adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, (1) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama; (2) keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama.

  Sedangkan menurut Verhaar (1995: 5) mendefinisikan sinonim sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat), yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Jadi, sinonim adalah bentuk bahasa atau ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Contoh kata meninggal dengan kata mati. Kata meninggal dan kata mati sama-sama menunjukkan kesamaan makna, yaitu tak lagi bernyawa, bergerak, dsb. Jadi, antonim adalah

  b. Antonim

  Menurut Pateda (2010: 206), istilah antonim (Inggris: antonymy berasal dari bahasa Yunani Kuno onma = nama dan anti = melawan). Makna harfiahnya, nama yang lain untuk benda yang lain. Sedangkan Keraf (1998: 39) menyatakan bahwa antonim adalah relasi antar makna yang wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan. Jadi, antonim adalah nama lain untuk benda lain yang wujudnya berbeda atau bertentangan. Contoh kata benci dengan cinta, panas dengan dingin.

  c. Homonim

  Menurut Pateda (2010: 211), istilah homonim (Inggris: homonymy) berasal dari bahasa Yunani kuno, onoma = nama dan homos = sama). Secara harfiah, homonim adalah nama sama untuk benda yang berlainan. Verhaar (1983: 135) mengatakan, homonim adalah ungkapan (kata atau frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan suatu ungkapan lain, tetapi dengan perbedaan makna diantara kedua ungkapan tersebut. Dengan kata lain, bentuknya sama tetapi berbeda maknanya.

  Sedangkan Subroto (2011: 81) homonim adalah dua leksem atau lebih yang wujud lahirnya (pelafalan atau penulisan) sama namun arti leksikalnya berbeda. Jadi, homonimi adalah dua leksem atau lebih (kata, frasa, atau kalimat) yang wujud atau bentuknya sama dengan ungkapan lain, tetapi arti leksikalnya berbeda. Di samping homonim ada pula istilah homofon dan homograf. Istilah homonim dilihat dari segi bentuk satuan bahasanya, homofon dilihat dari segi bunyi (homo = sama, fon = bunyi). Sedangkan menurut Chaer, (2009: 97).homografi dilihat dari segi tulisan dan ejaan (homo = sama, grafi = tulisan).

  d. Polisemi

  Menurut Pateda (2010: 2011), polisemi adalah kata yang mengandung lebih dari satu atau ganda. Sedangkan Keraf (1998: 36) menyatakan bahwa polisemi mempunyai arti satu bentuk mempunyai beberapa makna. Jadi polisemi adalah kata yang mempunyai beberapa makna. Contoh kata kepala yang dapat diartikan bermacam-macam seperti kata kepala surat, kepala sekolah, kepala keluarga dsb. walaupun arti utama kepala adalah bagian kepala yang berada diatas leher.

e. Hiponim

  Menurut Pateda (2010: 211), istilah hiponim (Ing: hyponymy berasal dari bahasa Yunani Kuno onoma = nama, dan hypo = di bawah). Secara harfiah istilah hiponim bermakna nama yang termasuk di bawah nama lain. Verhaar dalam pateda (1983: 131) mengatakan,: hiponim ialah ungkapan (kata, biasanya atau kiranya dapat juga frasa atau kalimat) yang makna suatu ungkapan lain. Istilah hiponim dalam bahasa Indonesia boleh digunakan sebagai nomina, boleh juga sebagai adjektifa.

  Keraf (1998: 38) mengungkap, hiponim adalah semacam relasi antar kata yang berwujud atas-bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Sedangkan Subroto (2011: 78) hiponimi adalah relasi antar leksem (kata) yang bersifat atas dan bawah. Jadi, hiponim adalah ungkapan (kata, biasanya atau kiranya dapat juga frasa atau kalimat) yang bersifat atas dan bawah atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain