BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerah - PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (Studi Kasus pada Kabupaten/Kota Jawa Timur Tahun 2013-2016) - UMBY repository

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Otonomi Daerah

  Menurut Djohermansyah (1990) hak tersebut diperoleh melalui penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sesuai dengan keadaan dan kemampuan daerah yang bersangkutan. Otonomi daerah sebagai wujud dari dianutnya asa desentralisasi, diharapkan akan dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Karena kewenangan yang diterima oleh darah melalui adanya otonomi daerah, akan memberikan “kebebasan” kepada daerah. Dalam hal melakukan berbagai tindakan yang diharapkan akan sesuai dengan kondisi serta aspirasi masyarakat diwilayahnya.

  Anggapan tersebut disebabkan karena secara logis pemerintah daerah kebih dekat kepada masyarakat, sehingga akan lebih tau yang menjadi tututan dan keinginan masyarakat.

  Pada era orde baru pelaksanaan desentralisasi serta demokratisasi kurang berhasil. Ketika memasuki era revormasi, maka banyak orang yang percaya bahwa di era ini akan terjadi perubahan ke arah yang lebih demokratis di seluruh lapisan serta aspek kehidupan masyarakat. Sebuah era dimana berbagai perubahan besar pada tata kehidupan sosial pilotik bangsa ini banyak dilakukan. Produk orde baru yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang sedang berubah ini. Kemudian diganti atau bahkan dihilangkan sama sekali, Perubahan-perubahan tersebut dimaksudkan untuk membawa bangsa ini menuju sebuah era masyarakat yang lebih demokratis. Salah satu hal yang juga ikut berubah dalam arus besar ini adalah mengenai kebijakan otonomi daerah.

  Sebenarnya masalah otonomi daerah sudah mendapat perhatian khusus bahkan sebelum periode orde baru berkuasa. Menurut Djohermansyah (1990) tercatat ada beberapa undang-undang atau peraturan yang dikeluarkan pemerintah yang menyangkut hal ini. Pada masa orde baru sesuai dengan pelaksanaan undang-undang nomer 5 tahun 1974, pelaksanaan otonomi daerah juga diterapkan akan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan undang-undang nomer 5 tahun 1974, ternyata tidak membawa hasil yang memuaskan. Karena yang terjadi adalah otonomi daerah hanya menjadi sebuah formalitas untuk memberikan kesan demokratis pada sosok orde baru. Otonomi daerah tidak menjadikan daerah mempunyai hak dan wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri, karena terjadi adalah pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dan sangat sentralistik. Kondisi ini menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah pun diera orde baru menjadi tidak seuai dengan yang diharapkan.

  Menurut Sakinah (2013) salah satu contoh yang sangat baik untuk menunjukkan bagaimana pemerintah orde baru begitu jauh dalam melakukan penataan-penataan masyarakat yang justru mengingkari semangat demokrasi adalah penyeragaman pemerintah desa. Dengan adanya penyeragaman pemerintah desa menurut keinginan pemerintah pusat, tentu saja telah padahal bangsa indonesia adalah bangsa yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa tentu saja sangat majemuk. Dengan adanya sentralisasi pemerintah dan politik yang dikembangkan oleh orde baru, maka elit-elit desa dengan cepat terakomodasi menjadi bagian dari elit nasional. Kebijakan otonomi daerah melalui undang-undang nomer 32 tahun 2004 diharapkan akan memberikan wewenang yang besar kepada daerah untuk mengatur wilayahnya sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Undang-undang ini dianggap berwatak demokratis karena didalamnya memuat aturan yang dianggap akan memberikan jalan bagi terjadinya proses pemberdayaan bagi masyarakat di daerah termasuk masyarakat desa. Karena undang-undang ini memuat kebijakan mengenai desa yang mengarah kepada adanya otonomi desa yang luas.

2.2 Desentralisasi Fiskal

2.2.1 Desentralisasi

  Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintah, oleh pemerintah pusat kepada otonom daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi makan muncul otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia Adiepatto (2014).

  Pada dasarnya tujuan penyelenggaraan desentralisasi antara lain (Syaukani, 2003 :7-8) :

  1. Dalam rangka peningkatan efisien dan efektifitas penyelenggaraan sebagai wahana pendidikan politik masyarakat di daerah.

  2. Untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

  3. Berguna memberikan peluang bagi masyarakat untuk membentuk karir.

  4. Sebagai wahana yang diperlukan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pemerintah.

  5. Sebagai sarana yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan di daerah.

  Kelebihan dan kelemahan desentralisasi Menurut Josef Riwu Kaho (dikutip Krisnha D. Darumurti dan Umbu Rauta, 2002 : 12-13) :

  Kelebihan Desentralisasi : 1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.

  2. Dalam menghadapi masalah yang mendesak yang membutuhkan tindakan cepat, daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari pemerintah pusat.

  3. Dapat mengurangi birokasi dalam arti buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan.

  5. Dapat memberikan kepuasan bagi daerah karena sifatnya lebih langsung.

  Kelemahan Desentralisasi :

  1. Karena besarnya organ-organ pemerintah, maka struktur pemerintah bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi.

  2. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.

  3. Dapat mendorong timbulnya fanatisme daerah.

  4. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama.

  5. Diperlukan biaya yang lebih banyak.

2.2.2 Fiskal

  Kebijakan fiskal adalah langkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau pembelanjaannya dengan maksud unetuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi (Sadono Sukirno, 2003). Kebijakan memiliki dua prioritas, yang pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan masalah-masalah APBN lainnya. Defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil dari pengeluarannya. Dan yang kedua adalah mengatasi stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi, tingkal inflasi, kesempatan kerja dan neraca pembayaran. Sedangkan kebijakan fiskal terdiri dari perubahan pengeluaran pemerintah atau perpajakan dengan tujuan mempengaruhi besarnya susunan permintaan agregat.

  Tujuan dari kebijakan fiskal sebagai sarana menggalakan pembangunan ekonomi bermaksud sebagai berikut:

  1. Untuk meningkatkan laju investasi.

  2. Untuk mendorong investasi optimal secara sosial.

  3. Untuk meningkatkan kesempatan kerja.

  4. Untuk meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah ketidak stabilan internasional.

  5. Untuk menanggulangi inflansi. Menurut Sadono Sukirno (2003) Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu:

  1. Kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atas barang dan jasa.

  2. Kebijakan yang menyangkut perpajakan.

  3. Kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer. Kebijakan fiskal mempunyai pengaruh baik jangka panjang maupun jangka pendek. Kebijakan fiskal mempengaruhi tabungan, investasi dan pertumbuhan ekonomi, sedangkan dalam jangka pendek mempunyai pengaruh terhadap permintaan agregat barang atau jasa.

2.2.3 Desentralisasi Fiskal

  Desentralisasi fiskal merupakan suatu pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan fungsi-fungsi publik atau bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep desentralisasi fiskal dikenal juga dengan money follow function yang berarti bahwa pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan diikuti oleh pembagian wewenang dalam aspek penerimaan pendanaan (Zulyanto, 2010). Dalam berbagai literatur terkadang desentralisasi juga diartikan sebagai suatu konsep, suatu proses, suatu teori, suatu metodelogi dan suatu kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan ketidak adilan pembangunan sosio-ekonomi pada suatu wilayah atau negara (Banapon, 2017). Desentralisasi selain dipahami sabagai suatu kebijakan untuk mendistribusikan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, desentralisasi juga sebagai cara untuk memperpendek rentang kendali yang pada akhirnya memudahkan pemerintah daerah untuk mengurus daerahnya sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah, sesuai dengan karakteristik daerah, lebih menyentuh kebutuhan-kebutuhan masyarakat di daerah serta diyakini lebih efektif dan efisien dalam pengembangan dan peningkatan ekonomi suatu wilayah.

  Dalam berbagai konsep tersebut perlu ditekankan satu poin bahwa varian definisi yang tercangkup dalam tipe-tipe desentralisasi tersebut tidak semata menyoal pengeseran dan pengalihan kekuasaan atas urusan antar level warga (desentralisasi demokratik/politik) maupun keterlibatan dan kemitraan dengan swasta (desentralisasi pasar/ekonomi) (Jawen, 2015). Tujuan Sistem Desentralisasi : 1. Untuk mencegah pemusatan keuangan.

  2. Sebagai usaha pendemokrasian pemerintah daerah untuk mengikutsertakan rakyat dalam bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan.

  3. Untuk menyusun program guna perbaikan sosial ekonomi di tingkat lokal.

  Menurut United Nation Development Programme (1990), terdapat empat pilar keberhasilan desentralisasi fiskal, yaitu penyerahan tanggung jawab belanja

  

(expenditures responsibilities), penyerahan pengelolaan sumber pendapatan

(intergovermental fiscal transfer), dan pinjaman atau hibah daerah (subnational

borrowing). Pilar pertama, tanggung jawab (expenditures responsibilities) yaitu

  melaksanakan fungsi dan pengeluaran yang menjadi tanggungjawab masing-masing level pemerintahan, dimana tugas dan tanggung jawab penyediaan barang dan jasa pemerintah harus disediakan pada level pemerintah terendah dengan efisien. Pilar kedua, penyerahan pengelolaan (revenue

  

assigment), yaitu pengelolaan pada sumber pendapatan yang harus diterima oleh

  pemerintah daerah. Pengelola pendapatan seperti pajak daerah, retribusi daerah, keuntungan perusahaan milik daerah dan pendapatan lainnya yang sah yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah pusat diserahkan wewenangnya kepada daerah. Dimana dalam konteks desentralisasi fiskal adalah untuk memberikan keleluasaan pada pemerintah daerah pada program sosial yang tepat pada konstituenya.

  Pilar ketiga, transfer fisikal antara pemerintah pusat dan daerah

  

(intergovermental fiscal transfer), transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah

  daerah berfungsi untuk memastikan bahwa pemerintah daerah memiliki cukup pendapatan untuk membiayai pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini dilakukan untuk menunjang pemerataan pembangunan di daerah-daerah, dimana sebagian dari pendapatan pemerintah pusat penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak diberikan kepada daerah-daerah, yang disebut dengan transfer fisikal atau disebut juga sebagai dana perimbangan. Pilar keempat adalah pinjaman hibah daerah (subnational borrowing) yang cukup penting karena seringnya pemerintah daerah tidak mampu menyeimbangkan antara anggaran bekanja dengan sumber-sumber pendapatan dan transfer yang diterima dari pemerintah pusat, sehingga menimbulkan saldo defisi (fiscal deficit). Untuk itu agar kebijakan desentralisasi fiskal ini menjadi efisien, pemerintah perlu bertanggungjawab dengan membatasi belanja secara ketat (hard budget

  costraint).

  Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk menciptakan aspek kemandirian di daerah. Dalam buku Grand Design

  

Desentralisasi Fiskal di Indonesia (2010) yang diterbitkan oleh Kementrian

  Keuangan, menyatakan bahwa sebagai konsekuensi dari sistem desentralisasi kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fisikal serta keagamaan. Pelimpahan kewenangan tersebut juga diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pendanaan berupa penyerahan basis-basis perpajakan maupun bantuan pendanaan melalui mekanisme transfer ke daerah asas money follows funcition. Brodjonegoro dan Hartanto (2003) berpendapat masih adanya mekanisme transfer ke daerah didasarkan kepada pertimbangan mengurangi ketimpangan fiskal yang mungkin terjadi baik antar daerah (horizontal imbalances) maupun antara pemerintah pusat dan daerah

  

(vertical imbalances). Untuk meminimalisir ketergantungan pemerintah daerah

  kepada pemerintah pusat atas dana tersebut, daerah dituntut dapat berupaya mengoptimalkan kemampuannya dalam menggali potensi pendapatannya.

  Sumber-sumber pendapatan asli daerah tersebut berupa pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan dan pendapatan lain yang sah.

  Manfaat dan Kelemahan Desentralisasi fiskal menurut Bahl (2008), terdapat dua manfaat dan empat kelemahan desentralisasi fiskal. Manfaat desentralisasi fiskal adalah:

  1. Efisiensi Ekonomis Anggaran daerah untuk pelayanan publik bisa lebih mudah disesuaikan dengan tingkat akuntabilitas dan kemauan bayar yang tinggi.

  2. Peluang meningkatkan penerimaan pajak dari pajak daerah

  Pemerintah daerah bisa menarik pajak dengan berbasis konsumsi dan aset yang tidak bisa ditarik oleh pemerintah Pusat.

  Sedangkan kelemahannya adalah : 1. Lemahnya kontrol pemerintahan pusat terhadap ekonomi makro.

  2. Sulitnya menerapkan kebijakan stabilitas ekonomi.

  3. Sulitnya menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi dengan pemerataan.

  4. Besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah daerah daripada keuntungan yang didapat.

2.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

  Pendapatan asli daerah adal ah pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah. Pendapatan asli daerah merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi yang diberikan oleh pendapatan asli daerah terhadap APBD, semakin besar kontribusi yang dapat diberikan oleh pendapatan asli daerah terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat (Al-Latif, 2018).

  Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya merupakan salah satu komponen sumber penerimaan keuangan negara di samping penerimaan lainnya berupa dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah juga sisa anggaran tahun sebelumnya dapat ditambahkan sebagai sumber pendanaan penyelenggara pemerintahan di daerah. Keseluruhan bagian penerimaan tersebut setiap tahun tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

  Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai APBD, sebagaimana dikatakan oleh Santoso (1995:20) bahwa proposal PAD terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi “derajat kemandirian” keuangan pemerintah daerah.

  Menurut Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Pasal 1, “Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Menurut Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Pasal 6, Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari: 1. Pajak daerah.

  Menurut UU No 28 tahun 2009 Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah

  2009 pajak kabupaten/kota dibagi menjadi beberapa sebagai berikut, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Seperti halnya dengan pajak pada umumnya, pajak daerah mempunyai peranan ganda yaitu:

  1. Sebagai sumber pendapatan daerah (budegtary)

  2. Sebagai alat pengatur (regulatory)

  2. Retribusi daerah Pemerintah pusat kembali mengeluarkan regulasi tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009. Dengan

  UU ini dicabut UU Nomor 18 Tahun 1997, sebagaimana sudah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000. Berlakunya UU pajak dan retribusi daerah yang baru di satu sisi memberikan keuntungan daerah dengan adanya sumber-sumber pendapatan baru, namun disisi lain ada beberapa sumber pendapatan asli daerah yang harus dihapus karena tidak boleh lagi dipungut oleh daerah, terutama berasal dari retribusi daerah. Menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 secara keseluruhan terdapat 30 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.

  3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Undang-undang nomor 33 tahun 2004 mengklasifikasikan jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut menurut objek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMN dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta maupun kelompok masyarakat.

  4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah.

  Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan Pendapatan Asli Daerah yang sah, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pendapatan ini juga merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah. Undang-undang nomor 33 tahun 2004 mengklasifikasikan yang termasuk dalam pendapatan asli daerah yang sah meliputi:

  1. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan.

  2. Jasa giro.

  3. Pendapatan bunga.

  4. Keuntungan adalah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

5. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan, pengadaaan barang ataupun jasa oleh pemerintah.

2.3.1 Dana Alokasi Umum (DAU)

  Dana Alokasi Umum Adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pembelanjaan (Al-Latief 2017). Diberlakukannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri.

  Seiring pemberlakuan daerah otonom, Pemerintah Daerah sangat bergantung pada dana perimbangan dan Pemerintah berupa bagi hasil pajak, bagi hasil SDA, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Umum yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD sebagian besar terserap untuk belanja pegawai, sehingga belanja untuk proyek-proyek pembangunan menjadi sangat berkurang. Kendala utama yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan ontonomi daerah adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Proposi PAD yang rendah, di lain pihak juga menyebabkan Pemerintah Daerah memiliki kebebasan rendah dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian besar perimbangan, terutama dana alokasi umum. Alternatif jangka pendek peningkatan penerimaan Pemerintah Daerah menggali dari PAD.

  Pungutan pajak dan retribusi yang berlebihan dalam jangka panjang dapat menurunkan kegiatan perekonomian, yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunya PAD. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan bagian dari Dana Bagi Hasil uang terdiri dari Pajak dan sumber daya alam. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Seharusnya dana transfer dari Pemerintah Pusat di harapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana tersebut sudah seharusnya pula secara transparan dan akuntabel.

2.3.2 Dana Bagi Hasil (DBH)

  Dana Bagi Hasil merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase tertentu untu mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil dilaksanakan dengan prinsip menurut sumbernya, dalam arti bahwa bagian daerah atas penerimaan yang dibagi hasilkan didasarkan atas daerah penghasilan. yang dibagi sama rata ke seluruh kabupaten/kota selain itu, penyaluran DBH baik pajak maupun SDA dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan.

  2.3.3 Dana Bagi Hasil Pajak

  DBH Pajak berasal dari Penerimaan Negara atas Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) serta PPh atas Pemungutan/Pemotongan Penghasilan Wajib Pajak. Dana Bagi Hasil Pajak terdiri atas:

  A. Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan

  B. Dana Bagi Hasil Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan C. Dana Bagi Hasil PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak.

  2.3.4 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam

  A. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana bagi hasil sumber daya alam kehutanan merupakan bagian dari transfer ke daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan.

  B. Dana Bagi Hasil Pertambangan Umum Dana bagi hasil pertambangan umum merupakan bagian dari transfer ke daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya mineral dan batu bara yang berasal dari luran tetap dan luran eksploitasi.

  C. Dana Bagi Hasil Perikanan Dana bagi hasil perikanan merupakan bagian transfer ke daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya perikanan.

  D. Dana Bagi Hasil Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi Dana bagi hasil pertambangan minyak bumi dan gas bumi merupakan bagian transfer ke daerah yang berasal dari penerimaan sumber aya minyak dan gas bumi.

  E. Dana Bagi Hasil Panas Bumi Dana bagi hasil panas bumi merupakan bagian transfer ke daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam panas bumi yang berasal dari setoran bagian pemerintah atau luran tetap dan luran produksi

2.3.5 Dana Alokasi Khusus (DAK)

  Dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari APBN dan dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai prioritas nasional. Tujuan dana alikasi khusus adalah membantu daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan sarana prasarana pelayanan dasar masyarakat dan untuk mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sarana prioritas nasional. Dana alikasi khusus dimaksudkan untuk membiayaki kegiatan-kegiatan khususnya di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. (Hidayah dan Setiawati, 2014)

  Dana alokasi khusus memiliki karakter yang paling spesifik di antara dana transfer lainnya dimana dana alikasi khusus hanya dapat digunakan sesuai dengan menu kegiatan yang ditetapkan oleh Departemen Teknis yang dikaitkan dengan bidang alokasi dana alokasi khusus. Dana alokasi khusus dapat dikategorikan sebagai matching grant karena adanya kewajiban penyediaan dana pendamping dan sekaligus restricted grant karena karakternya sebagai categorial

  grant-in-cal-aid. (Mardiasmo, 2006).

2.3.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

  Menurut (Arum dan Gregorius), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan penjumlahan nilai output bersih perekonomian yang ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi (seluruh unit produksi), disuatu wilayah tertentu (Provinsi dan Kabupaten/Kota), dan dalam satu kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun kalender), tanpa mempertimbangkan kepemilikan. Pendekatan penyusunan PDRB dengan menggunakan data dasar secara langsung dengan menggunakan 3 macam pendekatan, yaitu : a. Pendekatan Produksi

  Pendekatan produksi adalah menghitung nilai tambah dengan cara mengurangkan biaya antara dari masing-masing nilai produksi bruto tiap-tiap sektor atau subsektor.

  b. Pendekatan Pendapatan Menurut pendekatan pendapatan, PDRB dikatakan sebagai jumlah balasan jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta di dalam proses produksi di suatu wilayah pada periode tertentu, biasanya selama satu tahun.

  c. Pendekatan Pengeluaran Pendekatan ini dari segi pengeluaran bertitik tolak pada penggunaan akhir dari barang dan jasa di dalam wilayah. Jadi diperoleh dengan cara menghitung berbagai komponen pengeluaran akhir yang membentuk produk domestik regional tersebut.

2.3.7 Pertumbuhan Ekonomi

  Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan peningkatan produksi barang dan jasa serta peningkatan kemakmuran masyarakat. Pertumbuhan ekonomi sering juga diartikan sebagai peningkatan produk domestik bruto (PDB) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk kepada perubahan yang bersifat kuantitatif dan dapat diukur dengan menggunakan data Produk Domestik Bruto atau pendapatan atau nilai akhir pasar dari barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan dari suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu (Sukirno, 2006). Sementara itu, Todaro (2000) mengatakan bahwa terdapat 3 (tiga) komponen utama dalam pertumbuhan dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa yaitu akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja, serta kemajuan teknologi.

  Model Pertumbuhan Solow juga menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi (Mankiw, 2007). Hal tersebut dapat terlihat dari semakin besarnya jumlah output perpekerja, sedangkan kemajuan teknologi berpengaruh terhadap peningkatan produksi melalui peningkatan efisiensi tenaga kerja. Peningkatan efisiensi tenaga kerja tersebut tercermin dalam peningkatan kemampuan masyarakat untuk berproduksi sepanjang waktu dengan menggunakan metofe-metode produksi tertentu.

  Supartoyo, dkk (2013) melakukan penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dan karakteristik regional di Indonesia. Penelitian tersebut menyatakan bahwa model pertumbuhan solow (neoklasik) dengan elemen laju pertumbuhan angkatan kerja, laju pertumbuhan penduduk, laju pertumbuhan modal manusia dan laju pertumbuhan ekspor neto merupakan faktor yang berpengaruh untuk menjelaskan perbedaan pertumbuhan ekonomi yang dapat terjadi karena perbedaan kualitas angkatan kerja antar daerah, pertumbuhan stok modal yang berlainan antar daerah, dan pertumbuhan tenaga kerja yang berlainan antar daerah.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah :

  1. Faktor Sumber Daya Manusia Sama halnya dengan proses pembangunan, pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh sumber daya manusia. Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting dalam proses pembangunan, cepat atau lambatnya proses pembangunan tergantung kepada sejauh mana sumber daya manusianya selaku subjek pembangunan memiliki kompetensi yang memadai untuk melaksanakan proses pembangunan dengan membangun infrastuktur di daerah-daerah.

  2. Faktor Sumber Daya Alam Sebagian besar negara berkembang bertumpu kepada sumber daya alam dalam melaksanakan proses pembangunannya. Namun, sumber daya alam saja tidak menjamin keberhasilan proses pembangunan ekonomi, apabila tidak didukung oleh kemampuan sumber daya manusianya dalam mengelola sumber daya alam yang tersedia. Sumber daya alam yang dimaksud diantaranya kesuburan tanah, kekayaan hasil hutan dan kekayaan laut.

  3. Faktor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Perkembangan ilmu pengetahuan fan teknologi yang semakin pesat mendorong adanya percepatan proses pembangunan, pergantian pola kerja yang semula menggunakan tangan manusia digantikan oleh mesin-mesin canggih berdampak kepada aspek efisiensi, kualitas dan kuantitas serangkaian aktivitas pembangunan ekonomi yang dilakukan dan pada akhirnya berakibat pada percepatan laju pertumbuhan perekonomian.

  4. Faktor Budaya Faktor budaya memberikan dampak tersendiri terhadap pembangunan ekonomi yang dilakukan, faktor ini dapat berfungsi sebagai pembangkit atau pendorong proses pembangunan tetapi dapat juga menjadi penghambat pembangunan. Budaya yang dapat mendorong pembangunan diantaranya sikap kerja keras dan kerja cerdas, jujur, ulet dan sebagainya. Adapun budaya yang dapat menghambat proses pembangunan diantaranya sikap anarkis, egois, boros, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), dan sebagainya

  5. Sumber Daya Modal Sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah sumber daya alam dan meningkatkan IPTEK. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktifitas.

2.4 Hasil Peneliti Terlebih Dahulu

Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu

  No Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Hasil Penelitian

  1. Bambang dan Mahmudi (2012)

  Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat

  Variabel Independen (X) Desentralisasi Fiskal Variabel Dependen (Y

  1

  ) Pertumbuhan Ekonomi (Y

  2 )

  Kesejahteraa n Masyarakat Desentralisasi Fiskal berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

  Desentralisasi Fiskal berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat.

  2. M. Ali dan Pengaruh Variabel Desentralisasi

  (2017) Fiskal dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Kinerja Keuangan Daerah Kabupaten Aceh Utara

  ) Belanja Daerah Variabel Dependen (Y) Kinerja Keuangan Daerah

  2 )

  ) Belanja Daerah (X

  1

  Variabel Independen (X

  Kajian Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota SeJawa Tengah

  4. Arum dan Gregorius

  Belanja Daerah berpengaruh negatif terhadap Kinerja Keuangan Daerah.

  Desentralisasi Fiskal berpengaruh positif terhadap Kinerja Keuangan Daerah.

  Desentralisasi Fiskal dan Belanja Daerah berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Daerah.

  2

  (X

  Derajat Desentralisasi Fiskal (X

  1 )

  Variabel Independen (X

  3. Yuni Harteti dkk (2014) Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Daerah terhadap Kinerja Keuangan Daerah pada Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh

  Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan.

  ) Pendapatan Asli Daerah Variabel Dependen (Y) Kinerja Keuangan berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan.

  2

  ) Desentralisasi Fiskal (X

  1

  Belanja Daerah tidak berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah. Regional Regional Bruto Bruto

  3

  (X ) berpengaruh Tingakt positif Investasi terhadap Variabel Pendapatan Dependen Asli Daerah.

  (Y) Investasi

  Pendapatan berpengaruh Asli Daerah positif terhadap

  Pendapatan Asli Daerah. Sumber : Diolah oleh penulis

2.5 Pengembangan Hipotesis

  Hipotesis adalah penjelasan sementara yang harus diuji kebenarannya mengenai masalah yang sedang dipelajari, dimana suatu hipotesis selalu dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang menghubungkan dua variabel atau lebih (Dwiyanti, 2010). Perumusah hipotesis dalam penelitian ini berdasarkan hubungan antara desentralisasi fiskal, pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerah.

  1. Hubungan desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi Menurut World Bank (1997b), desentralisasi fiskal dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara langsung ada tiga mekanisme dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Agrumentasi pertama mengatakan bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi di pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, ada hubungan positif antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi. Argumentasi kedua, bahwa desentralisasi akan menyebabkan instabilitas makroekonomi sehingga akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian terdapat hubungan negatif antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi. Dan argumentasi ketiga, mengatakan bahwa dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi akan berbeda dengan negara maju dan berkembang. Bagi negara berkembang keuntungan-keuntungan dari desentralisasi ini tidak begitu didasarkan. Pendapat ini didasari karena kelembagaan di negara berkembang tidak memberikan intesif kepada pemerintah daerah untuk menggunakan informasi berkaitan dengan konstituennya. Pemimpin mungkin ditunjuk berdasarkan kekuasaannya. Alasan lain adalah bahwa pemerintah daerah di negara berkembang mungkin tidak memiliki sumber daya ekonomi yang cukup dan lemahnya skill sumber daya manusia dalam mengelola anggaran.

  Word Bank (1997a), Martinez dan McNab (2001), kemudian juga mengingatkan bahwa desentralisasi fiskal dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi fiskal dapat mendorong ke arah ketidakstabilan ekonomi makro, yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi, sebab desentralisasi fiskal dapat mengurangi pengeluaran pemerintah dan pajak yang berbasis pada pemerintah pusat yang dapat digunakan untuk melakukan fungsi stabilitas. Dari uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

  2. Hubungan desentralisasi fiskal dengan pendapatan asli daerah Desentralisasi mempengaruhi pendapatan asli daerah karena desentralisasi fiskal sebagai penyerahan tanggung jawab belanja, penyerahan penelola sumber pendapatan dan pinjaman atau hibah daerah. Pengelolaan sumber pendapatan yang harus diterima oleh pemerintah daerah. Pengelola pendapatan seperti pajak daerah, retribusi daerah, keuntungan perusahaan milik daerah dan pendapatan lain-lain yang sah yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah pusat diserahkan wewenangnya kepada daerah. Dimana dalam konteks desentralisasi fiskal adalah untuk memberikan keleluasaan pada pemerintah daerah pada program sosial yang tepat pada konstituenya United Nation Development Programe (1990).

  Desentralisasi fiskal merupakan suatu pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan fungsi-fungsi publik atau bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep desentralisasi fiskal dikenal juga dengan money follow function yang berarti bahwa pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan diikuti oleh pembagian wewenang dalam aspek penerimaan pendanaan (Zulyanto, 2010). Dari uraian tersebut, hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut :

2 H : Desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah

2.6 Kerangka Pemikiran (

  Sumber: Diolah penulis

  DESENTRALISASI FISKAL (X) PERTUMBUHAN EKONOMI (Y 1 ) PENDAPATAN ASLI DAERAH

  (Y 2 )

Dokumen yang terkait

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTARDAERAH DI INDONESIA

0 13 21

PENGARUH FISCAL STRESS TERHADAP PERTUMBUHAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA MODAL (Studi Pada Provinsi Jawa Timur Periode 2007-2009) - Perbanas Institutional Repository

0 0 19

PENGARUH FISCAL STRESS TERHADAP PERTUMBUHAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA MODAL (Studi Pada Provinsi Jawa Timur Periode 2007-2009) - Perbanas Institutional Repository

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu - PENGARUH FISCAL STRESS TERHADAP PERTUMBUHAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA MODAL (Studi Pada Provinsi Jawa Timur Periode 2007-2009) - Perbanas Institutional Repository

0 0 16

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (Studi Pada Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur periode 2010-2011) - Perbanas Institutional Repository

0 0 29

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (Studi Pada Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur periode 2010-2011) - Perbanas Institutional Repository

0 0 14

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (Studi Pada Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur periode 2010-2011) - Perbanas Institutional Repository

0 2 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN PROPOSISI - PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA DAERAH DALAM MENGEFEKTIFKAN DESENTRALISASI FISKAL UNTUK MENINGKATKAN PEMBANGUNAN DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT (Studi Kasus Pada Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Kabupaten

0 1 138

BAB II LANDASAN TEORI A. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) - PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI LAMPUNG MENURUT PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM - Raden Intan Repository

0 0 45

BAB II LANDASAN TEORI A. Otonomi Daerah 1. Pengertian Otonomi Daerah - POTENSI PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM MENDUKUNG OTONOMI DAERAH (Studi Pada Kabupaten Tulang Bawang Barat) - Raden Intan Repository

0 2 52